Kamis, 21 Juni 2012

ORIENTASI PENDIDIKAN KARAKTER

(Artikel dimuat Lampung Post, Selasa, 19 Juni 2012)
KECENDERUNGAN maraknya perilaku menyimpang pada sebagian generasi muda menimbulkan keprihatinan insan pendidikan dan masyarakat umum. Dari sinilah muncul gagasan pendidikan karakter.
Pendidikan moral, etika, maupun pendidikan agama yang ada sekarang, ternyata belum mampu melahirkan generasi muda yang beriman dan berkepribadian bangsa. Budaya hidup konsumtif dan gemar menyerobot, kecenderungan kolusi, senang menempuh jalan pintas, dan sebagainya masih mewarnai sebagian besar siswa. Perayaan kelulusan dengan aksi coret-coret baju dan pawai di jalan adalah contoh gaya hidup anak muda sekarang. Contoh lain yang sudah menjadi rahasia umum adalah mengikuti ujian nasional tanpa persiapan karena mengharap bocoran.
Sejatinya, masalah karakter bukan masalah baru. Perbedaan generasi memunculkan tantangan yang berbeda pula. Di era kemajuan teknologi informasi tantangan pendidikan kian dinamis dan kompleks. Pendidikan di sekolah berpacu dengan aneka tawaran dari media hiburan. Hiburan yang berlebihan jelas membuat generasi muda kurang tanggap terhadap lingkungan.
Pendidikan karakter merupakan respons atas maraknya penyimpangan dan pelanggaran hukum dewasa ini. Secara kuantitas jumlah perbuatan melawan hukum makin tinggi. Secara kualitas, modus perilaku penyimpangan kejahatan juga semakin canggih. Ada pemikiran, perilaku menyimpang generasi muda, salah satunya karena kehilangan sosok teladan.
Tokoh terpandang dalam masyarakat yang semestinya menjadi teladan malah melakukan memberi contoh perbuatan yang tidak baik. Pengusutan kasus korupsi, misalnya, terkesan lamban dan akrobatik. Jika pun terungkap dan tersangka ditetapkan, masih mendapat fasilitas dan status sosial yang tinggi di sebagian masyarakat.
Fondasi Kejujuran
Lagi-lagi, untuk mengembalikan atau paling tidak meluruskan kondisi itu ditumpukan pada pendidikan karakter. Pendidikan karakter sejatinya menanamkan kejujuran, tanggung-jawab, kemandirian, jiwa dan semangat kerjasama, dan ketahanan daya juang menghadapi berbagai tantangan.
Tugas dan fungsi sekolah bukan cuma meluluskan, tetapi mendidik anak bangsa menuju perubahan sikap dan tingkah laku positif sejalan dengan budaya bangsa. Kecerdasan dan prestasi akademik akan mengiringi apabila tercipta iklim belajar yang kondusif.
Kejujuran berada di depan kepandaian. Kejujuran bisa ditanamkan sejak dini dan secara konsisten dalam lingkungan yang mendukung. Kepandaian dapat diasah dan dikembangkan setelah fondasi kejujuran terbentuk.  Sekolah sebagai tempat persemaian generasi muda dicirikan dengan produksi dan reproduksi pengetahuan dan praktek yang mengarah ke arah manfaat dan kebaikan. Siswa belajar menghargai proses yang bermakna dalam belajar, dan bukan hanya simbol semata.
Proses pembelajaran di lembaga pendidikan harus merupakan proses eksplorasi potensi siswa dan meneguhkan kreativitas. Kondisi ideal proses pembelajaran dan pendidikan tersebut mensyaratkan banyak hal. Setidaknya, diperlukan pendidik yang menjiwai profesinya. Guru dan tenaga pendidikan yang profesional akan mampu mengelola pembelajaran secara efektif dan efisien serta menumbuhkan motivasi belajar siswanya.
Baik guru maupun siswa, sesungguhnya semua pembelajar. Siswa perlu belajar tentang bagaimana belajar yang efektif dan efisien. Demikian pula guru terus belajar cara membelajarkan. Jika guru tidak belajar, sesungguhnya yang dia kerjakan hanyalah pengulangan tindakan usang, bahkan ketinggalan zaman. Hakikat pendidikan adalah menyiapkan generasi muda menghadapi situasi, kondisi, dan kehidupan masa depan.
Di tengah tuntutan pendidikan karakter, tugas guru juga bertambah. Setiap tindakan pembelajaran dan pendidikan harus bermuatan pendidikan karakter dan mencerminkan adanya perubahan sikap ke arah positif.
Proses pembelajaran dan pendidikan yang membekali siswa berbagai keterampilan, baik keterampilan keras maupun keterampilan lunak untuk menghadapi situasi masa depan yang semakin dinamis. Kemampuan siswa membangun visi masa depan mereka akan menjadi pembuka jalan bagi kehidupan mereka di masa datang yang lebih baik.
Kepemimpinan lembaga pendidikan atau sekolah bukan pola hubungan kekuasaan. Kepemimpinan sekolah mengembangkan mengedepankan kerja sama fungsional dan kesejawatan. Setiap tindakan dilandasi logika ilmiah dan pertimbangan kebijaksanaan. Kepemimpinan sekolah yang integratif adalah yang terbebas dari tekanan dari pihak mana pun.
Kewirausahaan
Persoalan lain yang juga menonjol adalah kesenjangan dunia pendidikan dan dunia kerja. Kesenjangan antara kompetensi lulusan dan kebutuhan pasar kerja merupakan salah satu tantangan lembaga pendidikan yang krusial. Topik ini kemudian menjadi tagline bagi lembaga pendidikan untuk mendapat dukungan dari masyarakat.
Pendidikan karakter, terkait erat dengan kebutuhan akan jumlah wirausahawan di Indonesia. Model pendidikan karakter akan melahirkan jiwa-jiwa yang kreatif dan dengan tetap menghargai nilai-nilai budaya bangsa.
Pendidikan kewirausahaan bukan berarti menjadikan sekolah seperti pasar. Tidak pula segala sesuatu diukur dengan uang. Kewirausahaan dalam pendidikan bukan menjadikan siswa sebagai pekerja, melainkan melatih kemampuan membangun jaringan dan mengelola berbagai kegiatan. Pendidikan kewirausahaan merupakan penanaman sikap mental dan membangun keterampilan serta memanfaatkan keterampilan lunak untuk mewujudkan kreativitas dan inovasi. Kata kunci untuk ini adalah memberi nilai tambah atas aktivitas, karya, dan jasa.
Wirausaha pada hakikatnya bertumpu pada kreativitas dan inovasi. Kreativitas manusia sesungguhnya tanpa batas sehingga pendidikan merupakan pemicu dan pemacu kreativitas siswa. Dengan kreativitas itulah melahirkan aneka inovasi.
Mewujudkan pendidikan karakter dan jati diri bangsa merupakan upaya melahirkan generasi muda dan wirausaha yang unggul dan berkualitas. Pendidikan karakter dan kewirausahaan adalah jawaban atas berbagai tantangan masa depan yang sudah diperkirakan sekarang. (n)

Kamis, 14 Juni 2012

PENDIDIKAN KARAKTER DAN KEWIRAUSAHAAN


Mudah dipahami bahwa adanya perilaku menyimpang pada sebagian generasi muda, melahirkan keprihatinan insan pendidikan dan masyarakat umum. Maka muncullah gagasan pendidikan karakter bangsa.
Pendidikan moral, etika, maupun pendidikan agama yang ada sekarang, ternyata belum mampu melahirkan generasi muda yang beriman, takwa, cerdas, dan berkepribadian bangsa. Budaya hidup hedonis, konsumtif, tidak sabaran, gemar serobot, kecenderungan kolusi, senang menempuh jalan pintas dan sebagainya masih mewarnai sebagian besar siswa. Perayaan kelulusan dengan aksi coret-coret baju, pawai ugal-ugalan di jalan raya, dan sejenisnya, adalah salah satu contoh gaya hidup anak muda sekarang. Contoh lain yang sudah menjadi rahasia umum adalah mengikuti Ujian Nasional tanpa persiapan memadai, karena mengharap bocoran.
Sejatinya, masalah karakter merupakan masalah lama, bukan masalah baru. Perbedaan generasi, memunculkan tantangan yang berbeda pula. Di era kemajuan teknologi informasi sekarang, tantangan pendidikan kian dinamis dan kompleks.
Pendidikan dan pembelajaran yang diselenggarakan di sekolah dan di lingkungan keluarga, berpacu dengan aneka tawaran dari media hiburan. Hiburan yang berlebihan jelas membuat generasi muda kurang tanggap terhadap lingkungan, kurang memiliki daya juang, dan keberanian menghadapi risiko.
Hiburan, baik melalui televisi, internet, game, maupun media lainnya, menanamkan semangat seakan-akan hidup ini penuh tekanan, sehingga sedikit-sedikit perlu hiburan. Bahwa siswa harus belajar giat dan bekerja keras serta memiliki semangat untuk berprestasi. Melalui kegiatan ekstra-kurikuler di sekolah siswa dapat menggali dan mengembangkan potensi dirinya sesuai minat dan kegemarannya.
Topik pendidikan karakter yang kembali diusung dewasa ini, merupakan respons atas berbagai sikap dan tindakan penyimpangan, pelanggaran hukum, bahkan perbuatan melawan hukum masih marak.
Secara kuantitas jumlah perbuatan melawan hukum makin tinggi. Secara kualitas, modus perilaku menyimpang dan kejahatan juga semakin canggih.(****lanjut)