Senin, 26 Maret 2012

KOMPETENSI WARTAWAN, SUATU UJIAN

(ARTIKEL INI DIMUAT HARIAN RADAR LAMPUNG, KAMIS, 22 MARET 2012)

Masalah profesionalisme wartawan masih sering dikeluhkan. Pemberitaan adanya oknum wartawan yang melakukan perbuatan tercela, bertentangan dengan kode etik jurnalistik, masih mewarnai media. Yang paling sering adalah tindakan ’’pemerasan’’, suatu perbuatan yang menciderai profesi mulia.


PRAKTIK jurnalistik menghadapi tantangan yang semakin kompleks. Dinamika perubahan lingkungan, baik internal maupun eksternal, sedemikian pesat. Kemajuan teknologi informasi, sistem dan model komunikasi massa, alat atau media, serta perkembangan aturan di bidang keterbukaan informasi menjadi tantangan praktik jurnalistik.
Jurnalistik atau kewartawanan adalah pekerjaan yang menuntut sikap profesional. Profesional yang penulis maksud dalam hal ini adalah seperangkat atribut untuk keberhasilan kerja. Profesional bukan hanya perdebatan istilah atau ego sektoral. Sehingga bidang pekerjaan apa layak disebut profesional atau bukan profesional. Memang, secara formal istilah profesional mensyaratkan adanya basis jenjang pendidikan formal tertentu. Pertanyaannya, apa itu profesional? Siapa yang disebut wartawan profesional?
Situs Wikipedia menjelaskan, seorang profesional adalah seseorang yang menawarkan jasa atau layanan sesuai dengan protokol dan peraturan dalam bidang yang dijalaninya serta menerima gaji sebagai upah atas jasanya.
Orang tersebut juga merupakan anggota suatu entitas atau organisasi yang didirikan seusai dengan hukum di sebuah negara atau wilayah. Seringkali seseorang yang merupakan ahli dalam suatu bidang juga disebut ’’profesional’’ dalam bidangnya, meski bukan merupakan anggota sebuah entitas yang didirikan dengan sah.
Sebagai contoh, dalam dunia olahraga terdapat olahragawan profesional yang merupakan kebalikan dari olahragawan amatir yang bukan berpartisipasi dalam sebuah turnamen/kompetisi demi uang.
Walau kutipan dari situs tersebut masih merupakan pernyataan rintisan, setidaknya menjadi panduan untuk mencermati suatu profesi, termasuk profesi wartawan.
Kini, Persatuan Wartawan Indonesia Cabang Lampung sedang mengadakan ujian kompetensi wartawan. Semoga ini menjadi langkah maju mewujudkan profesionalisme wartawan.
Keahlian dan Integritas
Memang istilah profesional sering menjadi perdebatan. Tapi, saya ingin memberikan pendapat pribadi. Profesional adalah pekerjaan yang menuntut keterampilan dan keahlian, integritas dan loyalitas, serta pengembangan profesi berkelanjutan. Wartawan adalah pewarta yang bekerja secara tetap pada media massa.
Suatu profesi dikatakan profesional jika dilandaskan pada adanya kompetensi. Dengan kompetensinya itu, ia menjadi bagian dari pemecahan masalah, bukan pembuat masalah baru. Kompleksitas pekerjaan akan diatasi berdasarkan keahlian. Aneka tantangan dan tuntutan pekerjaan sebagai dampak perkembangan profesi dapat diantisipasi dengan integritas.
Di antara ciri profesi adalah adanya keahlian para pelakunya. Keahlian itu diperoleh melalui suatu proses pendidikan yang berkelanjutan, pemerolehan pengalaman dari para senior, atau dari mereka yang telah banyak menggeluti pekerjaan itu. Pendampingan dan penempaan dari kolega yang lebih berpengalaman, lebih senior, menjadi salah satu pintu masuk peningkatan kompetensi sekaligus indikator bagi suatu bidang yang disebut profesional.
Ciri yang lain adalah adanya jenjang keahlian. Untuk jenjang keahlian itu, bisa saja merupakan kesepakatan organisasi profesi maupun kelompok bidang keilmuan. Pengakuan profesional dari organisasi profesi melalui suatu tahapan proses ujian. Jadi, klaim profesional melalui banyak tahapan dan pengakuan dari banyak pihak. Bukan klaim sepihak atau hanya selembar sertifikat.
Dewasa ini dirasakan adanya ketimpangan antara kebutuhan profesi wartawan dengan penyedia jasa pendidikan kewartawanan. Di perguruan tinggi, bidang jurnalistik sebagian besar masih menjadi bagian peminatan atau konsentrasi pada program studi komunikasi.
Basis pendidikan formal dapat menjadi salah satu tolok ukur kompetensi. Sedangkan penempaan pengalaman dan pendampingan dari para pihak yang lebih dulu menggeluti profesi tersebut, dapat menjadi medium pembangun integritas.
Loyalitas dan Kerja Keras
Harus diakui bahwa profesi apa pun adalah profesi mulia jika diabdikan untuk kemaslahatan umat manusia dan membangun peradaban yang lebih baik. Wartawan adalah profesi yang mengemban amanah publik sekaligus merupakan ikhtiar meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaan.
Kewenangan wartawan dalam mengumpulkan, mengolah, dan menyebarluaskan informasi merupakan amanah undang-undang. Amanah itu harus diemban dengan kesetiaan pada bidang kerjanya, dilakukan dengan penuh tanggung jawab, dan kerja keras.
Bagi penulis, profesi wartawan adalah pengabar kebenaran. Hasil kerja wartawan bagi audiensi memang tidak dapat diraba atau dilihat, tetapi dirasakan. Secara implisit dampak atas hasil kerja  wartawan itu melalui serangkaian proses yang panjang. Makna suatu karya jurnalistik tidak bisa dinilai secara serta-merta.
Wartawan menyampaikan informasi dengan harapan audiensinya memiliki pengetahuan. Berbekal pengetahuan itu, akan meningkat pemahaman dan kesadarannya terhadap sesuatu. Selanjutnya, bertindak sesuai dengan norma, aturan hukum, dan mengambil keputusan yang benar. Masyarakat berpengetahuan adalah masyarakat yang sejahtera. Sebab,  pada dasarnya manusia adalah makhluk yang senantiasa ingin tahu dan berusaha memenuhi rasa ingin tahunya itu.
Dampak akhir hasil kerja wartawan bagi masyarakat adalah kesejahteraan. Untuk sampai pada dampak akhir itu, kerja wartawan dituntut penuh loyalitas dan sekaligus kerja keras. Loyalitas berarti dengan mengerjakan sesuatu dengan sepenuh jiwa, disiplin dan taat asas, kejujuran dan keberanian.
Kerja keras mengisyaratkan adanya ketelitian dan kecermatan serta daya tahan untuk menghasilkan karya jurnalistik yang baik. Motivasi yang tinggi dan senantiasa terjaga dalam rangka memberikan yang terbaik kepada audiensinya.
Seorang wartawan kini dituntut menguasai banyak bidang yang semuanya penting. Setidaknya yang esensial adalah pengetahuan sosial budaya, teknologi komunikasi, wawasan hukum, ekonomi, dan politik. Itu pun harus dibarengi dengan kemampuan bahasa dan keterampilan komunikasi interpersonal.
Seorang teman mengatakan, profesi guru dan pendidik ’’dekat’’ dengan surga, karena ilmu yang bermanfaat. Kiranya pernyataan teman tersebut paralel pula dengan profesi wartawan sebagi pengabar kebenaran.
Penulis meyakini, UKW atau uji kompetensi wartawan adalah salah satu cara strategis mewujudkan kompetensi wartawan. Tulisan ini semoga memberi wacana yang bermanfaat, setidaknya dari the outsider. (*)