Rabu, 26 Oktober 2011

MENILAI DAMPAK TEKNOLOGI INFORMASI


Secara filosofis, kemajuan di bidang teknologi harusnya menjadi berkah bagi kemanusiaan. Ia memberi kemudahan bagi aktivitas manusia. Ia semakin membawa umat manusia pada martabat yang lebih tinggi. Tapi kenyataannya, masih saja dijumpai adanya penyimpangan penggunaan teknologi, khususnya informasi.

BETUL pernyataan bahwa teknologi ibarat pedang bermata dua. Ia bisa menjadi senjata tetapi sekaligus juga membahayakan diri sendiri. Ia bisa dijadikan sarana memajukan masyarakat, tetapi juga bisa menjadi alat kejahatan.
Kasus beredarnya video kekerasan dan aksi porno yang melibatkan pelajar masih saja terjadi. Bahkan terjadi di daerah yang tergolong pinggiran. Artinya, dampak negatif itu sudah tidak mengenal tempat lagi.
Kasus yang sempat mencuat tentu menjadi keprihatinan tersendiri. Jangan sampai kejadian serupa terulang. Di kalangan pelajar, penggunaan teknologi informasi rentan disalahgunakan jika tanpa pengawasan yang memadai.
Dampak negatif lain yang juga perlu diwaspadai adalah hilangnya waktu dan kesempatan, gangguan kesehatan, dan merosotnya nilai moral. Bagi anak-anak, durasi yang berlebihan dalam penggunaan perangkat teknologi tersebut juga dapat mengganggu kemampuannya berinteraksi sosial secara wajar.
Sekarang, tumbuh kesadaran pentingnya pengawasan penggunaan teknologi informasi bagi anak-anak. Sikap bijaksana menjadi tumpuan dalam penggunaan teknologi. Penggunaan teknologi harus mempertimbangkan nilai manfaat yang diperoleh.
Memang, harus diakui, teknologi informasi dan komunikasi (TIK) memuat nilai manfaat yang luar biasa. Ia telah menjadi magnet dalam kehidupan masyarakat modern. Melalui teknologi, informasi apa saja menerpa setiap orang, setiap saat, sepanjang hari. Informasi itu datang baik diminta maupun tidak diminta. Informasi menyebar melalui televisi, radio, internet, sms, koran, majalah, buku, lembaga pendidikan, maupun orang.
Idealnya kemajuan di bidang TIK memberi dampak bagi peningkatan pengetahuan, efektivitas dan efisiensi pembelajaran di lembaga pendidikan, dan memudahkan pekerjaan setiap orang. Dengan informasi, dapat terbangun suatu tatanan masyarakat yang memiliki kesadaran hidup bersama dan mampu beradaptasi terhadap perubahan.

Informasi harus menjadi basis sumber kekuatan (power) dan spirit perubahan, melalui perolehan pengetahuan, dan kecepatan mengambil keputusan yang tepat untuk suatu masalah.
Persoalannya adalah bagaimana informasi itu dapat digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan. Di lembaga pendidikan misalnya, kemajuan penggunaan komputer dan internet menjadikan dunia pendidikan juga mengalami akselerasi kemajuan yang semakin baik.
Penggunaan komputer dan internet di sekolah seharusnya membantu memudahkan siswa untuk mempelajari berbagai hal. Ia menjadi sarana penunjang pembelajaran yang mampu menembus batas ruang dan waktu. Siswa kemudian juga dapat melakukan pembelajaran di mana pun dan kapan pun. Ini berarti terciptanya kesempatan yang sama bagi setiap orang.
Teknologi informasi semestinya mengefektifkan guru dalam memfasilitasi pembelajaran siswanya dan memudahkan guru dalam merancang pembelajaran. Berbagai perangkat teknologi informasi hendaknya termanfaatkan untuk menggairahkan semangat belajar dan melejitkan kreativitas siswa di berbagai bidang peminatan mereka.
Selain itu teknologi informasi harus menjadi perekat persatuan bangsa melalui penyebarluasan nilai-nilai luhur dan budaya bangsa. Menumbuhsuburkan kemampuan analisis obyektif dan membiasakan “tradisi kualitas”. Untuk itu guru dan pendidik dituntut memiliki kemampuan dan keterampilan serta bijaksana dalam memanfaatkan teknologi informasi.
Para pendidik memiliki tugas tambahan membimbing dan mengarahkan kepada anak didik tentang bagaimana bijaksana menggunakan teknologi informasi. Penggunaan internet, situs jejaring sosial, handphone, etika bertelepon, etika ber-sms, dan sebagainya. Para orang tua pun perlu lebih bijaksana dan memberikan pendampingan putra-putrinya dalam menonton acara televisi. Orang tua juga harus selektif memilih jenis tayangan dan membimbing penggunaan perangkat handphone, internet, dan komputer.
Setiap orang sekarang dituntut untuk mampu memfilter dan menggunakan informasi yang diperolehnya untuk pengembangan potensi diri. Pengetahuan dan informasi harus menambah daya saing individu, sehingga pada akhirnya membangun daya saing bangsa. Membangkitkan semangat kerja produktif dan etos kerja.
Kemajuan teknologi informasi yang membuka cakrawala dunia juga berarti masuknya nilai-nilai dan budaya dari luar, yang bahkan ada nilai-nilai dan budaya dari luar itu bertentangan dengan nilai-nilai dan budaya bangsa. Bahkan bertentangan dengan ajaran agama.
Sebagai dampak teknologi, informasi kini merangseng ke ruang-ruang pribadi dan mencuri perhatian dan waktu setiap orang. Sekali lagi, di sinilah pentingnya kemampuan memfilter nilai informasi dan melakukan pilihan terhadap manfaat informasi.
Melalui media televisi, kini kita seakan-akan dipaksa mengikuti selera pasar. Televisi setiap saat menyuguhkan informasi yang bersifat konsumtif dan hiburan yang bisa jadi pemicu sikap destruktif bagi penontonnya. Arus informasi verbal dan contoh-contoh tindakan maupun perilaku dalam acara televisi tidak semuanya sesuai dengan usia penontonnya dan taraf perkembangan jiwanya.
Banyak sinetron menampilkan gaya hidup glamour, hedonis, dan teramat mudah dalam meraih kekayaan material. Reality show menyajikan adegan kekerasan, meskipun itu hanya hiburan. Materialisme lebih menonjol daripada nilai-nilai perjuangan dan semangat bersaing secara sehat. Kenikmatan hidup sesaat dalam tayangan, bertolak belakang dengan realitas keseharian penontonnya. Gaya hidup instan dan serba mudah mencekoki benak dan otak penontonnya. Selain itu juga sajian kekerasan, baik kekerasan fisik maupun kekerasan yang sifatnya verbal, juga memiliki daya pengaruh terhadap penontonnya.
Menonton acara televisi tidak masalah, yang jadi masalah adalah isi tayangan itu yang tidak sesuai dengan masa perkembangan jiwa anak. Apalagi waktu anak di rumah lebih banyak dibanding keberadaan mereka di sekolah. Jangan sampai, perangkat teknologi itu disalahgunakan justru lebih banyak untuk game, atau akses situs dewasa.
Generasi muda harus terhindar dari dampak negatif informasi. Anak-anak usia sekolah adalah masa emas (golden age) untuk menumbuhkan karakter kebangsaan dan nilai-nilai luhur budaya bangsa.
Untuk memerangi dampak negatif penggunaan teknologi informasi, perlu peran dari banyak pihak, guru, pendidik, orang tua, penyedia jasa hiburan, pengembang teknologi, pengelola media massa, figur publik, tokoh masyarakat, tokoh agama. Semua pihak memberikan kontribusi strategis terhadap perang melawan penyalahgunaan penggunaan teknologi informasi melalui keteladanan sikapnya. Keteladanan yang baik harus lebih menjadi referensi bagi anak-anak, dibandingkan terpaan arus informasi konsumtif dan destruktif. (26 September 2011)

MENIMBANG MANFAAT TEKNOLOGI INFORMASI

Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sekarang menjadi magnet dalam kehidupan masyarakat modern. Melalui teknologi, informasi apa saja menerpa setiap orang, setiap saat, sepanjang hari. Informasi itu datang baik diminta maupun tidak diminta. Media penyebaran informasi itu berupa televisi, radio, internet, sms, koran, majalah, buku, lembaga pendidikan, maupun orang.
Idealnya kemajuan di bidang TIK memberi dampak bagi peningkatan pengetahuan, efektivitas dan efisiensi pembelajaran di lembaga pendidikan, dan memudahkan pekerjaan setiap orang. Dengan informasi, dapat terbangun suatu tatanan masyarakat yang memiliki kesadaran hidup bersama dan mampu beradaptasi terhadap perubahan.
Makna penting informasi adalah bahwa ia merupakan sumber kekuatan (power). Artinya, ia menjadi spirit perubahan, melalui perolehan pengetahuan, dan kecepatan mengambil keputusan yang tepat untuk suatu masalah.
Persoalannya adalah bagaimana informasi itu dapat digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan. Di lembaga pendidikan misalnya, kemajuan TIK menjadikan dunia pendidikan juga mengalami akselerasi kemajuan yang semakin baik. Ia seharusnya membantu memudahkan belajar siswa di sekolah. Ia menjadi sarana penunjang pembelajaran yang mampu menembus batas ruang dan waktu. Siswa dapat melakukan pembelajaran di mana pun dan kapan pun. Ini berarti terciptanya kesempatan yang sama bagi setiap orang. 
Idealnya, TIK mampu mengefektifkan guru dalam memfasilitasi pembelajaran siswanya. Memudahkan guru dalam merancang pembelajaran. TIK dan berbagai perangkatnya hendaknya termanfaatkan untuk menggairahkan semangat belajar dan melejitkan kreativitas siswa di berbagai bidang peminatan mereka.
TIK juga harus menjadi perekat persatuan bangsa melalui penyebarluasan nilai-nilai luhur dan budaya bangsa.  Selain itu juga seharusnya menyuburkan kemampuan analisis obyektif dan membiasakan “tradisi kualitas”. Untuk itu guru dan pendidik dituntut memiliki kemampuan dan keterampilan serta bijaksana dalam memanfaatkan teknologi informasi.
Permasalahan lain TIK adalah bagaimana orang mampu memfilter dan menggunakan informasi yang diperolehnya untuk pengembangan potensi diri dan menambah daya saing individu, sehingga pada akhirnya membangun daya saing bangsa.
Kini kita seakan-akan dipaksa mengikuti selera pasar. Televisi setiap saat menyuguhkan informasi yang bersifat konsumtif dan hiburan yang bisa jadi pemicu sikap destruktif bagi penontonnya. Arus informasi verbal dan contoh-contoh tindakan maupun perilaku dalam acara televisi tidak semuanya sesuai dengan usia penontonnya dan taraf perkembangan jiwanya.
Banyak sinetron menampilkan gaya hidup glamour, hedonis, dan teramat mudah dalam meraih kekayaan material. Reality show menyajikan adegan kekerasan, meskipun itu hanya hiburan. Materialisme lebih menonjol daripada nilai-nilai perjuangan dan semangat bersaing secara sehat. Kenikmatan hidup sesaat dalam tayangan, tidak seiring realita keseharian penontonnya. Gaya hidup instan dan serba mudah mencekoki benak dan otak penontonnya. Selain itu juga sajian kekerasan, baik kekerasan fisik maupun kekerasan yang sifatnya verbal, juga memiliki daya pengaruh terhadap penontonnya.
Para orang tua perlu lebih bijaksana dan memberikan pendampingan putra-putrinya dalam menonton acara televisi. Artinya, orang tua juga harus selektif memilih jenis tayangan. Menonton acara televisi tidak masalah, yang jadi masalah adalah isi tayangan itu yang tidak sesuai dengan masa perkembangan jiwa anak. Apalagi waktu anak di rumah lebih banyak dibanding keberadaan mereka di sekolah.
Demikian pula dalam membimbing penggunaan perangkat handphone, internet, dan komputer. Jangan sampai, perangkat teknologi itu disalahgunakan justru lebih banyak untuk game, atau akses situs dewasa. Bagi anak-anak, durasi yang berlebihan dalam penggunaan perangkat teknologi tersebut juga dapat mengganggu kemampuannya berinteraksi sosial secara wajar.
Selain itu, keteladanan dari tokoh masyarakat, figur publik, para pendidik, dan para orang tua menjadi sangat penting dalam rangka membekali generasi muda dari dampak negatif era informasi. Generasi muda dan anak-anak usia sekolah adalah masa emas (golden age) untuk menumbuhkan karakter kebangsaan dan nilai-nilai luhur budaya bangsa.
Keteladanan dari para tokoh masyarakat itu harus melebihi kapasitas kemampuan terpaan informasi yang negatif sebagai akibat dari kemajuan teknologi komunikasi. Keteladanan yang baik harus lebih menjadi referensi bagi anak-anak, dibandingkan terpaan arus informasi konsumtif dan destruktif.
Keteladanan mencakup sikap, pandangan hidup, perilaku, kebiasaan, dan cara beraktivitas dan berinteraksi sehari-hari. Anak-anak yang tumbuh di lingkungan religious dan dibiasakan melaksanakan ajaran agama, akan mudah mengamalkan ibadah sesuai dengan agama yang dianut. Sebaliknya, mereka yang berada dalam lingkungan serta terpaan informasi massif yang konsumtif dan hedonis, juga akan dengan mudah meniru apa yang dilihatnya setiap hari.
Peran para perancang program siaran, pengelola stasiun televisi, radio, maupun media massa dalam pendidikan jelas sangat strategis selain para pendidik dan lingkungan keluarga. Penulis berpandangan pengelola media massa, apapun bentuknya, perlu meningkatkan kepekaan terhadap karakteristik pelanggannya terutama dalam kaitan dengan pendidikan anak-anak generasi muda bangsa. Pengelolaan media komunikasi massa perlu mengedepankan sifat “ramah anak dan aman untuk keluarga”.
Pendidikan anak-anak generasi muda bangsa ini harus menjadi prioritas dan pertimbangan utama dalam menyajikan informasi. Ketokohan yang ditayangkan hendaknya memberikan nilai-nilai keteladanan dan sikap positif dan membangun optimisme. Etos produktif dan semangat wirausaha perlu disebarkan melalui tayangan dan siaran media. Dengan memanfaatkan teknologi informasi kita dapat menanamkan nilai-nilai dan budaya bangsa serta membangun karakter bangsa dalam diri peserta didik. (*)

KOMPETENSI DAN PROFESIONALISME WARTAWAN

PWI Lampung telah melakukan konferensi cabang IX dan berhasil memilih ketua baru, Supriyadi Alfian. Selamat buat Bung Yadi, semoga mampu mengemban amanah memajukan wartawan di Lampung.
Sesaat setelah terpilih, Supriyadi Alfian mengungkapkan misi utama yang menjadi spirit kepemimpinanya, yaitu meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan. Selain itu meningkatkan hubungan kemitraan dengan pemerintah untuk mendukung kelancaran pembangunan.
Lazimnya organisasi profesi lainnya, PWI menjadi wadah berhimpun wartawan untuk mengembangkan potensi diri dan aktualisasi kepentingan profesi. Organisasi profesi menjadi sarana memperjuangkan aspirasi anggotanya, selain untuk mempererat silaturahmi. Dengan demikian, misi yang diemban, program dan kegiatan disusun, ditetapkan, dan dilaksanakan, untuk mencapai suatu kompetensi wartawan.
Perjuangan meraih derajat profesional jelas bukan pekerjaan mudah. Ia harus dicapai melalui sinergi dengan elemen lain dan penggalangan sumber daya yang ada. Dan tampaknya, perjuangan itu adalah dialektika yang tidak akan pernah ada akhirnya. Mengapa? Karena tuntutan kebutuhan profesi juga berkembang seiring dengan dinamika yang terjadi di luar organisasi, di luar profesi sendiri.
Organisasi profesi menjadi sarana pengaturan etika profesi, sehingga mampu mengurangi, atau mencegah kemungkinan pelanggaran etika. Tapi bukan berarti ia menjadi satu-satunya polisi etika bagi anggotanya.
Dalam praktik, kerja wartawan melibatkan atau berhubungan dengan banyak orang, nara sumber, dan institusi. Hasil kerja itu juga dimaksudkan untuk disiarkan kepada publik. Sehingga, apabila terjadi perbedaan tafsir atas apa yang diberitakan, disiarkan, yang mungkin dianggap merugikan pihak lain, berpotensi menimbulkan masalah. Organisasi profesi seperti PWI dan Dewan Pers memiliki kewenangan untuk mencari solusi yang terbaik.
Oleh karena itu, wajar jika PWI mengutamakan program kerja meningkatkan profesionalisme wartawan dan berupaya memperbaiki kesejahteraan wartawan. Melalui program kerja seperti itu diharapkan terwujud sikap profesional, dan terhindar dari kemungkinan pelanggaran.  
Kerja wartawan adalah menghasilkan karya jurnalistik yang berguna. Dengan kata lain, karya jurnalistik itu berkualitas. Kriteria kebergunaan itu dapat dijadikan sebagai salah satu indikator profesional, di samping proses kerja yang harus didasarkan pada mekanisme dan aturan yang berlaku.
Secara umum profesional dipahami sebagai suatu pekerjaan atau profesi yang menuntut tingkat basis pendidikan tertentu, pengalaman dalam jabatan, dan pengembangan diri berkelanjutan. Untuk dapat mencapai profesional, tentu membutuhkan berbagai kompetensi.
Kompetensi adalah kecakapan, yang juga dapat diartikan sebagai kewenangan. Wartawan yang kompeten adalah wartawan yang memiliki kecakapan, kemampuan, dan keterampilan menghasilkan karya jurnalistik yang berguna. Ia juga berarti, wartawan itu memiliki kewenangan untuk memproduksi karya jurnalistik.
Menjadi wartawan berarti telah memilih profesi yang unik. Walaupun secara umum, dapat dipandang sama dengan profesi lainnya. Keunikan profesi wartawan tampak pada fungsinya. Prinsip universal bagi dedikasi kerja wartawan adalah kepada kemanusiaan, kepentingan bangsa dan negara.
Kerja wartawan bersifat unik karena menuntut sikap sensitif, proaktif, kreatif, dan loyalitas. Berita atau informasi yang dihasilkan wartawan harus benar, akurat, jelas, dan berimbang. Spirit universal bagi kerja wartawan adalah dedikasinya pada kebenaran dan keberpihakannya pada yang lemah. Bukan sensasi. Dan itu semua menuntut kompetensi dan sikap profesional.
Dalam bekerja, wartawan membutuhkan daya tahan dan semangat pantang menyerah. Tidak ada karya jurnalistik yang berkualitas tanpa kerja keras. Produk kerja wartawan adalah berita atau informasi yang semestinya mampu menjadi sumber inspirasi, pencerahan, menambah pengetahuan, dan menjadi rujukan bagi audiensnya.
Proses menghasilkan dan menyiarkan karya jurnalistik yang bermutu itu melalui berbagai tahapan yang mungkin berliku, rumit, dan menuntut kebijakan yang arif. Suatu peristiwa yang diberitakan setidaknya dipertimbangkan kebermanfaatannya bagi audiensnya.   
Kerja wartawan dalam rumah besar bernama pers, dan dalam naungan organisasi profesi, seperti PWI. Ia harus menjadikan kode etik profesi sebagai pemandu arah dalam mewujudkan misi profesionalnya. Ia harus membaca, memahami, dan mensosialisasikan kode etik profesi kepada masyarakat yang lebih luas.
Tantangan bagi kerja wartawan adalah adanya oknum yang memanfaatkan prestise wartawan untuk kepentingan sesaat, kepentingan pribadi, kepentingan politik dan kelompok tertentu. Tantangan lainnya, adalah menyeimbangkan idealisme dan spirit wartawan dengan arus persaingan industri media.
Akhirnya, apresiasi patut diberikan atas beberapa kegiatan menonjol kalangan wartawan di Lampung belakangan ini; Sekolah Jurnalisme Indonesia, Uji Kompetensi Wartawan, dan Konferenci Cabang Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Muara dari semua aktivitas tersebut adalah profesionalisme wartawan.
Tulisan ini bermaksud urun rembug, dari perspektif awam (the outsiders). Harapannya, memberikan umpan balik yang bermakna bagi kewartawanan dan pengelola media. Sedangkan bagi masyarakat luas, dapat menjadi informasi dan pemahaman akan mulianya profesi wartawan bagi kemanusiaan dan bangsa.
Masyarakat menghendaki karya jurnalistik yang mencerahkan dan memberikan petunjuk (guidance) bagi kehidupan sehari-hari. Masyarakat mengharapkan adanya media yang mampu menjadi penyalur aspirasi yang efektif, yang dikelola secara profesional dan awak  redaksi yang profesional pula. (Bandar Lampung, 11 Oktober 2011)

Sabtu, 22 Oktober 2011

PENTINGNYA JURNALISTIK BAGI SISWA


Dunia jurnalistik kini banyak diminati generasi muda. Indikator yang dapat dilihat di antaranya adalah antusiasme peserta dalam berbagai pelatihan, aktivitas kunjungan siswa ke lembaga penerbitan dan penyiaran, dibukanya program studi komunikasi atau sejenis di perguruan tinggi, dan banyaknya media komunikasi massa yang beredar saat ini.
DEWASA ini tumbuh kesadaran pentingnya pendidikan karakter bangsa, yang menyatu dalam proses pendidikan di sekolah. Kesadaran ini timbul setelah melihat kenyataan degradasi mental dan moral kalangan pelajar. Kasus-kasus kekerasan, pelanggaran norma sosial, dan sebagainya, di kalangan pelajar, semakin menagaskan pentingnua keseimbangan antara pendidikan moral dan karakter bangsa dan pendidikan yang mengedepankan kecerdasan intelektual.
Banyak gagasan terkait bagaimana pendidikan moral, budi pekerti, dan etika diterapkan di sekolah. Mulai dari menghidupkan kembali Pendidikan Moral Pancasila, rekonstruksi pendidikan sejarah perjuangan bangsa, penambahan jumlah jam dan metodologi pembelajaran agama, menghidupkan lagi kegiatan Pramuka sebagai kegiatan wajib, sampai usulan penambahan mata pelajaran baru yang bermuatan tentang moral dan etika. (*****lanjut)

Selasa, 11 Oktober 2011

MEWUJUDKAN KOMPETENSI WARTAWAN

(Artikel ini dimuat Radar Lampung, Jumat, 14 Oktober 2011) 



Beberapa pekan belakangan ini cukup banyak kegiatan menonjol di kalangan wartawan di Lampung; Sekolah Jurnalisme Indonesia, Uji Kompetensi Wartawan, dan Konferenci Cabang Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Muara dari semua aktivitas tersebut adalah profesionalisme wartawan.
TULISAN ini bermaksud urun rembug, dari perspektif awam. Harapannya, memberikan umpan balik yang bermakna bagi kewartawanan dan pengelola media. Sedangkan bagi masyarakat, kiranya dapat menjadi informasi dan pemahaman akan profesi wartawan.
Profesi wartawan adalah profesi yang unik. Meskipun secara umum, dapat dipandang sama dengan profesi lainnya. Keunikan profesi wartawan tampak pada fungsinya. Prinsip universal bagi dedikasi kerja wartawan adalah kepada kemanusiaan, kepentingan bangsa dan negara.
Dalam praktiknya, untuk mewujudkan sajian berita, kerja wartawan itu melibatkan unsur keterampilan, seni, pengetahuan dan keahlian, kreativitas, kemampuan berkomunikasi, dan mendesain sajian sehingga enak dibaca oleh pelanggannya. Tanpa perpaduan berbagai elemen tersebut, maka karya jurnalistik yang dihasilkan kemungkinan kurang bermanfaat, dangkal, dan hambar. (*****lanjut)

Jumat, 07 Oktober 2011

KETERBUKAAN INFORMASI DAN HAK UNTUK TAHU

(ARTIKEL INI DIMUAT RADAR LAMPUNG, RABU, 05 OKTOBER 2011)
Pada 28 September diperingati sebagai Hari Hak untuk Tahu. Di Indonesia, diberlakukannya UU No. 14/2008 menandai era baru keterbukaan informasi. Perubahan itu tidak sekadar wacana, karena harus dibarengi dengan perubahan paradigma terhadap informasi. Terutama informasi publik.
     Meski ’’untuk tahu’’ merupakan hak asasi yang dijamin oleh UU, bahkan UUD 1945, tidak berarti dalam implementasinya tidak muncul berbagai hambatan. Sebagaimana hak asasi manusia yang dalam pelaksanaannya masih saja ditemui berbagai pelanggaran.
    Persoalan dan tantangan sekarang adalah bagaimana harmonisasi dan implementasi UU No. 14 tersebut sehingga tidak menimbulkan persoalan baru. Tantangan terbesar adalah menagih komitmen pemegang informasi publik.
    Substansi regulasi tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) adalah bagaimana mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yang antara lain dicirikan dengan adanya keterbukaan informasi. Hal ini berarti terpenuhinya hak memperoleh informasi bagi setiap orang, yang memungkinkan adanya kontrol atas penyelenggaraan negara.(*****lanjut)

Senin, 03 Oktober 2011

KETERBUKAAN INFORMASI UNTUK KESEJAHTERAAN

ARTIKEL INI DIMUAT LAMPUNG POST, SABTU, 01 OKTOBER 2011

Era informasi telah diprediksi oleh futurolog sejak dekade 1970-an. Era itu ditandai dengan berubahnya secara cepat tatanan nilai-nilai dan gaya hidup masyarakat. Banjir informasi itu kini telah datang. Tak ada seorang pun yang dapat bertahan hidup tanpa informasi.
Agar tidak menjadi korban datangnya era informasi, perlu berbagai kesiapan dan langkah-langkah antisipasi, baik mental maupun kesiapan instrumental, termasuk regulasi.
Diberlakukannya UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik merupakan salah satu kebutuhan untuk mendorong pemanfaatan informasi bagi kesejahteraan masyarakat. Informasi publik nicaya menyangkut kepentingan orang banyak.
Keterbukaan informasi publik juga akan meningkatkan pertanggungjawaban institusional dan aparatur yang berkaitan dengan informasi publik itu sendiri. Selain itu juga akan mendorong akurasi data dan informasi yang (harus) disajikan oleh institusi publik.
Sekarang, tiap tanggal 28 September diperingati sebagai "Hari Hak untuk Tahu", yang mengkampanyekan pentingnya keterbukaan informasi sekaligus kesadaran untuk memperoleh informasi.
Esensi keterbukaan informasi adalah pemanfaatan informasi bagi kepentingan masyarakat. Sesungguh secara inheren ada kepentingan untuk memanfaatkan informasi bagi kesejahteraan. 

Hampir tak terbantahkan bahwa era sekarang adalah era informasi. Informasi apa saja membanjiri kita kapan pun dan di mana pun. Informasi itu menyebar luas dari berbagai sumber, beragam media, dan memanfaatkan teknologi informasi yang menyatu dengan teknologi komunikasi. Dampak nyata dari era informasi adalah keterkejutan budaya (cultural shock). (****lanjut)