Kamis, 29 Desember 2011

MEMAHAMI PROFESI JURNALIS (Refleksi Akhir Tahun)

(ARTIKEL INI DIMUAT RADAR LAMPUNG, KAMIS, 29 DESEMBER 2011)

Momentum akhir tahun pantas dijadikan ajang refleksi oleh siapapun, tak terkecuali kalangan jurnalis. Sebutan jurnalis di sini dapat dipersamakan dengan wartawan maupun reporter. Profesi jurnalis merupakan profesi yang mulia. Seperti juga profesi lain, jurnalis sejatinya adalah penerang masyarakat. Fungsinya adalah mencerdaskan masyarakat melalui pesan-pesan jurnalistik.

TAPI, profesi apapun, senantiasa memiliki tantangan dan hambatan. Mewujudkan cita-cita ideal pasti membutuhkan perjuangan dan proses panjang. Mungkin menuai pujian, apresiasi, dan mungkin menerima kritikan, bahkan juga kecaman. Apapun itu, harus menjadi “vitamin” yang menyehatkan dan menjadi pembuka jalan mencapai kemajuan yang lebih baik lagi.
Refleksi perlu untuk menyegarkan kembali cara pandang kita terhadap apa yang sudah kita capai. Dalam suatu lembaga, refleksi dari “orang luar” kiranya perlu, agar tidak terjebak dalam “comfort zone” dan inspirasi untuk berpikir “out of the box”. Atau minimal menjadi umpan balik. Evaluasi penting untuk menjadi landasan bagi perbaikan.
Sudut pandang “orang luar” dapat dipahami sebagai pandangan awam, mewakili mainstream pendapat masyarakat. Penyajian wacana akan memberikan posisi yang sebenarnya, meluruskan persepsi yang keliru, atau melengkapi penilaian agar lebih obyektif.
--Kerja Disiplin
Sadar atau tidak, senang atau tidak, dalam beberapa waktu terakhir, ada nada gugatan terhadap praktik jurnalistik. Yang masih hangat adalah mencuatnya kasus kekerasan di Mesuji. Rangkaian peristiwanya panjang. Permasalahannya komplek. Pihat terkait cukup banyak. Meledaknya di Jakarta.
Nada gugatan itu berbunyi: Di mana rekan-rekan jurnalis saat itu? Di mana peran kontrol media terhadap kebijakan yang melibatkan kepentingan rakyat? Apakah rekan-rekan media (terutama media lokal) tidak tahu? Dan sederet pertanyaan, yang mengarah pada kerja jurnalis.
Banyak peristiwa sejenis, yang menurut awam luput dari perhatian media dan jurnalisnya. Sebut saja kasus plesiran Gayus Tambunan. Atau kasus-kasus yang lingkup daerah terkecil, gizi buruk, gedung sekolah rusak, dan sebagainya.
Tapi gugatan, pertanyaan, atau penilaian itu boleh dibilang telah terjawab dan tidak sepenuhnya diarahkan untuk jurnalis. Media telah memberitakan, bahkan melakukan investigasi. Ini bisa ditelusuri kembali pada pemberitaan periode tersebut.(*****lanjut)

Jumat, 16 Desember 2011

Belajar dari Jurnalistik

elajar dapat dipahami sebagai suatu proses pengalaman atau pemberian pengalaman. Proses pengalaman itu dapat langsung maupun tidak langsung. Sebagian besar pembelajaran adalah pemberian pengalaman secara tidak langsung. Jadi pembelajaran itu menggunakan media belajar, melalui fasilitator belajar dalam lingkungan belajar dan dibarengi dengan motivasi yang tinggi dari si belajar.

KITA sering tanpa sadar mengalami proses belajar. Ketika membaca, baik buku, koran, majalah, brosur, leaflet, pengumuman, spanduk, internet, dan sebagainya, sesungguhnya, kita telah mengalami suatu proses belajar. Proses belajar, dalam konsep teori belajar kognitif, adalah terjadinya pengelolaan informasi dalam otak, dikaitkan dengan informasi yang telah dimiliki. Belajar adalah proses mental. Ini proses belajar yang paling umum, mudah, murah, dan bisa dilakukan di mana saja.
Aktivitas membaca adalah proses untuk memperoleh pengetahuan baru. Membaca disebut metode untuk mengetahui apa yang terjadi di luar diri, memahami pengalaman dan pendapat orang lain, mengetahui suatu peristiwa, laporan kegiatan, dan sebagainya. Membaca adalah membuka cakrawala dunia. Maka tak berlebihan jika disebut membaca adalah cara memberantas kebodohan.
Media massa, sebagai produk jurnalistik, dapat dipandang sebagai salah satu media belajar. Sifatnya yang massal, memungkinkan setiap orang mengakses media seluas-luasnya. Dalam sajian media massa, banyak materi pengetahuan, pembelajaran, dan hiburan.
Era informasi di mana kebebasan pers menemukan momentumnya, ditunjang dengan kemajuan teknologi, keberadaan media massa merupakan perwujudan demokrasi yang esensial. Nilai-nilai kebebasan, kesetaraan, keberimbangan, keterbukaan, menjadi prioritas utama.
Proses kerja mengumpulkan, mengelola, menyimpan, dan menyiarkan berita itulah yang secara sederhana disebut jurnalistik. Dalam praktik, pengertian jurnalistik itu berkembang yaitu sebagai proses mewujudkan karya dan penyampaian informasi baik berupa tulisan, suara, gambar, maupun video. Ada juga yang menyebut jurnalisme, atau istilah lain, seperti kewartawanan, pers, atau press. Dalam mekanisme kerja sampai wujud akhir berupa media massa, ada banyak pembelajaran yang dapat diambil, baik oleh kalangan pelajar maupun masyarakat umum. Pembelajaran juga dapat dipetik dari substansi produk jurnalistik.
Maka wajar jika beberapa sekolah mengisi kegiatan studi wisata dengan mengunjungi penerbit media, melihat dari dekat proses kerja jurnalis dan pembuatan berita. Kompetensi jurnalis di antaranya adalah mengelola media secara utuh, dapat ditularkan, dipelajari oleh kalangan pelajar sehingga mereka dapat mengaktualisasikan dalam bentuk media di sekolah masing-masing.
Ketelitian
Suatu karya jurnalistik menuntut kerja yang teliti. Suatu berita, dilaporkan oleh jurnalis secara detail, terperinci, untuk memenuhi hasrat ingin tahu audiensnya. Jurnalistik berusaha mengungkapkan fakta-fakta yang tersembunyi, atau dengan kata lain, hal-hal yang tidak dilihat oleh umum. Jurnalis harus cermat, jeli, dan tajam melakukan pengamatan, pengumpulan data dan informasi, mengelola, dan mengemas informasi sehingga menjadi sajian yang menarik dan bernilai guna bagi audiens. (****lanjut)

Memberdayakan Guru

*****Artikel ini dimuat Radar Lampung, Jumat, 16 Desember 2011****
Menarik membaca tulisan sahabat Nurcholis (Radar Lampung, 29/11) dan Gunawan Handoko (Radar Lampung, 12/12) tentang guru. Bicara mengenai guru, sepertinya kita perlu memulainya dari upaya-upaya yang bersifat menggugah. Maklum, ini masalah laten, yang setiap saat muncul, dan tak pernah ada akhirnya. Permasalahan manajemen guru dan pendidikan memang kompleks dan dinamis.
SECARA konsep, paling tidak ada tiga isu utama pendidikan; pemerataan kesempatan, kualitas, relevansi. Beberapa pihak menyebut sebagai strategi dasar yang harus dilakukan dan menambahkan beberapa isu strategis lainnya.
Dalam sistem pendidikan formal, guru dapat dipandang sebagai subsistem pendidikan, yang perannya sangat vital. Memperbaiki atau meningkatkan kualitas pendidikan jelas menyangkut perbaikan pengelolaan dan kinerja guru.  
Dengan perspektif konstelasi permasalahan seperti itu, maka perbaikan dalam pengelolaan guru dan peningkatan kinerja guru diharapkan menyentuh ketiga isu utama. Dalam kosa kata pendidikan, prasarat bagi ukuran pelaksanaan tugas guru adalah kompetensi yang meliputi kompetensi pedagogik, akademik, sosial, dan profesional. Seperangkat kompetensi tersebut harus mewujud dalam perilaku dan budaya kerja guru.
Meningkatkan pengetahuan, kemampuan, keterampilan, keahlian guru secara teoritis akan meningkatkan kualitas pembelajaran yang dilakukan, dan kemudian meningkat pula prestasi belajar siswanya. Ini kemudian dapat diartikan meningkatnya kualitas pendidikan sekaligus meningkatnya relevansi atau keterkaitan nyata antara pendidikan dengan dunia usaha.
Guru sejahtera, kinerja meningkat?
Memperbaiki kesejahteraan guru, memang penting. Tapi harus didasarkan pada model yang baku, aturan yang jelas, dan diimplementasikan secara konsisten. Yang dituntut para guru terutama yang non-PNS terkait kesejahteraan jangan diartikan hanya imbalan berupa uang. Para guru non-PNS, yang sebagian besar berpendapatan di bawah UMR memang suatu kenyataan yang memprihatinkan. Apalagi yayasan tempatnya bekerja terlihat bergelimang sarana dan menumpuk kapital (meminjam istilah Nurcholis).  
Kita tidak perlu membandingkan dengan pendapatan guru berpredikat PNS dengan masa kerja 0 tahun.
Jadi yang terutama adalah prinsip kesetaraan, keadilan, dan transparansi. Ini mengindikasikan pentingnya perlindungan dan kepastian. Sejahtera tidak diartikan lahiriah semata, melainkan sejahtera lahir dan bathin.
Pertanyaan yang sampai sekarang masih dilakukan kajian mendalam adalah efektivitas program sertifikasi bagi guru. Harus diakui bahwa memang pemberian status guru profesional, dengan implikasi pemberian tunjangan, tidak serta meningkatkan kinerja guru. Secara kasuistik ditemui adalah dampak yang kontraproduktif dengan tujuan sertifikasi, seperti kecenderungan sikap materialistik, persepsi diri yang keliru, karena menganggap dirinya sudah profesional, yang belum sertifikasi tidak profesional, dan sebagainya.
Pertanyaan sederhana layak diajukan bagi guru yang berstatus guru profesional yang memperoleh tunjangan profesi. Apakah kesejahteraan guru yang meningkat (dengan tunjangan profesi yang diterimanya) pasti akan meningkatkan kinerja guru? Jawabannya bisa ya, bisa tidak.
Jawaban iya, jika guru memiliki kesadaran akan jati diri sebagai pendidik yang mengemban tugas mulia, menghargai profesi yang harus ditingkatkan harkat dan martabatnya. Dengan peningkatan kesejahteraan dalam arti material, ia akan berusaha mengembangkan profesinya melalui pengembangan diri. Ia akan dengan senang hati menambah pengalaman melalui berbagai bahan bacaan, mengikuti kegiatan ilmiah, dan aktif dalam komunitas atau organisasi profesi. Ia akan semakin aktif, proaktif, mengenali dan memahami anak-anak didiknya. Singkatnya, ia akan secara terus menerus antusias memberdayakan diri demi kemajuan profesi.
Tidak, jika guru memiliki konsep materialistik. Ia akan semakin meyakini bahwa setiap tindakannya harus menghasilkan uang. Tugas-tugas pokok, akan dicari alasan sebagai tugas tambahan, dan lagi-lagi akan dikaitkan dengan uang. Ia akan menjadikan sekolah sebagai pasar, dengan dalih “wirausaha”. Pendidikan wirausaha disalahartikan sebagai mencari keuntungan, bukan sebagai usaha membekali anak-anak didik dengan seperangkat pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan menghadapi situasi masa depan. Dengan kata lain, disiplin kerja akan menurun, gemar mencari kambing hitam untuk setiap kesulitan.
Guru adalah agen pembelajaran yang merupakan motivator, pemicu, dan pemacu belajar siswa. Dalam tugasnya, guru harus memiliki semua penjabaran kompetensi guru, sejak perencanaan pembelajaran, penampilan keseharian, dan komunikasi serta interaksi sosial.
Secara universal guru adalah agen budaya dan pembangunan bangsa. Ia mendidik anak-anak generasi muda sebagi penerus bangsa. Setiap bangsa akan membekali generasi mudanya dengan pendidikan yang terbaik. Dan di sinilah peran, dedikasi, dan kontribusi terbesar guru.
Pemerataan guru dan sarana
Isu kesenjangan penempatan guru sebenarnya sudah mencuat sejak beberapa tahun lalu. Pemerataan guru antar-wilayah bisa dilakukan sejak perencanaan penyusunan formasi. Tapi yang terjadi, bertahun-tahun, terjadi penumpukan guru di daerah tertentu, sementara di daerah lain kekurangan. Dampak yang terasa adalah ketika banyak guru kekurangan jam mengajar, sedangkan di daerah yang kekurangan guru, jam mengajar guru bertumpuk. Ketika ada kewajiban minimal jam mengajar 24 jam, guru disibukkan dengan “mencari” sendiri di sekolah-sekolah lain yang masih tersisa jam mengajarnya.
Pemerataan guru baik antar-wilayah maupun kelompok mata pelajaran, sesungguhnya menjadi faktor makin terbukanya kesempatan pendidikan bagi sebagian besar masyarakat, sekaligus relevansi dalam proses dan output pendidikan itu sendiri.
Pemerataan penempatan guru terkait dengan ketersediaan sarana dan prasarana. Di beberapa daerah yang kekurangan guru, umumnya juga terbatas sarana dan prasarana pendidikan formal yang ada.
Memberdayakan bukan memperdaya
Meskipun demikian, penulis yakin, dengan usaha bersama pemerintah dan komponen masyarakat, terutama pengelola yayasan, peningkatan kualitas pendidikan dapat dilakukan melalui perbaikan pengelolaan guru.  Kita hendaknya memahami profesi guru secara utuh. Hak-hak sebagai guru harus ditegakkan. Guru tidak disibukkan dengan urusan yang bukan urusannya, agar guru dapat memfokuskan diri pada profesinya.
Perhatian, penataan, pembinaan, dan pengembangan profesi guru yang menjadi kewenangan pemerintah baik pusat maupun daerah, perlu komitmen dan konsistensi sehingga dapat menyentuh semua guru. Bagi guru, memberdayakan diri adalah perjuangan, baik secara pribadi maupun berkelompok. Banyak tantangan dan hambatan untuk meraih perubahan itu. Kita tidak perlu alergi dengan perubahan, bahkan perlu berubah ke arah yang lebih maju.
Menyimak tulisan sahabat Nurcholis dan Gunawan Handoko, ada nada gugatan terhadap tatanan yang sekarang. Ada tuntutan reformasi dalam manajemen guru; dari paradigma memperdaya ke memberdayakan. Sekali lagi, semua kembali kepada kebijakan pemerintah dan semangat dari diri guru untuk berubah

Pembelajaran dan Jurnalisme

Dalam keseharian, kita sering abai terhadap hal-hal kecil. Padahal, sesungguhnya, di dalamnya terdapat proses belajar. Belajar dapat dipahami sebagai suatu proses mengalami maupun proses menyelami pengalaman orang lain melalui berbagai media belajar. Sehingga belajar dapat terjadi sebagai pengalaman langsung maupun tidak langsung.Hasil belajar bersifat tetap, baik berupa perubahan pola pikir, pengetahuan, sikap, keyakinan, kebiasaan, perilaku, keterampilan, maupun keahlian.
Belajar dapat terjadi melalui media belajar, adanya fasilitator belajar, lingkungan belajar, dan minat serta motivasi belajar. Media belajar itu dapat berupa buku, majalah, laporan penelitian, media massa, alat, sarana, peraga, perangkat teknologi, laboratorium, kebun, lapangan, dan sebagainya. Belajar tidak hanya terjadi di ruang kelas di sekolah atau kampus, tetapi dapat terjadi di mana saja dan kapan saja, termasuk melalui apa pun dan dengan siapapun.
Dalam konsep teori belajar kognitivisme, proses belajar adalah terjadinya pengelolaan informasi dalam otak, dikaitkan dengan informasi yang telah dimiliki. Inilah belajar yang paling umum, mudah, murah, dan bisa dilakukan di mana saja.
Praktik belajar yang paling umum dan sesuai dengan pemahaman kognitivisme tersebut adalah melalui aktivitas membaca. Dengan membaca diperoleh informasi dan pengetahuan baru. Membaca disebut metode untuk mengetahui apa yang terjadi di luar diri, memahami pengalaman dan pendapat orang lain, mengetahui suatu peristiwa, laporan kegiatan, dan sebagainya. Maka tak berlebihan jika disebut membaca adalah cara memberantas kebodohan. Ketika kita membaca, baik membaca buku, majalah, koran, leaflet, booklet, brosur, atau apapun, sesungguhnya kita sedang mengalami proses belajar.
Jurnalisme adalah suatu bidang kerja yang berhubungan dengan mengumpulkan berita, informasi, data, menyimpan, mengelola, menulis, melaporkan atau menyiarkannya baik berupa tulisan, foto, gambar, grafis, rekaman suara, maupun video. Memang ada yang menyebut dengan istilah lain, seperti jurnalistik, kewartawanan, atau pers.
Praktik jurnalisme semakin berkembang, seiring dengan perkembangan teknologi informasi. Setiap orang dapat menyampaikan informasi melalui media komunikasi massa. Pengelolaan media melibatkan semakin banyak orang, sebagai informan maupun nara sumber untuk disiarkan ke audien yang lebih luas. (****lanjut)

Jumat, 25 November 2011

Menjadi Guru yang Dirindukan

(Artikel ini dimuat RADAR LAMPUNG, Sabtu, 27 November 2011)

Membicarakan tentang guru, tak akan pernah ada habisnya. Tentang tugas mulia, harapan, tantangan, hambatan, perlakuan, maupun tentang berbagai pandangan orang terhadapnya. Yang jelas, membicarakan guru, perlu dipagari agar tetap dalam kerangka curah pendapat demi kemajuan pendidikan.
MOMENTUM Hari Guru Nasional, 25 November 2011, tepat dijadikan sebagai sarana refleksi, baik oleh guru, kalangan pendidikan, pemerintah, maupun masyarakat umum. Guru adalah suatu profesi yang tertua, jika dilihat substansinya, mendidik orang lain agar menyempurnakan dimensi kemanusiaannya.
Setiap orang, baik sengaja maupun tidak, pasti merasakan jasa seorang guru. Diakui atau tidak, guru telah memberikan kontribusi bagi perkembangan diri seseorang, dan kemajuan suatu bangsa. Jasa guru tiada tara dan tak akan tertukar dengan nilai. Tugas seorang guru adalah tugas universal umat manusia.
Pendidikan, sekolah, guru, belajar, dan sebagainya, adalah kosa kata yang sejatinya merupakan bagian terbesar dari waktu hidup kita. Setiap keluarga, mengerahkan banyak sumber daya untuk pendidikan anak-anaknya. Para orang tua “menyerahkan” pendidikan anak-anak mereka kepada sekolah. Siapapun kita, pemimpin perusahaan, politisi berpengaruh, insinyur, dokter, wartawan, pengacara, pegawai negeri, peternak, petani, sastrawan, dan sebagainya, menjadi demikian atas peran dan jasa guru.
Para guru, dosen, pedagang, tak terkecuali menjadi menteri ataupun presiden sekalipun, semuanya pernah dididik oleh guru, pernah bersekolah dan dan dibina oleh guru.
Pemerintah, menjadikan sektor pendidikan sebagai program strategis dan prioritas utama. Dan politisi pun kerap menjual program untuk meraih simpati.  
-Sosok Ideal
Menjadi guru yang ideal adalah tanggung jawab terbesar bagi guru. Ini tugas yang mulia. Menjadi guru, sering mendapat berkah, bukan semata-mata yang bersifat materi. Berkah kebahagiaan bathin, kepuasan kerja, dan kesejahteraan. Inilah model guru sejati, yang didambakan dan dirindukan siswanya dan oleh masyarakat sekitar.
Jasa guru dikenang sepanjang masa. Iringan doa, senantiasa dimohonkan dari orang yang pernah didiknya. Guru membelajarkan siswanya bicara, membelajarkan berkomunikasi dan berinteraksi sosial. Guru mengajari baca tulis dan hitung, menanamkan pengetahuan dan cara membuka cakrawala dunia.
Guru adalah salah satu sumber pengetahuan, sosok yang diidolakan, model yang sering ditiru, pembimbing, pendidik, dan bisa menjadi tempat untuk diskusi. 
Kesan terhadap guru yang penuh cinta kasih, menyenangkan, bersahabat, ramah tamah, namun tegas dan tegar dalam menghadapi setiap tantangan hidup. Guru adalah pemicu kreativitas, pembangkit semangat belajar, dan menumbuhkan optimisme. Guru adalah penyebar kedamaian, penguat keyakinan meraih cita-cita, dan selalu menampilkan kewibawaan.
Kharisma yang dimiliki guru, sejatinya, ungkapan bathin yang paling alamiah. Bukan kebetulan jika ada Hari Guru. Ini adalah wujud ungkapan terima kasih dan pengingat peran dan jasa guru agar selalu terkenang. Dengan caranya, guru mendidik dan membelajarkan muridnya, betapapun si murid tidak terima. Tidak ada guru yang meminta, suatu saat nanti di batu nisannya ditulis kata “Pahlawan”.(*****lanjut)

Surat Terbuka untuk Guruku (Refleksi Hari Guru Nasional, 25 November)

(Artikel ini dimuat Lampung Post, Senin, 28 September 2011)

Untuk Guruku. Sebelumnya aku mohon maaf, baru kali ini aku menulis surat ini. Dalam hati kecil ini sungguh banyak yang ingin kuungkapkan kepadamu, bahkan sejak dulu, tapi baru kali ini berkesempatan. Bukan aku mengabaikanmu, atau menomorduakanmu. Bukan.Mohon maaf bila aku mungkin dianggap tidak sopan, tidak santun.
Di setiap doaku, selalu kumohon pada-Nya, semoga engkau selalu berbahagia. Pada banyak momen dalam hidupku, aku sering terkesiap mengingat peran dan jasamu. Aku jadi seperti sekarang, karena engkau.
 Sampai kini aku selalu mengenang jasamu yang tiada tara. Aku selalu ingat lagu klasik “Guruku”. Syairnya begitu menyentuh. Terngiang-ngiang lagu yang sering di televisi. Syairnya menggugah. “Kita jadi pintar dibimbing Pak Guru.....; Kita jadi pandai, dibimbing Bu Guru...; Gurulah pelita, penerang dalam gulita....”
Guruku, aku masih ingat, bagaimana engkau menuntunku belajar bahasa, belajar IPA, dan segala hal. Waktu kecil, guruku mengajak bermain, meskipun itu sesungguhnya adalah belajar mengenali lingkungan. Mengajakku bicara, ternyata itu membelajarkan aku berkomunikasi dan berinteraksi sosial. Guru mengajari baca tulis dan hitung, menanamkan pengetahuan dan cara membuka cakrawala dunia.
Dulu, atas satu kejadian, memang pernah terlintas di benakku, engkau keras. Aku hanya protes keras dalam hati. Oh, ternyata, sikap kerasmu dalam mendidikku dan juga teman-teman, bermakna teramat dalam sekarang.
Jika aku dinilai tangguh, itu atas gemblenganmu. Bila kini aku dianggap tegar, itu pula karena tempaanmu. Kalaupun ada yang menilaiku sekarang, berhasil, itu semua tidak lepas dari peran didikanmu.
Guruku, aku prihatin atas beberapa guru yang mendapat perlakuan tidak adil. Aku sebenarnya berontak ketika ada beberapa guru yang didzolimi. Ada juga perasaan pilu, mendengar berita ada guru berbuat kasar kepada muridnya. Atau bahkan disangkakan berbuat tak senonoh.
Tapi juga aku merasa sangat prihatin, ketika ada guru yang tersangkut kasus. Sepertinya ada saja diberitakan media. Maklumlah, di zaman seperti sekarang, berita apa saja cepat menyebar. Apalagi berita buruk, tentang guru pula. Seperti biasa, berita baik, tentu akan dianggap biasa. Itulah kenapa, kalau ada berita buruk, dengan pesat meluas membahana. Yach, mungkin itu selera pasar. Atau bisa jadi pemenuhan nafsu manusia terhadap informasi.
Kalau ada guru yang tersangkut kasus, apakah itu pelanggaran, atau pidana. Mungkin ia khilaf, dikorbankan pihak lain, atau mungkin benar-benar ketidaksengajaan. Hanya doa dan harapan semoga segera terselesaikan.
Aku ingin mengungkapkan keprihatinanku, kala ada guru yang berubah sikap dan gaya hidupnya dan lebih dekat pada sifat-sifat materialisme, dan berkecenderungan pada budaya instan. Sungguh, rasanya aku masih bisa membedakan, mana sikap pragmatis, dan mana sikap idealis dan logis. Sekali lagi, hanya harapan semoga, itu bukan sifat bawaan dan tidak permanen.(*****lanjut)

Selasa, 22 November 2011

Menjadi Guru di Era Informasi (Refleksi Hari Guru, 25 November)


(Artikel ini dimuat RADAR LAMPUNG, Rabu, 23 November 2011)
Secara filosofis, menjadi guru meniscayakan panggilan jiwa dan dedikasi bagi kemanusiaan. Implikasinya adalah melakoni profesi dengan keihklasan, kebebasan, dan keseriusan yang mendalam, menyebarluaskan nilai-nilai dan meninggikan martabat umat.  
 PERTANYAANNYA adalah, adakah profil guru seperti itu sekarang? Mengapa seseorang mesti menjadi guru dan bukan memilih profesi yang lain? Bagaimana ia melaksanakan misi menjadi guru?
Menjadi guru di era teknologi informasi merupakan pilihan unik. Karena banyak pilihan seseorang untuk suatu profesi. Bahkan menjanjikan karier dan peluang pengembangan diri.
Pertimbangan dalam memilih profesi guru sekarang, tentu berbeda dengan pertimbangan para guru kita, ketika dulu mereka memutuskan untuk menjadi guru. Iklim sosial dan politik dalam tata kehidupan berbangsa dan bernegara juga telah berubah. Model penanaman disiplin, pembiasaan aktivitas positif, dan cara-cara belajar sekarang sudah berkembang.
Guru sekarang mendidik anak-anak yang memiliki akses yang luas terhadap informasi. Siswa dapat mengetahui berbagai informasi dari banyak sumber. Menjadi guru sekarang adalah menjadi fasilitator belajar bagi siswa. (*****lanjut)

Jumat, 04 November 2011

JURNALISTIK DAN PENDIDIKAN KARAKTER

 (Artikel ini dimuat RADAR LAMPUNG, Rabu, 2 November 2011)
Sebagian perilaku pelajar yang tampak, dinilai sudah semakin menjauh dari nilai-nilai dan budaya bangsa. Degradasi moral terwujud dalam aksi kekerasan, tawuran, pornografi, dan merosotnya etika. Kasus-kasus semacam ini masih saja terjadi, dan bukan monopoli pelajar di perkotaan. Beberapa waktu terakhir, kasus video mesum dan tindakan asusila bahkan terjadi di sekolah yang tergolong di daerah pinggiran.
ADA keprihatinan, kegelisahan, dan gugatan. Ada anggapan pendidikan cenderung hanya menekankan pada aspek kecerdasan, dan mengabaikan aspek lainnya. Institusi sekolah menjadi ujung tombak untuk menangkal perilaku negatif, dan bahkan hakikatnya untuk membentuk sifat-sifat positif dalam diri siswa.
Kini muncul tuntutan yang menekankan pentingnya pendidikan budaya dan karakter bangsa. Istilah yang dikenal sekarang adalah Pendidikan Karakter Bangsa. Implementasinya melalui pendidikan di persekolahan. Ia tidak merupakan materi pelajaran tersendiri, karena merupakan pendidikan nilai yang bersifat pengembangan. Jadi memerlukan waktu yang cukup panjang untuk melihat hasilnya.
Pendidikan karakter melekat pada semua pelajaran dan tindakan pendidikan. Model pendidikan karakter berbeda dengan mata pelajaran. Ia menjadi bagian dari seluruh proses pembelajaran.
Salah satu persyaratan untuk keberhasilan pelaksanaan pendidikan karakter adalah keterampilan guru dan pendidik serta adanya minat dan kemauan dari peserta didik.(*****lanjut)

Rabu, 26 Oktober 2011

MENILAI DAMPAK TEKNOLOGI INFORMASI


Secara filosofis, kemajuan di bidang teknologi harusnya menjadi berkah bagi kemanusiaan. Ia memberi kemudahan bagi aktivitas manusia. Ia semakin membawa umat manusia pada martabat yang lebih tinggi. Tapi kenyataannya, masih saja dijumpai adanya penyimpangan penggunaan teknologi, khususnya informasi.

BETUL pernyataan bahwa teknologi ibarat pedang bermata dua. Ia bisa menjadi senjata tetapi sekaligus juga membahayakan diri sendiri. Ia bisa dijadikan sarana memajukan masyarakat, tetapi juga bisa menjadi alat kejahatan.
Kasus beredarnya video kekerasan dan aksi porno yang melibatkan pelajar masih saja terjadi. Bahkan terjadi di daerah yang tergolong pinggiran. Artinya, dampak negatif itu sudah tidak mengenal tempat lagi.
Kasus yang sempat mencuat tentu menjadi keprihatinan tersendiri. Jangan sampai kejadian serupa terulang. Di kalangan pelajar, penggunaan teknologi informasi rentan disalahgunakan jika tanpa pengawasan yang memadai.
Dampak negatif lain yang juga perlu diwaspadai adalah hilangnya waktu dan kesempatan, gangguan kesehatan, dan merosotnya nilai moral. Bagi anak-anak, durasi yang berlebihan dalam penggunaan perangkat teknologi tersebut juga dapat mengganggu kemampuannya berinteraksi sosial secara wajar.
Sekarang, tumbuh kesadaran pentingnya pengawasan penggunaan teknologi informasi bagi anak-anak. Sikap bijaksana menjadi tumpuan dalam penggunaan teknologi. Penggunaan teknologi harus mempertimbangkan nilai manfaat yang diperoleh.
Memang, harus diakui, teknologi informasi dan komunikasi (TIK) memuat nilai manfaat yang luar biasa. Ia telah menjadi magnet dalam kehidupan masyarakat modern. Melalui teknologi, informasi apa saja menerpa setiap orang, setiap saat, sepanjang hari. Informasi itu datang baik diminta maupun tidak diminta. Informasi menyebar melalui televisi, radio, internet, sms, koran, majalah, buku, lembaga pendidikan, maupun orang.
Idealnya kemajuan di bidang TIK memberi dampak bagi peningkatan pengetahuan, efektivitas dan efisiensi pembelajaran di lembaga pendidikan, dan memudahkan pekerjaan setiap orang. Dengan informasi, dapat terbangun suatu tatanan masyarakat yang memiliki kesadaran hidup bersama dan mampu beradaptasi terhadap perubahan.

Informasi harus menjadi basis sumber kekuatan (power) dan spirit perubahan, melalui perolehan pengetahuan, dan kecepatan mengambil keputusan yang tepat untuk suatu masalah.
Persoalannya adalah bagaimana informasi itu dapat digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan. Di lembaga pendidikan misalnya, kemajuan penggunaan komputer dan internet menjadikan dunia pendidikan juga mengalami akselerasi kemajuan yang semakin baik.
Penggunaan komputer dan internet di sekolah seharusnya membantu memudahkan siswa untuk mempelajari berbagai hal. Ia menjadi sarana penunjang pembelajaran yang mampu menembus batas ruang dan waktu. Siswa kemudian juga dapat melakukan pembelajaran di mana pun dan kapan pun. Ini berarti terciptanya kesempatan yang sama bagi setiap orang.
Teknologi informasi semestinya mengefektifkan guru dalam memfasilitasi pembelajaran siswanya dan memudahkan guru dalam merancang pembelajaran. Berbagai perangkat teknologi informasi hendaknya termanfaatkan untuk menggairahkan semangat belajar dan melejitkan kreativitas siswa di berbagai bidang peminatan mereka.
Selain itu teknologi informasi harus menjadi perekat persatuan bangsa melalui penyebarluasan nilai-nilai luhur dan budaya bangsa. Menumbuhsuburkan kemampuan analisis obyektif dan membiasakan “tradisi kualitas”. Untuk itu guru dan pendidik dituntut memiliki kemampuan dan keterampilan serta bijaksana dalam memanfaatkan teknologi informasi.
Para pendidik memiliki tugas tambahan membimbing dan mengarahkan kepada anak didik tentang bagaimana bijaksana menggunakan teknologi informasi. Penggunaan internet, situs jejaring sosial, handphone, etika bertelepon, etika ber-sms, dan sebagainya. Para orang tua pun perlu lebih bijaksana dan memberikan pendampingan putra-putrinya dalam menonton acara televisi. Orang tua juga harus selektif memilih jenis tayangan dan membimbing penggunaan perangkat handphone, internet, dan komputer.
Setiap orang sekarang dituntut untuk mampu memfilter dan menggunakan informasi yang diperolehnya untuk pengembangan potensi diri. Pengetahuan dan informasi harus menambah daya saing individu, sehingga pada akhirnya membangun daya saing bangsa. Membangkitkan semangat kerja produktif dan etos kerja.
Kemajuan teknologi informasi yang membuka cakrawala dunia juga berarti masuknya nilai-nilai dan budaya dari luar, yang bahkan ada nilai-nilai dan budaya dari luar itu bertentangan dengan nilai-nilai dan budaya bangsa. Bahkan bertentangan dengan ajaran agama.
Sebagai dampak teknologi, informasi kini merangseng ke ruang-ruang pribadi dan mencuri perhatian dan waktu setiap orang. Sekali lagi, di sinilah pentingnya kemampuan memfilter nilai informasi dan melakukan pilihan terhadap manfaat informasi.
Melalui media televisi, kini kita seakan-akan dipaksa mengikuti selera pasar. Televisi setiap saat menyuguhkan informasi yang bersifat konsumtif dan hiburan yang bisa jadi pemicu sikap destruktif bagi penontonnya. Arus informasi verbal dan contoh-contoh tindakan maupun perilaku dalam acara televisi tidak semuanya sesuai dengan usia penontonnya dan taraf perkembangan jiwanya.
Banyak sinetron menampilkan gaya hidup glamour, hedonis, dan teramat mudah dalam meraih kekayaan material. Reality show menyajikan adegan kekerasan, meskipun itu hanya hiburan. Materialisme lebih menonjol daripada nilai-nilai perjuangan dan semangat bersaing secara sehat. Kenikmatan hidup sesaat dalam tayangan, bertolak belakang dengan realitas keseharian penontonnya. Gaya hidup instan dan serba mudah mencekoki benak dan otak penontonnya. Selain itu juga sajian kekerasan, baik kekerasan fisik maupun kekerasan yang sifatnya verbal, juga memiliki daya pengaruh terhadap penontonnya.
Menonton acara televisi tidak masalah, yang jadi masalah adalah isi tayangan itu yang tidak sesuai dengan masa perkembangan jiwa anak. Apalagi waktu anak di rumah lebih banyak dibanding keberadaan mereka di sekolah. Jangan sampai, perangkat teknologi itu disalahgunakan justru lebih banyak untuk game, atau akses situs dewasa.
Generasi muda harus terhindar dari dampak negatif informasi. Anak-anak usia sekolah adalah masa emas (golden age) untuk menumbuhkan karakter kebangsaan dan nilai-nilai luhur budaya bangsa.
Untuk memerangi dampak negatif penggunaan teknologi informasi, perlu peran dari banyak pihak, guru, pendidik, orang tua, penyedia jasa hiburan, pengembang teknologi, pengelola media massa, figur publik, tokoh masyarakat, tokoh agama. Semua pihak memberikan kontribusi strategis terhadap perang melawan penyalahgunaan penggunaan teknologi informasi melalui keteladanan sikapnya. Keteladanan yang baik harus lebih menjadi referensi bagi anak-anak, dibandingkan terpaan arus informasi konsumtif dan destruktif. (26 September 2011)

MENIMBANG MANFAAT TEKNOLOGI INFORMASI

Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sekarang menjadi magnet dalam kehidupan masyarakat modern. Melalui teknologi, informasi apa saja menerpa setiap orang, setiap saat, sepanjang hari. Informasi itu datang baik diminta maupun tidak diminta. Media penyebaran informasi itu berupa televisi, radio, internet, sms, koran, majalah, buku, lembaga pendidikan, maupun orang.
Idealnya kemajuan di bidang TIK memberi dampak bagi peningkatan pengetahuan, efektivitas dan efisiensi pembelajaran di lembaga pendidikan, dan memudahkan pekerjaan setiap orang. Dengan informasi, dapat terbangun suatu tatanan masyarakat yang memiliki kesadaran hidup bersama dan mampu beradaptasi terhadap perubahan.
Makna penting informasi adalah bahwa ia merupakan sumber kekuatan (power). Artinya, ia menjadi spirit perubahan, melalui perolehan pengetahuan, dan kecepatan mengambil keputusan yang tepat untuk suatu masalah.
Persoalannya adalah bagaimana informasi itu dapat digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan. Di lembaga pendidikan misalnya, kemajuan TIK menjadikan dunia pendidikan juga mengalami akselerasi kemajuan yang semakin baik. Ia seharusnya membantu memudahkan belajar siswa di sekolah. Ia menjadi sarana penunjang pembelajaran yang mampu menembus batas ruang dan waktu. Siswa dapat melakukan pembelajaran di mana pun dan kapan pun. Ini berarti terciptanya kesempatan yang sama bagi setiap orang. 
Idealnya, TIK mampu mengefektifkan guru dalam memfasilitasi pembelajaran siswanya. Memudahkan guru dalam merancang pembelajaran. TIK dan berbagai perangkatnya hendaknya termanfaatkan untuk menggairahkan semangat belajar dan melejitkan kreativitas siswa di berbagai bidang peminatan mereka.
TIK juga harus menjadi perekat persatuan bangsa melalui penyebarluasan nilai-nilai luhur dan budaya bangsa.  Selain itu juga seharusnya menyuburkan kemampuan analisis obyektif dan membiasakan “tradisi kualitas”. Untuk itu guru dan pendidik dituntut memiliki kemampuan dan keterampilan serta bijaksana dalam memanfaatkan teknologi informasi.
Permasalahan lain TIK adalah bagaimana orang mampu memfilter dan menggunakan informasi yang diperolehnya untuk pengembangan potensi diri dan menambah daya saing individu, sehingga pada akhirnya membangun daya saing bangsa.
Kini kita seakan-akan dipaksa mengikuti selera pasar. Televisi setiap saat menyuguhkan informasi yang bersifat konsumtif dan hiburan yang bisa jadi pemicu sikap destruktif bagi penontonnya. Arus informasi verbal dan contoh-contoh tindakan maupun perilaku dalam acara televisi tidak semuanya sesuai dengan usia penontonnya dan taraf perkembangan jiwanya.
Banyak sinetron menampilkan gaya hidup glamour, hedonis, dan teramat mudah dalam meraih kekayaan material. Reality show menyajikan adegan kekerasan, meskipun itu hanya hiburan. Materialisme lebih menonjol daripada nilai-nilai perjuangan dan semangat bersaing secara sehat. Kenikmatan hidup sesaat dalam tayangan, tidak seiring realita keseharian penontonnya. Gaya hidup instan dan serba mudah mencekoki benak dan otak penontonnya. Selain itu juga sajian kekerasan, baik kekerasan fisik maupun kekerasan yang sifatnya verbal, juga memiliki daya pengaruh terhadap penontonnya.
Para orang tua perlu lebih bijaksana dan memberikan pendampingan putra-putrinya dalam menonton acara televisi. Artinya, orang tua juga harus selektif memilih jenis tayangan. Menonton acara televisi tidak masalah, yang jadi masalah adalah isi tayangan itu yang tidak sesuai dengan masa perkembangan jiwa anak. Apalagi waktu anak di rumah lebih banyak dibanding keberadaan mereka di sekolah.
Demikian pula dalam membimbing penggunaan perangkat handphone, internet, dan komputer. Jangan sampai, perangkat teknologi itu disalahgunakan justru lebih banyak untuk game, atau akses situs dewasa. Bagi anak-anak, durasi yang berlebihan dalam penggunaan perangkat teknologi tersebut juga dapat mengganggu kemampuannya berinteraksi sosial secara wajar.
Selain itu, keteladanan dari tokoh masyarakat, figur publik, para pendidik, dan para orang tua menjadi sangat penting dalam rangka membekali generasi muda dari dampak negatif era informasi. Generasi muda dan anak-anak usia sekolah adalah masa emas (golden age) untuk menumbuhkan karakter kebangsaan dan nilai-nilai luhur budaya bangsa.
Keteladanan dari para tokoh masyarakat itu harus melebihi kapasitas kemampuan terpaan informasi yang negatif sebagai akibat dari kemajuan teknologi komunikasi. Keteladanan yang baik harus lebih menjadi referensi bagi anak-anak, dibandingkan terpaan arus informasi konsumtif dan destruktif.
Keteladanan mencakup sikap, pandangan hidup, perilaku, kebiasaan, dan cara beraktivitas dan berinteraksi sehari-hari. Anak-anak yang tumbuh di lingkungan religious dan dibiasakan melaksanakan ajaran agama, akan mudah mengamalkan ibadah sesuai dengan agama yang dianut. Sebaliknya, mereka yang berada dalam lingkungan serta terpaan informasi massif yang konsumtif dan hedonis, juga akan dengan mudah meniru apa yang dilihatnya setiap hari.
Peran para perancang program siaran, pengelola stasiun televisi, radio, maupun media massa dalam pendidikan jelas sangat strategis selain para pendidik dan lingkungan keluarga. Penulis berpandangan pengelola media massa, apapun bentuknya, perlu meningkatkan kepekaan terhadap karakteristik pelanggannya terutama dalam kaitan dengan pendidikan anak-anak generasi muda bangsa. Pengelolaan media komunikasi massa perlu mengedepankan sifat “ramah anak dan aman untuk keluarga”.
Pendidikan anak-anak generasi muda bangsa ini harus menjadi prioritas dan pertimbangan utama dalam menyajikan informasi. Ketokohan yang ditayangkan hendaknya memberikan nilai-nilai keteladanan dan sikap positif dan membangun optimisme. Etos produktif dan semangat wirausaha perlu disebarkan melalui tayangan dan siaran media. Dengan memanfaatkan teknologi informasi kita dapat menanamkan nilai-nilai dan budaya bangsa serta membangun karakter bangsa dalam diri peserta didik. (*)

KOMPETENSI DAN PROFESIONALISME WARTAWAN

PWI Lampung telah melakukan konferensi cabang IX dan berhasil memilih ketua baru, Supriyadi Alfian. Selamat buat Bung Yadi, semoga mampu mengemban amanah memajukan wartawan di Lampung.
Sesaat setelah terpilih, Supriyadi Alfian mengungkapkan misi utama yang menjadi spirit kepemimpinanya, yaitu meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan. Selain itu meningkatkan hubungan kemitraan dengan pemerintah untuk mendukung kelancaran pembangunan.
Lazimnya organisasi profesi lainnya, PWI menjadi wadah berhimpun wartawan untuk mengembangkan potensi diri dan aktualisasi kepentingan profesi. Organisasi profesi menjadi sarana memperjuangkan aspirasi anggotanya, selain untuk mempererat silaturahmi. Dengan demikian, misi yang diemban, program dan kegiatan disusun, ditetapkan, dan dilaksanakan, untuk mencapai suatu kompetensi wartawan.
Perjuangan meraih derajat profesional jelas bukan pekerjaan mudah. Ia harus dicapai melalui sinergi dengan elemen lain dan penggalangan sumber daya yang ada. Dan tampaknya, perjuangan itu adalah dialektika yang tidak akan pernah ada akhirnya. Mengapa? Karena tuntutan kebutuhan profesi juga berkembang seiring dengan dinamika yang terjadi di luar organisasi, di luar profesi sendiri.
Organisasi profesi menjadi sarana pengaturan etika profesi, sehingga mampu mengurangi, atau mencegah kemungkinan pelanggaran etika. Tapi bukan berarti ia menjadi satu-satunya polisi etika bagi anggotanya.
Dalam praktik, kerja wartawan melibatkan atau berhubungan dengan banyak orang, nara sumber, dan institusi. Hasil kerja itu juga dimaksudkan untuk disiarkan kepada publik. Sehingga, apabila terjadi perbedaan tafsir atas apa yang diberitakan, disiarkan, yang mungkin dianggap merugikan pihak lain, berpotensi menimbulkan masalah. Organisasi profesi seperti PWI dan Dewan Pers memiliki kewenangan untuk mencari solusi yang terbaik.
Oleh karena itu, wajar jika PWI mengutamakan program kerja meningkatkan profesionalisme wartawan dan berupaya memperbaiki kesejahteraan wartawan. Melalui program kerja seperti itu diharapkan terwujud sikap profesional, dan terhindar dari kemungkinan pelanggaran.  
Kerja wartawan adalah menghasilkan karya jurnalistik yang berguna. Dengan kata lain, karya jurnalistik itu berkualitas. Kriteria kebergunaan itu dapat dijadikan sebagai salah satu indikator profesional, di samping proses kerja yang harus didasarkan pada mekanisme dan aturan yang berlaku.
Secara umum profesional dipahami sebagai suatu pekerjaan atau profesi yang menuntut tingkat basis pendidikan tertentu, pengalaman dalam jabatan, dan pengembangan diri berkelanjutan. Untuk dapat mencapai profesional, tentu membutuhkan berbagai kompetensi.
Kompetensi adalah kecakapan, yang juga dapat diartikan sebagai kewenangan. Wartawan yang kompeten adalah wartawan yang memiliki kecakapan, kemampuan, dan keterampilan menghasilkan karya jurnalistik yang berguna. Ia juga berarti, wartawan itu memiliki kewenangan untuk memproduksi karya jurnalistik.
Menjadi wartawan berarti telah memilih profesi yang unik. Walaupun secara umum, dapat dipandang sama dengan profesi lainnya. Keunikan profesi wartawan tampak pada fungsinya. Prinsip universal bagi dedikasi kerja wartawan adalah kepada kemanusiaan, kepentingan bangsa dan negara.
Kerja wartawan bersifat unik karena menuntut sikap sensitif, proaktif, kreatif, dan loyalitas. Berita atau informasi yang dihasilkan wartawan harus benar, akurat, jelas, dan berimbang. Spirit universal bagi kerja wartawan adalah dedikasinya pada kebenaran dan keberpihakannya pada yang lemah. Bukan sensasi. Dan itu semua menuntut kompetensi dan sikap profesional.
Dalam bekerja, wartawan membutuhkan daya tahan dan semangat pantang menyerah. Tidak ada karya jurnalistik yang berkualitas tanpa kerja keras. Produk kerja wartawan adalah berita atau informasi yang semestinya mampu menjadi sumber inspirasi, pencerahan, menambah pengetahuan, dan menjadi rujukan bagi audiensnya.
Proses menghasilkan dan menyiarkan karya jurnalistik yang bermutu itu melalui berbagai tahapan yang mungkin berliku, rumit, dan menuntut kebijakan yang arif. Suatu peristiwa yang diberitakan setidaknya dipertimbangkan kebermanfaatannya bagi audiensnya.   
Kerja wartawan dalam rumah besar bernama pers, dan dalam naungan organisasi profesi, seperti PWI. Ia harus menjadikan kode etik profesi sebagai pemandu arah dalam mewujudkan misi profesionalnya. Ia harus membaca, memahami, dan mensosialisasikan kode etik profesi kepada masyarakat yang lebih luas.
Tantangan bagi kerja wartawan adalah adanya oknum yang memanfaatkan prestise wartawan untuk kepentingan sesaat, kepentingan pribadi, kepentingan politik dan kelompok tertentu. Tantangan lainnya, adalah menyeimbangkan idealisme dan spirit wartawan dengan arus persaingan industri media.
Akhirnya, apresiasi patut diberikan atas beberapa kegiatan menonjol kalangan wartawan di Lampung belakangan ini; Sekolah Jurnalisme Indonesia, Uji Kompetensi Wartawan, dan Konferenci Cabang Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Muara dari semua aktivitas tersebut adalah profesionalisme wartawan.
Tulisan ini bermaksud urun rembug, dari perspektif awam (the outsiders). Harapannya, memberikan umpan balik yang bermakna bagi kewartawanan dan pengelola media. Sedangkan bagi masyarakat luas, dapat menjadi informasi dan pemahaman akan mulianya profesi wartawan bagi kemanusiaan dan bangsa.
Masyarakat menghendaki karya jurnalistik yang mencerahkan dan memberikan petunjuk (guidance) bagi kehidupan sehari-hari. Masyarakat mengharapkan adanya media yang mampu menjadi penyalur aspirasi yang efektif, yang dikelola secara profesional dan awak  redaksi yang profesional pula. (Bandar Lampung, 11 Oktober 2011)