Jumat, 24 Februari 2012

PERS & KEBEBASAN BERPENDAPAT


Pers bekerja untuk kepentingan publik dan bertanggung jawab terhadap publik. Pers mengumpulkan, mengelola, dan menyampaikan informasi dengan satu visi untuk kesejahteraan masyarakat. Masyarakat yang terinformasi akan lebih mudah mengakses pengetahuan dan layanan publik. Penyelenggara negara juga akan lebih akuntabel berkat eksistensi dan fungsionalisasi pers.
Ada hubungan timbal balik antara pers, masyarakat, dan penyelenggara negara. Pers adalah institusi sosial yang menjadi bagian vital bangunan bangsa dan negara. Peran pers sudah diakui secara “de facto” dalam mempercepat laju pembangunan. Ini dapat ditelusuri sejak era sebelum kemerdekaan hingga era reformasi sekarang. Kerja insan pers juga dilindungi oleh undang-undang.
Dalam beberapa pekan belakangan ini, pers menjadi pembicaraan hangat. Hari Pers Nasional (HPN) yang diperingati setiap 9 Februari telah menjadi momentum untuk konsolidasi, refleksi, dan menyusun rencana aksi perbaikan di semua lini secara strategis. Hari Pers merupakan upaya menjadikan pers sebagai milik semua komponen masyarakat.
Pers berperan dalam mengawal proses layanan publik dari institusi pelayanan publik. Tanpa kontrol pers, hak-hak dasar warga negara dapat terabaikan. Pers adalah salah satu institusi dalam kehidupan masyarakat modern. Sejarah panjang pers bermula dari tuntutan kebutuhan akan media komunikasi massa dan temuan alat pencetak. Pers masa kini identik dengan saluran komunikasi, baik dari individu ke massa, maupun sebaliknya, dan dari massa ke massa.
Dari sudut pandang lain, pers dapat dilihat sebagai salah satu pilar penopang demokrasi hakiki bukan cuma demokrasi prosedural. Demokrasi sendiri diasumsikan sebagai model tata kehidupan bersama untuk mencapai tujuan bersama. Meskipun demokrasi seperti utopia, tapi melalui dialektika, demokrasi itu dapat membantu memudahkan mencapai tujuan, setidaknya dengan cara-cara damai dan elegan.
Kongkretnya, pers adalah media komunikasi massa sebagai perwujudan prinsip kebebasan mengemukakan pendapat, alat kontrol sosial, dan berperan dalam menyampaikan informasi kepada khalayak.
Kemerdekaan pers sebagai institusionalisasi dari kebebasan mengemukakan pendapat, bukan berarti kebebasan yang anarkhi. Kebebasan itu bertumpu pada tanggung jawab publik (kepentingan yang lebih besar), penghargaan terhadap martabat kemanusiaan, dan etika baik dalam mengumpulkan, mengolah, dan menyampaikan informasi.
Masyarakat modern menjadikan pers sebagai sarana mengembangkan segenap potensi yang dimiliki. Pers berperan dalam mendorong laju pembangunan, pergerakan perekonomian, dan pendidikan dalam arti yang luas.     
Dalam perjalanannya, pers tentu tak pernah berhenti dari berbagai tantangan dan hambatan. HPN adalah salah satu momentum tepat untuk terus melakukan revitalisasi spirit perjuangan pers. Apalagi kini telah ada Undang-undang tentang Keterbukaan Informasi Publik. Udang-undang ini mengamanahkan kewajiban bagi pemegang informasi publik untuk menyampaikannya kepada publik melalui mekanisme yang sistematis, kecuali informasi yang dikecualikan.
Tantangan dan hambatan pers bisa dari luar dan bisa dari dalam pers itu sendiri. Tantangan dari luar berupa adanya perbedaan kepentingan dengan pihak-pihak yang tidak ingin adanya kebebasan mengemukakan pendapat. Meruncingnya perbedaan kepentingan itu bisa berujung pada ancaman, pelecehan, teror, intimidasi, atau bahkan aksi kekerasan terhadap pers. Pihak-pihak yang tidak ingin terwujudnya keterbukaan informasi, jelas akan melakukan berbagai upaya terhadap pers, baik membujuk, merayu, mengiming-imingi, maupun membentuk kelompok media sendiri. Upaya “menjinakkan” pers akan dilakukan oleh mereka yang berkepentingan menghindari pertanggungjawaban kepada publik.

Jumat, 17 Februari 2012

PERS & PUBLIK


Ada banyak jargon terkait pers, yang bermakna sangat dalam. “Pena lebih tajam dari peluru. Revolusi dimulai dari tulisan. Penyambung lidah rakyat. Pilar demokrasi. Kebebasan pers adalah kemerdekaan yang sesungguhnya.” Itu sebagian. Jargon itu bukan hanya slogan, dan yel-yel, tetapi telah dibuktikan dengan nyata. Politisi di pusat kekuasaan dan pejabat pemerintah mengetahui kondisi yang terjadi di daerah pelosok melalui pemberitaan media.
Mencermati fenomena pelecehan dan kekerasan terhadap jurnalis, harus dijadikan momentum untuk membangun pers yang bebas, bertanggung-jawab, profesional. Pers yang mengejawantahkan sejuta mata mengontrol setiap jengkal penyimpangan. Pers yang mewujudkan keterbukaan informasi dan tanggung jawab publik penyelenggara negara.
Sambil menunggu bergulirnya proses hukum, kini saatnya memetik hikmah. Kekerasan baik fisik maupun verbal, bukan cara jitu keluar dari masalah. Begitu juga uang, bukan alat untuk membeli kebebasan pers. Apalagi sudah dibelakukan UU Keterbukaan Informasi Publik.
Setiap aparatur pemerintah dan pejabat atau siapapun hendaknya memahami fungsi pers sebagai bagian dari cara hidup berbangsa dan bernegara. Setiap profesi adalah mulia, karena yang membedakan adalah fungsionalitas dan lahan pengabdiannya.
Kerja jurnalis adalah menyebarluaskan informasi, memberi pencerahan kepada masyarakat, dan memberi media refressing (hiburan). Pers adalah pemandu dan menjadi referensi bagi pengambilan keputusan. Pers adalah mengontrol layanan publik dan ruang publik dan memberikan kemungkinan yang lebih luas bagi akses publik terhadap layanan pemerintah.
Idealisme jurnalis harus diletakkan di atas segala kepentingan lain. Saya setuju penuntasan kasus ini secara hukum, agar tidak terjadi kasus serupa di masa datang.

KEMERDEKAAN PERS DAN TANGGUNG JAWAB PUBLIK


Apa makna hakiki dari Hari Pers Nasional (HPN) yang diperingati setiap 9 Februari?Mengapa harus ada Hari Pers? Bagi insan pers, Hari Pers adalah momentum untuk konsolidasi, refleksi, dan menyusun rencana aksi perbaikan di semua lini secara strategis. Hari Pers merupakan upaya menjadikan pers sebagai milik semua komponen masyarakat.

PERS adalah salah satu institusi dalam kehidupan masyarakat modern. Sejarah panjang pers bermula dari tuntutan kebutuhan akan media komunikasi massa dan temuan alat pencetak. Pers masa kini identik dengan saluran komunikasi, baik dari individu ke massa, maupun sebaliknya, dan dari massa ke massa.
Dari sudut pandang lain, pers dapat dilihat sebagai salah satu pilar penopang demokrasi. Demokrasi sendiri diasumsikan sebagai tata kehidupan bersama untuk mencapai tujuan bersama. Secara lebih kongkret, pers adalah media komunikasi massa sebagai perwujudan prinsip kebebasan mengemukakan pendapat, alat kontrol sosial, dan berperan dalam menyampaikan informasi kepada khalayak.
Kemerdekaan pers sebagai institusionalisasi dari kebebasan mengemukakan pendapat dalam bukan kebebasan yang anarkhi. Kebebasan itu bertumpu pada tanggung jawab publik (kepentingan yang lebih besar), penghargaan terhadap martabat kemanusiaan, dan etika baik dalam mengumpulkan, mengolah, dan menyampaikan informasi.
Masyarakat modern menjadikan pers sebagai sarana mengembangkan segenap potensi yang dimiliki. Pers berperan dalam mendorong laju pembangunan, pergerakan perekonomian, dan pendidikan dalam arti yang luas.     
Dalam perjalanannya, pers tentu tak pernah berhenti dari berbagai tantangan dan hambatan. Oleh karena itu, HPN adalah momentum tepat untuk terus melakukan revitalisasi spirit perjuangan pers. Apalagi kini telah ada Undang-undang tentang Keterbukaan Informasi Publik. Udang-undang ini mengamanahkan kewajiban bagi pemegang informasi publik untuk menyampaikannya kepada publik melalui mekanisme yang sistematis, kecuali informasi yang dikecualikan.

ANCAMAN LATEN TERHADAP JURNALIS


Setiap tahun selalu ada kasus pelecehan dan kekerasan terhadap insan pers (jurnalis). Ancaman terhadap jurnalis tidak hanya di Indonesia, tetapi di seluruh dunia. Di Lampung, terakhir aksi pelecehan terhadap jurnalis Radar Lampung, Segan Petrus Simanjuntak, oleh Penjabat Bupati Mesuji. Tindakan pelecehan itu menuai protes banyak pihak. Pelecehan terhadap jurnalis dalam kaitan tugas-tugas jurnalistik, sejatinya bukan penghinaan terhadap pribadi jurnalis itu sendiri, tetapi merupakan pelecehan terhadap profesi yang mulia dan dilindungi undang-undang.
Ada aksi, ada reaksi, dapat konteks interaksi manusia, adalah hal yang wajar. Seberapa besar aksi, biasanya sebanding dengan reaksi yang muncul. Peristiwa pelecehan pejabat terhadap jurnalis dengan mengucapkan kata-kata kotor dan sangat tidak etis, bukan hanya mengundang keprihatinan yang mendalam, tetapi lebih dari itu harus menjadi tonggak bagi kemajuan pers yang profesional dan proporsional.
Pelecehan terhadap jurnalis ibarat menepuk air di dulang, terpercik wajah sendiri. Apalagi ini dilakukan oleh seorang pejabat. Sungguh naïf dan konyol. Seorang kepala daerah adalah pucuk pimpinan dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan umum dan pembangunan di daerah. Esensi kepala daerah sebagai pemimpin harusnya merupakan nilai-nilai keteladanan bagi setiap anggota masyarakatnya. Kekuasaan tidak selamanya dapat digenggam, dan wilayah Mesuji bukan hak pribadi.
Mencermati kronologis pelecehan terhadap rekan Segan Petrus saya setuju kasus ini dilanjutkan ke proses hukum. Sebab, ruang dan fasilitasi untuk menarik ucapan telah diberikan. Jika pun khilaf, ruang dialog telah dibuka, tetapi tidak dimanfaatkan.
Aksi pelecehan terhadap jurnalis seperti ini menunjukkan adanya sikap arogansi kekuasaan. Hal ini juga menunjukkan perangai kekuasaan yang cenderung korup karena alergi terhadap kontrol yang dijalankan oleh pers. Kalau bersih, kenapa risih.
Ancaman, teror, intimidasi, dan pelecehan terhadap kebebasan pers adalah bahaya laten (tersembunyi) yang setiap saat bisa muncul. Kekerasan verbal harus dipahami sebagai potensi yang akan menjadi kekerasan fisik. Upaya-upaya membungkam pers diprediksi akan selalu ada. Mengapa? Karena sampai kapan pun akan selalu ada perbedaan kepentingan antara tugas-tugas jurnalistik dengan tugas-tugas pihak-pihak yang dikontrol oleh pers melalui pemberitaan.
Aksi atau upaya memungkam satu jurnalis, justru akan melahirkan ribuan jiwa-jiwa yang penuh semangat membawa misi kebebasan pers. Runtuhnya Orde Baru merupakan dampak dari pemberitaan yang massif terhadap aksi-aksi penolakan terhadap Orde Baru di berbagai kampus dan daerah-daerah.  
Mengapa tidak belajar dari peristiwa sebelumnya? Apakah tidak mengetahui hak-hak dan kewajiban pekerjaan jurnalis? Rasanya pejabat selevel bupati adalah orang pilihan, yang kecerdasan dan pengetahuannya tidak diragukan lagi untuk mengemban amanah jabatan itu. Penunjukan untuk menduduki posisi penjabat bupati, jelas atas pertimbangan kemampuan, pengalaman, dan keahliannya.