Minggu, 25 Oktober 2009

PERTANYAANKU TENTANG BELAJAR

Beberapa pertanyaan yang mengganjal di pikiranku:
1. Adakah cara yang signifikan untuk mengubah sikap manusia yang tampak didominasi mental birokratis? Bukankah telah banyak hasil penelitian tentang sikap dan perilaku manusia?
2. Bagaimana cara efektif mendobrak stagnansi mental block yang menghinggapi seseorang? Berdasarkan pengamatan saya, pelatihan-pelatihan motivasi yang dilakukan, hanya mampu mengubah sedikit mental block, dan cenderung tidak permanen.
3. Apakah pernah dilakukan penelitian atau servey tentang tingkat pengetahuan, pemahaman, dan penerapan konsepsi teori belajar oleh para guru di sekolah? Jika ada, bagaimana hasilnya?
4. Apakah ada kriteria khusus, terutama yang terkait langsung dengan pendidikan dan pembelajaran, untuk seseorang yang akan menjadi pejabat di lingkungan Dinas Pendidikan?
5. Pernahkah Anda membayangkan menjadi seorang kepala Dinas Pendidikan? Jika pernah, bagaimana perasaan Anda ketika melihat sarana sekolah yang jauh dari memadai, misalnya, atap bocor, plafond jebol, atau toilet kumuh? Dan pernahkah Anda mengandaikan diri sebagai guru, sebagai siswa, atau sebagai wali murid?
JIKA ANDA MEMILIKI KESAMAAN PENDAPAT DENGAN SAYA TENTANG PERTANYAAN-PERTANYAAN DI ATAS DAN MEMILIKI JAWABAN (SELURUHNYA ATAU SEBAGIAN) SUDILAH KIRANYA MEMBERIKAN KOMENTAR/JAWABAN. TERIMA KASIH.

Selasa, 20 Oktober 2009

FAKTOR-FAKTOR DOMINAN YANG TERKAIT DENGAN KEPUASAN PENGGUNA PERPUSTAKAAN

KERANGKA DASAR PENELITIAN
BAB I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Perpustakaan dewasa ini telah berkembang pesat, dan mencapai tahap modern. Jika dulu perpustakaan didefinisikan sebagai kumpulan buku dalam sebuah gedung, maka definisi itu sekarang telah mengalami pergeseran. Definisi perpustakaan sekarang merujuk pada pengertian sekumpulan informasi yang dikelola secara sistematis oleh pengelola yang profesional dan melayani penggunanya dengan baik. Perpustakaan dengan demikian menjadi pusat pengelolaan informasi, penyebaran informasi, sumber belajar dan penunjang pembelajaran.
Secara fisik perpustakaan juga semakin mengalami pergeseran dari sekumpulan buku dalam suatu ruangan atau gedung, kini perpustakaan lebih menekankan pada pengelolaan informasi secara elektronik/digital. Oleh karena itu data atau informasi yang ada di perpustakaan tidak selalu menunjukkan ada pada satu tempat. Data atau informasi yang dapat diperoleh dari perpustakaan bisa saja berasal dari luar ruang/gedung perpustakaan itu sendiri.
Singkatnya perpustakaan dewasa ini dikelola berdasarkan suatu sistem yang memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi. Penerapan teknologi pada perpustakaan membawa dampak antara lain (Priyanto, 2009) pada gedung, koleksi perpustakaan, dan pustakawan.
Saat ini berkembang pandangan bahwa perpustakaan merupakan intelegent building dalam artian bahwa perpustakaan merupakan bangunan yang efisien dalam penggunaan, maksimal dalam pemanfaatan, dan efektif dalam pelayanan.
Penelusuran informasi sekarang menggunakan mesin pencari (search engine). Pada perpustakaan tertentu, telah digunakan aplikasi (software) khusus, yang dinilai sesuai dengan kebutuhannya.
Perpustakaan dipandang sebagai bidang layanan atau service. Oleh karena itu pelayanan menjadi tolok ukur keberhasilan tugas perpustakaan. Pelayanan yang baik secara teoretik menunjukkan kinerja perpustakaan yang baik pula.
Perpustakaan sekolah atau perpustakaan perguruan tinggi merupakan unsur penting dalam penyelenggaraan proses pembelajaran. Perpustakaan kini dipandang bukan hanya sebagai penunjang, tetapi merupakan faktor utama keberhasilan proses pendidikan. Perpustakaan perguruan tinggi diharapkan mampu menyediakan data atau informasi yang dibutuhkan oleh warga kampusnya, mampu mengakomodasi aspirasi staf, menjadi tempat yang nyaman untuk belajar mandiri, tata ruang, dan sarana fisik yang fleksibel dan kompak.
Oleh karena itu perpustakaan dituntut memberikan pelayanan yang terbaik, yang mencakup pelayanan tepat, cepat, ramah, dan mengikuti perkembangan teknologi informasi.
Perpustakaan pada perguruan tinggi merupakan institusi yang dibangun dalam rangka memenuhi kebutuhan civitas akademika terhadap informasi, data, teori-teori, bahan-bahan pembelajaran, dan hasil-hasil penelitian.
Pada awalnya, perpustakaan di tingkat program studi, dapat saja merupakan ruang baca dengan koleksi yang masih terbatas pada bahan-bahan penunjang perkuliahan dan program studi. Koleksinya pun terbatas dalam jumlah judul buku maupun eksemplarnya. Demikian juga koleksi jurnal, majalah, dan karya ilmiah masih sangat terbatas. Pengelolaannya pun pada awalnya belum menerapkan sistem pengelolaan perpustakaan pada umumnya. Dalam arti bahwa koleksi yang ada tidak dilakukan katalogisasi atau klasifikasi, peminjaman dilakukan dengan pencatatan seadanya, dan penyusunan/peletakan koleksi juga tidak teratur. Sedangkan ruangan yang digunakan sebagai ruang baca juga kurang mendukung untuk kenyamanan belajar, yang digunakan sekaligus sebagai tempat rak buku. Ruang ini dapat dilengkapi dengna kursi baca maupun sofa.
Meskipun demikian, secara bertahap dan berlanjut, koleksi buku baik dalam judul maupun jumlah eksemplar harus ditingkatkan. Jurnal, majalah, dan terbitan berkala pun demikian. Koleksi pustaka dalam bentuk CD Rom juga harus tersedia, seiring dengan berkembangnya media penyimpanan. Bahkan kini fasilitas hotspot untuk mengakses internet dan unit komputer workstation dalam perpustakaan merupakan kebutuhan pengguna sekarang. Sedangkan fasilitas hotspot dapat dimanfaat pada seluruh area kampus.
Laju perkembangan jumlah mahasiswa dan penambahan fasilitas kampus termasuk di dalamnya adalah penyediaan perpustakaan dengan segala sarana dan prasarananya termasuk sumber daya manusia masih belum menunjukkan kondisi yang ideal. Rasio jumlah tenaga staf pendukung dengan jumlah mahasiswa, rasio dosen dengan mahasiswa dan sebagainya masih terjadi kesenjangan.
Sebagai organisasi atau institusi yang berfungsi memberikan fasilitas pembelajaran, maka organisasi itu juga diharapkan menerapkan prinsip belajar dan pembelajaran. Demikian juga penyediaan sarana dan prasarana penting harus selalu diorientasikan kepada kepentingan warga belajar.
Khusus terkait dengan perpustakaan, permasalahan yang dapat diamati terutama terkait dengan sikap dan perilaku manusia, keterbatasan jumlah koleksi, keterbaruan koleksi, fasilitas akses internet yang pada waktu-waktu tertentu dirasakan lambat, kurangnya luasan area baca, dan sebagainya.
Berdasarkan uraian di atas tampak jelas bahwa perpustakaan merupakan bagian penting dalam proses pembelajaran di perguruan tinggi. Penyelenggaraan pelayanan dan sikap pengguna perpustakaan merupakan unsur penting yang perlu dianalisis dan senantiasa ditingkatkan efektivitasnya dalam rangka pelaksanaan peran dan fungsi perpustakaan.
Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik faktor-faktor determinan yang berpengaruh terhadap kepuasan pengguna perpustakaan.

2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan pengamatan sementara dapat diidentifikasi beberapa permasalahan antara lain sebagai berikut:
1. Belum maksimalnya pemanfaatan perpustakaan oleh civitas akademika.
2. Belum semua fungsi-fungsi perpustakaan dilaksanakan.
3. Tidak semua civitas akademika memahami cara menelusuri informasi yang dibutuhkan.
4. Sarana dan prasarana penunjang perpustakaan belum mampu mengikuti perkembangan teknologi informasi.
5. Kurangnya keterampilan petugas perpustakaan dalam memberikan pelayanan.
6. Terbatasnya alokasi anggaran untuk menambah jumlah koleksi.
7. Belum maksimalnyua dukungan/komitmen dari pimpinan.
8. Rendahnya antusiasme/sikap pengguna, yang sebagian besar masih terlalu mengandalkan kepada petugas perpustakaan.

3. Rumusan Masalah
Faktor-faktor determinan apa saja yang mempengaruhi kepuasan pengguna perpustakaan?

4. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui faktor-faktor determinan yang berpengaruh terhadap kepuasan pengguna perpustakaan.

5. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan manfaat sebagai berikut:
1. Sebagai kontribusi terhadap program studi dalam meningkatkan kualitas dan pelayanan perpustakaan.
2. Sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan mengembangkan sumber daya perpustakaan.
3. Sebagai acuan dalam memberikan bimbingan pengguna perpustakaan.
4. Sebagai acuan bagi penelitian-penelitian sejenis di masa datang.
5. Menambah khasanah literatur di bidang sumber daya informasi


BAB II. LANDASAN TEORI

Regulasi tentang perpustakaan di Indonesia, terbaru dengan disahkannya Undang-undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan tanggal 1 Nopember 2007. Dalam UU Nomor 43 Tahun 2007 tersebut dinyatakan bahwa Perpustakaan adalah institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekan secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi para pemustaka.
Selanjutnya ditegaskan yang dimaksud dengan koleksi perpustakaan adalah semua informasi dalam bentuk karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam dalam berbagai media yang mempunyai nilai pendidikan, yang dihimpun, diolah, dan dilayankan.
Perpustakaan perguruan tinggi merupakan unsur yang sangat penting terhadap pencapaian visi dan misi lembaga. Oleh karena itu maka visi perpustakaan disusun berdasarkan visi perguruan tinggi yang bersangkutan.
Manajemen perpustakaan menggunakan teknologi informasi untuk menjamin efektivitas pengelolaan dan efisiensi.
Berbagai penelitian telah dilakukan dalam rangka mencari informasi tentang efektivitas pengelolaan perpustakaan pada lembaga pendidikan. Penelitian terkait perpustakaan itu dilakukan baik oleh pustakawan, kalangan pendidik maupun oleh mahasiswa.
Faktor-faktor dalam pengelolaan perpustakaan di antaranya, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, anggaran, perlengkapan, bahan pustaka, dan teknologi informasi.
Ada berbagai model dalam mengukur kinerja perpustakaan (Arwendria, 2009; Purnomowati, 2003) yang mengacu pada model-model yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga atau asosiasi perpustakaan-perpustakaan di luar negeri. Dalam hal ini dapat diberikan contoh seperti Benchmarking atau pengukuran kinerja perpustakaan berdasarkan ISO 11620: 1998. Pada dasarnya pengukuran kinerja maupun pengkajian tentang perpustakaan diperlukan dalam rangka memberikan umpan balik kepada pengelola perpustakaan itu sendiri untuk dijadikan bahan perbaikan atau peningkatan pelayanan.
Jika perpustakaan dipandang sebagai suatu institusi penyedia jasa layanan, maka penelitian tentang perpustakaan pada dimensi kepuasan pengguna dapat dianggap penting dalam rangka mencari data empirik tentang apa yang telah dilakukan oleh perpustakaan.
Banyak standar ukuran yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja perpustakaan. Beberapa organisasi seperti EAL (1995), CRANFIELD, MIEL2 (1997), Van House (1990), IFLA (1996) dan ISO 11620 (1998) memberikan ukuran-ukuran yang jelas terhadap indikator yang digunakan.
IFLA (1996) dalam panduannya Measuring quality: international guidelines for performance measurement in academic libraries memberikan standar ukuran yang berorientasi pada pemakai dan keefektifan layanan yang diberikan, terutama pada perpustakaan perguruan tinggi. Tedapat 16 indikator yang digunakan untuk mengukur kinerja perpustakaan seperti berikut ini.
• kepuasan pemakai (termasuk jasa yang digunakan secara remote);
• umum (jam buka perpustakaan dibandingkan dengan permintaan);
• penyediaan dan temu kembali dokumen (expert checklists, pemanfaatan koleksi,
• Penggunaan koleksi berdasarkan subjek, dokumen yang tidak digunakan);
• pertanyaan dan layanan referensi (rerata pertanyaan yang terjawab);
• penelusuran informasi (penelusuran bahan pustaka yang diketahui, penelusuran subjek);
• pengadaan dan pengolahan dokumen (pengadaan, pengolahan);
• peminjaman dan pengembalian dokumen (waktu); dan
• ketersediaan (proporsi dokumen yang tersedia segera sesuai dengan permintaan).
International Standards Organisation (1998) menerbitkan ISO/DIS 11620 Information and documentation—Library Performance Indicators yang mendata indikator-indikator yang dapat digunakan oleh berbagai jenis perpustakaan.

BAB III. DESAIN PENELITIAN

Penelitian ini merupakan survey terhadap pengguna perpustakaan dalam rangka mengetahui tingkat kepuasan, dengan tujuan memberikan umpan balik bagi perbaikan dan peningkatan kualitas layanan.
Pengumpulan data menggunakan angket yang dikembangkan dari berbagai sumber dan teori yang ada.
Responden penelitian adalah pengguna perpustakaan yang bersedia mengisi angket, dengan memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
Analisis data dengan pendekatan deskriptif dan kualitatif. Rumus statistika yang akan digunakan untuk menganalisis adalah Regresi Linier Berganda. Hasil analisis disajikan dalam bentuk tabel dan grafik serta deskripsi.


DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku
Abbas, Syahrizal. 2008. Manajemen Perguruan Tinggi: Beberapa Catatan. Jakarta: Prenada Media bekerjasama dengan CIDA dan Departemen Agama RI
Basuki, Sulistyo. 2003. Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Ghozali, Imam. 2009. Aplikasi Analisis Multivariat dengan Program SPSS. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro
Harsono. 2008. Model-model Pengelolaan Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Lasa, Hs., 2009. Manajemen Perpustakaan Sekolah. Yogyakarta: Pinus Book Publisher
Pendit, Putu Laxman, dkk. 2007. Perpustakaan Digital: Perspektif Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia. Seri Perpustakaan dan Informasi 1. Jakarta: Sagung Seto
Priyanto, Ida F. 2009. Perpustakaan, Pustakawan, dan Pengaruh Teknologi Informasi. Materi Pelatihan Teknologi Perpustakaan di UGM, Yogyakarta, 1 September 2009.
Purnomowati, Sri. 2003. Indikator Kinerja Perpustakaan, Majalah Baca No 27 (2) 2003 p 35 - 44, Jakarta: PDII – LIPI
Ratminto dan Atik Septi Winarsih. 2008. Manajemen Pelayanan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Riduwan. 2009. Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Bandung: Alfabeta
Rimbarawa, Kosam., dan Supriyanto. 2006. Aksentuasi Perpustakaan dan Pustakawan. Jakarta: IPI PD-DKI dan Sagung Seto
Surtiawan, Dwi. 2006. Kepuasan Pemakai dan Peningkatan Kualitas Berbasis Pemakai: Pendekatan Manajemen Pemasaran sebagai Paradigma Baru Perpustakaan. Makalah tidak diterbitkan. Lomba Penulisan Karya Tulis Ilmiah bagi Pustakawan, Yogyakarta
Sutarno, NS. 2003. Perpustakaan dan Masyarakat. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
________. 2004. Manajemen Perpustakaan: Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta: Samita Media Utama
Suwarno, Wiji. 2007. Dasar-dasar Ilmu Perpustakaan: Sebuah Pendekatan Praktis. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Tjiptono, Fandy. 2005. Prinsip-prinsip Total Quality Service. Edisi Kelima. Yogyakarta: Penerbit ANDI
________. 2004. Manajemen Pemasaran Jasa. Yogyakarta: Penerbit ANDI
Zethaml, Valarie A. dan Mary Jo Bitner. 1996. Service Marketing. New York: McGraw Hill.
- Sumber Lain
http//:www.ipiperin.wordpress.com diakses Selasa, 29 September 2009 pukul 11.00
http://arwendria.wordpress.com/2009/07/03/evaluasi-kinerja-perpustakaan/ diakses Selasa, 29 September 2009
http://ibweb.anglica.ac.uk/about/files/LibQUAL.pdf., diakses Rabu, 30 September 2009
Undang-undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan

Senin, 19 Oktober 2009

DISIPLIN DAN KREATIVITAS

ADAKAH hubungan timbal balik antara disiplin dengan kreativitas individu? Pertanyaan ini selalu menggelitik benak dan pikiran saya. Adakah penelitian mendalam tentang hal ini. Apakah seseorang yang dididik dengan cara-cara yang menerapkan disiplin tinggi, menghasilkan manusia yang tumpul kreativitasnya? Atau jika dibalik, bila seseorang dididik dengan cara-cara yang kurang disiplin, melahirkan sosok pribadi yang memiliki daya kreativitas dan imajinasi tinggi. Lalu, apa gunanya pendidikan yang menerapkan pendisiplinan dengan cara-cara yang sangat ketat?
Saya menduga banyak orang tua salah mengaplikasikan rasa kasih sayang dan cintanya kepada anak, melalui penerapan pendisiplinan yang berlebihan. Banyak orang tua yang sangat-sangat kuatir dengan anaknya, padahal si anak mampu mandiri dengan segala kebutuhannya (kebutuhan dasarnya).
Ketika masih menjumpai bayinya menangis, (bukan karena lapar), dijejali saja makanan, karena orang tua menduga anaknya itu lapar. Atau diberinya susu. Padahal si bayi mengangis karena udara panas atau karena faktor lain.
Praktek-praktek mewujudkan kasih sayang kepada anak dengan cara-cara yang ternyata tidak dibutuhkan oleh anak inilah yang patut dicurigai nantinya akan melahirkan generasi muda penerus bangsa yang cengeng, tidak mandiri, tidak memiliki rasa percaya diri, matinya kreativitas, takut terhadap kompetisi, mandulnya gairah belajar, dan sebagainya.
***
Saya kira kita semua pantas senantiasa melakukan review total dan terus-menerus atas pola pengasuhan, pendampingan, pembimbingan, dan pembelajaran kepada anak-anak kita, kepada orang-orang terdekat kita, atau kepada siswa.
Model, pendekatan, dan teknik dalam pembelajaran senantiasa berkembang seiring dan sejalan dengan dinamika masyarakat serta kemajuan di bidang teknologi komunikasi dan informasi. Teknologi pendidikan adalah bagian dari rekayasa dalam rangka memberikan kemudahan proses pembelajaran, efektivitas pembelajaran, dan tentu saja efisiensi dan kebermaknaan belajar.
***
Melalui web blog ini saya mengundang diskusi pembaca semuanya. Saran, masukan, pendapat, informasi, koreksi, maupun sekadar komentar, sangat saya nantikan. Terima kasih telah mengunjungi blog saya ini. Dan semoga interaksi kita ini bermanfaat bagi orang banyak.

MENGENAL LEBIH DEKAT, LEBIH BAIK




Senin, 12 Oktober 2009

CPNS DAN MIMPI-MIMPI GENERASI MUDA

Rekrutmen CPNS 2008 & Mimpi Generasi Muda Dwi Rohmadi Mustofa Pengamat pendidikan tinggal di Bandar Lampung (Artikel ini ditulis Februari 2008) Rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) telah menjadi “ritual” tahunan. Ternyata, sampai hari ini, menjadi PNS merupakan impian banyak generasi muda. Di awal tahun 2008 pemerintah daerah di Lampung melakukan rekrutmen CPNS. Ribuan peserta seleksi CPNS di Lampung memadati berbagai lokasi tempat tes. Rupanya memang momen ini selalu ditunggu banyak orang. Informasi tentang formasi apa yang lowong dan berapa banyak yang dibutuhkan, selalu dinantikan para pencari kerja. Ringkasnya, “mimpi” menjadi PNS itu telah menghiasi benak ribuan bahkan jutaan pencari kerja. Hampir setiap hari, di setiap sudut ruang tema “ikut tes PNS” menjadi topik pembicaraan. Yang selalu menarik direkam dari setiap pembicaraan itu adalah soal “harga”. Maksudnya, dalam seleksi CPNS selalu ada pihak-pihak yang menyebar jaring yang katanya “bisa memasukkan” ke dinas a atau kantor b. Konon biaya untuk menempuh jalan mulus itu “cukup” Rp.100 juta saja. Rahasia umum ini memang selalu mencuat, dan seperti tidak ada bosan-bosannya dibicarakan. Padahal, semua orang juga tahu, bahkan sangat tahu, kalau yang namanya “suap” alias sogok itu seperti aroma. Karena dikonotasikan busuk, maka sogok atau suap itu diistilahkan dengan “kentut”. Namanya juga bau, sebentar saja hilang. Apalagi kalau memang ada usaha menghilangkan bau busuk itu. Jadi pastilah bau itu cepat hilang, bahkan berubah aroma harum semerbak mewangi. Pemantauan Mencermati prosesi rekrutmen CPNS dalam beberapa tahun terakhir, terlihat bahwa partisipasi masyarakat dalam mengawasi pelaksanaan rekrutmen CPNS meningkat. DPRD juga melakukan pemantauan proses rekrutmen CPNS. Sesaat segera setelah panitia mengumumkan adanya formasi dan akan melakukan rekrutmen, maka beberapa aktivis pun juga ancang-ancang memantau. Kemudian, antar lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan gabungan pemerhati sosial merapatkan barisan membangun koalisi. Media massa pun menyambut dengan ”gegap gempita”. Judul besar ditulis, misalnya, ”Baca Besok Penerimaan PNS”. Media pun menjadi corong bagi berbagai pihak yang kurang puas dengan pelaksanaan rekrutmen CPNS. Semua pihak tersebut, tujuannya satu, mengawasi pelaksanaan rekrutmen CPNS, agar berlangsung jujur, adil, dan akuntabel. Tapi muluskah jalan pemantauan atau pengawasan itu? Dalam kenyataannya, seusai proses rekrutmen, meskipun muncul berbagai pertanyaan, kritikkan, gugatan, dan bahkan hujatan, tak ada yang dapat membuktikan adanya suap. Protes yang dengan gamblang menunjukkan indikasi sangat substansial atas indikasi kecurangan pun kemudian dijawab dengan ”salah ketik” atau misskomunikasi. Pemrotes pun kadang dibuat bingung, dengan saling lempar tanggung jawab dari meja panitia yang satu ke meja panitia yang lain. Mau gugat ke pengadilan? Rasanya belum ada yang rela memberikan energinya untuk berurusan atau mengurusi dugaan kecurangan dalam rekrutmen CPNS. ”Rame-rame” di surat pembaca dan pemberitaan media pun tak ada yang dapat membuktikan ”aroma busuk” dalam setiap kali rekrutmen CPNS. Selanjutnya, koalisi LSM yang mengawasi proses seleksi CPNS itu juga kian tak terdengar, atau mungkin sudah berganti isu. ”Aroma busuk” rekrutmen CPNS sebenarnya tercium sejak lama. Tapi lagi-lagi, siapa yang dapat membuktikan. Faktor Penarik dan Pendorong Rekrutmen CPNS secara teori ekonomi rupanya mengikuti mekanisme pasar. Ada permintaan, ada penawaran. Ketika peminat atau permintaan membludak, maka penawaran juga naik. So, ini berarti bisa jual mahal gitu lho. Dengan demikian berarti bahwa sampai kapan pun, bila permintaan tinggi, maka penawaran juga akan naik. Dalam konsepsi yang lain juga mengajarkan bahwa, dalam setiap momentum yang terjadi di masyarakat selalu saja ada peluang untuk meraih keuntungan. Pemburu rente pun berkeliaran. Cerita lain lagi berkembang di kalangan pegawai negeri. Artinya, termasuk mereka yang sudah lolos rekrutmen CPNS. Dari hari ke hari, yang dihitung kemudian adalah kum atau angka kredit dan pangkat/golongan. Rekan penulis, sebagian besar teman, mau mengikuti pendidikan yang lebih tinggi baik S1 maupun S2 demi mudahnya meraih pangkat dan jabatan yang lebih tinggi. Padahal, untuk dapat mengikuti pendidikan S1 atau S2 yang biayanya cukup besar tersebut, dia mesti mengutang ke bank alias menggadaikan SK-nya sebagai PNS. Ujungnya, mengikuti pendidikan S1 atau S2 tersebut bukan untuk belajar mengasah kecerdasan, membangun sikap positif dan meningkatkan profesionalisme. Ini karena motivasi utamanya adalah ”mengejar pangkat dan atau jabatan”. Tak peduli kuliah di mana yang penting S2 diraih dan kemudian menggunakannya untuk memenuhi salah satu persyaratan ”menjemput” pangkat dan atau jabatan yang lebih tinggi. Maka jadilah lingkaran yang tak berujung dan tak berpangkal: Pangkat, jabatan, gaji, gengsi, fasilitas, pangkat, jabatan, gaji, gengsi, fasilitas, dst. Kalau demikian halnya, mengapa sampai kini orang masih mendambakan menjadi PNS? Bagaimana menyikapi kondisi seperti ini? Kalau mau jujur, melihat tugas dan pekerjaan orang lain lebih enak dari tugas dan pekerjaan kita sendiri. Tapi manakala kita masuki atau memerankan tugas dan pekerjaan orang lain yang kita ”iri” itu, maka kita akan merasa tidak enak juga. Benar kata pepatah, ”rumput tetangga terlihat lebih hijau dari rumput di rumah kita.” Secara subyektif, menjadi pegawai negeri terkesan enak. Ini dapat dideskripsikan dari beberapa kondisi berikut: Pertama, adanya anggapan dalam masyarakat yang memandang menjadi pegawai negeri ”lebih terhormat” daripada jenis pekerjaan lain. Maka tak heran jika kemudian ada CPNS yang baru saja lulus, kemudian membuat seragamnya dengan warna yang sedikit berbeda dan bahan dasar yang lebih mahal serta tekstur yang mewah, untuk menunjukkan bahwa dirinya adalah ”lebih terhormat” dari yang lain. Padahal sejatinya menjadi pegawai negeri adalah aparatur pemerintah yang bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat, sesuai dengan bidangnya masing-masing. Kedua, adanya jaminan pendapatan tetap tiap bulan baik berupa gaji maupun tunjangan. Bahkan jaminan pendapatan itu berlanjut sampai pensiun. Pendapatan tetap atau gaji itu juga bisa ”digadaikan” di bank. Ketiga, pekerjaannya terlihat enak, umumnya dalam ruangan, dan dalam satu ruangan itu banyak pegawainya. Masing-masing pegawai punya meja dan kursi. Karena dalam ruangan, kalau sedang tidak ada pekerjaan, bisa ngobrol. Apalagi kalau atasannya tidak ada atau juga hobi ngobrol. Selanjutnya, pembaca dapat menuliskan sederet indikator lain enaknya jadi PNS sesuai dengan ”mimpi”nya masing-masing yang berjudul, ”Bila saya PNS”. Kalau diajukan pertanyaan mengapa orang mau menjadi PNS, salah satu jawaban yang mengemuka pastilah karena sekarang susah mencari kerja. Selanjutnya, dengan menjadi PNS akan banyak keenakan yang bakal dinikmati. Maka menjadi PNS merupakan dambaan banyak generasi muda mengalahkan profesi lain yang sama-sama mulia kalau dijalankan dengan sebaik-baiknya. Politik Anggaran Sebenarnya pengadaan pegawai di lingkungan pemerintahan tak lepas dari masalah ketenagakerjaan dan politik anggaran. Dalam masalah ketenagakerjaan, pemerintah dihadapkan pada problem penyediaan lapangan kerja dan kebutuhan akan sumber daya manusia yang berkualitas. Menyediakan lapangan kerja melalui sektor industri ada batasnya. Mengundang investor juga memerlukan berbagai insentif. Di sisi lain para pemilik modal akan sangat berhati-hati dalam memulai atau mengembangkan usahanya. Sektor pertanian dan perkebunan yang menyerap banyak tenaga kerja dianggap oleh banyak orang kurang menarik. Ini karena menurut sebagian orang termasuk ”pekerjaan kasar”. Berbeda dengan pegawai, yang secara umum dianggap sebagai ”pekerjaan halus”. Konsekuensi dari merekrut pegawai bagi pemerintah adalah penambahan anggaran untuk gaji dan pendapatan bagi pegawai. Ini harus dihitung sampai pada soal berapa banyak pegawai yang pensiun, dan pegawai yang direkrut itu juga selesai masa kerjanya dan pensiun kelak. Namun demikian, di sisi lain dengan gaji pegawai negeri juga dianggap sebagai salah satu lokomotif ekonomi yang menggerakkan berbagai sektor produksi di masyarakat. Lihatlah betapa banyak SK PNS yang dijadikan jaminan di bank. Uang yang dipinjam dari bank itu kemudian dijadikan modal untuk membuka usaha ataupun investasi. Kalaupun toh uang pinjaman itu digunakan untuk keperluan konsumtif, ini dapat diartikan bahwa dengan membeli barang atau jasa juga dapat diasumsikan berkontribusi dalam menggerakkan roda perekonomian. Semoga sumbang saran ini memberikan sedikit pencerahan. (*)

GURU JUGA MANUSIA

Guru Juga Manusia (Kado untuk Hari Guru 25 November 2007) Oleh Dwi Rohmadi Mustofa, S.Pd. Pemerhati pendidikan, tinggal di Bandarlampung (Artikel ini dimuat RADAR LAMPUNG, 28 November 2007) Ketika membicarakan pendidikan, tak dapat dilepaskan dari menyoroti tentang guru. Dalam pendidikan, guru memiliki peran strategis, yang tidak dapat tergantikan oleh media pendidikan yang lain. Guru adalah bagian integral dari pendidikan. Pada bagian lain, pendidikan adalah cita-cita bangsa. Penyelenggaraan pendidikan adalah kewajiban negara dan hak setiap warga negara. Karena warga negara memiliki hak, maka warga negara juga memiliki kewajiban. Salah satu contoh yang nyata adalah bahwa setiap warga negara yang berusia 7 – 15 tahun wajib mengikuti pendidikan dan setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan pendidikan. Bila kita menghendaki pendidikan yang berkualitas, maka mau tidak mau juga harus disediakan guru yang berkualitas pula. Perhatian pemerintah terhadap guru sesungguhnya cukup baik. Tetapi dalam sistem kenegaraan kita, nuansa politik selalu saja melekat dalam setiap bentuk usaha pemerintah. Dikeluarkannya UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pada waktu itu, menjadi “kado” manis bagi guru dan dosen. Di dalamnya diamanahkan berbagai perbaikan terhadap profesi guru. Yang paling menonjol adalah sertifikasi bagi guru, dibarengi dengan tunjangan profesional sebesar gaji pokok (bagi guru yang lulus sertifikasi). Isu sentral lain adalah tunjangan bagi guru di daerah terpencil dan lain sebagainya. Pelaksanaan sertifikasi guru ini pun, tampak tersendat-sendat. Hambatannya macam-macam, mulai dari persyaratan yang harus dipenuhi oleh guru, penyelenggaraan sertifikasi, hingga beban anggaran yang harus dialokasikan bagi guru yang sudah lulus serifikasi. Ketika berbicara anggaran, lagi-lagi, banyak faktor turut bermain. (Ingat, amanah agar pemerintah mengganggarkan minimal 20 % untuk pendidikan!) Profesi guru mengandung makna pengabdian, penghayatan terhadap kemanusiaan. Menjadi guru di era sekarang tampaknya belum banyak berubah dibanding dengan dekade silam. Kalaupun ada perubahan, itu terjadi pada sebagian guru. Sebagian kecil guru sudah memanfaatkan teknologi informasi untuk saling mengirim email. Tapi sebagian besar masih berkutat dengan tugas-tugas yang dilaksanakan dengan monoton dan miskin dinamika. Menurut penulis, menjadi guru rentan terhadap upaya marjinalisasi perkembangan potensi individu dan bahkan karier. Ini terutama menimpa para guru yang bertugas di perdesaan. Hal ini disebabkan mereka harus berkutat dengan tugas yang lebih banyak di tengah minimnya sarana dan prasarana pendidikan. Apalagi kalau ditambah dengan sikap pribadi yang mempercayai bahwa ”guru tidak pantas kaya” atau sikap semacam itu. Pendek kata proses adaptasi terhadap perubahan berlangsung lambat. Bagi guru yang ada di perkotaan, ”sikap kritis” terkadang diberangus oleh berbagai kepentingan lain. Kegiatan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) di daerah-daerah yang mestinya menjadi sarana bagi guru untuk berdiskusi, bertukar informasi, dan pengalaman serta memacu prestasi, sulit direalisasikan sebagaimana mestinya, mengingat keterbatasan jarak atau jangkauan wilayah. Pada akhirnya, forum itu tidak berjalan dengan baik. Contoh mengenai MGMP itu dapat diparalelkan dengan Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS), pendingkatan jenjang pendidikan guru; dari yang berpendidikan SPG ke Diploma II atau Diploma III dan sampai Strata I. Mirisnya lagi, jumlah guru di daerah-daerah di perdesaan jumlahnya lebih banyak. Dari segi kesejahteraan, perbaikan gaji guru, selalu saja dikejar dengan kenaikan berbagai kebutuhan pokok. Pada akhir tahun pemerintah mengumumkan akan menaikkan gaji guru (atau gaji PNS), yang akan mulai berlaku tahun depan, pada saat diumumkan itulah harga-harga berbagai kebutuhan pokok meningkat. Yang paling baru adalah pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di hadapan sekitar 25 ribu guru di Pekanbaru (Minggu, 25/11). Kata Presiden: ”Saya akan meningkatkan pendidikan dan kesejahteraan guru. Ini adalah komitmen dan tanggung jawab negara menaikkan kesejahteraan. Jumlahnya tentu signifikan, tapi tidak meninggalkan tugas peningkatan kesejahteraan profesi lain.” Semoga itu semua dapat terwujud. Dan memang profesi guru juga layaknya profesi yang lain, yang membutuhkan pendidikan, pengetahuan, keterampilan, dan kompetensi. Rasanya tidak ada guru yang mengharapkan digelari sebagai pahlawan. Penyebutan guru laksana pahlawan tanpa tanda jasa penulis yakin bukan digembor-gemborkan oleh guru, tapi oleh orang lain. Nah berbicara pendidikan, maka perbaikan pendidikan akan berlangsung selamanya. Kalau sekarang dunia pendidikan masih centang perenang, maka dengan peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru, tampaknya dapat membuka jalan bagi perbaikan dunia pendidikan yang signifikan. Sebab guru adalah simpul ujung praktek pendidikan. Wajah ’bopeng” pendidikan memang tak bisa ditutupi. Kalau wajah bopeng pendidikan merupakan aib, maka itulah aib kita semua, warga bangsa. Praktek pendidikan tidak cuma dilaksanakan oleh guru. Dalam persekolahan, ada kepala sekolah, ada kepala Cabang Dinas Pendidikan, ada Dinas Pendidikan dan seterusnya ada Departemen Pendidikan Nasional. Kemudian, yang menjadi atasan Kepala Dinas Pendidikan toh ada Bupati/Walikota/Gubernur. Ketika praktek pendidikan belum sesuai dengan yang diinginkan, semunya memiliki kewajiban untuk memperbaiki. Jadi bukan cuma guru. Guru adalah manusia biasa yang memiliki keterpanggilan untuk mendidik anak bangsa. Guru memiliki keluarga yang juga mempunyai berbagai kebutuhan yang harus dipenuhi. (*)

BUKU DAN MINAT BACA

Buku dan Minat Baca Oleh Dwi Rohmadi Mustofa, S.Pd. (Artikel ini ditulis tahun 2007) Buku adalah jendela dunia. Melalui buku, diwariskan nilai-nilai kebudayaan dan peradaban. Buku adalah sumber informasi, pengetahuan, ilmu, dan teknologi. Disadari bahwa buku merupakan sumber utama dalam proses pembelajaran. Namun, dunia perbukuan menghadapi permasalahannya sendiri. Persoalan yang melilit dunia perbukuan, sampai saat ini masih seputar minat baca masyarakat dan harga buku yang relatif mahal. Dua pokok persoalan ini saling berkait. Bila harga buku murah atau terjangkau, maka dapat dipastikan mendorong minat baca. Sebaliknya, jika minat baca masyarakat meningkat, maka kebutuhan akan buku juga meningkat. Pada persoalan harga buku, terkait mahalnya harga kertas, mata rantai distribusi, kelangkaan penulis dan penerbit. Bahkan, pada menjelang tahun ajaran baru, selalu saja terjadi kelangkaan kertas untuk mencetak buku. Masalah-masalah seperti ini karena juga merupakan dampak dari kurang atau tidak adanya insentif bagi penulis buku kalau bukunya tidak terjual, misalnya, dan juga jarang ada penerbit yang mau ‘gambling’ dengan mencetak buku yang belum tentu laku terjual. Masalah-masalah ini kemudian berakibat pada ketidaksesuaian dengan daya beli masyarakat, yang selanjutnya berujung pada kasus pembajakan buku. Pembajakan Bagi masyarakat yang membutuhkan buku, mungkin dengan terpaksa membeli produk buku bajakan, yang harganya bisa seperempatnya dibanding buku ‘original’. Persoalan lainnya, anggaran bagi pengadaan buku untuk perpustakaan-perpustakaan terkadang juga tidak merata untuk kebanyakan penerbit serta jenis atau kelompok buku yang dibeli. Selain itu, dari segi besaran anggaran juga tidak sebanding dengan kebutuhan akan jumlah koleksi bahan pustaka. Di sisi lain, penegakan aturan mengenai pembajakan buku juga mengalami dilema. Di satu sisi buku adalah sarana pendidikan, di sisi lain, ada pelanggaran hak cipta. Masyarakat pengguna buku hasil bajakan, malah ada yang merasa tidak sengaja, karena kualitas cetakan dan kerta buku bajakan dengan yang asli nyaris sama. Perkembangan teknologi cetak, membuat kualitas cetakan buku bajakan semakin lebih baik. Aparat kepolisian pun, diakui oleh penerbit, ada yang kesulitan membedakan mana buku asli dan mana buku bajakan. Penegakan aturan dalam rangka memerangi pembajakan buku juga jelas tidak efektif, kalau tidak simultan dengan langkah-langkah lain. Apa mungkin dilakukan razia di pasar, di sekolah, atau di kampus-kampus? Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) memperkirakan, 80 persen buku yang diterbitkan di Indonesia dibajak. Perkiraan itu masuk akal, dengan melihat perbandingan buku yang beredar di pasaran dengan jumlah yang dicetak dan diedarkan oleh penerbit. Hitungan Sederhana Buku Secara sederhana perhitungan untuk buku-buku yang umum, dapat digambarkan dengan persentase sebagai berikut: ongkos cetak (10 - 20 %), royalti penulis (10 – 15 %), marjin keuntungan penerbit (10 - 20 %), distributor atau agen (20 – 40 %), dan pengecer (20 – 30 %). Menyimak gambaran tersebut, maka terlihat minimnya royalty bagi penulis. Artinya, penulis atau pengarang juga dituntut untuk menyadari betapa kompleks masalah dalam penerbitan buku. Belum lagi kalau buku yang sudah dicetak kurang laku di pasaran. Siapa yang mau menanggung kerugian? Penuliskah? Penerbitkah? Atau distributor, agen atau pengecer? Tentu saja tidak ada yang mau menanggung risiko kerugian. Maka wajar jika kemudian penerbit sangat selektif terhadap buku yang akan diterbitkan. Dampak dari kondisi demikian, adalah kurangnya rangsangan bagi penulis. Memang dalam kenyataannya ada beberapa buku yang menjadi best seller dan kemudian mengalami cetak ulang beberapa kali. Tapi jumlahnya tidak seberapa. Insentif Salah satu solusi untuk masalah buku adalah adanya insentif dari pemerintah, baik dalam bentuk pengurangan atau penghapusan pajak atas kertas dan bahan cetak, subsidi buku-buku tertentu, pembelian hak cipta kepada penulis (sebagaimana diwacanakan Departemen Pendidikan Nasional untuk buku-buku pelajaran), anggaran untuk pengadaan buku-buku bagi perpustakaan-perpustakaan, menggelar event-event yang mendorong tumbuhnya minat baca masyarakat, memfasilitasi promosi buku, dan sebagainya. Insentif dari pemerintah akan membuat keseimbangan harga buku, yang pada gilirannya mengurangi terjadinya buku bajakan. Keseimbangan harga buku akan dapat mendorong sosialisasi perang terhadap pembajakan, menumbuhkan kesadaran untuk menggunakan produk asli dan menghargai hak cipta. Buku sebagai salah satu media pembelajaran yang penting, dapat diperoleh oleh semua kalangan masyarakat. Pendidikan untuk semua, bukan hanya slogan kosong. Pemerataan kesempatan pendidikan (di antaranya melalui buku) dapat terwujud. Dengan demikian, kita juga membiasakan kepada anak-anak untuk mencintai buku sejak usia dini. Artinya, kita juga sudah berperan untuk menumbuhkan budaya membaca. Akhirnya, toko buku menjadi tempat tujuan yang nyaman, menyenangkan, dibutuhkan, buku-buku dijual dengan harga terjangkau. Sementara perpustakaan-perpustakaan akan ’lebih hidup’, menjadi tempat mencari informasi, belajar, dan mendukung penciptaan iklim akademik di kampus-kampus. Perpustakaan akan benar-benar menjelma sebagai jantung dan nafas kehidupan sekolah, kampus, atau lingkungan masyarakat. Buku akan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan setiap orang. Penulis akan terdorong untuk menghasilkan karya-karya buku yang lebih beragam dan bermutu. Kita mewariskan kebudayaan dan peradaban dengan cara yang berbudaya dan beradab. Kita memerangi pembajakan buku sebagai tindakan melanggar hukum, dengan cara tidak melanggar hukum. (*)

ARTI PENTING PROSES PEMBELAJARAN, BUKAN HASIL SEMATA-MATA

Arti Penting Proses Pembelajaran, Bukan Hasil Semata-mata Oleh Dwi Rohmadi Mustofa, S.Pd. (Artikel ini ditulis tahun 2007) Kritik keras yang dilontarkan berbagai kalangan terhadap sistem pembelajaran di sekolah adalah kecenderungan guru pada summative assessment (hasil proses). Kondisi demikian berdampak pada siswa yang kemudian juga berorientasi hasil semata-mata, dan berkecenderungan mengabaikan proses. Akibatnya adalah siswa dan bahkan semua elemen yang terkait dengan persekolahan, berburu dengan waktu, untuk mencapai “nilai” yang terbaik. Lihatlah “kepanikan massa” pada saat menjelang pelaksanaan Ujian Nasional. Siswa ramai-ramai ”ngebut” belajar. Guru-guru dan pendidik di sekolah-sekolah juga merasakan adanya tekanan untuk mencapai tingkat kelulusan yang maksimal para siswanya. Para orang tua sibuk mencari biaya untuk memasukkan anak-anaknya pada lembaga bimbingan belajar (Bimbel). Lembaga bimbel pun menyambut dengan gempita. Berbagai tawaran diberikan. Dengan demikian, kelulusan yang dikejar. Pendidikan dan pembelajaran kehilangan makna hakikinya sebagai proses perubahan wawasan, sikap, dan perilaku. Prasarat bagi kondisi pembelajaran yang berhasil adalah adanya proses yang bermakna, bertahap, berkelanjutan. Pembelajaran memerlukan internalisasi. Proses internalisasi ini memerlukan waktu. Jadi tidak instan. Dalam kasus mikro, seorang siswa akan benar dan cepat menjawab pertanyaan lima dikalikan sembilan, yaitu empat puluh lima. Tetapi, apakah siswa mengetahui, memahami, dan mencermati bahwa empat puluh lima merupakan hasil dari lima ditambah lima dan seterusnya sampai sembilan kali? Atau sebaliknya, angka empat puluh lima dapat diperoleh dari sembilan ditambah sembilan; dan seterusnya sampai lima kali. Berdasarkan pengamatan, pada tingkat sekolah dasar, di mana guru bertindak sebagai guru kelas, kompetensi guru masih perlu peningkatan secara terus menerus. Dalam memberikan materi geometri, misalnya, bagaimana penguasaan guru terhadap konsep lingkaran, segi tiga, segi empat, dan bagaimana pula komunikasi dalam menjelaskan kepada siswa. Contoh klasik; seorang bayi yang sedang belajar mengenal benda, diberikan pengertian bahwa benda yang digunakan untuk duduk disebut ”kursi”. Tanpa kita beri tahu bermacam-macam kursi, ia mengenal sofa sebagai kursi. Tempat duduk untuk makan disebutnya sebagai ”kursi makan”. Tempat duduk tamu ditunjuknya sebagai ”kursi tamu”. Hal ini dimungkinkan karena ada proses internalisasi dalam diri anak. Internalisasi itu berlangsung terus menerus, tanpa orang tua sadari bahwa anaknya belajar mengenal berbagai macam benda yang saling berhubungan. Demikian yang berlaku dalam proses pembelajaran. Proses yang baik akan mengeluarkan hasil yang baik. Hasil yang baik belum tentu diperoleh melalui proses yang baik. Kembali kepada contoh perhitungan yang menghasilkan angka empat puluh lima di atas, bila kepada anak ditanyakan bagaimana menghitungnya, dan anak tersebut tidak dapat menjelaskan, maka patut ditinjau ulang proses belajar perkalian yang sudah dipelajari. Dalam beberapa kali perubahan kurikulum di Indonesia, sesungguhnya dapat ditarik benang merah adanya semangat untuk menciptakan proses pembelajaran di sekolah yang berpusat pada siswa dan lingkungan. Perubahan mendasar dalam kurikulum berbasis kompetensi, yang kemudian dikenal kurikulum tingkat satuan pendidikan, semuanya diarahkan pada otonomi siswa dan sekolah. Sayangnya, implementasi dari semuanya membutuhkan sarana dan prasarana yang banyak, yang dalam penyediaannya mengalami banyak hambatan. Hebatnya lagi, Ujian Nasional atau UN yang dalam beberapa tahun terakhir mendapat hujan kritikan, tetap saja berlangsung. Salah satu kunci keberhasilan proses belajar di sekolah adalah ”tindakan guru bersama siswa” dan bukan ”tindakan guru untuk siswa”. Guru hendaknya tidak lagi terpusat pada sumative assessment, tetapi pada bagaimana proses pembelajaran berlangsung. Memang diakui bahwa evaluasi hasil belajar adalah penting, tetapi yang tak kalah pentingnya adalah bahwa hasil dari evaluasi itu bukan untuk ”menghukum”. Guru sebagai pelaksana dalam evaluasi hasil belajar bukanlah hakim. Tulisan ini adalah sebagai bentuk empati penulis kepada profesi guru, dan harapan agar semua pihak yang terkait dengan dunia pendidikan dapat merenungkan kembali kebijakan yang diambil sekaligus melakukan perbaikan terus-menerus. (*)

PELUANG MEMAJUKAN PROFESI GURU

Peluang Memajukan Profesi Guru Dwi Rohmadi Mustofa, S.Pd. Pemerhati pendidikan, tinggal di Bandarlampung (Artikel ini ditulis tahun 2007) Pendidikan yang direpresentasikan sebagai suatu kegiatan dalam kelas, mengandung makna yang amat dalam. Interaksi guru dengan siswa dalam suatu kelas mengandung muatan universal sebagai proses pembelajaran, pendidikan, saling pengaruh, dan mendewasakan kedua belah pihak. Dalam hal ini diasumsikan siswa sebagai pihak yang belum dewasa dan guru sebagai pihak yang dewasa. Proses dalam kelas tersebut dimaksudkan membuat siswa menjadi manusia seutuhnya. Proses dalam kelas bukan dimaksudkan hanya membuat siswa agar “pintar” tetapi mendidik agar mereka menjadi dewasa secara keseluruhan, baik kepribadian, keterampilan, maupun pengetahuan. Problem yang kemudian menjadi masalah klasik adalah bagaimana guru dapat mengikuti perkembangan “dunia luar”? Bagaimana guru mampu menyerap perkembangan dan kemajuan bidang studi yang diajarkannya? Bagaimana pula guru bisa lebih menambah dan menerapkan perkembangan konsep-konsep pendidikan yang berkembang? Potret Guru Kita ketahui bahwa guru kita umumnya guru mata pelajaran, kecuali guru sekolah dasar sebagai guru kelas. Dengan demikian, “mengajar” menjadi terminologi yang digunakan sehari-hari untuk menunjuk kerja-kerja guru. Padahal, tugas dan tanggung jawab seorang guru bukan hanya mengajar. Seorang guru, dari tahun ke tahun, tetap menjadi guru pada suatu jenjang pendidikan tertentu dan mata pelajaran tertentu. Potret keseharian seorang guru adalah, pergi pagi, masuk kelas, mengajar (mendikte, menulis di papan tulis, menunggu siswa menyalin, menjelaskan secukupnya [ceramah], tanya jawab, mengakhiri pelajaran), pulang. Di mana “pendidikannya”? Ya, pendidikan berada di dalam proses mengajar guru tersebut. Gambaran guru yang dirangkum dalam sepenggal lagu yang dipopulerkan Iwan Fals, sampai kini masih dapat dirasakan. Melalui tesis ini saya justru ingin memberikan apresiasi dan empati terhadap pekerjaan guru. Harus diakui, tidak semua guru seperti yang digambarkan tersebut. Ada beberapa guru yang proaktif dalam berbagai kegiatan di luar kelas, apakah menjadi pamong di lingkungan tempat tinggalnya, maupun aktif dalam organisasi kemasyarakatan. Di sisi lain, guru di sekolah, ketika berada di lingkungan masyarakat, tetap menyandang predikat sebagai guru dan kerap dipanggil dengan sebutan “Pak Guru” atau Bu Guru”. Implikasi dari predikat tersebut adalah guru dianggap sebagai master, atau orang yang mengetahui segala sesuatu. Seorang calon mahasiswa pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, atau STKIP biasanya sudah memiliki cara pandang (mindset) tersendiri terhadap apa yang akan dikerjakannya kelak. Dari sini, sesungguhnya bekal yang penting dalam menciptakan guru yang profesional. Guru yang baik, yang memahami psikologi pendidikan, memiliki kompetensi profesional dan sosial, dan mampu melaksanakan tugas-tugasnya disertai dengan mengikuti perkembangan lingkungannya. Persoalan mendasar sekarang adalah, guru dihasilkan oleh suatu lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) “masa lalu” yang mendidik calon guru sesuai dengan jamannya ketika itu. Ringkasnya adalah, guru yang memiliki pengalaman sebagai guru, misalnya 20 tahun, tentu ia merupakan produk lembaga pendidikan tenaga kependidikan tahun 1980-an. Dalam masa kerjanya, ia terjebak dalam rutinitas “mengajar” sehingga selalu ketinggalan pengetahuannya tentang perkembangan konsep pendidikan dan pembelajaran. Hampir dapat dipastikan, praktikal kelas yang diajar oleh guru dengan pengalaman 20 tahun, tidak berbeda jauh dengan apa yang dipraktekkannya pada awal ia menjadi guru. Kontras yang mencolok adalah pengenalan komputer, di mana siswa di luar sekolah mengenal dan mempelajari penggunaan komputer, sedangkan di sekolah pengenalan baru pada tahap mengenalkan fungsi-fungsi komputer atau bahkan tidak ada sama sekali. Apa yang bisa diharapkan dari produk kelas semacam ini? Sekali lagi, kondisi demikian tidak terjadi pada semua guru. Ada saja guru yang mengajar dengan dinamis, menyenangkan, mudah dipahami, berperilaku baik dan menjadi teladan serta diidolakan oleh siswanya. Ada juga guru yang mengikuti perkembangan bidang ilmu yang diajarkannya, mencari sumber-sumber informasi tentang pendidikan, memahami peraturan-peraturan baru, serta terlibat dalam aktivitas forum guru itu sendiri (Musyawarah Guru Mata Pelajaran/MGMP) atau wadah berhimpun bagi guru. Sertifikasi Guru Sertifikasi bagi guru kini menjadi polemik. Untuk tahun 2006, dari 20 ribu guru, belum dapat dilaksanakan seluruhnya karena terbentu berbagai kendala. Sertifikasi dikaitkan dengan pemberian tunjangan profesi, dengan harapan dapat meningkatkan kesejahteraan guru yang pada akhirnya meningkatkan kinerja guru. Seleksi guru peserta sertifikasi dilakukan oleh Dinas Pendidikan kabupaten/kota, dengan mengutamakan masa kerja, kepangkatan, serta jumlah jam mengajar. Membenahi guru dengan cara sertifikasi, dan prosedur yang tampak tidak jelas, pasti hanya akan menimbulkan frustasi pada sebagian besar guru. Apalagi, penentuan mereka yang berhak mengikuti sertifikasi justru kontraproduktif dengan tujuan yang hendak dicapai. Sertifikasi bagi guru dapat dipandang sebagai salah satu bagian dari upaya meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan profesionalisme dan kesejahteraan guru. Sertifikasi guru tidak bisa dijadikan jaminan peningkatan profesionalisme guru, sepanjang mekanisme penentuannya tidak memberikan ruang kompetisi yang adil bagi guru. Sudah menjadi rahasia umum, guru yang “dekat” dengan kepala sekolah akan cepat naik pangkat. Guru-guru muda yang energik, yang memiliki idealisme, akan berbenturan dengan birokrasi atau sikap kepala sekolah. Guru-guru muda yang semestinya menjadi “darah segar” bagi sekolah, akan disisihkan atau tersisihkan. Jadi, jika ada seleksi peserta sertifikasi didasarkan pada pangkat yang tinggi, guru-guru muda itu dipastikan tidak dapat mengikutinya. Jika peningkatan mutu pendidikan yang menjadi sasaran dari program sertifikasi, sepertinya ada mata rantai yang janggal. Ini karena sertifikasi dikaitkan dengan pemberian tunjangan, sedangkan untuk dapat menjadi peserta program sertifikasi harus memenuhi kriteria masa kerja dan kepangkatan. Permasalahan lainnya adalah berapa banyak guru yang bisa disertifikasi dan selanjutnya berapa tahun program sertifikasi dapat dilaksanakan, berapa besar anggaran untuk memberikan tunjangan profesi, dan lembaga independen mana yang melaksanakan sertifikasi. LPTK dan Guru Muda Secara filosofis, perlu pemangkasan “generasi” untuk merombak atau meningkatkan mutu pendidikan. Tanpa mengurangi rasa hormat dan penghargaan yang tinggi kepada guru yang memiliki pengalaman mengajar cukup lama itu, peningkatan profesionalisme guru dapat dilakukan dengan cara-cara lain selain sertifikasi. Dari cara pandang demikian ini, meningkatkan mutu pendidikan dapat dilakukan mulai dari bagaimana guru dilahirkan dari LPTK, yang berarti pembenahan pada LPTK menyangkut aspek kurikulum, dosen, sarana dan prasarana yang ada pada LPTK serta calon mahasiswa LPTK. Selanjutnya, bagi guru-guru baik yang berusia muda maupun tua, diberikan kesempatan mengembangkan segenap potensinya melalui jalur formal dan nonformal yang sesuai dengan keadaan masing-masing. Pemberdayaan guru-guru muda dapat dilakukan melalui keterlibatan aktif mereka dalam forum guru (apapun nama dan istilahnya), memberikan kesempatan yang luas untuk mengikuti pendidikan lanjutan formal baik jenjang sarjana, maupun pascasarjana. Dan yang lebih penting adalah kepastian jenjang karier dan perlakuan yang adil. Peningkatan profesionalisme guru yang berusia tua atau memiliki masa kerja lama, misalnya sudah puluhan tahun menjadi guru, dilakukan dengan program lintas dengan menekankan terutama pada aspek pedagogik sehingga mereka dapat memahami dan menerapkan prinsip-prinsip dan paradigma baru pendidikan. Konsep lama bahwa guru ”mengajar” sudah tidak sesuai lagi sekarang, karena interaksi guru dengan siswa menuntut lebih dari itu. Praktek kelas yang dikenal dengan istilah kegiatan belajar mengajar (KBM) sekarang lebih pada pemahaman sebagai proses pembelajaran. Guru dewasa ini lebih pada fasilitator, motivator, dinamisator, proses pembelajaran. Prinsip dasar dalam menyikapi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah keterbukaan terhadap perkembangan itu sendiri. Artinya, siapapun yang ingin atau mau mengikuti perkembangan harus adaptif terhadap perubahan di luar dirinya sendiri. Dalam kaitan memberdayakan guru agar lebih profesional, sekali lagi, harus dibarengi oleh segenap komponen sumber daya manusia yang lain dalam sekolah, yaitu kepala sekolah, tenaga administrasi, dan siswa. (*)

PENDIDIKAN BUKAN HANYA DI SEKOLAH

Pendidikan Bukan Hanya di Sekolah *Kado untuk Hari Guru 25 November Dwi Rohmadi Mustofa, S.Pd. Wakil Sekretaris FOKSIKA PMII Lampung (Artikel ini pernah dimuat di Harian Radar Lampung, 27 November 2006) Dunia pendidikan tampaknya sepanjang masa mengundang keprihatinan. Kalau boleh menyebut dengan istilah lain, pendidikan selalu menjadi ‘kambing hitam’. Mengapa? Kemiskinan yang menyelimuti sebagian besar masyarakat kita, dituding sebagai akibat dari proses pendidikan yang salah di masa lampau. Krisis ekonomi yang melanda negeri ini, tak luput juga dikaitkan dengan pendidikan masa lalu yang gagal menanamkan nilai-nilai dan membangun sikap mental mandiri dan bertanggung jawab. Logikanya memang benar. Pelaku KKN sekarang, kan hasil pendidikan jaman dulu. Singkatnya, yang jelek-jelek, seperti kemiskinan, kebodohan, kejahatan, mudah saja dikaitkan dengan kegagalan pendidikan. Sedangkan jika ada prestasi yang diraih anak bangsa, sering cepat dilupakan. Anak-anak sekolah yang mbolos tertangkap tim penertiban, mudah sekali dikaitkan dengan buruknya pendidikan. Kenakalan remaja, demikian juga gampang diproyeksikan kepada pendidikan. Tapi, tunggu dulu, mari kita analisis. Pendidikan adalah proses panjang mengubah sikap manusia ke arah yang lebih baik. Itulah hakikatnya pendidikan. Kalau soal kecerdasan, itu hakikat dari pembelajaran. Pendidikan adalah tanggung jawab banyak (semua) pihak. Kalau pendidikan disalahkan, atau output pendidikan dianggap gagal, maka yang bertanggung jawab adalah para pihak tadi. Dalam pemahaman banyak orang, pendidikan diartikan sebagai persekolahan. Padahal, sekolah hanyalah salah satu jenis pendidikan yang formal. Pendidikan formal harus berhadapan dengan birokrasi. Birokrasi itu mengatur dan mengendalikan kurikulum, sarana dan prasarana, dan sumber daya manusia. Sedangkan birokrasi menghadapi masalahnya sendiri: kompleksitas, jenjang-jenjang kepangkatan (struktur), kecenderungan mempersulit, dan biaya tinggi. Tujuan pendidikan yang sesungguhnya adalah mengubah sikap dan perilaku manusia, sehingga ia bisa menjadi manusia yang seutuhnya. Pendidikan adalah cita-cita luhur seluruh bangsa. Oleh karena itu, dalam Undang-undang Dasar 1945, masalah ini diatur dalam pasal tersendiri. Fakir-miskin dan anak-anak telantar juga diatur dalam pasal tersendiri. Saya tak hendak mengeliminasi pentingnya birokrasi dalam penyelenggaraan pendidikan formal. Juga tak bermaksud mengatakan tidak adanya birokrasi dalam pendidikan informal ataupun nonformal. Dalam pendidikan nonformal, seperti pesantren, pasti ada birokrasi. Tetapi, pasti tidak serumit persekolahan. Dari sini yang patut kita ambil yaitu sesuatu yang menonjol dalam pesantren. Apa itu? Keteladanan. Keteladanan adalah bagian penting (terpenting) dari suatu proses pendidikan. Proses Panjang Pendidikan, yang tercermin dalam sistem persekolahan, menyangkut banyak aspek. Setidaknya, persekolahan mengandung unsur adanya siswa, guru, media belajar, metode belajar, kurikulum, materi belajar, dan evaluasi hasil belajar. Dengan demikian, sekolah terutama bertanggung jawab untuk mengubah anak-anak dari yang tidak tahu menjadi tahu, anak-anak yang tidak cerdas menjadi cerdas. Kalau diamati, dari semua unsure pendidikan di sekolah tadi, maka persekolahan telah mereduksi sendiri makna pendidikan yang sesungguhnya. Tengoklah beban kurikulum sekolah. Tak peduli kurikulum tahun berapa, atau apa pun namanya, semua kurikulum di sekolah kita memuat sedikit sekali pendidikan dalam makna yang hakiki. Jika mengacu pada ajaran agama: tuntutlah ilmu dari ayunan ibu hingga ke liang lahat, atau tuntutlah ilmu walau ke negeri China, maka pendidikan adalah proses yang berlangsung sepanjang hayat. Di sisi lain, sekolah adalah proses yang dimulai dari anak-anak mulai memasuki sekolah dasar, saat mereka berumur 6 tahun. Di mana anak-anak dididik pada saat mereka bayi hingga usia enam tahun? Di mana anak-anak berada sepulang sekolah? Pertanyaan retoris ini hanya membuktikan, bahwa sekolah adalah bagian dari proses pendidikan yang dilembagakan. Pada kenyataannya, kurikulum persekolahan hanya memuat sedikit pembentukan mental dan perilaku ke arah menjadi “manusia seutuhnya”. Saya tak bermaksud mengatakan persekolahan selalu buruk, menghambat perkembangan anak-anak, tidak demokratis dan sebagainya. Saya hanya ingin menegaskan bahwa pendidikan bukan hanya sekolah. Kesejahteraan Guru Dalam aspek-aspek yang ada di sekolah seperti disebutkan di atas, maka ”kambing hitam” yang mudah dituduh atas carut-marutnya wajah bangsa ini adalah guru. Kita sering lupa bahwa guru juga hanyalah salah satu bagian dari sistem persekolahan. Mereka tidak akan ada artinya tanpa siswa, sarana belajar yang memadai, kurikulum yang komprehensif dan mutakhir, dan yang paling penting juga adalah perhatian atas kesejahteraannya. Kita mungkin juga sering lupa (atau mengabaikan) bahwa anak-anak di sekolah itu hanyalah ”titipan” kita sebagai orang tua kepada sekolah untuk ”diajar” dan syukur-syukur ”dididik”. Mari kita perhatikan, bagaimana input (siswa) suatu sekolah, sarana dan prasarana, serta lingkungannya. Jika anak-anak yang bersekolah di suatu sekolah berangkat dari ”apa adanya”, maka kita juga tidak bisa berharap banyak akan output (lulusan) sekolah itu. Bila suatu sekolah dengan sarana yang serba kekurangan dan prasarana yang nyaris ambruk, maka kita juga tidak bisa menimpakan kesalahan hanya pada guru. Bila guru, sebagai manusia, dengan segala keterbatasan yang manusiawi, harus memberikan perhatian kepada 40 anak dalam suatu kelas, maka kita juga tak pantas berharap bahwa semua anak akan mendapat ”sentuhan” guru. Apalagi sekolah yang kelasnya lebih dari 40 anak atau suatu sekolah yang gurunya harus mengajar pindah-pindah kelas. Bila guru yang memiliki beban tanggungan keluarga, hanya memperoleh penghasilan yang pas-pasan, maka kita juga naif berharap semua lulusan sekolah akan ”menjadi orang”. Sekolah memang membutuhkan biaya. Oleh karena itu, tak salah jika sekolah menjadi tanggung jawab pemerintah yang mengemban amanah pendidikan bangsa. Kalau dibalik, sekolah adalah wujud dari pelaksanaan amanah undang-undang, yang merupakan tanggung jawab terbesar adalah pemerintah. Sekali lagi, saya tidak apatis melihat pendidikan di masa depan atau persekolahan. Ini hanyalah sebuah pemikiran, agar kita tidak lupa, bahwa pendidikan adalah proses yang panjang dan berlangsung sepanjang hayat. Simplifikasi dari kompleksitas permasalahan dalam pendidikan dan persekolahan adalah: sejahterakan guru, rehabilitasi sekolah, perbaiki gizi anak-anak, tingkatkan sarana-sarana sekolah, perbarui kurikulum. Sejahterakan guru bukan berarti gaji guru ditingkatkan berlipat-lipat, tapi melalui penilaian yang adil dan akuntabel. Guru yang sejahtera juga hendaklah dibarengi dengan pengembangan profesionalisme. Rehabilitasi sekolah maksudnya, perawatan dan perbaikan gedung sekolah secara transparan dan merata, tidak saja di perkotaan tapi di semua wilayah. Perbaiki gizi anak-anak artinya melibatkan kerja departemen/dinas/instansi terkait. Tingkatkan sarana-sarana sekolah berarti pemenuhan kebutuhan sarana belajar bagi anak-anak seperti buku-buku pelajaran, alat-alat laboratorium dan sebagainya. Guru yang sejahtera dan profesional, mudah-mudahan dapat mengajar dan mendidikan anak-anak generasi muda bangsa menjadi generasi penerus yang beriman, bertanggung jawab, mandiri, dan menghargai jasa para pahlawan. Selamat Hari Guru (*)

MENGEMBANGKAN FUNGSI PENDIDIKAN

Mengembangkan Fungsi Pendidikan Dwi Rohmadi Mustofa (Artikel ini pernah dimuat di Tabloid FOKUS, tahun 2007) Segala sesuatu yang bersifat rutin, sering kita lupakan makna kehadirannya. Kita abaikan hakikatnya. Tak peduli itu menyangkut orang atau benda. Kita baru merasakan betapa tak ternilainya sehat, kalau kita sudah sakit. Kita merasakan betapa pentingnya air, kalau sudah musim kemarau berkepanjangan. Kita merasakan betapa berartinya pramusaji di kantor, manakala dia tidak masuk kerja. Seisi rumah kalang kabut, ketika pramuwisma pulang kampung. Dan kita terperangah, ketika kita menyaksikan kemajuan teknologi dari luar, karena kita terbiasa menjadi bangsa yang konsumtif. Norma Hukum Sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dapat dimengerti bahwa pendidikan mendapat perhatian yang lebih besar dibanding waktu sebelumnya ataupun bidang lainnya. Hal ini mengindikasikan penghargaan yang besar terhadap dunia pendidikan. Berbicara mengenai sistem, maka di dalamnya terdapat subsistem yang juga sangat penting. Sistem adalah kesatuan dari berbagai hal yang bersifat saling melengkapi, saling ketergantungan, serta mendukung proses. Dalam sistem pendidikan, maka di dalamnya ada persekolahan, pendidik, siswa, masyarakat, kurikulum, proses, pemerintah, dan sebagainya. Secara normatif, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Jadi, pendidikan sebagai sarana untuk mengubah perilaku manusia sehingga menjadi lebih bermartabat. Rangkaian kata ini demikian indah. Untuk memperjelas pengertian sistem, mari kita lihat sejarah. Dalam pengertian yang lebih luas, sesungguhnya kerajaan-kerajaan besar dahulu terbangun dari berbagai unsur. Dalam sejarah, kerajaan-kerajaan besar runtuh karena didera disharmoni dalam kerajaan tersebut. Bentunya bisa bermacam-macam; skandal seks, korupsi, keserakahan, haus kekuasaan -yang menjelma menjadi peperangan-, atau bencana alam yang parah. Demikian pula, suatu negara, dapat disebut sebagai negara, jika ada pemerintahan, terdapat rakyat, dan menduduki suatu wilayah. Negara sebagai organisasi, dan dengan demikian, layaknya disebut sebagai organisme, mengharuskan harmonisasi di antara unsur-unsurnya, untuk menjamin keberlangsungan hidupnya. Harmonisasi harus terus diupayakan, di antara semua unsur yang ada. Dengan demikian maka dapat kita pahami bahwa pendidikan adalah suatu sistem fungsi. Segenap elemen yang ada di dalamnya adalah menjalankan suatu tugas dan fungsi masing-masing demi berlangsungnya suatu sistem pendidikan. Tetapi, lagi-lagi inilah normanya. Dalam prakteknya, memang bukan pekerjaan mudah. Apalagi kalau kita melihat bahwa pendidikan adalah suatu konsep yang universal. Pendidikan adalah kewajiban setiap orang dan sekaligus hak setiap warga negara. Pendidikan adalah kebutuhan setiap individu dalam rangka mengaktualisasikan potensi yang dimiliki dan mempertahankan eksistensinya. Praktek Pendidikan Gambaran umum rutinitas rumah tangga dalam masyarakat kita (terutama di pagi hari) adalah anak-anak berangkat ke sekolah, ayah pergi bekerja, dan ibu memasak di dapur. Segalanya bersifat rutinitas. Pergi ke sekolah, bagi anak-anak lebih merupakan kewajiban. Dan peraturan perundangan pun menyatakan secara eksplisit dengan istilah wajib belajar. Kalau kita kembali kepada kecenderungan kita mengabaikan hal-hal yang bersifat rutinitas, maka pergi ke sekolah juga mengalami degradasi makna. Anak-anak pergi ke sekolah dengan perasaan sebagai kewajiban, dan bukan dipahami sebagai kebutuhan mereka. Potret guru di banyak tempat, tak jauh beda dengan gambaran mengenai rutinitas siswa tersebut. Beberapa hal yang patut direnungkan adalah, seberapa banyak guru yang menyusun perencanaan pembelajaran, melaksanakan evaluasi secara obyektif, dan menjadi fasilitator dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu, sekarang saatnya untuk menyegarkan kembali pemahaman terhadap makna fungsi pendidikan. Sebagaimana ajaran agama, bahwa pendidikan dapat dilakukan di semua tempat, memanfaatkan berbagai media pendidikan, dan mengedepankan unsur kebebasan. Dalam bahasa lain, tuntutlah ilmu dari ayunan ibu sampai ke liang lahat. Makna terdalam dari ajaran ini adalah sejak dilahirkan, manusia membutuhkan pendidikan, bahkan sampai ajal menjelang. Praktek pendidikan, dengan demikian, bukan hanya dalam gedung-gedung sekolah. Pendidikan bahkan dimulai dan terbesar (seharusnya) terjadi dalam rumah tangga. Praktek pendidikan yang menjelma dalam sistem persekolahan, memiliki keunggulan dalam pendisiplinan, kerja sama, dan sosialisasi bagi anak. Tetapi, jangan dilupakan filosofi bahwa pendidikan adalah upaya membebaskan manusia dari keterbelengguan berkreasi dan keterbelakangan. Pendidikan tidak seharusnya menjebak kita dalam rutinitas sehingga mendegradasi makna penting pendidikan itu sendiri. Pendidikan (seharusnya) menembus batas ruang dan waktu. (***)

PENDIDIKAN DAN BUDAYA INSTAN

Pendidikan dan Budaya Instan Dwi Rohmadi Mustofa, S.Pd. (Artikel ini pernah dimuat di Tabloid FOKUS, tahun 2007) Negeri ini menyimpan berbagai kontradiksi. Benar-benar kontras, dan bukan cuma perbedaan pendapat atau pandangan. Sampai suatu saat penyanyi kondang Bimbo, mempopulerkan lagu, dengan syair yang indah: Bukan lautan hanya kolam susu. Kail dan jala cukup menghidupimu. Tiada badai, tiada topan kau temui. Ikan dan udang menghampiri dirimu. Orang bilang tanah kita tanah surga….. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman.” Sumber Daya yang Melimpah Dekade silam, kita masih swasembada beras. Dekade kini, kita impor beras. Bahkan, gula pun kita kini impor. Melimpahnya sumber daya alam, membuat kita terlena. Kreativitas sulit ditumbuhkan. Ekspor berbagai komoditas masih berupa bahan baku, dan diimpor kembali sudah dalam bentuk barang jadi. Jumlah penduduk Indonesia yang banyak, menjadi pasar potensial berbagai produk dari luar. Kita mengkampanyekan penggunaan produksi dalam negeri, tapi gaya hidup kita mengedepankan gengsi. Merek-merek asing digandrungi. Harga yang mahal menjadi simbol kemewahan dan kehebatan. Peralatan dibeli bukan karena fungsinya, tapi karena merek dan gengsi. Tengoklah handphone berkamera yang ditenteng anak-anak muda. Budaya instan, ingin cepat selesai, tidak sabaran, dan menikmati hidup dengan mudah, menggejala. Dalam dunia pendidikan, banyak kontras yang patut diketengahkan, untuk dicermati. Tahun 1970-an, anak-anak muda negeri jiran, Malaysia menimba ilmu di Indonesia. Mulai tahun 1990-an, siswa dan mahasiswa kita banyak yang berguru ke sana. Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) yang mendidik calon pamong praja, menorehkan catatan kelam. Pendisiplinan terhadap mahasiswa menjadi kamuflase budaya kekerasan. Ujian Nasional menjadi fenomenal dalam beberapa tahun terakhir. Evaluasi menjadi ajang vonis dan kuasa pemerintah untuk menyatakan lulus atau tidaknya siswa. Standarisasi mutu pendidikan, yang menjadi alas pelaksanaan UN, mengesampingkan kenyataan di lapangan dan mengingkari eksistensi dan peran guru. Persentase kelulusan siswa dalam UN menjadi ajang gengsi daerah sehingga untuk mencapainya dilakukan dengan berbagai cara. Menurut catatan penulis, sejak tahun 2004, ketika itu bernama Ujian Akhir Nasional (UAN), UN menimbulkan gejolak di mana-mana. Tapi perjuangan mereka yang menolak UN karena secara substansial mengingkari peran guru, belum membuahkan hasil maksimal. Kelompok ini mengakui evalusi dalam pendidikan sebagai hal yang penting, tetapi ujian nasional hanya menjadi lahan politik anggaran. Budaya Instan Terdapat beberapa pengertian budaya, yang kemudian disamakan dengan kebudayaan. Menurut Kamus Filsafat (Lorens Bagus, 2002:424), kebudayaan merupakan seluruh nilai material dan spiritual yang diciptakan atau sedang diciptakan oleh masyarakat selama sejarah. Kebudayaan semula berarti pengolahan dan pengembangan kemampuan-kemampuan manusiawi yang melampaui keadaan alamiah semata (kebudayaan sebagai pendidikan rohani). Bangsa kita dikenal sebagai bangsa yang berbudaya. Kita dikenal sebagai bangsa yang ramah tamah, sopan santun, gotong royong, dan rukun. Faktanya, silang sengkarut dalam berlalu-lintas membuahkan cercaan dan perang mulut. Semuanya ingin menang sendiri. Di simpang jalan yang ada lampu pengatur lalu lintas, lampu merah diterobos dan tak merasa berdosa. Pikirnya, tak ada yang jaga ini (?). Padahal tindakan itu membahayakan orang lain dan dirinya sendiri. Bahkan terkadang, saat lampu merah justru pengendara di belakang yang membunyikan klakson dengan bangganya. Masih di jalanan, sering dijumpai, pengendara mobil mewah membuang sampah bekas pembungkus makanan di jalanan, tanpa malu. Di jalan raya, remaja kebut-kebutan. Tak mengenakan helm, knalpot dipotong pula. Yang lebih miris lagi, anak baru gede membawa mobil dinas (berplat merah) dengan cekikikan dan zig-zag. Perilaku orang di jalanan, mudah dipahami, mencerminkan tingkat disiplin dan menjadi representasi bagi perilaku orang tersebut di berbagai tempat lain. Pada berbagai kesempatan, pada jam pulang sekolah, mudah dijumpai anak-anak berseragam biru putih merokok. Lagaknya bak bintang iklan dalam televisi. Hampir setiap hari, di mall-mall, anak-anak sekolah nongkrong menghabiskan waktu. Alangkah sayangnya, menghabiskan waktu hanya untuk bersantai-santai di mall. Sulitnya mencari kerja, atau terbatasnya lapangan kerja, membuat ratusan ribu tenaga kerja berbondong-bondong menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di negeri orang. Sementara, beberapa tenaga kerja ekspatriat yang bekerja di sini menempati posisi penting dengan gaji selangit. Kalau mau berargumen, pasti ada saja. Globalisasi menjadi alasan paling ampuh. Pancasila, sebagai dasar negara dan sumber hukum dan etika di negeri ini, tak lagi dihafal anak-anak sekolah. Apalagi meresapi makna dan mengamalkannya. Lagu kebangsaan Indonesia Raya, makin jarang didengar. Lalu, bagaimana kita menanamkan nilai-nilai luhur budaya bangsa kepada generasi bangsa? Bagaimana kita mewariskan semangat perjuangan, semangat pantang menyerah? Gambaran tersebut hanya sebagian dari sekian banyak kontras. Adakah yang salah dalam pendidikan? Anak-anak muda yang kebut-kebutan di jalanan, mungkin karena kurangnya fasilitas untuk mengekspresikan gejolak pertumbuhan jiwanya. Anak-anak lebih gemar nongkrong di pusat-pusat perbelanjaan, karena perpustakaan kurang menarik, dalam beberapa hal; kelangkaan koleksi pustaka atau koleksi yang sudah usang, lokasi sulit dijangkau, petugas pelayanan kurang memuaskan. Pengelolaan perpustakaan sekarang sudah saatnya memanfaatkan atau mengikuti perkembangan teknologi informasi. Perpustakaan harus menawarkan kenyamanan, kemudahan, dan kecepatan kepada penggunanya. Repotnya lagi harga buku masih mahal atau sulit dijangkau sebagian besar masyarakat. Padahal, buku menjadi media dan sumber belajar yang penting. Buku adalah kebutuhan dalam proses pendidikan. Buku juga dapat menjadi sarana melestarikan khasanah bangsa. Anak-anak lebih senang menghabiskan waktu berkumpul dengan teman-teman sebayanya dengan kegiatan yang cenderung kurang bermanfaat bagi perkembangan jiwanya, untuk tidak mengatakan negatif. Tengoklah tempat-tempat penyewaan game. Anak-anak antre, terkadang mangkir dari sekolah, hanya untuk bermain game di play station. Remaja kita di rumah, mungkin lebih banyak membuang waktu untuk menonton televisi dibandingkan belajar. Penggunaan internet di kalangan remaja kita, juga lebih banyak untuk hiburan daripada digunakan sebagai media belajar atau mencari informasi baru terkait dengan pendidikan mereka. Internet menawarkan kemudahan dan kesenangan, yang mudah disalahgunakan. Game secara online maupun dengan teman di dekatnya dijadikan ajang judi kecil-kecilan. Media massa, terutama televisi, kini juga menawarkan hiburan yang melimpah serta melimbah. Sinetron dan karakter tokoh dalam sinetron terkadang jauh dari gambaran umum dalam masyarakat kita. Penggambaran remaja hidup enak jauh dari kesusahan materi, dalam sinetron, menumbuhsuburkan budaya hedonisme hedonisme (menyamakan kebaikan dengan kesenangan). Tokoh jahat menjadi idola, dan gerak laku sang tokoh dalam sinetron menjadi ”teladan”. Dari sini dapat dikatakan bahwa anak-anak kita sekarang kehilangan mekanisme pertahanan diri dalam menyaring informasi yang kurang bermanfaat. Sementara informasi membanjiri setiap saat. Iklan produk ditawarkan secara atraktif dan berusaha menggoda, yang semakin menegaskan budaya instan dan. Derasnya informasi, terutama iklan dengan segala media penyampaiannya, mengepung nilai-nilai perjuangan dalam memperoleh sesuatu. Kebendaan dan materi yang menawarkan kenikmatan berubah menjadi tujuan hidup, dan bukan benda atau materi hanyalah sarana untuk mencapai tujuan hidup. Sudah banyak juga surat pembaca di media cetak yang mengkritisi ketidakseimbangan antara tayangan televisi dengan realitas masyarakat kita, termasuk masalah jam tayang dan deskripsi yang vulgar atau suatu peristiwa kekerasan yang disajikan media televisi. Meski demikian, kritik itu tak mampu melawan mekanisme pasar dalam bisnis media, khususnya televisi. Di mana, acara yang menempati rating tertinggi, menjadi lahan meraup iklan bagi pengelola stasiun televisi yang bersangkutan. Peraturan perundang-undangan tentang penyiaran pun demikian adanya, yang memungkinkan penayangan iklan seperti yang sekarang. I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani (2006) menjelaskan bahwa karakteristik media massa dalam konsep klasik adalah: 1) ditujukan ke khalayak luas, heterogen, tersebar, anonim serta tidak mengenal batas geografis; 2) bersifat umum bukan perorangan; 3) penyampaian pesan berjalan secara cepat dan mampu menjangkau khalayak yang luas dalam waktu yang relatif singkat (massage multiplaier); 4) penyampaian pesan cenderung berjalan satu arah; 5) kegiatan komunikasi dilakukan secara terencana, terjadwal dan terorganisir; 6) kegiatan komunikasi dilakukan secara berkala tidak bersifat temporer; 7) isi pesan mencakup berbagai aspek kehidupan: sosial, ekonomi, politik, budaya, hukum, agama dan sebagainya. Dari konsep tersebut, sesungguhnya media massa dalam melaksanakan fungsi dan perannya, secara substansial bersentuhan dengan wilayah publik atau hak-hak masyarakat. Selain itu, terpaan media menggempur publik melintas waktu dan ruang. Adanya perbedaan program maupun isi tayangan, merupakan wilayah etika profesional pengelola media, atau stasiun televisi itu sendiri. Oleh karena itu, aspek tanggung jawab publik dari pengelola media, terutama stasiun televisi, sesungguhnya menjadi bagian yang paling penting dalam keseluruhan tanggung jawab sebagai warga negara. Singkatnya adalah, media televisi tidak dapat dipersalahkan atas penyajian tayangannya sepanjang dalam koridor hukum dan perundang-undangan yang mengatur mengenai penyiaran. Mekanisme Pertahanan Diri Merebaknya gejala budaya instan, tak pelak mengundang keprihatinan. Kita tak ingin mencari kambing hitam atas kondisi ini. Jalan yang terbaik adalah melakukan pembenahan ke dalam sistem pendidikan, termasuk eksistensi lembaga pendidikan. Penguatan mental anak-anak sebagai generasi bangsa harus dilakukan secara, persuasif, intensif, dan ekstensif. Setiap orang memiliki mekanisme pertahanan diri dalam menangkal pengaruh negatif dari luar dirinya. Dengan demikian, terkait dengan perkembangan dan kemajuan teknologi, informasi, dan segala pengaruh yang dapat berakibat pada perilaku negatif yang paling penting adalah memperkuat benteng pertahanan diri anak didik. Dalam lingkup keluarga, pembinaan, pengayoman, serta pengarahan dari orang tua juga sangat penting. Selain kebutuhan anak, peran serta orang tua dalam mendidik anak-anak merupakan tanggung jawab pribadi kepada agama, keluarga, bangsa, dan negara. Apalagi dalam masa anak-anak balita yang disebut sebagai era emas pertumbuhan (the golden age). Mengasuh anak-anak bukan saja mencukupi kebutuhan material mereka, tetapi yang lebih penting adalah pemberian kasih sayang dan pembinaan mental, moral, serta spiritualnya. Segenap komponen kependidikan, mesti mencermati berbagai pengaruh lingkungan dan masa pertumbuhan anak sebagai suatu perkembangan yang pasti terjadi. Apabila pendidikan dimaknai sebagai ”menciptakan manusia seutuhnya”, maka seluruh pendukung sistem pendidikan nasional harus bekerja secara integral. UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal I butir 1 menegaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Selanjutnya UU RI Nomor 20 tahun 2003 Pasal 3 menyatakan bahwa pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Redefinisi orientasi pendidikan perlu dilakukan, sesuai dengan kebutuhan yang berkembang dalam masyarakat. Muatan pendidikan yang menekankan pada kemampuan kognitif semata-mata, membuat anak didik cerdas tetapi tidak mandiri. Akibatnya, ketika berhadapan dengan dunia nyata (dunia kerja) menjadi tidak bersaing. Pertanyaan kunci untuk menyegarkan ingatan kita akan makna, fungsi, dan tujuan pendidikan, adalah sudahkah kita melaksanakan amanah pendidikan tersebut? (*)

KEMBALI KE FILSAFAT PENDIDIKAN

Kembali ke Filsafat Pendidikan Dwi Rohmadi Mustofa, S.Pd. (Artikel ini pernah dimuat di Tabloid FOKUS, tahun 2007) Di tengah suasana ujian nasional (UN), atau akhir tahun pelajaran, idiom “ganti menteri, ganti buku” kembali menghinggapi benak ribuan orang tua siswa. Makna lebih dalam dari idiom tersebut sesungguhnya adalah berubahnya suatu kebijakan pemerintah di bidang pendidikan. Sementara, pemerintah sebagai pengemban amanah mencerdaskan kehidupan bangsa, wajar bila mengeluarkan kebijakan dalam rangka memperbaiki secara terus menerus dunia pendidikan. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, apa yang digagas dan dilaksanakan oleh pemerintah merupakan konsekuensi dan implikasi dari tugas dan fungsi pemerintah. Beberapa kasus dalam dunia pendidikan, yang paling segar adalah kebijakan di bidang ujian nasional. Pada tahun-tahun sebelumnya, kebijakan evaluasi belajar tahap akhir (EBTA) misalnya, tampak menjadi rutinitas yang biasa. Tahun 2006, UN untuk Sekolah Dasar dan sekolah menengah, ditetapkan dengan batas minimal kelulusan (passing grade). Demikian selanjutnya untuk tahun 2007. Bahkan, nilai minimal dan ketentuan-ketentuan mengenai perolehan nilai meningkat. Kemudian juga mengenai Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Dalam organisasi pemerintahan, kebijakan diambil berdasarkan kajian atas pengalaman dalam melaksanakan suatu program atau kegiatan. Oleh karena itu, dapat dipahami jika kebijakan dalam menetapkan passing grade, juga lebih merupakan suatu keputusan yang dilandaskan pada pelaksanaan evaluasi belajar di semua jenjang sekolah pada waktu sebelumnya. Berangkan dari pemahaman tentang ”kebijakan” tersebut, maka sesungguhnya ”kebijakan” mengandung unsur-unsur subyektivitas. Cepatnya perubahan kebijakan, juga merupakan akibat dari ”pendalaman” atas pelaksanaan program. Tahun 2006 lalu, ketika puluhan ribu siswa SMP dan SMA tidak lulus UN, kemudian muncul ujian persamaan Paket B dan Paket C. Padahal, dari hakikatnya, Ijasah Paket tersebut merupakan kebijakan dalam rangka menampung dan mengartikulasikan aspirasi mereka yang tidak berkesempatan mengikuri pembelajaran di sekolah seperti umumnya. Pemberian ijasah paket, lagi-lagi, juga dampak dari kepanikan ribuan siswa lulusan SMA yang tidak dapat mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada perguruan tinggi negeri. Prof Syafiq A Mughni dalam kata pengantar untuk buku Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post Modern: Mencari “Visi Baru” atas “Realitas Baru” Pendidikan Kita (2004) mengatakan bahwa pendidikan senantiasa mengalami perubahan paradigmatik. Dalam buku yang ditulis Ali maksum dan Luluk Yunan Ruhendi, diterbitkan IRCiSoD Yogyakarta itu, Syafiq A Mughni menulis: ”Perubahan filsafat pendidikan yang menlandasi setiap paradigma pendidikan tersebut membawa konsekuensi munculnya konflik, baik pada tingkat konseptual ataupun pada tingkat praktis. Namun, pada tingkat praktis tidak selalu membawa perubahan signifikan bagi perbaikan kehidupan manusia yang mencita-citakan perbaikan, pemeliharaan atau bahkan pemahaman tentang eksistensi Tuhan beserta alam ciptaannya. Sedangkan pada tingkat konseptual, perubahan itu masih terpaku pada reformulasi normatif formalistis yang sesungguhnya bukan esensi dari proses pendidikan”. Sinyalemen atas berubahnya kebijakan di bidang pendidikan yang tidak esensial sudah banyak dikemukakan oleh berbagai kalangan. Hal ini berarti bahwa kebijakan penyelenggaraan ujian persamaan yang kemudian memberikan ijazah paket bagi siswa yang ”belum” lulus UN pada tahun 2006, mengesampingkan filsafat pendidikan yang menghargai perubahan sebagai suatu keniscayaan serta perubahan sikap siswa ke arah yang lebih baik merupakan tujuan pendidikan. Penguasaan pengetahuan semata-mata bukan ukuran final dalam menentukan keberhasilan proses pembelajaran atau proses pendidikan. Filsafat pendidikan menghargai rasionalisme dan cara berpikir kritis yang produktif. Kasus lain dari pelaksanaan UN 2006 yang sempat menjadi sorotan media massa adalah pemberian bantuan dari guru dan pengawas kepada peserta ujian. Hebatnya lagi, kasus seperti ini terjadi merata hampir di semua daerah di Indonesia. Harian Kompas pernah melaporkan, kasus memberi bocoran jawaban kepada peserta ujian secara sistematis adalah wujud dari penjagaan citra daerah atau dalam rangka mengangkat prestise daerah yang berlebihan. Yang lebih miris lagi dari kasus 2006 itu adalah imbas langsung kepada siswa yang sekarang mengikuti UN. Mereka ”belajar” dari kasus tersebut sehingga justru menurunkan semangat dan motivasi belajarnya. Pada saat guru memberikan pengertian dan motivasi agar belajar lebih baik lagi, siswa mengatakan ”Ah, nanti kan ada bocoran dari guru”, atau kalimat-kalimat senada, yang mencoreng harkat dan martabat guru. Sekarang berkembang pandangan di kalangan siswa dan sebagian masyarakat, kalau siswa tidak lulus yang rugi adalah guru dan sekolah, atau “Beribu-ribu jalan menuju Roma”. Jadi, dapat disimpulkan betapa dahsyat dampak kasus tersebut. Ibarat nasi telah menjadi bubur, penyesalan tidak ada gunanya. Tapi, yang terpenting adalah bagaimana bubur dapat dimanfaatkan, asal tidak basi. Belajar dari pengalaman seperti ini maka selayaknya kita kembali kepada suatu paradigma pendidikan sebagai suatu hak warga negara, kebutuhan setiap orang, dan kewajiban negara. Kita tentu tidak ingin kasus serupa terulang kembali atau menjelma dengan “wajah baru”. Penyelenggaraan pendidikan hendaknya mengacu pada norma-norma yang telah disepakati dan ditetapkan dengan pengawasan yang ketat. Pelanggaran atas setiap prosedur hendaknya diusut tuntas dan diberikan sanksi yang setimpal kepada mereka yang terlibat. Pendekatan dalam penyelenggaraan pendidikan hendaknya integralistik dalam semua unsur yang berperan. Proses perbaikan dan pengawasan atas kualitas proses pendidikan perlu disinkronisasikan dengan tujuan pendidikan. Evaluasi belajar merupakan proses berkelanjutan dalam rangka mempertimbangkan perlakuan selanjutnya kepada siswa. Evaluasi belajar bukan ajang vonis, yang mematikan kreativitas siswa dan masyarakat. Ujian bukan sidang pengadilan yang menentukan seseorang bersalah atau tidak. Persekolahan hendaknya menjadi taman persemaian bibit-bibit generasi muda, dan bukan menjadi ruang ”penjara” bagi potensi dan pemikiran yang maju. Pendidik adalah ujung tombak dalam melahirkan generasi muda bangsa yang berkualitas. Pendidik memiliki hak-hak yang melekat dalam profesinya, yang dilindungi undang-undang. Pendidik harus diberikan kesempatan yang seluas-luasnya secara adil dalam mengembangkan segenap potensinya agar mendekati profile ideal dengan atribut kompetensi yang dituntut: kompetensi, sosial, profesional, dan pedagogik. Guru yang kompeten akan mampu menyelenggarakan proses pembelajaran dengan menyenangkan. Birokrasi pemerintahan di bidang pendidikan adalah pelayanan agar segenap elemen dapat berjalan pada rel yang digariskan, dan bukan sarana membelenggu peranan pendidik dalam memajukan pendidikan. Birokrasi adalah bagian dari sistem yang berfungsi menghubungkan dan memperlancar sirkulasi kerja antar dan inter-unsur sistem. Buruknya wajah pendidikan kita, mencerminkan adanya sesuatu yang tidak sesuai dengan tujuan dan hakikat pendidikan. Tapi, jangan juga, “buruk wajah, cermin dibelah”. (*)

MAKNA EVALUASI PENDIDIKAN

Makna Evaluasi dalam Pendidikan Dwi Rohmadi Mustofa, S.Pd. Artikel ini pernah dimuat di Tabloid FOKUS, tahun 2007 Dalam kurikulum lembaga pendidikan tenaga kependidikan, masalah evaluasi pendidikan menjadi mata kuliah penting. Selain itu mata kuliah dasar-dasar kependidikan, psikologi pendidikan, dan bimbingan dan konseling. Berkaitan dengan ujian nasional (UN), kita hendaknya memahami kembali bahwa evaluasi hanyalah alat, dan bukan tujuan. Polemik dan hiruk-pikuk sehubungan UN harus dikembalikan pada makna hakiki bahwa evaluasi adalah sarana mengukur perubahan siswa berdasarkan pada tujuan pendidikan dan tujuan pembelajaran. Artinya adalah, apa yang diinginkan dari suatu proses pendidikan tergambar jelas dan mendetail pada saat tujuan proses itu disusun atau ditetapkan. Ada beberapa istilah dalam memahami makna evaluasi, yang terkadang sering menukarpakaikan makna sempit kepada makna yang luas. Sebut saja istilah ujian, penilaian, pengukuran, ulangan, tes, dan sebagainya. Evaluasi adalah proses pengelolaan dan penafsiran serta mempertimbangkan atas suatu hasil pengukuran atau penilaian. Pengukuran sendiri adalah membangun (mengkonstruksikan), mengadministrasikan, dan penskoran. Jadi jelas bahwa evaluasi pendidikan mencakup pengukuran dan penilaian. Mengevaluasi hasil belajar siswa harus jelas apa yang diukur, bagaimana mengukur, apa alat ukurnya, berapa dan bagaimana sistem penilaiannya (skoring) kemudian hasil evaluasi itu dijadikan dasar dalam menentukan perlakuan siswa selanjutnya. Evaluasi dengan demikian, mengandung unsur subyektif. Sedangkan pengukuran relative jelas dan obyektif. Oleh karena itu, dalam evaluasi pendidikan, yang terpenting adalah bagaimana mengukur perubahan yang terjadi pada siswa dan apa standarnya. Tujuan pendidikan, tujuan pembelajaran, atau perubahan apa yang diharapkan dari proses pendidikan, tertuang dalam kurikulum yang ditetapkan. Biasanya, dalam setiap isi kurikulum, tertuang tujuan pembelajaran umum dan tujuan pembelajaran khusus. Semuanya tercermin dalam kata kerja yang dapat diukur. Misalnya, “setelah mempelajari bab ini... maka diharapkan siswa mampu menyebutkan kembali jumlah ......”; atau “setelah mengikuti proses pembelajaran ini, peserta diharapkan dapat menghitung luas lingkaran dengan rumus phi”.; atau “setelah mengikuti kegiatan ini, siswa diharapkan mampu menjelaskan perbedaan hak warga negara asing dan warga negara Indonesia dalam pendidikan”. Tujuan pendidikan, dapat dirangkum dalam tiga wilayah (ranah), yaitu ranah pengetahuan (kognitif), ranah afektif (sikap), dan ranah psikomotorik (keterampilan). Secara umum dalam pemahaman, tujuan pendidikan sering dinyatakan dalam ranah kognitif. Ranah afektif memang terkesan abstrak. Oleh karenanya, penting dalam menyusun tujuan pembelajaran. Dikaitkan dengan filsafat pendidikan, di mana pendidikan dipandang sebagai membentuk manusia seutuhnya, memanusiakan manusia, melestarikan kebudayaan, dan sebagainya, maka ujian nasional (atau apapun nama dan istilah yang digunakan), hendaknya dicerminkan lagi pada nilai-nilai pendidikan apa yang ingin dicapai. Dari sini kemudian dapat kita pahami bahwa pendidikan berlangsung sepanjang hayat. Lebih jauh, jika kita ingin meninjau bahwa dalam proses pendidikan terdapat paling tidak aspek-aspek penting dan mutlak yaitu adanya peserta didik, pendidik, media pembelajaran, tujuan, dan kurikulum. Jika kita meyakini bahwa pendidikan berlangsung sepanjang hayat, dan jika kita komitmen bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara, tak perlu panik dalam menghadapi ujian nasional (UN). Membicarakan UN dalam pengertian evaluasi pendidikan masih relevan jika dikaitkan dengan usaha memperbaiki hasil belajar atau proses pembelajaran. Bagi saya, tidak relevan jika kemudian UN dijadikan justifikasi untuk menentukan lulus atau tidaknya siswa. Apalagi, jika kita melihat adanya kesenjangan antar-wilayah, kesenjangan kuantitas sumber daya manusia, kesenjangan akses terhadap informasi dan sebagainya pada persekolahan kita. Sedangkan soal-soal dalam UN hampir memiliki keseragaman tingkat kesulitan, meskipun dijelaskan ada dua paket soal ujian. Ini karena dua paket itu dimaksudkan untuk mengurangi peluang kecurangan peserta ujian. Dalam pengukuran yang baik, setidaknya memenuhi kriteria relevan, obyektif, reliabel, dan avaliabel. Relevan artinya, soal-soal atau item-item pertanyaan dalam suatu ujian hendaknya didasarkan pada pertimbangan ilmiah dan profesional, dan bukan pada “kebiasaan”. Obyektif berarti sebisa mungkin tidak bias oleh “intervensi” orang yang melakukan pengukuran. Reliabel berarti bahwa ietm-item ujian harus konsisten dan benar-benar mengukur apa yang memang hendak diukur serta harus stabil. Avaliabel maksudnya kepraktisan dalam melakukan pengukuran. Bagaimana memahami UN, apakah merupakan pengukuran atau evaluasi pendidikan? UN hendaknya dipahami sebagai alat untuk mengevaluasi proses pembelajaran siswa pada jenjang sekolah dasar dan sekolah menengah. UN bukan sidang pengadilan. Hasil UN dapat dijadikan pertimbangan bagi sekolah jenjang berikutnya dalam menentukan diterima atau tidaknya ia mengikuti pendidikan di sekolah itu. Pendidikan adalah hak setiap warga negara. UN akan sangat relevan jika tercipta pemerataan dan kesetaraan antar wilayah dalam hal penyediaan sarana dan prasarana pendidikan. (*)

MUTU PENDIDIKAN DIMULAI DARI MANA?

Mutu Pendidikan, Dimulai dari Mana? Oleh Dwi Rohmadi Mustofa (Artikel ini pernah dimuat di Tabloid FOKUS, 2007) Wacana mengenai mutu pendidikan tak habis dibicarakan orang. Mulai dari orang tua siswa, guru, kalangan perguruan tinggi, pemerintah, sampai politisi. Apalagi pada saat semua siswa sekolah menghadapi ujian akhir. Seakan-akan, ujian sekolah identik dengan mutu pendidikan itu sendiri. Mutu, dalam pengertian barang atau jasa, adalah suatu sifat atas barang atau jasa yang dapat memenuhi harapan penggunanya. Mutu dikatakan baik atau tinggi, jika dapat memenuhi harapan penggunanya. Mutu dikatakan rendah atau jelek, jika tidak dapat memenuhi keinginan penggunanya. Untuk menghasilkan barang atau benda yang bermutu, bukan semata-mata melihat hasil akhirnya tetapi menyangkut masukan (input), proses (interaksi), serta hasil (output). Mutu barang atau jasa berhubungan dengan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi. Untuk meningkatkan mutu, harus dimulai sejak dari perencanaan yang baik, pelaksanaan yang efektif, pengawasan mengarahkan, serta evaluasi yang dijadikan dasar perencanaan lanjutan. Lalu, apa itu mutu pendidikan? Jelaslah bahwa mutu pendidikan adalah sifat atas suatu hasil dari jasa pendidikan. Menghasilkan pendidikan yang bermutu, berarti perencanaan yang baik, pelaksanaan yang baik, dan seterusnya. Perencanaan dimulai dari kebijakan dasar dan penjabaran kebijakan. Di Indonesia sudah banyak peraturan perundangan yang mengatur hal ini. Sebut saja, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dan sebagainya. Belum lagi peraturan menteri Pendidikan Nasional yang jumlahnya sangat banyak. Secara substansial, pendidikan dituangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pengorganisasian dan pelaksanaan, dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan, harus diatur dalam suatu sistem, dan dilaksanakan oleh sumber daya yang kompeten. Evaluasi pendidikan, secara makro maupun mikro, juga harus dijadikan bahan dalam mengambil keputusan untuk perbaikan selanjutnya. Salah satu konsideran dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan loka, nasional dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara, terencana, terarah, dan berkesinambungan. Pendidikan diselenggarakan dengan memperhatikan prinsip demokratis, berkeadilan, dan tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 diatur hak dan kewajiban semua pihak dalam rangka tercapainya tujuan pendidikan. Bab IV mengatur tentang hak dan kewajiban warga negara, orang tua, masyarakat, dan pemerintah. Munculnya kritik atas mutu pendidikan, mengindikasikan adanya kesenjangan dan ketimpangan dalam sistem pendidikan. Kita secara jujur harus mengakui kenyataan adanya perbedaan ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan antar-wilayah; perkotaan dan perdesaan. Kita sadar atau tidak, telah melalaikan kewajiban dalam mendukung terselenggaranya pendidikan. Sebagai orang tua dari anak usia wajib belajar, misalnya, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya. Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban memberikan layanan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terelenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai limabelas tahun. Selama 61 tahun Indonesia merdeka, kita selalu ”kedodoran” dalam menghadapi tuntutan perubahan lingkungan. Bahkan, masalah pemerintah wajib menyediakan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari anggaran pemerintah, tak ubahnya seperti bola mainan. Besaran anggaran pendidikan 20 persen menjadi bahan perdebatan. Satu pihak beranggarapan, besaran itu termasuk anggaran gaji guru, pihak lain menyatakan besaran anggaran tersebut harus di luar gaji guru. Sedangkan sektor lain, juga membutuhkan anggaran yang besar, seperti kesehatan, prasarana umum, dan sebagainya. Hal ini berarti bahwa pada tataran perencanaan, kita sudah recok dengan debat yang tak kunjung padam. Pada tataran praktek, masukan (input) pendidikan selalu tidak memadai dengan harapan akan mutu pendidikan. Input pendidikan baik berupa sarana dan prasarana, sumber daya manusia: siswa, orang tua, guru, birokrat dan sebagainya. Selanjutnya dari segi proses, kita senantiasa sibuk dengan hal-hal yang bersifat birokratis: persyaratan kualifikasi guru, administrasi pendidikan, kinerja aparatur pemerintah di bidang pendidikan. Jika dari dua segi tersebut, yaitu input dan proses yang selalu bernilai ”kurang”, maka hasil yang dikeluarkan pun akan ”kurang”. Pada tingkat politik dan kebijakan, maka perlu diambil ketetapan yang tidak multi tafsir. Selama topik-topik kebijakan menjadi bahan perdebatan yang tidak ada habisnya, maka jangan berharap mutu pendidikan yang baik. Yang lebih memprihatinkan lagi jika topik-topik pendidikan menjadi menu kampanye politik atau dipolitisir untuk kepentingan tertentu. Selama ini perdebatan tentang kebijakan politik menghabiskan energi yang luar biasa besarnya. Pendidikan pada tataran sekolah, tempat ini harus benar-benar menjamin bertumbuhnya pribadi-pribadi siswa yang bertakwa, kreatif, mandiri, cerdas, dan berkepribadian. Oleh karena itu, guru sebagai fasilitator pendidikan harus mampu berperan sebagai orang yang memberi ”pupuk” bagi persemaian benih-benih pribadi siswa yang bertakwa, kreatif, mandiri, cerdas, dan berkepribadian. Tidak boleh satu aspek saja yang ditonjolkan, misalnya aspek kecerdasan intelektual semata-mata. Prasyarat untuk terlaksananya hal ini adalah dukungan dari pemerintah dalam bentuk pembinaan, tunjangan, arahan, yang benar-benar tulus didasari semangat untuk memajukan pendidikan. Seringkali, guru disibukkan dengan urusan administrasinya sendiri, sehingga mereka kekurangan waktu untuk ”mendidik”. Padahal, dalam konteks sekolah-sekolah negeri, terdapat tenaga tata usaha yang seharusnya mengejakan tugas-tugas administrasi. Kunci dari hal ini adalah kepemimpinan yang kuat baik dari Dinas maupun dari Kepala Sekolah. Jika ditarik garis pada sekolah swasta, maka kunci bagi jalan keluar hal ini adalah Yayasan dan Kepala Sekolah. Kepemimpinan yang kuat artinya kepemimpinan yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang dipimpin, melibatkan anggota yang dipimpin dalam mengambil keputusan, dan yang terpenting adalah yang mau menerima kritik, saran, pendapat, dan masukan. Pada tingkat masyarakat, sebagai komponen bangsa, masyarakat berhak berperan-serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Hak ini dilindungi oleh undang-undang. Dalam hak pelaksanaan program pendidikan, sudah banyak sekolah-sekolah swasta yang diselenggarakan oleh masyarakat. Pelaksanaan hak pengawasan, dalam kenyataannya sering berbenturan dengan tembok-tembok birokrasi atau dengan kepentingan tertentu. Peran dan partisipasi masyarakat, dalam hal pengawasan, sangat strategis dilakukan oleh media massa maupun lembaga swadaya masyarakat. Media massa dapat memberikan pengawasan pelaksanaan program pendidikan baik melalui pemberitaan maupun penyajian tulisan-tulisan kritis. Bahkan sesungguhnya media massa berperan dalam pendidikan melalui fungsi penyebarluasan informasi yang proporsional atau yang bersifat mendidik dan yang bersifat hiburan. Kalau demikian halnya, maka sesungguhnya mutu pendidikan sangat tergantung dari kita; diri kita sendiri, pemerintah, dan masyarakat. (*)

GURU PROFESIONAL: ANTARA MIMPI DAN KENYATAAN

Guru Profesional: Antara Mimpi dan Kenyataan Oleh Dwi Rohmadi Mustofa, S.Pd. Pemerhati pendidikan, tinggal di Bandar Lampung (Artikel ini pernah dimuat di Tabloid FOKUS, tahun 2007) Salah satu pertanyaan paradigmatik dalam penyelenggaraan pendidikan yang menjadi wacana sepanjang masa adalah; adakah guru profesional? Pertanyaan ini mengandung makna filosofis karena menuntut jawaban yang bercampur antara konsepsi, kebutuhan, dan praktek, serta kenyataan bahwa pendidikan berkaitan dengan kepentingan setiap orang. Dalam konsep pendidikan, guru dipandang sebagai salah satu unsur penting sebagai fasilitator yang aktif. Tentunya masih banyak unsur lain yang berperan dalam proses pendidikan seperti sarana dan prasarana, materi pendidikan, kurikulum, peserta didik, media belajar, dan sebagainya. Dalam pendidikan pada sistem persekolahan, guru berperan sebagai pendidik, pengajar, pembimbing, teladan, dan sebagainya. Pendek kata, guru adalah orang yang penting, di mana kehadirannya menjadi mutlak diperlukan. Dapat dibayangkan apa jadinya bila suatu kelas, dengan 40 siswa, misalnya, tanpa ada guru. Sedangkan persekolahan, dipandang oleh kebanyakan orang, sebagai suatu jalur pendidikan utama yang menjanjikan banyak hal; ilmu, pengetahuan, keterampilan, ijasah, dan prestise!. Di sisi lain, guru juga menjalani tugas-tugas harian yang sulit, yang tampak kontradiktif. Sebagai profesi mulia dan pengabdian kepada bangsa dan negara, tak pantas guru mengharapkan imbalan materiial atas jerih payah dan tetesan keringatnya. Tetapi, sebagai manusia, yang memiliki keinginan, kebutuhan, dan harapan, sangat naif jika bekerja tak mengharapkan imbalan atas jasanya. Guru memiliki keluarga, di mana umumnya, dalam satu keluarga, yang bekerja sebagai guru menjadi penopang atas kebutuhan keluarga tersebut. Terlalu banyak pula predikat yang diberikan bagi guru, walau kadang menjadi plesetan tak mengenakkan. Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Hal ini mengandung arti ganda; pertama, guru berkerja tanpa pamrih, tulus ikhlas, tanpa mengharapkan tanda jasa atau penghargaan. Namun ini juga dapat berarti bahwa guru tak perlu diperhatikan, karena pilihan profesi menjadi guru adalah pilihan mereka sendiri. ”Sudah tahu guru pahlawan tanpa tanda jasa, kenapa mau jadi guru!”. Guru digugu (bahasa Jawa) dan ditiru. Artinya, guru adalah orang yang segala sikap dan perilakunya menjadi panutan dan harus ditiru oleh siswanya. Predikat ini juga memposisikan guru dalam tempat yang mulia, tetapi terkadang membuat segala sesuatunya salah kaprah. Sebagai manusia, guru juga memiliki berbagai keterbatasan, kelemahan, dan kekurangan. Kalau semua sikap dan tingkah laku guru harus digugur dan ditiru, hal ini dapat membahayakan siswanya. Karena tidak semua sikap dan perilaku guru benar secara mutlak. Bagi siswa juga tidak menguntungkan karena mengurangi otonomi dan kemandiriannya. Tentu saja, jika yang ditiru hal-hal yang positif, tak jadi masalah. Masih banyak lagi istilah yang diberikan bagi profesi guru, seperti ”pelita dalam kegelapan”, ”embun penyejuk dalam kehausan” dan sebagainya. Dalam hymne guru, yang satu frase yang kiranya pas, adalah ”engkau patriot, pahlawan bangsa”. Tapi, hal ini juga bersambung dengan ”tanpa tanda jasa”. Bahkan sebenarnya, ”patriot”, dan ”pahlawan”, berkonotasi dengan ”tak mengharap imbalan”. Jadi, lagi-lagi, di pekerjaan sebagai guru disetting sebagai tak perlu mengharap imbalan. Meskipun demikian, kenyataannya sekarang adalah guru sebagai profesi. Pekerjaan yang digolongkan sebagai profesi mensyaratkan keahlian, pendidikan khusus, pekerjaan berkelanjutan, menjadi sumber matapencaharian, dan adanya imbalan yang pantas dan sebanding atas jasa yang diberikan. Oleh karena itu pertanyaan yang menggelayut sekarang adalah: adakah guru profesional? Jawabnya, tentu ada. Tingkatannya saja yang berbeda, tergantung bagaimana ukuran dan mengukurnya. Apakah guru profesional adalah mesti pegawai negeri sipil, apakah guru bantu termasuk profesional, bagaimana dengan keberadaan guru yang ”membantu” di sekolah-sekolah swasta di perdesaan, yang bekerja sebagai panggilan jiwa mendidik anak-anak di desa setempat, dan seterusnya. Secara istilah, jelaslah bahwa pekerjaan guru adalah profesi. Dari gambaran persekolahan, nyata juga bahwa guru berperan sentral dalam sekolah. Norma-norma yang tertuang dalam Undang-undang Guru dan Dosen yang diundangkan tahun 2005 sampai sekarang menjadi perdebatan, akibat dibutuhkannya aturan pelaksanaan yang demikian banyaknya. Paling tidak dibutuhkan 25 peraturan pemerintah sebagai landasan untuk melaksanakan amanat UU tersebut. Pelaksanaan atas amanat undang-undang tersebut juga membutuhkan anggaran, yang ”debatable” dengan Departemen Keuangan, APBN/APBD, dan seterusnya. Dugaan semula bahwa UU Guru dan Dosen menjadi ”angin surga” bagi profesi guru, ternyata terbukti. Meskipun patut disyukuri, bahwa UU tersebut dapat dijadikan payung hukum dan pegangan di masa depan bagi profesi guru dan dosen. Menjadikan suatu pekerjaan sebagai profesi yang dilaksanakan secara profesional memang bukan pekerjaan mudah. Apalagi ini menyangkut pendidikan anak bangsa, yang menjadi tumpuan harapan kemajuan dan kelangsungan negeri ini. Menjadikan guru profesional, paling tidak dipenuhinya persyaratan profesi tersebut: adanya keahlian, adanya pendidikan khusus, dan pekerjaan berkelanjutan. Hal ini mengisyaratkan bahwa guru juga harus terus ”di-upgrade” seiring perkembangan ilmu pengetahuan, kemajuan teknologi, perubahan kebijakan pemerintah, dan dinamika lingkungan masyarakat. Isu besar pendidikan di Indonesia sekarang ini adalah peningkatan kualitas, pemerataan kesempatan, dan keterkaitan pendidikan dengan ”dunia nyata”. Penulis tak ingin menggunakan istilah dunia kerja, karena istilah ini dapat mereduksi makna hakikat pendidikan. Peningkatan kualitas, tentunya, dalam semua aspek; mulai dari input, proses, output, dan segenap sumber daya yang dibutuhkan. Guru sebagai sumber daya manusia yang berperan strategis dalam lingkungan pendidikan, hendaknya menjadikan pekerjaan ini sebagai profesi yang dikerjakan secara profesional. Kesiapan secara mental psikologis dari guru sangat diperlukan dalam membentuk sikap profesional guru. Artinya, guru sendiri harus mengakui bahwa pekerjaan sebagai guru adalah pekerjaan yang menjanjikan; sebagaimana profesi lain. Sebagai guru, ia harus bangga menyandang segala atribut guru. Ia mesti tampil sebagai pelaksana tugas bangsa dan negara, menjalankan fungsi profesional, dan menjadi warga masyarakat yang terdepan dalam tindak-tanduk di lingkungannya. Tugas guru profesional, harus diakui, sangat berat. Ia harus melaksanakan fungsi pendidikan, pengajaran, administrasi, dan sebagainya. Malangnya, dalam banyak sekolah kita, fungsi-fungsi tersebut bercampur baur seperti benang kusut. Ini yang terjadi baik guru pegawai negeri maupun guru di sekolah swasta. Dalam sekolah, misalnya, guru harus mendidik, mengajar, dan melaksanakan tugas-tugas administrasi ”kepegawaian”, yang seharusnya dijalankan oleh petugas lain dalam sekolah, maupun kedinasan. Guru harus mengurus administrasi pangkat kepegawaiannya sendiri, sementara perlengkapan serba terbatas. Pemerintah sebagai pengemban amanah rakyat, hendaknya dapat lebih memperhatikan masalah ini. Hal ini juga memerlukan dukungan politisi, perguruan tinggi, dan masyarakat. Upaya menjadikan guru profesional, tidak saja membutuhkan anggaran, tapi juga keseriusan, komitmen, dan ketulusan. Anggaran besar saja, tidak akan menjadi jaminan keberhasilan menjadikan guru profesional. Pendidikan memang membutuhkan biaya. Pendidikan itu mahal. Tapi UUD negara kita secara eksplisit dan tegas menyatakan bahwa setiap warga negara berhak atas pendidikan dan pengajaran. Demikian juga halnya dengan komitmen di atas kertas dan ketulusan semata-mata. Alternatif yang mungkin adalah pembenahan secara simultan, bertahap, dan dengan kemauan yang tinggi dari semua kalangan. Dalam perspektif mikro, memprofesionalkan guru juga harus dibarengi dengan memprofesionalkan kepala sekolah dan tenaga administrasi, serta segala yang berkaitan dengan pekerjaan guru. Birokrasi ”Dinas” atau ”Yayasan” juga harus profesional. Manakala guru sudah melaksanakan kewajibannya, berikanlah segala sesuatu yang menjadi haknya. Sehingga nanti tidak ada lagi istilah, guru nyambi ngojek, pedagang keliling, atau guru nyambi jadi makelar. Pemberian penghargaan kepada guru sering dipolitisir, dengan berbagai alasan. Kenaikan gaji guru atau pemberian tunjangan, sering berhubungan dengan moment politik. Padahal, kenaikan gaji guru atau tunjangan (apapun namanya), sering lebih dulu dikejar oleh kenaikan harga kebutuhan pokok. (*)