Minggu, 27 Juni 2010

IJAZAH PALSU DAN MORALITAS


Artikel ini dimuat Radar Lampung, Senin, 21 Juni 2010
Mencuatnya kasus dugaan ijazah palsu mencoreng dunia pendidikan di Lampung. Besar harapan kasus ini segera dituntaskan, agar “nila setitik” tidak merusak “susu sebelanga”. Semoga para pihak yang berwenang terketuk untuk membongkar kasus ini hingga ke akar-akarnya, tidak pandang bulu, dan terbuka. Dugaan bahwa ijazah palsu adalah fenomena puncak gunung es, tampaknya mendekati kebenaran. Belum tuntas kasus dugaan ijazah palsu yang melilit  Sally Budi Utami dan Rizki Thabrani, dua warga Lampung, belakangan kembali muncul kasus serupa. Ini selain kasus dugaan ijazah palsu yang terkait dengan pencalonan menjadi kepala desa (peratin) atau untuk menduduki jabatan politik tertentu. Dalam kasus yang melibatkan guru ini memang sungguh ironis. Sebab, mereka sosok yang semestinya menjadi panutan, yaitu guru. Ia yang semestinya memberikan teladan, bimbingan, dan pembinaan kepada anak-anak didik, sebagai generasi muda bangsa. Dua kasus dugaan ijazah palsu yang serupa, melibatkan empat orang ini, jika terbukti, dapat dikategorikan menjadi dua. Yaitu untuk melamar menjadi calon pegawai negeri sipil dan untuk melengkapi persyaratan sertifikasi profesi. Keduanya merupakan usaha pemerintah dalam meningkatkan sumber daya aparatur. Tapi apa lacur, yang dilakukan mereka justru usaha-usaha yang sebaliknya. Dalam pandangan penulis, kasus pemalsuan ijazah bukan hanya merupakan pelanggaran hukum, tetapi yang lebih penting adalah telah menjungkirbalikkan tatanan sosial.(lanjut*****)