Jumat, 03 Desember 2010

SIAPA MENJAMIN MUTU PENDIDIKAN?

Salah satu diskursus tentang pendidikan adalah masalah penjaminan mutu. Sampai kini belum ada “satu kata dan satu perbuatan” dalam memaknai topik ini. Dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, masalah penjaminan mutu pendidikan ini akan menjadi tema abadi yang diperbincangkan. Persoalannya, siapa yang menjamin mutu pendidikan? Pemerintah, masyarakat, peserta didik itu sendiri, atau lembaga pendidikan?
Sudah sejak lama upaya-upaya untuk memberikan jaminan akan mutu pendidikan. Bentuknya bisa bermacam-macam; ujian nasional, akreditasi, sertifikasi, evaluasi, monitoring, atau apapun nama sejenisnya. Apabila sekarang muncul perdebatan tentang Ujian Nasional, Akreditasi sekolah, akreditasi program studi dan perguruan tinggi, maka sebenarnya itu hanyalah jelmaan atau pengulangan dari apa yang sudah digagas sejak lama.
Bicara mutu, memang mudah. Tapi mendefinisikan mutu, itu yang sulit. Ketika dikejar dengan berbagai pertanyaan, apakah mutu itu, setiap orang akan memberikan argmentasi, yang berbeda. Keragaman jawaban itu mencerminkan persepsi masing-masing terhadap sesuatu  yang disebut mutu.  (lanjut*****)

Rabu, 24 November 2010

Guru, Siswa, dan Terpaan Informasi

Artikel ini dimuat pada Radar Lampung, Kamis, 25 November 2010   -  
Tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru. Momen ini perlu dimaknai tidak sekadar seremonial dan hanya menjadi panggung pejabat (terutama pejabat di bidang pendidikan). Guru dan semua pihak terkait perlu merefleksikan terhadap apa yang sudah dikontribusikan bagi pendidikan. Kita semua seyogyanya memberikan apresiasi, atensi, partisipasi, dukungan, kontribusi, dan motivasi bagi guru. Sepantasnya kita memberikan kado bagi segenap guru di manapun berada. Guru yang telah mendedikasikan hidupnya untuk mendidik generasi muda. Guru yang sepenuh hati dan ketulusan menyemai benih-benih ajaran dan pembelajaran dengan kasih sayang. Meski aral melintang, dan segala tantangan menghadang. Salah satu tantangan yang nyata adalah keterbatasan imbalan material. Meskipun harus pula diakui tidak semua guru menghadapi tantangan dan keterbatasan seperti ini. Dan tuntutan yang terberat adalah menjaga setiap tindak lakunya agar senantiasa sejalan dengan norma dan etika. Sebab status guru tetap melakat ketika dia sudah pulang ke rumah. Salah sedikit saja, risikonya terlalu besar. Kecaman pertama-tama akan diarahkan pada predikatnya sebagai guru, bukan sebagai pribadi manusia, yang mungkin saja khilaf, lupa, dan alpa. Apa hendak dikata, bila profesi guru sudah menjadi pilihan dan pengabdian bagi pendidikan telah menjadi ketetapan hati. (lanjut*****)

Rabu, 06 Oktober 2010

MENAJAMKAN MANAJEMEN PENDIDIKAN

(Artikel ini dimuat Harian Radar Lampung, edisi Jumat, 15 Oktober 2010)  
Menyelenggarakan pendidikan yang bermutu menjadi tugas negara sebagai amanah konstitusi. Dari sisi rakyat, mendapat kesempatan pendidikan adalah hak. Sedangkan bagi negara, penyelenggaraan pendidikan secara melembaga, merupakan kewajiban. Meskipun demikian, partisipasi masyarakat secara individual maupun kelompok menjadi sangat penting.
Salah satu problematika dalam pendidikan adalah cara pandang terhadap mata rantai proses pendidikan yang masih parsial. Pendidikan harus diposisikan sebagai suatu sistem, sehingga cara pandang terhadap pendidikan juga harus sebagai suatu sistem. Selama ini jika muncul masalah dalam pendidikan, misalnya kegagalan dalam ujian nasional, kebocoran soal ujian, tawuran pelajar, dan sebagainya, maka pandangan pertama tersorot dialamatkan kepada sosok guru. Aspek manajemen atau birokrasi masih kurang mendapat perhatian. Beberapa kasus yang mencuat seperti gedung sekolah yang rusak, soal ujian nasional yang bocor, pungutan-pungutan kepada wali siswa, rintisan sekolah bertaraf internasional, keterlambatan pembayaran tunjangan guru di beberapa daerah, merupakan problem manajemen pendidikan. Program peningkatan pendidikan melalui peningkatan kualitas guru memang merupakan pilihan prioritas yang logis. Hal seperti ini juga membanggakan bagi guru. Karena berarti profesi guru dipandang sebagai profesi yang teramat mulia dan strategis dan mendapat perhatian lebih. (lanjut*****)

Jumat, 24 September 2010

ASUMSI

Hidup harus punya asumsi. Bahkan terkadang disadari ataupun tidak, asumsi itu selalu ada. Tapi, tidak semua asumsi itu terbukti. Sebagian asumsi terbukti, (mungkin) sebagian besar tidak terbukti. Jika kita tidak memiliki asumsi, sama saja dengan orang yang tidak punya harapan. Asumsi-asumsi adalah gambaran tentang segala sesuatu di masa datang. Asumsi-asumsi itu menjadi kompas yang mengarahkan jalan hidup. Contoh kecil, kita berasumsi bahwa masa depan kita akan dapat hidup sejahtera, bahagia, lebih baik, dan seterusnya. Tetapi seiring waktu yang dilalui, ternyata faktanya tidak selalu seperti yang kita bayangkan. Asumsi adalah laksana hipotesis. Jadi, pada dasarnya setiap saat kita selalu mengajukan suatu hipotesis. Sekali lagi, hipotesis itu bisa disadari bisa tidak, bisa diungkapkan secara nyata, bisa juga tetap tersimpan rapi dalam hati dan pikiran. Agar hidup ini lapang, maka kita perlu membangun asumsi-asumsi tentang keterbukaan. Asumsikan bahwa setiap masalah dapat diselesaikan. Atau, tidak semua masalah mesti kita selesaikan sekarang! Sebaliknya, kita perlu menghindarkan diri dari memikirkan sesuatu secara kerdil. Asumsikan setiap orang adalah baik, berniat baik, dan akan baik kepada diri kita. Kalaupun nyatanya nanti, ada orang yang tidak bersikap tidak baik kepada kita, itulah yang dimaksud bahwa tidak semua asumsi terbukti benar.

Rabu, 15 September 2010

Meninjau Motivasi Guru

(artikel ini dimuat Radar Lampung, Kamis, 16 September 2010)
Menjadi guru idealnya merupakan panggilan jiwa yang terdalam. Pilihan menjalani profesi ini didasarkan pada minat, hasrat, dan motivasi, untuk mengabdikan diri pada pendidikan generasi bangsa. Profesi ini diyakini sebagian besar orang sebagai profesi yang mulia. Bahkan, ada yang memberi makna lebih jauh, yaitu bahwa menjadi guru adalah ibadah sepanjang waktu.
Sekarang muncul sinyalemen bahwa sebagian guru terdegradasi pada motif-motif lain selain dedikasi pada pemberdayaan dan pembudayaan generasi muda. Indikasi hal ini antara lain pada upaya mengejar status bukan pada proses dan hasil. Wujud kongkret indikatornya seperti, pertama, menjadi guru karena dalam beberapa tahun ke depan, diasumsikan “cukup mudah” menjadi pegawai negeri sipil (PNS), sehingga Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dibanjiri peminat; kedua, yang sudah menjadi guru, berusaha dengan berbagai cara mengikuti program sertifikasi guru. Persyaratan formal untuk itu seperti kegiatan pengembangan profesi, dipenuhi sebagai formalitas bukan substansi; ketiga, yang sudah berstatus guru profesional bersertifikasi, sibuk menghitung-hitung nilai dana tunjangan profesional dan menggunakan dana tunjangan profesional itu untuk berbagai keperluan konsumtif belaka, yang jauh dari hakikat pengembangan profesi; keempat, yang belum PNS berlomba-lomba mengintip peluang. Apa yang dapat diungkapkan di atas sebenarnya tidak ada salahnya manakala semuanya didasarkan pada motivasi pengabdian. Keputusan memasuki LPTK untuk nantinya menjadi guru hendaknya dimaknai sebagai panggilan hati nurani, sehingga sejak awal sudah menanamkan sikap dan membangun kepribadian sebagai guru. Menjadi guru PNS berarti terbukanya peluang lebih aktif dalam kiprah pendidikan. Menjadi guru bersertifikasi, berarti meningkatkan kinerja proses dan hasil membelajarkan peserta didik secara optimal. Hemat penulis, guru masa kini adalah guru yang berpikiran terbuka (open minded), menghargai kekayaan ragam latar peserta didik dan membelajarkan dengan menyenangkan. Guru masa kini adalah guru yang dirindu siswa untuk menjadi tempat bertanya dan teman diskusi yang menggembirakan sekaligus mencerahkan. Guru ideal masa kini adalah guru yang senantiasa haus akan pengetahuan sehingga gerak langkah kesehariannya senantiasa diwarnai dengan usaha-usaha untuk juga belajar. Ia menjadikan buku sebagai mahkota statusnya, dan aktivitas membaca sebagai kebutuhan. Ia memanfaatkan organisasi profesi dan teman sejawat sebagai medium dan mitra diskusi. Profil guru ideal, adalah guru yang dalam proses pembelajaran menjadi pelecut kreativitas siswanya. Ia tidak menyerah oleh keadaan. Ia merasa selalu tertantang untuk memberikan yang terbaik bagi pendidikan anak-anak bangsa. Guru ideal adalah guru yang progresif sekaligus sabar dalam membimbing. Guru yang baik adalah ia yang tidak terjebak dalam rutinitas semu. Ia tidak terbelenggu slogan, tetapi menjadikan hikmah sebagai spirit meraih prestasi. Ia selalu menemukan hal-hal baru yang dapat dijadikan inspirasi bagi pembelajaran siswanya. Ia memiliki daya juang dan daya tahan yang lebih baik dari kebanyakan orang. (lanjut*****)

Meninjau Motivasi Guru


(artikel ini dimuat Radar Lampung, Kamis, 16 September 2010)

Menjadi guru idealnya merupakan panggilan jiwa yang terdalam. Pilihan menjalani profesi ini didasarkan pada minat, hasrat, dan motivasi, untuk mengabdikan diri pada pendidikan generasi bangsa. Profesi ini diyakini sebagian besar orang sebagai profesi yang mulia. Bahkan, ada yang memberi makna lebih jauh, yaitu bahwa menjadi guru adalah ibadah sepanjang waktu.
Sekarang muncul sinyalemen bahwa sebagian guru terdegradasi pada motif-motif lain selain dedikasi pada pemberdayaan dan pembudayaan generasi muda. Indikasi hal ini antara lain pada upaya mengejar status bukan pada proses dan hasil. Wujud kongkret indikatornya seperti, pertama, menjadi guru karena dalam beberapa tahun ke depan, diasumsikan “cukup mudah” menjadi pegawai negeri sipil (PNS), sehingga Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dibanjiri peminat; kedua, yang sudah menjadi guru, berusaha dengan berbagai cara mengikuti program sertifikasi guru. Persyaratan formal untuk itu seperti kegiatan pengembangan profesi, dipenuhi sebagai formalitas bukan substansi; ketiga, yang sudah berstatus guru profesional bersertifikasi, sibuk menghitung-hitung nilai dana tunjangan profesional dan menggunakan dana tunjangan profesional itu untuk berbagai keperluan konsumtif belaka, yang jauh dari hakikat pengembangan profesi; keempat, yang belum PNS berlomba-lomba mengintip peluang.
Apa yang dapat diungkapkan di atas sebenarnya tidak ada salahnya manakala semuanya didasarkan pada motivasi pengabdian. Keputusan memasuki LPTK untuk nantinya menjadi guru hendaknya dimaknai sebagai panggilan hati nurani, sehingga sejak awal sudah menanamkan sikap dan membangun kepribadian sebagai guru. Menjadi guru PNS berarti terbukanya peluang lebih aktif dalam kiprah pendidikan. Menjadi guru bersertifikasi, berarti meningkatkan kinerja proses dan hasil membelajarkan peserta didik secara optimal.
Hemat penulis, guru masa kini adalah guru yang berpikiran terbuka (open minded), menghargai kekayaan ragam latar peserta didik dan membelajarkan dengan menyenangkan. Guru masa kini adalah guru yang dirindu siswa untuk menjadi tempat bertanya dan teman diskusi yang menggembirakan sekaligus mencerahkan. Guru ideal masa kini adalah guru yang senantiasa haus akan pengetahuan sehingga gerak langkah kesehariannya senantiasa diwarnai dengan usaha-usaha untuk juga belajar. Ia menjadikan buku sebagai mahkota statusnya, dan aktivitas membaca sebagai kebutuhan. Ia memanfaatkan organisasi profesi dan teman sejawat sebagai medium dan mitra diskusi.
Profil guru ideal, adalah guru yang dalam proses pembelajaran menjadi pelecut kreativitas siswanya. Ia tidak menyerah oleh keadaan. Ia merasa selalu tertantang untuk memberikan yang terbaik bagi pendidikan anak-anak bangsa. Guru ideal adalah guru yang progresif sekaligus sabar dalam membimbing. Guru yang baik adalah ia yang tidak terjebak dalam rutinitas semu. Ia tidak terbelenggu slogan, tetapi menjadikan hikmah sebagai spirit meraih prestasi. Ia selalu menemukan hal-hal baru yang dapat dijadikan inspirasi bagi pembelajaran siswanya. Ia memiliki daya juang dan daya tahan yang lebih baik dari kebanyakan orang.
Guru ideal adalah ia yang selalu memperkuat basis kemampuan analisis dan metodologis menemukan masalah sekaligus mencari solusi. Dalam prakteknya ini berbentuk kemampuan guru dalam melakukan penelitian; apakah itu penelitian tindakan, penelitian deskriptif, penelitian eksperimen, maupun penelitian kuantitatif. Karya tulis hasil penelitian yang dilakukan dengan penuh kesungguhan adalah bukti fisik dan otentik portofolio. Soal karya tulis menjadi suatu persyaratan kenaikan pangkat, hendaknya dipandang sebagai suatu implikasi belaka. Singkatnya guru ideal adalah guru yang menerapkan pembelajaran yang humanis.  
Untuk mewujudkan sosok guru yang ideal, profesional, dan sekaligus humanis bukan perkara mudah. Semuanya berpulang pada diri guru itu sendiri. Pemerintah, melalui program sertifikasi, dapat diapresiasi telah melaksanakan suatu program yang ideal menuju peningkatan mutu pendidikan. Meskipun dalam implementasinya banyak menuai kritik dan perlu pembenahan di masa depan.
Sekarang saatnya bagi guru untuk melakukan peninjauan kembali ke dalam diri sendiri. Merefleksikan atas apa yang sudah dikontribusikan bagi pendidikan. Sebagai guru yang menjadi salah satu pilar penopang kelangsungan peradaban kemanusiaan, tak ada salahnya menanyakan kembali motif dasar terjun ke dunia pendidikan. Mempertanyakan dan selalu meninjau kembali kiprah diri dalam pembelajaran guna mempertajam kemampuan analisis persoalan. Menjadikan kritik dan saran sebagai resep memperbaiki diri. Menjadikan pendapat orang lain sebagai gizi bagi peningkatan profesi.
Untuk memperbaiki diri rasanya tak perlu menunggu momentum. Setiap saat bisa (dan harus) dilakukan. Logikanya, untuk dapat melahirkan generasi muda yang berprestasi, guru harus memiliki motivasi berprestasi. Motivasi dari dalam diri sendiri, diyakini lebih bernilai dari pada motivasi dari luar diri. Ketika motivasi dari dalam diri sudah terbentuk dan kuat, maka motivasi dari luar dapat menjadi penambah daya dan stamina.
Motivasi dari dalam diri sendiri antara lain keyakinan bahwa dedikasi terhadap pendidikan bernilai ibadah, menjadi guru adalah hasrat dan minat yang kuat sejak lama. Dengan demikian menjalani profesi sebagai guru dengan keikhlasan dan senang hati, tapi bukan pasrah pada nasib. Mereka yang memiliki motivasi dari dalam diri yang kuat, memiliki keyakinan bahwa semua usaha akan mencapai hasil dan dampak positif yang menjadi ikutan adalah sesuatu yang nicaya.
Motivasi dari luar seperti keinginan memperoleh status pengakuan dan penghargaan. Kehendak untuk mendapat imbalan finansial maupun nonfinansial atas hasil kerjanya. Tunjangan profesional bagi guru bersertifikasi, maupun tunjangan-tunjangan lain, serta status kepangkatan, adalah dampak dan implikasi dari suatu usaha dan kinerja.
Guru yang memiliki motivasi dari dalam diri yang kuat adalah mereka yang memiliki konsep diri yang selalu positif. Ia memiliki antusiasme yang luar biasa terhadap berbagai peluang dan kemajuan, tetapi sekaligus memiliki mekanisme dalam diri berupa sikap antisipatif terhadap berbagai tantangan di masa depan. Ia mempercayai bahwa definisi sukses adalah suatu pencapaian dengan usaha keras, bukan pemberian maupun hasil dari kegiatan-kegiatan yang bersifat formalitas belaka. Semoga berbagai harapan dan aspirasi segenap orang tua terhadap pendidikan yang terbaik bagi anak-anak mereka dapat terwujud. (*)

Jumat, 03 September 2010

Ijazah Palsu dan Kapitalisme Pendidikan

(artikel ini dimuat Radar Lampung, edisi Kamis, 02 September 2010)
Berbicara tentang kapitalisme pendidikan, maka pasti akan banyak pihak yang menangkap kesan hiperbolik atau melebih-lebihkan. Tetapi, jika melihat fakta-fakta di lapangan, kapitalisme pendidikan itu nyata. Kapitalisme, anehnya, sering diartikan secara sempit, dan celakanya lagi dikonotasikan dengan duniawi semata-mata seakan-akan tidak bertuhan.
Hari Rabu, 1 September 2010 Harian Radar Lampung, tampil dengan headline "10 Guru Terlibat Ijazah Palsu". Mengapa ini bisa terjadi? Menurut hemat saya, selain faktor eksternal, seperti peluang mengikuti program sertifikasi bagi guru, iming-iming dari penyedia ijazah yang mungkin  "mamer" alias mahal meriah itu, tetapi faktor internal individu juga berperan penting. Andai saja mereka menyadari betapa jalan pintas yang mereka tempuh sangat kontras dengan statusnya sebagai guru, tentu ini tidak akan terjadi.
Kasus ini jelas memprihatinkan, karena bisa merosotnya citra guru. Kita tahu tidak semua guru melakukan pemalsuan. Masih amat banyak guru yang berdedikasi, meskipun terkadang tidak mendapat kesempatan untuk melejitkan potensi dirinya guna lebih mengoptimalkan pengabdiannya pada dunia pendidikan.
Kasus ijazah palsu, yang diduga dilakukan oleh guru, mencerminkan adanya kapitalisme di dunia pendidikan. Sertiikasi dipandang sebagai medium memperoleh tunjangan. Implikasinya adalah kesejahteraan. Jika dilihat dalam kacamata ideal, memang tujangan profesional yang diberikan pemerintah, dimaksudkan untuk memperbaiki kesejahteraan guru, sehingga diharapkan kinerjanya meningkat. Tetapi, kalau mengikuti program sertifikasi itu dengan cara-cara yang ilegal, maka apa yang diharapkan dari peningkatan kinerja dapat dipastikan omong kosong. (lanjut*****)

Rabu, 25 Agustus 2010

SUDUT PANDANG

Setelah mengamati perbedaan-perbedaan pendapat, keputusan, maupun sikap dan tindakan, saya menyadari bahwa itu semua sebenarnya hanyalah perbedaan sudut pandang. Dalam keragaman pandangan itu sesungguhnya terbentang cakrawala dan pelangi keindahan. Oleh karena itu jangan pernah memaksakan kehendak, mengakui kebenaran sendiri, dan merendahkan pendapat orang lain. Satu hal, bisa dipersepsi berbeda-beda oleh banyak orang. Persepsi itulah yang mengandung kebenaran, menurut orang itu sendiri. Jadi tidak salah. Pun demikian, jika saya mempunyai pandangan, pendapat, dan persepsi tersendiri atas suatu hal.
Adakah kebenaran absolut selain Tuhan yang Maha Kuasa? 

Minggu, 27 Juni 2010

IJAZAH PALSU DAN MORALITAS


Artikel ini dimuat Radar Lampung, Senin, 21 Juni 2010
Mencuatnya kasus dugaan ijazah palsu mencoreng dunia pendidikan di Lampung. Besar harapan kasus ini segera dituntaskan, agar “nila setitik” tidak merusak “susu sebelanga”. Semoga para pihak yang berwenang terketuk untuk membongkar kasus ini hingga ke akar-akarnya, tidak pandang bulu, dan terbuka. Dugaan bahwa ijazah palsu adalah fenomena puncak gunung es, tampaknya mendekati kebenaran. Belum tuntas kasus dugaan ijazah palsu yang melilit  Sally Budi Utami dan Rizki Thabrani, dua warga Lampung, belakangan kembali muncul kasus serupa. Ini selain kasus dugaan ijazah palsu yang terkait dengan pencalonan menjadi kepala desa (peratin) atau untuk menduduki jabatan politik tertentu. Dalam kasus yang melibatkan guru ini memang sungguh ironis. Sebab, mereka sosok yang semestinya menjadi panutan, yaitu guru. Ia yang semestinya memberikan teladan, bimbingan, dan pembinaan kepada anak-anak didik, sebagai generasi muda bangsa. Dua kasus dugaan ijazah palsu yang serupa, melibatkan empat orang ini, jika terbukti, dapat dikategorikan menjadi dua. Yaitu untuk melamar menjadi calon pegawai negeri sipil dan untuk melengkapi persyaratan sertifikasi profesi. Keduanya merupakan usaha pemerintah dalam meningkatkan sumber daya aparatur. Tapi apa lacur, yang dilakukan mereka justru usaha-usaha yang sebaliknya. Dalam pandangan penulis, kasus pemalsuan ijazah bukan hanya merupakan pelanggaran hukum, tetapi yang lebih penting adalah telah menjungkirbalikkan tatanan sosial.(lanjut*****)

Minggu, 23 Mei 2010

WADAH KREATIVITAS

Anak-anak kita perlu diberikan wahana untuk menuangkan kreativitasnya. Proses pendidikan harus menyeluruh pada semua aspek pribadi dan kemampuannya. Kesempatan itu bisa berupa apa saja; baik waktu, alat, sarana, dorongan, bimbingan, arahan, dan bahkan "membiarkan" anak menentukan pilihannya sendiri.
Jika Anda percaya, "Berilah anak-anak kesempatan melakukan, maka mreka pasti bisa"; maka itu dapat dikatakan sudah 90 persen keberhasilan. Mengapa di masa lalu, sering orang tua menjerit ketika melihat anak kecil terjatuh? Faktor apa yang mendorong mereka bereaksi terkejut? Di sisi lain, jika anak terjatuh, tetapi tidak ada yang melihat, atau tidak ada orang di sekitarnya yang menjerit kaget, maka anak tersebut tidak akan menangis. Paling-paling meringis kalau memang dia kesakitan. Jadi, kalau ada anak kecil terjatuh dan mendengar ada orang lain di sekitarnya yang menjerit, maka dia akan menangis sekuat-kuatnya: mencari perhatian. 
Blogg dapat dipandang sebagai media penyaluran kreativitas bagi anak-anak, remaja kita. Pemberian bimbingan, arahan, dan pembelajaran bagaimana berkreasi di blog, agar tidak melanggar norma atau disalahgunakan, memang diperlukan. Terutama bagi blogger pemula, atau yang memang dipandang perlu pendampingan khusus.

Jumat, 21 Mei 2010

Kurikulum Pendidikan yang Berkarakter





Oleh Dwi Rohmadi Mustofa
Mahasiswa Magister Teknologi Pendidikan
Universitas Lampung


Dewasa ini berkembang tuntutan untuk perubahan kurikulum pendidikan yang mengedepankan perlunya membangun karakter bangsa. Hal ini didasarkan pada fakta dan persepsi masyarakat tentang menurunnya kualitas sikap dan moral anak-anak atau generasi muda. Yang diperlukan sekarang adalah kurikulum pendidikan yang berkarakter; dalam arti kurikulum itu sendiri memiliki karakter, dan sekaligus diorientasikan bagi pembentukan karakter peserta didik.


Melihat situasi “produk” pendidikan dari dekade sebelumnya, para orang tua, secara subyektif, sering membuat perbandingan antara situasi pendidikan masa kini dengan situasi di mana mereka dulu mengalami pendidikan di sekolah. Atas situasi, sikap, perilaku sosial anak-anak, remaja, generasi muda sekarang, sebagian orang tua menilai terjadinya kemerosotan atau degradasi sikap atau nilai-nilai budaya bangsa. Mereka menghendaki adanya sikap dan perilaku anak-anak yang lebih berkarakter, kejujuran, memiliki integritas yang merupakan cerminan budaya bangsa, dan bertindak sopan santun dan ramah tamah dalam pergaulan keseharian. Selain itu diharapkan pula generasi muda tetap memiliki sikap mental dan semangat juang yang menjunjung tinggi etika, moral, dan melaksanakan ajaran agama.

Jika ditarik garis lurus bahwa mereka yang kini menjadi orang dewasa adalah produk pendidikan pada beberapa dekade sebelumnya, maka yang dipertanyakan adalah kurikulum pendidikan di masa sebelumnya itu.

Apa yang dilakukan oleh beberapa orang tua tersebut tidak sepenuhnya salah. Ada baiknya dilakukan “review” menyeluruh terhadap suatu kurikulum pendidikan. Kehendak untuk melakukan peninjauan kurikulum, sesungguhnya, bukan hanya semata-mata atas desakan dan tuntutan para orang tua. Perbaikan kurikulum merupakan bagian tak terpisahkan dari kurikulum itu sendiri (inherent), bahwa suatu kurikulum yang berlaku harus secara terus-menerus dilakukan peningkatan dengan mengadobsi kebutuhan yang berkembang dalam masyarakat dan kebutuhan peserta didik. Kunci sukses implementasi kurikulum terutama adalah pada pendidik, kelembagaan sekolah, dukungan kebijakan strategis, dan lingkungan pendidikan itu sendiri.

Definisi kurikulum memang sangat beragam, baik dalam arti luas maupun dalam arti sempit. Tetapi untuk tujuan penulisan ini, kiranya perlu dikutip pernyataan Sukmadinata (2004:150) yang mengatakan, kurikulum merupakan rancangan pendidikan yang merangkum semua pengalaman belajar yang disediakan bagi siswa di sekolah. Dalam kurikulum terintegrasi filsafat, nilai-nilai, pengetahuan, dan perbuatan pendidikan.

Selanjutnya dijelaskan, dalam memahami konsep kurikulum, setidaknya ada tiga pengertian yang harus dipahami, yaitu; (1) kurikulum sebagai substansi atau sebagai suatu rencana belajar; (2) kurikulum sebagai suatu sistem, yaitu sistem kurikulum yang merupakan bagian dari sistem persekolahan dan sistem pendidikan, bahkan sistem masyarakat; (3) kurikulum sebagai suatu bidang studi, yaitu bidang kajian kurikulum, yang merupakan bidang kajian para ahli kurikulum, pendidikan dan pengajaran.

Mengacu pada pendapat tersebut, dapat ditegaskan bahwa kurikulum merupakan rancangan pendidikan, yang berisi serangkaian proses kegiatan belajar siswa. Dengan demikian secara implisit kurikulum memiliki tujuan yaitu tujuan pendidikan. Selain itu juga jelas bahwa banyak faktor yang terkait dengan pelaksanaan pendidikan, yaitu guru, siswa, orang tua, dan lingkungan.

Manajemen persekolahan juga menjadi variabel penting dalam mewujudkan tujuan pendidikan. Bagaimana iklim sekolah diciptakan, turut berperan dalam mewarnai anak didik. Apakah iklim kebebasan, disiplin, ketertiban, dan kreativitas benar-benar tercipta di lingkungan sekolah.

 Pendidikan Karakter
Di masa lalu, dogma atau doktrin negara dilakukan melalui penataran-penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) atau melalui mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Pelaksanaan penataran P4 juga menjadi program wajib setiap siswa baru pada jenjang sekolah menengah sampai perguruan tinggi.
Pada semua mata pelajaran, secara implisit termuat tujuan pembelajaran yaitu adanya perubahan kognitif, sikap, dan perilaku pebelajar. Kesemua kegiatan pembelajaran, khususnya untuk mata pelajaran yang terkait langsung dengan pembangunan mental dan moral pebelajar, itu dimaksudkan sebagai usaha untuk membentuk sikap warga negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya bangsa, mempererat persatuan dan kesatuan, menciptakan kesadaran hidup bernegara, dan membangun moral bangsa. Faktanya, setelah berlangsung bertahun-tahun, “produk” penataran P4 itu tidak sesuai dengan yang diharapkan. Penyakit sosial dan penyakit masyarakat masih saja merebak. Sudah bukan lagi disebut sebagai kenakalan remaja. Yang terlihat sekarang adalah perilaku tidak jujur, korupsi, kolusi, nepotisme, suap, makelar kasus, bahkan tindakan terorisme, hilangnya sikap kesabaran, pelanggaran norma masyarakat, merosotnya disiplin berlalu-lintas di jalanan, memudarnya rasa malu, meredupnya sikap saling menghargai, dan sebagainya.
Selain itu, yang juga tampak menonjol adalah rendahnya penghargaan terhadap karya sendiri dan atau karya bangsa sendiri. Hal ini diindikasikan dengan tindakan pembajakan produk yang melanggar hak cipta, perilaku mencontek dalam ujian, dan bahkan sikap mengagung-agungkan gelar, telah melunturkan etos belajar, sehingga terjadi pemalsuan ijazah. Apalagi ditambah dengan sikap konsumerisme dan gempuran iklan produk konsumtif yang menyerbu setiap hari melalui berbagai media, kian menunjukkan betapa kita telah kehilangan jati diri dan tidak mempunyai karakter.  
Dalam tataran ini, belajar atau sekolah dianggap bukan sebagai kebutuhan, tetapi hanya merupakan wahana memburu status. Sekolah dipandang bukan sebagai wahana sosialisasi dan membangun jiwa merdeka, tetapi dipandang sebagai jembatan menuju “kemewahan”.
Dalam hemat penulis, pendidikan berbeda dengan indoktrinasi. Pendidikan lebih bermuatan nilai-nilai kemanusiaan, sedangkan indoktrinasi berkaitan dengan kepentingan politik. Pendidikan bukan untuk menciptakan kemakmuran lahiriah, karena kemakmuran itu hanya merupakan dampak dari pendidikan.


Kurikulum Pendidikan
Pertanyaannya, adakah yang salah dalam kurikulum pendidikan di masa lalu? Apakah kurikulum di masa lalu tidak memuat pendidikan karakter? Apakah kurikulum itu sendiri telah memiliki karakter, sehingga mampu membentuk karakter peserta didik? Sebagaimana diketahui, bahwa suatu kurikulum diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi pada masanya. Kurikulum yang berlaku pada masanya itu dapat dipandang telah memiliki kesesuaian dengan situasi dan kondisi pada waktu itu dan memiliki tujuan-tujuan ideal yang telah dipertimbangkan dengan matang.
Kurikulum pendidikan yang berlaku dalam persekolahan di Indonesia telah mengalami berbagai penyempurnaan, terakhir dengan apa yang disebut sebagai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), yang merupakan implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) (Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan).

Implikasi lain dalam KTSP dan diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom adalah desentralisasi pengelolaan pendidikan kepada pemerintah daerah.
Diskusi yang berkembang kemudian adalah kesiapan daerah dalam melaksanakan pengelolaan pendidikan dan mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan. Selain itu juga terkait dengan batas-batas kewenangan pemerintah pusat dalam memberikan dukungan pelaksanaan KTSP. 
KTSP telah mengatur segala prinsip dan ketentuan-ketentuan pelaksanaanya. Yang sekarang tampak nyata adalah kendala-kendala dalam implementasi, di mana faktor kesiapan guru, ketersediaan sarana, kesiapan siswa, dan dukungan dari orang tua atau masyarakat yang kurang memadai.

 Kemandirian Bangsa
Indonesia dikenal sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar. Kondisi ini secara ekonomi menjadi target pasar yang besar pula bagi produk-produk negara lain. Apabila kondisi ini tidak diimbangi dengan perbaikan sektor pendidikan, maka dapat diprediksi situasi yang semakin buruk, yaitu bahwa bangsa dan negara dengan jumlah penduduk yang besar ini hanya akan menjadi target pemasaran produk dan budaya dari luar (asing).
Selama ini masyarakat Indonesia juga dikenal sebagai bangsa yang gemar mengkonsumsi, tetapi lalai dalam aspek “produksi”. Longgarnya regulasi, kesiapan mental yang mampu memfilter masuknya budaya negatif dari luar, dan tekanan globalisasi atau pasar bebas, semakin memperkeruh situasi ini.
Pandangan tentang apa yang datang dari luar selalu baik, tanpa mempertimbangkan baik dan buruknya, melahirkan ketidakseimbangan peradaban. Atau lebih tepatnya disebut “keterkejutan budaya (cultural shock)”
Kategorisasi era perkembangan teknologi dari era agraris, era industri, dan era teknologi modern, telah nyata dalam kehidupan sebagian masyarakat kita. Contoh paling nyata adalah petani di sawah yang memiliki handphone, hanya sekadar agar tidak disebut “kuno”, atau ketinggalan jaman, tetapi tidak menggunakan handphone itu untuk kepentingan-kepentingan fungsionalnya. Contoh ini hanyalah merupakan salah satu paradok kehidupan yang terkait dengan pendidikan. Masih banyak contoh lain yang dapat diajukan dalam menunjukkan “keterkejutan budaya” sebagai dampak penerapan kurikulum pendidikan persekolahan. Keterombang-ambingnya generasi muda di “persimpangan budaya” memerlukan komitmen kalangan pendidik untuk mampu memberikan rambu-rambu dan sekaligus menanamkan nilai-nilai dan falsafah budaya bangsa sendiri tetap dalam kerangka kehidupan berbangsa dan bernegara.



Membangun Peradaban

Menghadapi tuntutan era globalisasi yang antara lain ditandai dengan adanya persaingan bebas dalam pergaulan dunia, maka pengelolaan pendidikan harus dirancang secara komprehensif dan integratif, direncanakan secara matang, dan mendapat dukungan dari semua pihak. Kurikulum juga harus memiliki keseimbangan dalam hal tujuan-tujuan yang ingin dicapai; tidak saja aspek kognitif dan keterampilan, tetapi juga penting aspek-aspek mental, etika, moral, dan seni.

Trianto (2010:11) mengatakan, perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh perubahan global, perkembangan ilmu pengetahuan danteknologi, serta seni dan budaya.

Dalam kaitan ini, yang terpenting adalah pencapaian substansi tujuan pendidikan dan proses pendidikan yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan. Kurikulum adalah serangkaian proses pembelajaran untuk membentuk siswa yang memiliki integritas dan membangun sikap mandiri dalam rangka menghadapi kehidupan di masa depan. Sikap mental mandiri individual dalam diri siswa, secara kolektif dan kumulatif pada akhirnya akan mampu membentuk sikap mental kemandirian bangsa.

KTSP yang diidealkan sekarang harus dilaksanakan dengan sepenuh hati oleh semua pihak dan dukungan dari pemerintah pusat berupa kebijakan-kebijakan yang benar-benar berorientasi pada pencapaian tujuan-tujuan diterapkannya KTSP. Konsepsi kompetensi dalam kurikulum adalah; (1) kompetensi berkenaan dengan kemampuan siswa melakukan sesuatu dalam berbagai konteks; (2) kompetensi menjelaskan pengalaman belajar yang dilalui siswa untuk menjadi kompeten; (3) kompeten merupakan hasil belajar yang menjelaskan hal-hal dilakukan siswa setelah melalui proses pembelajaran; dan (4) keandalan kemampuan siswa untuk melakukan sesuatu yang harus didefinisikan secara jelas dan luas dalam suatu standar yang dapat dicapai melalui kinerja yang dapat diukur.

Secara prinsip, kebijakan dan implementasi kurikulum pendidikan persekolahan dimaksudkan untuk membentuk manusia seutuhnya, menyiapkan generasi muda menghadapi kehidupan di masa datang, dan membangun sikap mental bangsa yang mandiri. Pembentukan manusia seutuhnya dan segala atribut yang termasuk di dalamnya, hanya bisa dilaksanakan apabila didukung dengan kesiapan semua pihak dan penyediaan fasilitas yang memadai secara merata.

Berdasarkan uraian di atas dapat ditegaskan kembali bahwa yang terpenting dalam kurikulum adalah kemampuan suatu kurikulum dalam mengadaptasi perkembangan yang terjadi dalam masyarakat dan menerapkannya dalam proses pendidikan. Konsepsi kompetensi siswa yang diharapkan dari suatu kurikulum yang terutama adalah melakukan sesuatu sesuai konteks dan secara kreatif. Kreativitas manusia sebagai wujud dari pendidikan ini yang kemudian akan menjadi khasanah yang memperkaya budaya dan peradaban bangsa. Isi (content) suatu kurikulum harus merupakan usaha-usaha yang terarah dan terpadu untuk membangun sikap mental bangsa yang memiliki karakter dan mampu membangun peradaban bangsanya sendiri.

Akhirnya, dapat ditarik beberapa poin penting sebagai berikut: (1) Kurikulum pendidikan yang berlaku pada suatu masa sebenarnya telah berusaha mengadopsi semua kebutuhan belajar siswa. Kurikulum pendidikan senantiasa dilakukan penyempurnaan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dalam masyarakat dan melestarikan nilai-nilai budaya bangsa. (2) Suatu kurikulum harus dirancang secara komprehensif, integratif, berimbang antara berbagai tujuan pendidikan, dan adaptif serta bervisi kedepan, dan bukan semata-mata karena kepentingan politis. (3) Kompetensi dapat diartikan sebagai kebiasaan berpikir dan bersikap sesuai dengan konteks, dan yang diharapkan dari siswa sebagai hasil pendidikan adalah melakukan sesuatu selain secara kontekstual tetapi juga secara kreatif yang akan memperkaya khasanah budaya bangsa; (4) Diperlukan kesiapan dan dukungan baik dari guru, siswa, orang tua dan masyarakat dan pemerintah dalam mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan dalam sistem persekolahan. (5) Era globalisasi yang ditandai dengan persaingan bebas antar-negara harus diimbangi dengan penerapan kurikulum yang menekankan pentingnya sikap kemandirian bangsa dalam membangun peradaban bangsa sendiri. (*)

Selasa, 27 April 2010

PLAGIARISME DAN IJAZAH PALSU


Plagiarisme dan Pemalsuan Ijazah

Oleh Dwi Rohmadi Mustofa
Mahasiswa Pascasarjana Magister Teknologi Pendidikan
Universitas Lampung
(artikel ini dimuat dalam Radar Lampung, Rabu, 28 April 2010)

Mencuatnya kasus plagiarisme dari Bandung, telah memercik wajah dunia pendidikan tinggi. Kasus seperti ini ditambah lagi dengan adanya perilaku pemalsuan ijazah oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan kampus. Semua ini mencerminkan, bahwa ijazah telah menjadi tujuan, mengabaikan proses yang seharusnya lebih dihargai dalam membangun karakter.
Seperti diberitakan media, dari dua kampus besar dan ternama di Bandung, terkuak dugaan plagiarisme karya ilmiah. Dari Lampung dugaan pemalsuan ijazah sedang bergulir kencang dalam ranah penyidikan. Hebatnya lagi, semuanya melibatkan “orang kuat” dan “orang hebat”. “Orang kuat” karena merupakan anak mantan pejabat. “Orang hebat” karena terjadi pada mereka yang sudah mencapai jenjan pendidikan tertinggi, strata 3. Apa maknanya?
Hemat saya, plagiarisme dan pemalsuan ijazah memproyeksikan perilaku jalan pintas oleh orang-orang yang “tidak tahan banting” dan bentuk pengingkaran terhadap kesempatan yang sama memperoleh pendidikan. Ijazah palsu telah digunakan untuk melamar pekerjaan sebagai PNS. Karya ilmiah hasil plagiarisme dimanfaatkan untuk mengumpulkan poin sebagai angka kredit bagi status kepangkatan. Singkatnya, status sosial gelar telah menutup mata dan mata hati pemburu gelar.
Plagiarisme dan pemalsuan ijazah seperti saudara kembar. Karakteristiknya sama, “jalan pintas dan status sosial belaka”. Untuk menyelesaikan suatu jenjang pada program pendidikan tinggi, lazimnya dipersyaratkan membuat suatu karya tulis ilmiah. Hal ini dijadikan wahana untuk mengukur keberhasilan tugas-tugas belajar mahasiswa. Selain itu, juga menjadi instrumen atau alat (tool) analisis ilmiah bagi mahasiswa kelak ketika terjun dalam dunia praktis.
Para pemburu gelar yang mengabaikan kaidah akademik, akan berusaha dengan berbagai macam cara, termasuk yang ilegal dan melanggar hukum. Rambu-rambu dan ancaman sanksi tampaknya tidak menyurutkan upaya mewujudkan niat.
Terjadinya praktek plagiarisme dan/atau pemalsuan ijazah menunjukkan rusaknya tatanan etika pribadi para pelakunya. Dalam fase selanjutnya, bisa menjadi ancaman terhadap sistem pendidikan.
Secara analitik atas pengalaman empirik, dapat dikatakan kasus seperti ini merupakan fenomena sosial yang digambarkan sebagai “fenomena gunung es”. Yang tampak hanya permukaan saja. Kasus-kasus serupa, seperti mencontek, perjokian dalam ujian, dan sebagainya, dalam kadar yang berbeda pantas ditelisik lebih jauh.
Sejak lama dalam dunia kampus ada satu musuh bersama tapi terkadang terlupakan. Mungkin lebih tepat, enggan dibicarakan. Musuh bersama itu bernama plagiarisme. Kalaupun diketahui, disadari, tetapi enggan dibicarakan. Tampaknya topik ini akan selalu hangat dibicarakan, karena senantiasa adanya bahaya laten (suatu bahaya yang setiap saat bisa muncul).
Secara definisi, plagiarisme dijelaskan sebagai suatu perbuatan penjiplakan yang melanggar hak cipta, mengakui karya tulis, karangan, pendapat, orang lain sebagai karyanya sendiri. Yang ekstrem, plagiarisme disamakan dengan tindakan pidana pencurian karya orang lain. Plagiarisme juga memiliki beragam bentuk.
Penulisan skripsi maupun karya tulis sebagai tugas akhir dipandang sebagian mahasiswa sebagai sesuatu yang menakutkan. Dorongan untuk menempuh jalan pintas sering menggoda. Kemampuan finansial sering menggoyahkan tatanan etika. Penawaran dari pihak-pihak yang mencoba meraup keuntungan dari suasana “ketakutan” terhadap skripsi atau tugas akhir sebagai karya akademik, terkadang memperoleh tanggapan. Angin surga yang dihembuskan para petualang karya ilmiah sering menghampiri mahasiswa yang tidak memiliki kesiapan mental dan motivasi berprestasi yang kurang.
Permasalahan skrispi bodong, sebenarnya sudah mengemuka sejak puluhan tahun lalu. Jadi boleh dibilang sudah “karatan”. Munculnya istilah-istilah calo, makelar, joki dsb hanyalah dampak dari kualitas proses penyusunan skripsi atau tugas-tugas akhir pendidikan di perguruan tinggi. Mereka yang beroperasi sebagai “perantara” dalam menyusun tugas-akhir mahasiswa ini membungkusnya dengan bermacam istilah mentereng: konsultan, olah data, jasa pengetikan, bantuan belajar, dan sebagainya. Modusnya tentu saja banyak sekali. Banyak kalangan internal kampus yang terasa enggan membahas topik ini. Kemungkinan besar karena ini menyangkut dirinya sendiri.
Lemahnya sistem pengendalian dan sekaligus kurangnya kemauan dalam mengeleminir perilaku menyimpang dari pihak-pihak yang semestinya melakukannya semakin menumbuhsuburkan gejala plagiarisme.
Memang sangat tipis batasan antara mencontek, meniru, mengadobsi, mengembangkan, maupun menginovasi karya tulis. Masih banyak dimensi-dimensi lain yang patut didiskusikan di sini, seperti etika pengutipan, pembimbingan, survey minat dan motivasi, keterampilan menulis, dan pengendalian yang sistematis.
Sebenarnya, jika ada komitmen dan konsistensi, untuk mengendus atau membendung gejala plagiarisme tidak terlalu sulit. Melalui mekanisme internal yang sistematis dalam institusi perguruan tinggi sendiri dapat dilakukan. Yang lebih penting sebenarnya, bukan pada masalah pencegahan plagiarisme dari luar diri pelaku. Secanggih apapun mekanisme dan aturan maupun software dibuat untuk mengeleminir kecurangan akademik ini, tetapi apabila sikap mental kejujuran tidak dibangun, maka upaya membuka celah kecurangan akan selalu ada. Jadi substansinya terletak pada kejujuran individual dan integritas pribadi. Contoh skripsi bodong di sini juga semata-mata dimaksudkan sebagai representasi terhadap tugas-tugas penulisan karya ilmiah pada berbagai jenjang pendidikan.
Kasus yang mencuat beberapa waktu lalu, di mana seorang guru besar yang tersandung kasus plagiarisme mencoreng dunia perguruan tinggi. Belum hilang dari ingatan, kasus serupa muncul lagi. Mirisnya, terjadi pada perguruan tinggi ternama. Memprihatinkan memang. Berangkat dari keprihatinan yang mendalam itu saya ingin berbagi pengalaman. Semoga paling tidak kembali menyegarkan kesadaran kita tentang apa yang di kalangan akademik dianggap sebagai perbuatan sangat tercela (untuk tidak mengatakan menjijikkan). Bahkan jika sangat berat, sanksinya pun sangat berat. Semua pihak perlu melakukan kajian, pengamatan, perenungan, dan menyusun mekanisme untuk mengantisipasi terjadinya plagiarisme.
Kasus plagiarisme tampaknya memang seperti benalu. Ia tumbuh pada batang dan menghisap saripati makanan pohon yang ditumpanginya. Ungkapan yang lebih keras, plagiarisme sulit diberantas karena tercipta iklim saling menguntungkan di pusaran para pihak yang terlibat.
Meskipun demikian, optimisme harus ditumbuhkan. Skripsi bukan akhir segalanya. Ada beberapa tawaran solusi, seperti peningkatan intensi pembelajaran metodologi penelitian dan penulisan, simplifikasi format, “desakralisasi” skripsi atau tesis, menghargai proses (skripsi/tesis bukan tujuan, tapi hanyalah sarana), obyektivitas dan profesionalisme pembimbing.
Menghargai proses penulisan pada tugas-tugas mahasiswa harus dilakukan oleh para pihak. Mahasiswa harus memiliki kesadaran dan kebanggaan terhadap kemampuannya menghasilkan karya sendiri. Dosen wajib melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan rambu-rambu akademik. Integritas pribadi dan martabat profesional dipertaruhkan. Sebab, mahasiswa akan selalu “melihat” dosen sebagai sosok yang ditiru. Institusi memiliki aturan baku yang memuat mekanisme dan berbagai ketentuan yang harus dipenuhi.
Kasus pelanggaran etika akademik, secara lebih jauh dapat ditelusuri pada jenjang pendidikan sebelumnya. Berbagai pertanyaan dapat diajukan di sekitaran, apakah sudah terpenuhi standar kompetensi kemampuan berbahasa para siswa SMA atau SMP? Sudahkah dilaksanakan pendidikan yang menghargai kreativitas, originalitas, dan perbedaan pendapat di kalangan siswa?
Pertanyaan-pertanyaan itu menjadi penting, karena di usia sekolah menengah dapat dipandang sebagai masa yang berharga untuk membentuk sikap ilmiah, kejujuran, dan kreativitas. Jika pembentukan sikap positif dan menghargai perbedaan pendapat, menghargai hasil karya sendiri telah dilakukankan dan menjadi “gizi” bagi anak didik kita, maka kelak ketika mereka mengemban predikat sebagai siswa yang “maha” akan membantu untuk tumbuhnya sikap kejujuran ilmiah.
Diskursus dan polemik tentang plagiarisme memang seharusnya dituntaskan. Media harus terus mengawal publikasi guna membantu menumbuhkan kesadaran dan sikap ilmiah. Kritik melalui dan oleh media juga selayaknya dikembangkan seiring dinamika yang terjadi dalam “lembaga” pendidikan. Sulit membayangkan suatu dunia pendidikan atau organisasi pendidikan, tanpa ada masukan, saran, pendapat, dan kontrol publik. Membiarkan kendurnya kontrol terhadap lembaga pendidikan sama saja membangun suatu menara gading.
Pembahasan dan penanggulangan plagiarisme membutuhkan komitmen banyak pihak. Adanya aturan bukan untuk dilanggar, tapi justru untuk meminimalisir atau menghindari pelanggaran. Semoga tidak ada lagi, apa yang oleh Agoes Soegianto (Radar Lampung 18 Februari 2010) disebut “profesor masturbasi”. Predikat guru besar menjadi “buruan”. Sayangnya, dalam konteks yang kurang pro terhadap etika ilmiah. Persyaratan jabatan fungsional dosen yang diakui penulis terlalu longgar.
Memang banyak variabel yang terkait dengan terjadinya plagiarisme. Egoisme kebidangan, atau aliran dalam melakukan penelitian atau penulisan oleh pembimbing, menjadi momok bagi mahasiswa. Biasanya mahasiswa akan “mati-langkah” ketika pembimbing atau advisor mengharuskan melakukan sesuatu sesuai dengan “seleranya”. Nah, ketika posisi seperti itulah pintu kecurangan mulai terbuka. Variabel lain yang patut dicurigai sebagai penyebab terjadinya plagiarisme adalah daya tahan. Seberapa jauh mahasiswa atau dosen memiliki kesabaran, ketekunan, dan kemampuan untuk menghasilkan karya ilmiah yang bermutu. Tren manusiawi adalah bagi mahasiswa kuliah cepat lulus, bagi dosen, pangkat cepat naik. Tulisan ini semoga menjadi penggugah kesadaran dan optimisme para pihak dalam menghargai karya sendiri, menghagai kejujuran, mendorong kreativitas. Semoga. (****)

Jumat, 19 Maret 2010

Pendidikan dan Industri


Pendidikan dan Industri
Oleh Dwi Rohmadi Mustofa
Mahasiswa Pascasarjana Magister Teknologi Pendidikan
Universitas Lampung
(Artikel ini dimuat Radar Lampung, Jumat, 19 Maret 2010)
Membicarakan dunia pendidikan, kalau mau jujur, sebenarnya membicarakan suatu industri terbesar sepanjang sejarah. Tampaknya, kawasan ini, dalam beberapa tahun-tahun mendatang masih akan terus merajai kejayaan. Ketika bicara industri, maka tak pelak itu berarti bicara bisnis. Hipotesis agak ekstrem memang, kalau mengatakan bahwa pendidikan telah menjadi lahan bisnis. Oleh karena itu patut dibuka forum polemik terhadap pernyataan ini.

PERNYATAAN yang bersifat hipotesis tersebut bukan tanpa alasan. Secara substantif, pembicaraan subyek (pelaku) pendidikan, tak terlepas dari esensi bisnis. Mari kita tengok beberapa poin berikut: Ujian Nasional (UN), BHP, sertifikasi guru, pembangunan sarana dan prasarana pendidikan, sekolah berstandar internasional, dan sebagainya. Logika bisnis semuanya dikemas dalam bentuk program dan kegiatan terkait “pendidikan”. Semua poin tersebut berdiri di atas landasan prinsip “meningkatkan kesejahteraan”. Di bawah payung “pendidikan”, putaran roda bisnis terus bergerak.
Industri, dapat dipahami sebagai sekumpulan sektor usaha. Oleh karena itu, dapatlah disepadankan sekumpulan usaha di bidang pendidikan disebut industri. Secara implisit adalah industri jasa pelayanan pendidikan.
Fakta bahwa suatu program membutuhkan biaya memang tidak bisa dipungkiri. Permasalahannya adalah, bagaimana mewujudkan tujuan itu dengan efektif dan efisien, dengan berlandaskan teori, memiliki justifikasi, legitimasi, dan akuntabel. Akuntabel di sini dalam segala hal, bukan hanya dari segi pengelolaan biaya.  
Ujian Nasional dalam beberapa tahun terakhir telah menyedot energi masyarakat. Kontroversi terutama menyangkut intervensi kewenangan menyatakan “lulus” dan bagaimana membuat peta serta standarisasi mutu pendidikan secara nasional. Akhirnya, aroma “proyek” pun tak terhindarkan. Sederet panjang “problem” pendidikan masih bisa ditambahkan, seperti pengadaan buku, pengangkatan guru honor menjadi CPNS, dan sebagainya.  
Di tingkat mikro, penyelenggaraan proses pembelajaran di sekolah (dan dalam kelas) juga masih banyak membutuhkan perhatian pemerintah dan pemangku kepentingan (stakeholders). Bagaimana kesiapan siswa belajar, bagaimana guru memahami secara komprehensif kurikulum dan mengimplementasikannya dalam ruang kelas, serta bagaimana dukungan masyarakat terhadap pembelajaran siswa di luar jam sekolah.
Sekolah bertaraf internasional (SBI), atau apapun varian namanya, seperti, Rintisan SBI, SNBI, sekolah berwawasan internasional, nasional plus, dan sebagainya, tak juga jauh dari hitung-hitungan bisnis. Di sekolah negeri, di setiap daerah, selalu ada sekolah-sekolah yang berlomba untuk menjadi penyelenggara. Ketika dana dari pemerintah belum cair, atau belum mencukupi untuk mengkover seluruh biaya penyelenggaraan, maka “memungut” tambahan biaya dari siswa menjadi boleh.
Lembaga pendidikan yang diselenggarakan swasta, malah ada yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Apa makna yang dapat dipetik dari sebuah PT, selain mencari keuntungan sebesar-besarnya? Sedangkan lembaga pendidikan yang dikelola oleh yayasan pun sering mengalami kerancuan, antara yayasan sebagai lembaga sosial dengan lembaga pendidikan yang dinaunginya, yang mengejar keuntungan.
Memang bukan hal yang salah, dan tidak tabu membicarakan bisnis. Apalagi jika dilakukan oleh masyarakat (swasta) dan memiliki landasan yuridis formal. Tidak ada yang tidak mungkin.
Daftar Masalah
Salah satu daftar masalah adalah sekitar sekolah bertaraf internasional. Bagi sekolah negeri, pengembangan SBI didasari oleh Undang-undang  Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 50 Ayat 3. Dalam ketentuan ini, pemerintah didorong untuk mengembangkan satuan pendidikan yang bertaraf internasional. (SBI) merupakan sekolah nasional dengan standar mutu internasional. Proses belajar mengajar di sekolah ini menekankan pengembangan daya kreasi, inovasi, dan eksperimentasi untuk memacu ide-ide baru yang belum pernah ada. (www.id.wikipedia.org). Masih banyak lagi pertanyaan seputar SBI ini, terkait arah dan tujuan, pola implemetasi, dan sebagainya. Dalam bahasa kritik SBI diplesetkan menjadi “sekolah bertarif internasional”.
Permasalahan lain dalam pendidikan yang jarang terungkap adalah keterkaitan antara politik dan pendidikan. Pendidikan selama ini dianggap sebagai entitas suatu sektor yang menyerap anggaran terbesar, tetapi di sisi lain, keputusan-keputusan politik yang menjadi dasar pelaksanaan program pendidikan sering kali memicu kontroversi. Contohnya adalah UN tadi dan sertifikasi guru. Diakui memang tidak akan ada program yang sempurna, tetapi paling tidak meminimalisasi dampak buruk dan memaksimalkan pencapaian tujuan yang harus dikedepankan. Penetapan bola UN “bolak-balik” berpindah gawang antara pemerintah dan DPR. Demikian juga anggaran pendidikan minimum 20 %.
Gencarnya pendidikan membangun karakter bangsa, di satu sisi, tidak sebanding dengan program hiburan yang ditayangkan media televisi. Masyarakat menilai content yang tidak bermuatan pendidikan. Sudah banyak keluhan yang diungkapkan warga masyarakat, tetapi respons dunia hiburan tampaknya kurang memadai. Hal ini karena menyangkut wilayah otoritas yang berbeda antara pengelola pendidikan dengan pengelola media televisi.
Selain beberapa hal tersebut, dunia pendidikan menghadapi tantangan dan permasalahan di seputaran; kualitas guru dan tenaga kependidikan, pemerataan terhadap akses pendidikan, keterkaitan dunia pendidikan dengan praktek dunia kerja, membangun sikap mental wirausaha.
Penyediaan sarana dan prasarana pendidikan yang merata pun masih mengundang kritik. Faktanya, persentase bangunan sekolah yang dalam kondisi rusak parah, masih sangat besar. Belum lagi dari sisi pemerataan lokasi sarana pendidikan, di mana warga di beberapa daerah terpencil masih kesulitan untuk mengakses pendidikan yang layak.

Perguruan Tinggi
Permasalahan pendidikan di perguruan tinggi sebenarnya paralel sekaligus “kelanjutan” permasalahan pendidikan di tingkat sekolah menengah. Pembangunan karakter ataupun pendidikan berbasis karakter di perguruan tinggi yang hangat dibicarakan dewasa ini sejujurnya adalah dampak lanjutan dari penyelenggaraan pendidikan jenjang sebelumnya. Perguruan tinggi pun dewasa ini berkutat dengan masalah penjaminan mutu, pengendalian proses, pemerataan akses, dan aspek moral masyarakat. Aspek moral yang dimnaksud di sini antara lain, gejala yang berkembang dalam masyarakat di mana mengikuti pendidikan di perguruan tinggi dengan motivasi “berburu gelar”, status sosial, atau hanya memenuhi persyaratan formal. Di sisi sebaliknya, para petualang penyedia jasa “gelar” juga berkeliaran mencari peminat. Fenomena itu terjadi dan menjadi pembicaraan di kalangan pendidikan.
Kasus plagiarisme di perguruan tinggi yang mencuat beberapa waktu lalu dapat dianggap sebagai salah satu fenomena puncak gunung es, di antara sekian banyak masalah lainnya.
Artikel ini tidak bermaksud mencari kambing hitam atau saling menyalahkan. Wacana dan hipotesis seekstrem apapun kiranya menjadi modal untuk mencari jawaban dan jalan keluar dari suatu permasalahan. Statemen sepedas apapun semoga membuka ruang dan upaya tukar pengalaman dan sumbang saran maupun penyegaran dan menjadi inspirasi. Niat baik dan kesempatan mengabdi kepada pendidikan dari banyak pihak harus memperoleh tempat yang selayaknya.
 Sangat menarik pilihan tema yang disajikan Redaksi Radar Lampung dalam rubrik opini beberapa hari belakangan ini. Dominasi pembahasan tentang pendidikan, memberikan “daya beda” terhadap media harian lainnya. Polemik tentang menyejahterakan guru, pemerataan pendidikan, mutu pendidikan, prasarana, dampak teknologi, imbas perubahan sosial, dan sebagainya, memang sudah sepantasnya mendapat perhatian media. Peran media sebagai fungsi kontrol sosial diimplementasikan dengan melakukan pemberitaan secara proporsional terhadap berbagai aspek dan dinamika sosial masyarakat. Dan ini telah dilakukan oleh Radar Lampung. (dwi_rohmadi@yahoo.com)

Senin, 22 Februari 2010

TUJUAN PENDIDIKAN

APA TUJUAN PENDIDIKAN?
Atas pertanyaan tersebut, jangan berikan jawaban yang normatif  "letterlijk". Karena, seperti biasa, norma di atas kertas hanyalah tulisan, jika tanpa implementasi, aktualisasi, dan internalisasi. Makna pendidikan sedemikian luasnya. Banyak ahli dan birokrasi telah memberikan pengertian tentang tujuan pendidikan. Secara sederhana pendidikan dimaksudkan sebagai "memanusiakan manusia". Pada masanya, definisi pendidikan pada Undang-undang yang berlaku, dianggap sudah cukup. Tapi seiring guliran waktu, ternyata definisi itu kemudian dianggap tidak memadai lagi. Maka dibuatlah definisi baru. Pendidikan dimaksudkan untuk menanamkan nilai-nilai, norma, dan etika yang berlaku dalam masyarakat. Pendidikan penting untuk meneruskan peradaban. Pendidikan bertujuan mengajarkan cara hidup bermasyarakat. Pendidikan dilaksanakan untuk menghindari terjadinya "generasi yang hilang". Masih banyak cara dan kata-kata lain untuk menggambarkan maksud, tujuan, dan manfaat pendidikan.
Pertanyaannya sekarang, siapa yang melaksanakan pendidikan? Sudahkah mereka benar-benar "siap"? Bagimana caranya menciptakan pelaku pelaksana pendidikan yang mumpuni? Bagaimana menjamin proses pendidikan itu dapat berlangsung secara benar, efektif, dan efisien, serta benar-benar mendidik dengan cara-cara yang logis, teoretis, aplikatif, dan fleksibel?
Memang kemudian kita dapat dengan mudah menimpakan semuanya pada "pemerintah" atau pada "kurikulum". Tapi tentu saja persoalan tidak selesai sampai disitu.

Selasa, 05 Januari 2010

PRODUKTIVITAS PENDIDIKAN

SOAL
1. Tuliskan dan jelaskan unsur-unsur yang terdapat dalam produktivitas pendidikan.
2. Bagaimana upaya anda dalam meningkatkan produktivitas pendidikan di sekolah Anda.

JAWABAN:
1. Unsur-unsur yang terdapat produktivitas pendidikan pada dasarnya tercakup dalam dua kelompok yaitu unsur-unsur masukan dan unsur-unsur keluaran. Dapat dijelaskan unsur-unsur produktivitas pendidikan antara lain adalah:
a. Guru atau pendidik yang berkualitas; guru yang berkualitas akan mampu menciptakan pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, dan menyenangkan. Dengan demikian mendukung efektivitas belajar
b. Siswa yang bermotivasi. Siswa yang bermotivasi belajar akan dengan mudah menerima materi pembelajaran.
c. Sarana pendidikan yang memadai, yaitu ketersediaan perangkat-perangkat pembelajaran
d. Perangkat peraturan yang sesuai. Peraturan maupun perundang-undangan hendaknya konsisten dengan situasi belajar sehingga mampu mendukung pencapaian hasil belajar.
e. Kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan belajar. Kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan si belajar akan membantu keefektifan belajar.
f. Pengetahuan, sikap, keterampilan, dan kemampuan siswa yang terukur. Dari semua masukan dan proses belajar, hendaknya dilakukan penilaian terhadap si belajar.
2. Upaya yang dilakukan pada institusi pendidikan antara lain:
a. Peningkatan kualifikasi guru melalui berbagai pertemuan ilmiah, seminar, lokakarya, diskusi teman sejawat, dan kesempatan mengikuti pendidikan formal yang lebih tinggi.
b. Penyediaan dan perbaikan sarana dan prasarana belajar. Setiap saat dilakukan peninjauan terhadap sarana dan prasarana belajar agar benar-benar mampu menunjang pembelajaran.
c. Peningkatan frekuensi dan kualitas akses sumber
d. Penyesuaian atau peninjauan kurikulum secara berkala
e. Monitoring/kontrol proses pendidikan, terutama terhadap sumber daya manusia
f. Pelaksanaan evaluasi belajar yang ketat, disiling, dan administrasi yang baik.
g. Menyerap aspirasi stakeholder menyangkut semua proses dan fasilitas yang sudah tersedia guna perbaikan.

Senin, 04 Januari 2010

PARADIGMA BARU PENDIDIKAN NASIONAL (HAR. TILAAR)

PARADIGMA BARU PENDIDIKAN NASIONAL
(Book Review)
Penulis: HAR Tilaar
Penerbit: Rineka Cipta, Jakarta, 2004

TUGAS KELOMPOK IV

SURANTO
TRIYATMO
DWI ROHMADI M.
ANASTASIA
R. GINTING SUKA
RINALDI JUFRI

PROGRAM STUDI MAGISTER TEKNOLOGI PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2009


KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI MASA LALU
Isu-isu utama dalam paradigma baru pendidikan nasional dapat dirangkum dalam pengertian demokratisasi pendidikan. Demokratisi pendidikan, dengan demikian mencakup berbagai aspek antara lain desentralisasi, perencanaan dan manajemen pendidikan, pengembangan pendidikan tinggi, partisipasi masyarakat, dan sebagainya.
Buku “Paradigma Baru Pendidikan Nasional” karangan HAR Tilaar membahas aspek-aspek dalam demokratisasi pendidikan. Di masa lalu, terutama pada Pra Orde Baru, pendidikan sering dijadikan alat indoktrinasi dan sangat kental dengan kepentingan politik. Pendidikan tidak diorientasikan untuk meningkatkan taraf hidup rakyat. Nasionalisme menjadi terperangkap dalam makna yang sempit. Praktek pendidikan yang indoktriner menolak segala unsur budaya yang datangnya dari luar. Metodologi pendidikan dengan cara indoktriner memasuki semua jenjang pendidikan.
Pada masa Orde Baru, pendidikan dijadikan sebagai alat penyeragaman-penyeragaman di bidang politik. Hasilnya adalah uniformitas atau keseragaman dalam pola berpikir dan bertindak. Contoh kongkret model pendidikan seperti ini adalah pakaian seragam dan wadah-wadah tunggal organisasi. Masyarakat dengan sendirinya bersifat homogen, lamban, kurang kreatif dan produktif, dan birokrasi kaku.
Singkatnya, pendidikan semacam ini mematikan demokrasi. Hak asasi manusia sering terlanggar demi alasan stabilitas politik dan pembangunan ekonomi. Komunikasi politik terhambat karena dominasi suara penguasa. Akibat pendidikan yang mematikan demokrasi seperti ini adalah pemerintahan yang tidak bersih, syarat KKN. Kualitas kehidupan beragama menjadi semu. Moralitas pemimpin merosot, dan toleransi kehidupan beragama luntur. Praktek pendidikan pada masa Orde Baru menonjolkan pencapaian target kuantitatif. Akuntabilitas pendidikan sangat rendah, karena hanya ditentukan oleh penguasa. Pendidikan hanya dipandang sebagai produk birokrasi, dan peranan keluarga serta masyarakat semakin berkurang.
Sejarah panjang pendidikan pada masa Pra Orde Baru dan masa Orde Baru, telah mengantarkan masyarakat Indonesia mengalami krisis, yang bertalian juga dengan krisis ekonomi dan politik pada akhir tahun 1990-an. Masa krisis itulah yang dapat dipandang sebagai refleksi atas kegagalan pendidikan nasional. Para pemimpin dan pemerintah kehilangan kepercayaan dari masyarakatnya.



PENDIDIKAN NASIONAL DI ERA REFORMASI
Bertolak dari pengalaman praktek pendidikan di masa sebelmunya, maka di era reformasi praktek pendidikan mengalami perubahan paradigma. Masyarakat yang ingin diciptakan adalah masyarakat yang adil, makmur, dan tegaknya supremasi hukum. Itulah yang disebut masyarakat madani, suatu bentuk ideal masyarakat yang demokratis. Masyarakat madani dicirikan oleh beberapa hal; antara lain adalah masyarakat yang demokratis, tegaknya hukum, tatanan sosial yang memberikan kesempatan berkembang bagi individu dan lembaga-lembaga sosial yang membuka dari untuk partisipasi dari masyarakat dan mengembangkan potensi anggotanya. Kehidupan bersama dalam masyarakat demokratis adalah kehidupan antar-generasi yang berkesinambungan. Lembaga-lembaga sosial memungkinkan terjadinya keberlanjutan itu, misalnya dalam hal lingkungan hidup, kebudayaan, masalah kependudukan, dan kerukunan hidup antar-bangsa.
Pendidikan pada era ini ditandai dengan keinginan yang sangat kuat untuk mewujudkan masyarakat madani. Suatu masyarakat madani yang bertumpu pada kebudyaaan Indonesia, berproses berkelanjutan, dan bertumpu pada kebhinekaan. Ciri-ciri masyarakat madani tersebut harus dijabarkan pula dalam praktek pendidikan.
Praktek pendidikan nasional yang pada kenyataannya dapat digolongkan dalam tiga lingkungan, yaitu; pendidikan formal, pendidikan non-formal, dan pendidikan informal. Pendidikan nasional sudah seharusnya mengintegrasikan ketiga lingkungan pendidikan tersebut dalam rangka mengantisipasi perkembangan global.
Dewasa ini pendidikan in-formal, justru menempati peranan yang semakin strategis. Pendidikan telah mengglobal menembus batas-batas geografis. Budaya cyber, mengharuskan pula proses pendidikan yang memanfaatkan keunggulan-keunggulan cyber. Penulis buku ini mengajukan tesis untuk meninjau ulang rumusan sistem pendidikan dalam UU pendidikan, yang kurang memberikan pengakuan para peranan pendidikan informal.
Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia baru, maka pendidikan menghadari beberapa tantangan, yang dapat dikelompokkan dalam tantangan yang bersifat internal, maupun eksternal. Tantangan yang bersifat internal antara lain adalah yang menyangkut isu-isu;
- persatuan bangsa; kebanggaan menjadi bangsa Indonesia, bangga dengan kebudayaan Indonesua, dan adanya keteladanan dari para pemimpin
- demokratisasi; adalah bagaimana menghargai hak dan potensi setiap individu dan mengembangkannya; menghargai harkat dan martabat manusia.
- desentralisasi; pendidikan yang memberdayakan masyarakat lokal dengan penggunaan sumber-sumber daya setempat, kurikulum nasional hanya sebagai guideline.
- kualitas pendidikan; perlunya mengembangkan seluruh spektrum inteligensi manusia yang meliputi berbagai aspek kebudayaan, kunci utama peningkatan kualitas adalah para guru sehingga perlu reformasi mendasar pendidikan guru dan penghargaan yang semestinya terhadap profesi guru.
Sedangkan tantangan yang bersifat global meliputi beberapa isu antara lain;
- pendidikan yang kompetitif dan inovatif; persaingan membutuhkan manusia-manusia yang berkualitas, yang untuk itu dihasilkan oleh pendidikan yang kondusif pula. Pribadi kompetitif bukan pribadi egoistik, tapi berkemampuan bekerjasama secara sehat. Selanjutnya adalah kemampuan menghasilkan produk-produk yang berkualitas dan inovatif. Kompetitif dan inovatif menjadi paradigma baru pendidikan di berbagai negara di dunia. Pendidikan di Asia paling dikenal sebagai pendidikan yang tidak mengembangkan sikap kompetitif dan inovatif.
- identitas lokal; globalisasi merupakan sesuatu yang niscaya terjadi, sehingga diperlukan identitas bangsa, yaitu kebhinekaan budaya Indonesia itu sendiri. Kesadaran akan identitas budaya nasional menjadi landasan perkembangan pribadi peserta didik sekaligus melindungi dari pengaruh-pengaruh negatif dari kebudayaan global. Dalam keadaan tanpa identitas, maka akan sangat mudah dihanyutkan oleh arus globalisasi yang menjurus pada tindakan destruktif. Pendidikan nasional diarahkan pada perdamaian dunia. Reformasi pendidikan memerlukan komitmen politik kongkret dan berkelanjutan.


REPOSISI DAN REAKTUALISASI PENDIDIKAN NASIONAL

Paradigma baru pendidikan nasional yaitu membentuk masyarakat demokratis, kompetitif dan inovatif, dan berkualitas. Untuk itu pendidikan mengembangkan kebhinekaan menuju terciptanya masyarakat yang bersatu dan bangga sebagai bangsa Indonesia. Program pendidikan harus dijabarkan dalam berbagai program pengembangan pendidikan nasional secara bertahap dan berkelanjutan.
- Redefinisi pendidikan nasional mencakup pengakuan akan pentingnya pendidikan informal.
- Pendidikan adalah proses pemberdayaan
- Pendidikan adalah proses pembudayaan
Reaktualisasi pendidikan nasional menuntut penerapan prinsip-prinsip:
- Partisipasi masyarakat; otonomi lembaga pendidikan dan fungsionalisasi kurikulum nasional yang tepat
- Sumber daya manusia yang profesional
- Sarana dan sumber daya pendidikan penunjang yang memadai
- Aktualisasi sistem pendidikan yang sesuai dengan jiwa desentralisasi.
Penulis buku ini mengungkapkan bahwa pembangunan di era Orde Baru adalah pembangunan tanpa perasaan. Pencapaian pembangunan di bidang ekonomi hanya dinikmati oleh sekelompok kecil anggota masyarakat. Perkembangan ekonomi dicapai melalui program-program yang menjadikan manusia sebagai alat untuk target-target ekonomi dan menyuburkan kekuasaan.

Mengutip pendapat para ahli (Hikam, 1996) buku ini menguraikan ciri-ciri masyarakat madani Indonesia (civil society) antara lain:
- Kesukarelaan; komitmen mewujudkan cita-cita bersama
- Keswasembadaan; tidak tergantung pada negara lain, percaya diri dan bertanggungjawab
- Kemandirian masyarakat yang tinggi terhadap negara
- Kepatuhan terhadap nilai-nilai hukum yang dipatuhi bersama

Realitas kehidupan masyarakat Indonesia kini adalah sangat beragam. Keragaman budaya ini menjadi potensi lahirnya sukuisme dan pandangan-pandangan sempit yang dapat membahayakan kesatuan bangsa. Meskipun demikian kehidupan nyata bukanlah mengasingkan individu dari lingkungan budayanya. Jadi identitas sebagai bangsa Indonesia harus menjadi kesadaran bersama dan kebanggaan bersama.

Budaya KKN di era yang lalu telah melahirkan kekuasaan yang sentralistik. Jika budaya KKN yang negatif ini berlanjut maka akan terjadi krisis sosial, ekonomi, dan politik. Terjadi proses pemiskinan pada sekelompok besar masyarakat. Sebaliknya terjadi proses pengkayaan terhadap sebagian kecil kelompok masyarakat. Di bidang hukum, di era Orde Baru, tidak berlaku bagi penguasa. Supremasi hukum tidak dapat ditegakkan. Masyarakat madani Indonesia yang diharapkan adalah masyarakat yang memiliki kontrol terhadap kekuasaan.

Pendidikan dan Politik
Berbicara tentang pendidikan dan politik, pendidikan bukan dijadikan sebagai alat politik, sebagaimana terjadi di masa lalu (Orba). Pendidikan tidak terlepas dari politik, dalam arti bahwa ia membutuhkan komitmen politik dari semua elemen bangsa, dan sesungguhnya politik itu sendiri merupakan pendidikan. Menurut Aristoteles, tidak mungkin membicarakan pendidikan terlepas dari konsep kehidupan yang baik (good life)(yaitu politik). Di sini setiap individu memiliki persepsi sendiri tentang apa yang dimaksud dengan kehidupan yang baik. Dengan demikian setiap orang akan memiliki konsep masing-masing tentang pendidikan, yang kemudian berarti pula bahwa pendidikan terletak dalam tatanan politik.

Reposisi Perguruan Tinggi
Dalam buku ini yang membahas mengenai Reposisi Perguruan Tinggi disebutkan pula mengenai “kegilaan” terhadap penggunaan gelar akademik yang tidak pada tempatnya. Penulis buku ini mengungkapkan perlunya kalangan kampus untuk mengedepankan kapasitas dan produktivitas atas predikat dari gelar-gelar akademik. Dengan demikian secara alamiah masyarakat umum nantinya akan menilai gelar akademik sesuai dengan kreativitas dan karya yang diberikan dari orang yang menyandang gelar tersebut.
Kegemaran memburu gelar dipandang dari sisi positif sebagai usaha warga masyarakat untuk mencari pengetahuan dan keinginan untuk maju. Tinggal bagaimana pemerintah membina dan mengembangkan lembaga/perguruan tinggi yang ada, terutama yang diselenggarakan oleh masyarakat.
Demikian pula mengenai penilaian kualitas suatu perguruan tinggi, disarankan agar penilaian diserahkan atau melibatkan masyarakat dan bukan monopoli dari birokrasi. BAN-PT dianggap memonopoli keabsahan kualitas suatu perguruan tinggi (prodi?). Seharusnya, justru partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi dihargai sebagai bentuk sumbangsih anggota masyarakat terhadap pendidikan.
Poin-poin penting yang patut digarisbawahi dari pembahasan isi buku “Paradigma Baru Pendidikan Nasional” ini antara lain:
- paradigma lama pendidikan dipandang tidak sesuai lagi dan harus digantikan dengan paradigma baru pendidikan yang:
- mengedepankan demokratisasi,
- partisipasi dari semua elemen,
- bersifat antisipatif,
- menghargai kebhinekaan,
- perencanaan yang baik,
- pelaksanaan manajemen yang efektif.
Prinsip-prinsip dasar dalam aktualisasi pendidikan nasional dengan paradigma baru adalah:
- Partisipasi masyarakat dalam mengelola pendidikan (community based education)
- Demokratisasi proses pendidikan
- Sumber daya pendidikan yang profesional
- Sumber daya penunjang yang memadai

KESIMPULAN
 Reformasi pendidikan untuk menghindari terjadinya “lost generation”
 Desentralisasi di bidang pendidikan, sesuai tuntutan Otonomi Daerah harus dipersiapkan dengan baik, agar peserta didik tidak menjadi korban ketiadaan visi dan kelemahan kebijakan yg tergesa-gesa.
 Implementasinya perlu disusun program yang komprehensif, bertahap, dan berkelanjutan
 Perlu dimobilisasi para pemikir lintas ilmu, pemimpin masyarakat dan lembaga negara untuk merumuskan falsafah pendidikan nasional



PARADIGMA BARU PENDIDIKAN NASIONAL
(Book Review)
Penulis: HAR Tilaar
Penerbit: Rineka Cipta, Jakarta, 2004

Buku ini membahas beberapa topik, yaitu:
1. Mencari paradigma baru pendidikan nasional
- Refleksi masa lalu dan tantangan masa depan
- Masyarakat Indonesia baru: Peran pendidikan nasional
- Reposisi dan reaktualisasi pendidikan nasional
2. Paradigma baru pendidikan nasional
- Paradigma baru pendidikan nasional
- Desentralisasi pendidikan nasional dalam rangka pelaksanaan UURI No 22 dan UU RI No 25 tahun 1999
- Paradigma baru perencanaan dan manajemen pendidikan nasional di daerah
3. Reposisi pendidikan tinggi
- Pengembangan pendidikan tinggi; suatu refleksi
- Masalah perolehan dan penggunaan gelar akademik dalam masyarakat
- Pengembangan profesionalisme dalam era globalisasi
4. Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaran pendidikan
- Visi, misi, dan kompetensi manajer pendidikan Islam menghadapi tantangan
- Reposisi dan reaktualisasi pendidikan madrasah dalam membangun masyarakat Indonesia baru; implikasinya dalam restrukturisasi kurikulum madrasah
- Partisipasi pendidikan Kristen dalam membangun masyarakat Indonesia baru
5. Pendidikan nasional dan kebudayaan
- Makna tradisi lisan dalam pendidikan
- Peningkatan apresiasi budaya dalam proses pendidikan