Rabu, 15 Agustus 2012

MEDIA DAN HAK PUBLIK


Tak dapat dipungkiri bahwa eksistensi media massa telah menjadi salah satu penopang utama keberlanjutan era reformasi. Suasana kebebasan mengemukakan pendapat seperti sekarang, adalah bentuk peran media dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. 
Media telah berperan secara terus menerus dalam upaya terwujudnya keterbukaan informasi publik. Keterbukaan informasi adalah suatu kondisi yang memungkinkan orang memperoleh informasi yang berguna bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain secara mudah dan cepat.
Memperoleh informasi hakikatnya adalah hak dasar warga negara. Pemenuhan hak memperoleh informasi akan terhambat, karena adanya benturan kepentingan terhadap pihak-pihak yang menguasai informasi.
Keterbukaan informasi publik berarti kewajiban badan publik untuk menyampaikan informasi publik. Jadi hak dasar warga negara mendapat informasi, dibarengi dengan kewajiban pemegang informasi untuk menyampaikan atau mengumumkannya.
Media memiliki tanggung jawab yang besar terhadap bangsa dan negara. Dalam perspektif institusi sosial, media bertanggung jawab terhadap masyarakat. Ia harus memainkan peran sebagai media penyalur aspirasi bagi masyarakat, sekaligus menjalankan fungsi kontrol baik terhadap dinamika sosial itu sendiri maupun terhadap perilaku kekuasaan. Idealnya media memainkan peran sebagai penjaga arah agar institusi-institusi publik dan negara tetap berjalan pada rel yang semestinya. Di sinilah media akan menjaga gawang pepatah “kekuasaan cenderung korupsi” agar tidak terjadi.
Keseimbangan kekuatan saling kontrol antar-institusi akan meminimalkan terjadinya kecenderungan korupsi, penyimpangan, maupun monopoli kebenaran dan informasi.
Melalui pemberitaan, analisis, esai, laporan, kolom, dan artikel, media terus menyebarluaskan informasi kepada masyarakat sebagai hak publik. Media menjalankan fungsi mendidik, dalam arti luas, menyebarluaskan informasi, dan menjadi sarana hiburan. Media membangun budaya dan peradaban yang lebih maju.
Dahaga Informasi
Rasa ingin tahu pasti dimiliki individu. Kebutuhan akan informasi lebih penting daripada kebutuhan fisik. Fitrahnya, setiap orang akan berusaha memenuhi dahaga informasi. Jika keinginan untuk mengetahui sesuatu itu terpenuhi, maka ia akan merasa tenang dan puas. Dalam bahasa lain, masyarakat yang terinformasi adalah masyarakat yang sejahtera secara bathiniah. Masyarakat yang memperoleh informasi, akan lebih mudah memiliki kesadaran pentingnya bermasyarakat dan berpartisipasi dalam membangun masyarakatnya ke arah yang lebih baik.
Kebutuhan akan informasi bagi masyarakat sebagian besar terpenuhi atau disalurkan melalui pemanfaatan media massa. Oleh karena itu media massa hendaknya menangkap kebutuhan akan informasi itu sebagai umpan balik untuk terus menerus memperbaiki diri. Media massa yang akan bertahan dan dicintai masyarakat adalah media yang tidak hanya pandai mengkritik, tetapi juga diisi oleh awak redaksi yang selalu terbuka terhadap kritik.
Kritik, saran, masukan, pendapat, dari manapun datangnya, jika itu esensinya adalah untuk perbaikan, akan diterima dengan baik.
Pengelola media dan pekerja media mendedikasikan dirinya di bidang informasi sebagai lahan pengabdian. Karakteristik informasi adalah kebenaran, keterbukaan, kesetaraan, kecepatan, dan ketepatan. Pengelola media pasti memahami dan menghayati terhadap karakteristik informasi itu sehingga mampu mengoptimalkan pengabdiannya bagi masyarakat.
Kebebasan dan Tantangan
Di masa Orde Baru, mengkritik pimpinan negara, membutuhkan keberanian yang luar biasa. Bahkan, mengkritik kebijakan pemerintah, adalah “kemewahan” yang harus dibayar mahal.
Meskipun media telah memberikan peran bagi keterbukaan informasi, harus diakui media juga memberikan ekses baik berupa ketegangan maupun disharmoni. Ekses media yang mungkin negatif, biasanya bersifat sementara, sebagai akibat kurangnya pengetahuan dan kesadaran terhadap fungsi media itu sendiri.
Contohnya, di awal reformasi, kantor media massa didemo merupakan hal yang biasa. Seorang tokoh yang mencalonkan diri untuk maju menjadi calon pemimpin suatu organisasi, ketika mendapat sorotan kritis media, mengerahkan massa ke kantor media untuk menekan. Banyak modus lain reaksi ketidaksenangan suatu kelompok terhadap peran media, seperti memboikot, mengancam personil media, maupun membuat media sendiri.
Kebebasan dan hak setiap individu akan dibatasi oleh kebebasan dan hak individu lainnya. Media harus mendorong terpenuhinya hak publik dengan tetap menjaga kebenaran di atas kebebasan.
Media sebagai entitas bisnis menghadapi tantangan iklim kompetisi dan keterbatasan sumberdaya. Media harus menjaga keseimbangan antara idealisme dan fungsi bisnis.
Pemandu
Media harus menjadi guideline bagi pembacanya dalam memandu untuk mengambil keputusan. Bagi pengusaha, media berperan membantu dalam mengambil keputusan bisnis yang tepat. Bagi politisi media menjadi pemandu arah karir politiknya dan dukungan massa kepadanya. Bagi masyarakat kota, media menjadi rambu-rambu dan petunjuk akan bahaya kriminal, trend gaya hidup, informasi tentang arus lalu-lintas, layanan publik, potensi penyakit, dan gangguan keamanan. Bagi petani menjadi media informasi dan pengetahuan untuk meningkatkan budidaya dan produksi serta saluran pemasaran.
Media hendaknya mengungkap kebenaran dan memberitakan sesuatu di balik peristiwa. Media perlu memperbarui semangat dan khitahnya sebagai penyebar pencerahan. Memberitakan korupsi, misalnya, agar yang lain tidak melakukan korupsi. Menampilkan tokoh dan kisah sukses agar menjadi teladan bagi masyarakat umum. Memuat laporan tentang kerusakan sarana umum agar segera mendapat respon dari yang berwenang. Singkatnya, informasi yang disampaikan media dibutuhkan dan bermanfaat bagi setiap orang.  
Dengan demikian kehadiran media mampu menjaga layanan publik tetap baik dan menjamin terlaksananya kewajiban institusi publik. Bagi masyarakat, media membantu memenuhi hak-haknya akan informasi. (Bandar Lampung, 09 Agustus 2012)

Selasa, 07 Agustus 2012

UNJUK KEPEDULIAN UNTUK GURU

Pekan lalu dan beberapa pekan atau bulan ke depan, guru yang tersertifikasi sibuk dan akan tetap sibuk oleh apa yang disebut Uji Kempetensi Guru (UKG). Saya ingin memberikan catatan, sebaiknya kita sekarang unjuk kepedulian kepada guru. Guru adalah figur yang menjadikan kita seperti sekarang. Sebagai manusia biasa, guru tak luput dari beberapa kelemahan. Tapi pun begitu, peran, kontribusi, jasa, dedikasi, para guru,  patut kita apresiasi. (Bandar Lampung, Jumat, 03 Agustus 2012)

Para guru yang telah bersertifikat sebagai guru profesional, dihadapkan pada Uji Kompetensi Guru (UKG). Seperti biasa, program pemerintah pusat ini menuai pro dan kontra. Ide dasar UKG seperti digembar-gemborkan pemerintah, adalah dalam rangka pemetaan kualitas guru di berbagai jenjang sekolah dan di berbagai daerah.

PIHAK-PIHAK yang kontra terhadap UKG bersikukuh menolak UKG sebagai instrumen penilaian kinerja guru dengan dalih pemetaan. Mereka menganggap pemerintah seakan-akan kurang pekerjaan, dengan menggelar UKG. Ada dua hal substansial yang mendasari penolakan UKG secara online; pertama adalah bahwa menilai kompetensi guru tidak bisa hanya berdasarkan ujian dengan tipe soal pilihan jamak. Apalagi aspek-aspek profesional guru sangat banyak, dan sebagian besar menyangkut kompetensi yang untuk menilainya mengharuskan dilakukan pengamatan praktis dan menyeluruh.
Kedua, bahwa pemerintah saat ini memiliki tanggung jawab menuntaskan ratusan ribu guru yang belum tersertifikasi.  Dalam dua tahun terakhir, kuota bagi peserta sertifikasi ditingkatkan, dalam rangka mengejar pencapaian sertifikasi guru. Pertanyaannya, mengapa tidak peningkatan status guru tersertifikasi itu dulu yang diprioritaskan?
Sejak akan dilaksanakannya UKG, penulis berhipotesis bahwa ini adalah suatu program yang mengemban dua agenda. Pertama, melalui UKG pemerintah akan mudah menjawab kritik masyarakat bahwa sertifikasi guru bermanfaat atau setidaknya meningkatkan kinerja guru, meskipun dalam kadar yang tidak terlalu menggembirakan. Kedua, apabila ada beberapa kekurangan atau kelemahan dalam aspek-aspek profesional di kalangan guru, maka pemerintah akan meluncurkan program pembinaan yang lebih masif.
---Perlu Penjelasan
Pertanyaan-pertanyaan yang perlu jawaban dan penjelasan adalah, mengapa untuk melakukan pemetaan kualitas guru harus melalui UKG yang diikuti semua guru bersertifikasi? Tidak adakah metode sampling yang valid dan reliabel untuk memetakan kualitas guru? Bukankah untuk menggelar UKG memerlukan biaya yang besar? Apakah selama ini tidak ada institusi atau tim yang fungsinya melakukan pendataan dan pemetaan terhadap kualitas guru dan sebaran guru?
Agak miris malah ketika UKG diluncurkan, muncul statemen bahwa “jika guru selama ini menguji murid, maka guru saat ini harus siap diuji”. Statemen ini terlalu meremehkan seolah-olah guru tidak mau (tidak siap) diuji.
Persoalan lain adalah waktu untuk sosialisasi UKG juga sangat singkat. Informasi yang sampai di tingkat guru membias. Yang didengar guru adalah bahwa UKG akan berdampak kepada status sertifikasi mereka. Jika tidak lulus dalam UKG, maka status sertifikasi terancam.
Kenyataannya, seperti mudah diduga, pelaksanaan UKG tidak optimal, untuk tidak menyebut gagal. Di berbagai tempat ujian, akses internet sangat lambat bahkan ngadat. Kesiapan para guru peserta UKG juga sangat memprihatinkan. Masih banyak yang gagap teknologi. Bagi sebagian guru yang tidak terbiasa dengan komputer, mengoperasikan komputer bagaikan menghadapi hantu.
Dilema teknologi, seperti biasa, dapat digambarkan seperti menunggang harimau. Jika tak pandai mengendalikan, maka penungganglah yang akan diterkam oleh harimau. Idiom ini berlaku terhadap penggunaan komputer dalam UKG yang dilakukan secara online.
Sekedar diketahui, ada banyak guru dari suatu kecamatan, terpaksa membeli laptop baru dan dibawa ke tempat ujian, meskipun belum bisa memanfaatkan fungsi-fungsi laptop. Dan benar, di tempat ujian, laptop itu tidak digunakan sama sekali untuk ujian, karena sudah disediakan komputer oleh panitia.
Menyimak pelaksanaan UKG yang lalu, belum tampak bahwa UKG berpihak pada guru. UKG lebih menampilkan sebagai peran antagonis dalam suatu drama kolosal. Peduli nasib guru tidak harus menjadikan guru terombang-ambing dalam ketidakpastian.
Suatu kompetensi sudah selayaknya diasah dan ditingkatkan sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman. Jika ada guru yang bersertifikasi, tetapi kinerjanya menurun, mungkin secara kasuistik itu ada. Tetapi menggeneralisasi bahwa sertifikasi belum atau tidak memperbaiki kualitas guru, adalah pandangan yang naif. Mengapa? Karena saat lolos sertifikasi, guru telah diwajibkan memenuhi berbagai persyaratan dan proses panjang oleh institusi yang kredibel.
--- Motivasi Pribadi
Meningkatkan kapasitas, kualitas, dan kompetensi diri pribadi terutama didorong oleh kemauan dari dalam diri sendiri. Siapapun kita, apalagi seorang guru, rasanya perlu selalu menambah energi dan terus berusaha mencari pola baru yang lebih efektif untuk meningkatkan kompetensi.
Eksistensi guru dalam diri siswa tidak semata-mata kehadirannya di depan kelas maupun di sekolah. Seorang guru harus menampilkan diri sebagai sosok teladan dalam segala hal yang positif.
Guru harus memiliki motivasi belajar yang tinggi, sehingga bisa memotivasi siswanya untuk belajar lebih giat. Guru harus menebar semangat kemandirian dan menanamkan tanggung jawab dalam diri siswa.
Menjadi guru di era sekarang, berbeda dengan beberapa dasawarsa lalu. Bahkan situasinya jauh berbeda dibanding dengan enam tahun silam.  Guru sekarang menghadapi berbagai tantangan yang semakin kompleks.
UKG diplesetkan menjadi Uji Kesabaran Guru. Ini sebuah ungkapan bahwa guru, di samping melaksanakan tugas dan fungsi mendidik, menjadi obyek eksploitasi dari birokrasi yang cenderung tidak peduli. Meskipun tidak sepenuhnya benar, aspirasi ini patut mendapat apresiasi. Mengapa? Sudah sepantasnya guru menyuarakan aspirasi, kondisi, kebutuhan, dan berbagai problematika terkait tugas dan fungsinya, di hadapan praktik birokrasi yang berjiwa "kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah". Mengherankan memang, di era keterbukaan, masih saja birokrasi belum berubah. (*)