Jumat, 25 November 2011

Menjadi Guru yang Dirindukan

(Artikel ini dimuat RADAR LAMPUNG, Sabtu, 27 November 2011)

Membicarakan tentang guru, tak akan pernah ada habisnya. Tentang tugas mulia, harapan, tantangan, hambatan, perlakuan, maupun tentang berbagai pandangan orang terhadapnya. Yang jelas, membicarakan guru, perlu dipagari agar tetap dalam kerangka curah pendapat demi kemajuan pendidikan.
MOMENTUM Hari Guru Nasional, 25 November 2011, tepat dijadikan sebagai sarana refleksi, baik oleh guru, kalangan pendidikan, pemerintah, maupun masyarakat umum. Guru adalah suatu profesi yang tertua, jika dilihat substansinya, mendidik orang lain agar menyempurnakan dimensi kemanusiaannya.
Setiap orang, baik sengaja maupun tidak, pasti merasakan jasa seorang guru. Diakui atau tidak, guru telah memberikan kontribusi bagi perkembangan diri seseorang, dan kemajuan suatu bangsa. Jasa guru tiada tara dan tak akan tertukar dengan nilai. Tugas seorang guru adalah tugas universal umat manusia.
Pendidikan, sekolah, guru, belajar, dan sebagainya, adalah kosa kata yang sejatinya merupakan bagian terbesar dari waktu hidup kita. Setiap keluarga, mengerahkan banyak sumber daya untuk pendidikan anak-anaknya. Para orang tua “menyerahkan” pendidikan anak-anak mereka kepada sekolah. Siapapun kita, pemimpin perusahaan, politisi berpengaruh, insinyur, dokter, wartawan, pengacara, pegawai negeri, peternak, petani, sastrawan, dan sebagainya, menjadi demikian atas peran dan jasa guru.
Para guru, dosen, pedagang, tak terkecuali menjadi menteri ataupun presiden sekalipun, semuanya pernah dididik oleh guru, pernah bersekolah dan dan dibina oleh guru.
Pemerintah, menjadikan sektor pendidikan sebagai program strategis dan prioritas utama. Dan politisi pun kerap menjual program untuk meraih simpati.  
-Sosok Ideal
Menjadi guru yang ideal adalah tanggung jawab terbesar bagi guru. Ini tugas yang mulia. Menjadi guru, sering mendapat berkah, bukan semata-mata yang bersifat materi. Berkah kebahagiaan bathin, kepuasan kerja, dan kesejahteraan. Inilah model guru sejati, yang didambakan dan dirindukan siswanya dan oleh masyarakat sekitar.
Jasa guru dikenang sepanjang masa. Iringan doa, senantiasa dimohonkan dari orang yang pernah didiknya. Guru membelajarkan siswanya bicara, membelajarkan berkomunikasi dan berinteraksi sosial. Guru mengajari baca tulis dan hitung, menanamkan pengetahuan dan cara membuka cakrawala dunia.
Guru adalah salah satu sumber pengetahuan, sosok yang diidolakan, model yang sering ditiru, pembimbing, pendidik, dan bisa menjadi tempat untuk diskusi. 
Kesan terhadap guru yang penuh cinta kasih, menyenangkan, bersahabat, ramah tamah, namun tegas dan tegar dalam menghadapi setiap tantangan hidup. Guru adalah pemicu kreativitas, pembangkit semangat belajar, dan menumbuhkan optimisme. Guru adalah penyebar kedamaian, penguat keyakinan meraih cita-cita, dan selalu menampilkan kewibawaan.
Kharisma yang dimiliki guru, sejatinya, ungkapan bathin yang paling alamiah. Bukan kebetulan jika ada Hari Guru. Ini adalah wujud ungkapan terima kasih dan pengingat peran dan jasa guru agar selalu terkenang. Dengan caranya, guru mendidik dan membelajarkan muridnya, betapapun si murid tidak terima. Tidak ada guru yang meminta, suatu saat nanti di batu nisannya ditulis kata “Pahlawan”.(*****lanjut)

Surat Terbuka untuk Guruku (Refleksi Hari Guru Nasional, 25 November)

(Artikel ini dimuat Lampung Post, Senin, 28 September 2011)

Untuk Guruku. Sebelumnya aku mohon maaf, baru kali ini aku menulis surat ini. Dalam hati kecil ini sungguh banyak yang ingin kuungkapkan kepadamu, bahkan sejak dulu, tapi baru kali ini berkesempatan. Bukan aku mengabaikanmu, atau menomorduakanmu. Bukan.Mohon maaf bila aku mungkin dianggap tidak sopan, tidak santun.
Di setiap doaku, selalu kumohon pada-Nya, semoga engkau selalu berbahagia. Pada banyak momen dalam hidupku, aku sering terkesiap mengingat peran dan jasamu. Aku jadi seperti sekarang, karena engkau.
 Sampai kini aku selalu mengenang jasamu yang tiada tara. Aku selalu ingat lagu klasik “Guruku”. Syairnya begitu menyentuh. Terngiang-ngiang lagu yang sering di televisi. Syairnya menggugah. “Kita jadi pintar dibimbing Pak Guru.....; Kita jadi pandai, dibimbing Bu Guru...; Gurulah pelita, penerang dalam gulita....”
Guruku, aku masih ingat, bagaimana engkau menuntunku belajar bahasa, belajar IPA, dan segala hal. Waktu kecil, guruku mengajak bermain, meskipun itu sesungguhnya adalah belajar mengenali lingkungan. Mengajakku bicara, ternyata itu membelajarkan aku berkomunikasi dan berinteraksi sosial. Guru mengajari baca tulis dan hitung, menanamkan pengetahuan dan cara membuka cakrawala dunia.
Dulu, atas satu kejadian, memang pernah terlintas di benakku, engkau keras. Aku hanya protes keras dalam hati. Oh, ternyata, sikap kerasmu dalam mendidikku dan juga teman-teman, bermakna teramat dalam sekarang.
Jika aku dinilai tangguh, itu atas gemblenganmu. Bila kini aku dianggap tegar, itu pula karena tempaanmu. Kalaupun ada yang menilaiku sekarang, berhasil, itu semua tidak lepas dari peran didikanmu.
Guruku, aku prihatin atas beberapa guru yang mendapat perlakuan tidak adil. Aku sebenarnya berontak ketika ada beberapa guru yang didzolimi. Ada juga perasaan pilu, mendengar berita ada guru berbuat kasar kepada muridnya. Atau bahkan disangkakan berbuat tak senonoh.
Tapi juga aku merasa sangat prihatin, ketika ada guru yang tersangkut kasus. Sepertinya ada saja diberitakan media. Maklumlah, di zaman seperti sekarang, berita apa saja cepat menyebar. Apalagi berita buruk, tentang guru pula. Seperti biasa, berita baik, tentu akan dianggap biasa. Itulah kenapa, kalau ada berita buruk, dengan pesat meluas membahana. Yach, mungkin itu selera pasar. Atau bisa jadi pemenuhan nafsu manusia terhadap informasi.
Kalau ada guru yang tersangkut kasus, apakah itu pelanggaran, atau pidana. Mungkin ia khilaf, dikorbankan pihak lain, atau mungkin benar-benar ketidaksengajaan. Hanya doa dan harapan semoga segera terselesaikan.
Aku ingin mengungkapkan keprihatinanku, kala ada guru yang berubah sikap dan gaya hidupnya dan lebih dekat pada sifat-sifat materialisme, dan berkecenderungan pada budaya instan. Sungguh, rasanya aku masih bisa membedakan, mana sikap pragmatis, dan mana sikap idealis dan logis. Sekali lagi, hanya harapan semoga, itu bukan sifat bawaan dan tidak permanen.(*****lanjut)

Selasa, 22 November 2011

Menjadi Guru di Era Informasi (Refleksi Hari Guru, 25 November)


(Artikel ini dimuat RADAR LAMPUNG, Rabu, 23 November 2011)
Secara filosofis, menjadi guru meniscayakan panggilan jiwa dan dedikasi bagi kemanusiaan. Implikasinya adalah melakoni profesi dengan keihklasan, kebebasan, dan keseriusan yang mendalam, menyebarluaskan nilai-nilai dan meninggikan martabat umat.  
 PERTANYAANNYA adalah, adakah profil guru seperti itu sekarang? Mengapa seseorang mesti menjadi guru dan bukan memilih profesi yang lain? Bagaimana ia melaksanakan misi menjadi guru?
Menjadi guru di era teknologi informasi merupakan pilihan unik. Karena banyak pilihan seseorang untuk suatu profesi. Bahkan menjanjikan karier dan peluang pengembangan diri.
Pertimbangan dalam memilih profesi guru sekarang, tentu berbeda dengan pertimbangan para guru kita, ketika dulu mereka memutuskan untuk menjadi guru. Iklim sosial dan politik dalam tata kehidupan berbangsa dan bernegara juga telah berubah. Model penanaman disiplin, pembiasaan aktivitas positif, dan cara-cara belajar sekarang sudah berkembang.
Guru sekarang mendidik anak-anak yang memiliki akses yang luas terhadap informasi. Siswa dapat mengetahui berbagai informasi dari banyak sumber. Menjadi guru sekarang adalah menjadi fasilitator belajar bagi siswa. (*****lanjut)

Jumat, 04 November 2011

JURNALISTIK DAN PENDIDIKAN KARAKTER

 (Artikel ini dimuat RADAR LAMPUNG, Rabu, 2 November 2011)
Sebagian perilaku pelajar yang tampak, dinilai sudah semakin menjauh dari nilai-nilai dan budaya bangsa. Degradasi moral terwujud dalam aksi kekerasan, tawuran, pornografi, dan merosotnya etika. Kasus-kasus semacam ini masih saja terjadi, dan bukan monopoli pelajar di perkotaan. Beberapa waktu terakhir, kasus video mesum dan tindakan asusila bahkan terjadi di sekolah yang tergolong di daerah pinggiran.
ADA keprihatinan, kegelisahan, dan gugatan. Ada anggapan pendidikan cenderung hanya menekankan pada aspek kecerdasan, dan mengabaikan aspek lainnya. Institusi sekolah menjadi ujung tombak untuk menangkal perilaku negatif, dan bahkan hakikatnya untuk membentuk sifat-sifat positif dalam diri siswa.
Kini muncul tuntutan yang menekankan pentingnya pendidikan budaya dan karakter bangsa. Istilah yang dikenal sekarang adalah Pendidikan Karakter Bangsa. Implementasinya melalui pendidikan di persekolahan. Ia tidak merupakan materi pelajaran tersendiri, karena merupakan pendidikan nilai yang bersifat pengembangan. Jadi memerlukan waktu yang cukup panjang untuk melihat hasilnya.
Pendidikan karakter melekat pada semua pelajaran dan tindakan pendidikan. Model pendidikan karakter berbeda dengan mata pelajaran. Ia menjadi bagian dari seluruh proses pembelajaran.
Salah satu persyaratan untuk keberhasilan pelaksanaan pendidikan karakter adalah keterampilan guru dan pendidik serta adanya minat dan kemauan dari peserta didik.(*****lanjut)