Sabtu, 01 Desember 2012

GURU HARUS BERUBAH


(LAMPUNG POST, SELASA, 27 NOVEMBER 2012)
SUATU kenyataan bahwa setiap organisasi senantiasa menuntut perubahan. Sebab, organisasi yang tidak berubah akan ditinggalkan oleh khalayaknya dan lambat laun akan mati. Demikian halnya sekolah sebagai organisasi belajar atau institusi pendidikan. Sekolah  harus melakukan berbagai perubahan ke arah yang lebih maju, menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan, dan selalu memiliki berorientasi ke masa depan.
Guru merupakan salah satu subyek penentu dalam pendidikan di sekolah. Segala harapan dan tujuan pendidikan sebagian besar ditumpukan pada guru. Oleh karena itu perubahan di organisasi sekolah, atau secara luas perubahan pendidikan, mau tidak mau harus melibatkan peran aktif guru.
Dewasa ini, perhatian terhadap profesi guru sudah semakin membaik. Adanya pengakuan dan perhatian terhadap profesi guru berlanjut dengan berbagai regulasi yang melindungi dan menjamin kelancaran tugas-tugas profesional guru. Dampaknya, minat generasi muda untuk menekuni profesi guru meningkat. Indikasi yang paling nyata adalah animo calon mahasiswa memasuki fakultas keguruan yang semakin tinggi. Berbagai perguruan tinggi pun seakan berlomba menyelenggarakan program studi keguruan dan ilmu pendidikan.
Di era reformasi dan kemajuan teknologi informasi, masyarakat memiliki tuntutan terhadap kualitas output pendidikan yang juga semakin tinggi. Di sisi lain, masyarakat juga dengan mudah menyederhanakan persoalan pendidikan. Adanya kasus perkelahian pelajar, guru atau sekolah dipersalahkan. Maraknya perilaku korupsi, berbagai aksi kejahatan, penyimpangan perilaku sosial, dan sebagainya, seakan-akan dengan ringan menimpakan beban permasalahan pada pendidikan. Pendidikan dianggap telah gagal membina mental dan moral generasi muda. Tudingan semacam itu terasa amat menyederhanakan persoalan. Jangan lupa bahwa pendidikan adalah tanggung jawab semua pihak, pemerintah dan masyarakat. Benar bahwa guru memiliki tanggungjawab yang besar karena tugas dan profesinya. Tetapi yang sering dilupakan, bahwa mendidikan anak di sekolah juga memerlukan perhatian, kerjasama, dan partisipasi dari orang tua.
Kompleksitas persoalan pendidikan terkait dengan siswa semakin jelas jika dilihat durasi waktu keberadaan siswa di sekolah lebih sedikit dibandingkan dengan durasi waktu siswa berada di rumah atau di lingkungan. Tidak semua lingkungan di luar sekolah memberi iklim pendidikan yang positif dan terarah. Di tambah lagi dengan kekurangpedulian orang tua terhadap pendidikan anak-anaknya. Sebagian besar menganggap selesai dengan “menitipkan kepercayaan” anaknya di sekolah, dan melengkapi segala kebutuhan material dan finansialnya. Sementara aspek interaksi pendidikan dan sosial sering terabaikan.
Sebenarnya problem pendidikan dapat dilihat seperti mata rantai yang melingkar. Input, proses, output, sumberdaya pendidikan, dan subsistem lain di luar pendidikan saling mempengaruhi. Pendidikan yang hakikatnya adalah membangun manusia seutuhnya, membutuhkan sinergi kerjasama berbagai pihak dan integrasi program.
Memperbaiki pendidikan harus dimulai dari guru. Persoalannya, jumlah guru sedemikian banyaknya, seiring dengan jumlah anak-anak usia sekolah dan tingkat partisipasi pendidikan yang semakin tinggi. Sehingga program peningkatan kualitas guru (kompetensi) tidak mungkin berlangsung cepat dan mampu menjangkau seluruh guru. Selain itu juga niscaya ada alasan klasik untuk meningkatkan kualitas pendidikan melalui peningkatan kualitas guru, yaitu keterbatasan anggaran pendidikan.
Dari sisi internal, guru itu sendiri harus melakukan berbagai perubahan. Menjadi guru harus dilandasi semangat pengabdian kepada kemanusiaan. Menjadi guru merupakan panggilan jiwa untuk mendedikasikan diri kepada kemajuan harkat dan martabat kemanusiaan, membangun kebudayaan dan peradaban. Guru harus memiliki kesiapan mental untuk tidak tergoda dengan arus konsumerisme yang kontraproduktif dengan tujuan pendidikan. Guru harus memiliki daya tahan terhadap berbagai tantangan dan hambatan yang mungkin dihadapi, bahkan perlu memiliki strategi untuk mengatasinya. Guru harus membangun sikap terbuka terhadap ilmu pengetahuan, dan memiliki ketertarikan terhadap setiap pengetahuan baru.
Salah satu bentuk sikap terbuka dan responsif terhadap perubahan dapat diwujudkan melalui penggalian informasi, pengetahuan, memperkaya bahan bacaan, dan mengikuti berbagai kegiatan ilmiah dan akademik. Hal ini dapat dilakukan baik melalui organisasi profesi maupun secara kelompok kecil. Guru perlu mengintensifkan berbagi pengetahuan dan pengalaman melalui interaksi dan komunikasi dan forum ilmiah. Guru hendaknya senantiasa mengasah keterampilan dan kemampuannya di bidang pedagodik maupun bidang studinya.
Jika itu sudah dilakukan, maka menjalani profesi guru akan terasa ringan, indah, dan menyenangkan. Mendidik dan mengasuh siswa dengan antusias dan penuh kasih sayang. Guru yang demikian akan mampu melaksanakan  pembelajaran secara menyenangkan, inovatif, dan mampu memacu kreativitas siswa.
Setiap paradigma baru pendidikan dan kebijakan pendidikan guru akan siap dengan perangkat kemampuan yang sudah terinternalisasi dalam diri.
Penyediaan guru yang berkompetensi, dan memenuhi berbagai kualifikasi sebagai pendidik, tidak hanya dari aspek jumlah, tetapi masalah kualitas dan pembinaan profesi juga harus menjadi fokus perhatian. Tingginya animo masyarakat terjun ke profesi guru yang diindikasikan dengan membludaknya calon mahasiswa di fakultas keguruan dan ilmu pendidikan harus dibarengi dengan perangkat aturan dan mekanisme seleksi, pembinaan dan program pengembangan yang jelas.
Perbaikan kualitas pendidikan tidak akan berhasil jika tidak sejalan dengan arah program peningkatan kualitas guru. Sebagai profesi, guru mensyaratkan berbagai kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan di lembaga pendidikan tenaga kependidikan dan pemberian pengalaman yang signifikan serta interaksi dengan kalangan ahli di bidangnya.
Jadi lembaga pendidikan tenaga kependidikan juga semestinya memiliki standar dan melaksanakannya sepenuh hati. Jangan sampai mengejar jumlah lulusan, mengesampingkan kualitas proses pembelajaran mendidik calon guru.
Sebagaimana amanah undang-undang, pemerintah memiliki tanggung jawab yang besar di bidang pendidikan. Pemerintah harus menjadikan pendidikan sebagai program prioritas yang terimplementasi secara efektif dan efisien. Pelaksanaan tugas pemerintah di bidang pendidikan itu perlu pula dorongan dan pengawasan dari parlemen maupun dari elemen masyarakat. Selamat Hari Guru 25 November 2012. Jasamu yang tidada tara akan selalu dikenang. (*)

MENJADI GURU DI ERA PERUBAHAN


(RADAR LAMPUNG, KAMIS, 22 NOVEMBER 2012)

Dalam beberapa waktu terakhir, ada beberapa poin penting terkait dengan profesi guru. Setelah hiruk-pikuk digelarnya Uji Kompetensi Guru (UKG), kini muncul kebijakan baru perubahan kurikulum pendidikan yang mulai diberlakukan 2013. Di sisi lain, praktik profesi guru ditingkahi beberapa peristiwa, perkelahian pelajar, laporan kekerasan yang diduga dilakukan oleh guru, tuntutan guru honorer agar diangkat menjadi pegawai negeri, nominal honorer yang dinilai sangat tidak manusiawi, tuntutan transparansi tunjangan sertifikasi, dan sebagainya.

MESKIPUN begitu, ada pula beberapa prestasi siswa yang mencuat, seperti mobil esemka dan bidang permesinan, kemampuan (merakit) komputer dan berbagai perangkat teknologi, serta bidang seni dan budaya lainnya.
Menjadi guru di era kini memang menuntut banyak kompetensi. Perubahan yang serba cepat yang terjadi di masyarakat mengharuskan guru berpacu untuk dapat menjalankan profesinya sesuai ketentuan. Jadi diperlukan kesiapan diri untuk mengantisipasi perubahan.
Perubahan kurikulum, terutama di tingkat Sekolah Dasar, jelas berdampak luas terhadap guru. Meskipun istilahnya pengembangan kurikulum, ada beberapa hal mendasar yang perlu dipersiapkan oleh guru. Perubahan itu bukan sekadar pengurangan jumlah mata pelajaran, tetapi pengintegrasian beberapa substansi mata pelajaran ke dalam semua pelajaran.  Model dan pendekatan pembelajaran juga harus diubah. Singkatnya paradigma guru terhadap pembelajaran yang dikelolanya harus berubah.
Salah satu contoh yang paling nyata dan krusial adalah penerapan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). TIK bukan lagi merupakan mata pelajaran tersendiri, tetapi harus mewujud dalam praktik pembelajaran. Demikian halnya dengan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), dan Pramuka.  
Secara kuantitif jumlah guru yang akrab dengan perangkat teknologi tidak lebih banyak dibandingkan yang sudah menggunakan perangkat teknologi dalam pembelajarannya. Penguasaan guru dalam pemanfaatan teknologi untuk pembelajaran merupakan problem terpendam. Bagaimana mungkin guru dapat melaksanakan pembelajaran yang memenuhi standar minimal, sedangkan ia “belum selesai dengan dirinya sendiri”.
Ada problem psikologis yang dihadapi guru. Merasa usia sudah tua, sehinga menganggap tak perlu lagi belajar komputer, berasumsi komputer itu rumit, dan berada di “zona nyaman”.
Dilema lain yang dihadapi guru adalah tindakan dalam pendisiplinan siswa. Terlalu longgar dalam aturan disiplin membuat siswa tidak fokus dalam belajar dan mengganggu iklim belajar di sekolah. Menegakkan aturan disiplin di sekolah, membuat guru berurusan dengan polisi. Terkadang siswa dan orang tua siswa emosional membuat laporan ke polisi.
Guru yang menghadapi permasalahan terkadang tidak berdaya dalam berbagai situasi. Menyuarakan aspirasi sering dianggap sebagai tindakan tak pantas, dengan dalih guru banyak tuntutan. Mempertanyakan transparansi pengelolaan anggaran sekolah atau gaji dan tunjangan yang tersendat, dikatakan guru tak layak mengurusi soal uang. Tugas guru itu mengajar, bukan soal uang.
Di bagian lain guru tugas-tugas guru juga syarat beban administratif . Hal ini terjadi karena tidak berjalannya sistem dan fungsi-fungsi institusional. Guru yang bersertifikasi disibukkan oleh pendataan (pemberkasan) yang berulang-ulang, pencairan tunjangan yang terhambat, simpang-siur informasi kebijakan baru yang akan diberlakukan, dan sebagainya.
Guru yang sedang dalam proses sertifikasi juga menghadapi tantangan yang sama. Karena ketidaksiapan, dan karena  dorongan untuk dapat lulus dalam program sertifikasi tak jarang ada yang menempuh jalan pintas.
Padahal dengan sistem yang terkomputerisasi, beberapa beban tugas yang bersifat rutin dan administratif dapat terkurangi secara  signifikan. Pendataan (pemberkasan) cukup dilakukan sekali dalam periode waktu tertentu, misalnya satu tahun atau dua tahun, karena perubahan-perubahan data dalam kurun waktu itu dalam secara otomatis diprogram.
Pemberkasan yang bersifat fisik dan berulang-ulang selain pemborosan juga mencerminkan sikap tidak profesional. Pernah ditemukan berkas-berkas guru sertifikasi di suatu kabupaten di Lampung, menjadi bungkus kacang di Ciamis, Jawa Barat. Ini mengindikasikan bahwa pemberkasan fisik sebagiannya adalah memproduksi limbah kantor. Padahal guru dibuat pontang-panting memenuhi berkas yang diminta.
Masih banyak guru yang enggan melakukan perubahan dan tidak siap terhadap perubahan. Sebagian beranggapan perubahan sebagai “ancaman” terhadap statusnya. Penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang kemudian menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menghendaki guru kreatif dan aktif merencanakan pembelajaran dan leluasan memanfaatkan sumber belajar yang sesuai dengan kondisi setempat.  Tetapi setelah berjalan beberapa tahun, ternyata masih banyak guru yang mengelola kelas secara konvensional dan membelajarkan siswanya sebagaimana dia dulu diajar oleh guru-gurunya terdahulu.
Adanya seminar, pelatihan, dan workshop mampu mengubah cara pandang guru terhadap keberlakuan kebijakan  dan program baru. Tetapi biasanya setelah kembali ke tempat tugas hasil dari kegiatan pelatihan, workshop, dan sejenisnya itu, sulit terimplementasi di tempat tugasnya. Persoalannya adalah seminar, pelatihan, atau workshop itu tidak mampu menjangkau sebagian besar guru, dilaksanakan dalam kerangka proyek (biasanya akhir tahun anggaran), dan ketidaksiapan perangkat-perangkat lain yang ada di sekolah.
Pengamatan penulis di suatu sekolah dengan jumlah guru sekitar 60 orang, diberangkatkan dua orang untuk mengikuti pelatihan TIK selama tiga hari. Karena bekal kemampuan dasar yang minimal, dalam pelatihan yang semestinya dengan target untuk implementasi pembelajaran multimedia, akhirnya pelatihan berisi kegiatan “belajar mengetik dengan komputer”.  Sekembalinya ke tempat tugas mengajar, di sekolah tidak tersedia komputer, LCD projector, bahkan aliran listrik pun terbatas.
Paradigma baru pendidikan menghendaki pembelajaran dilaksanakan secara aktif, inovatif, kreatif, dan menyenangkan. Merencanakan, mengelola, merefleksikan, dan mengevaluasi pembelajaran, dengan cara konvensional dan manual saja belum sepenuhnya mampu dilaksanakan, kini sudah disusul dengan kebijakan baru perubahan kurikulum dengan pendekatan sains dan pemanfaatan komputer.
Yang juga menjadi tantangan pemerintah adalah penyediaan perangkat komputer dan jaringan internet di sekolah. Menyediakan sarana komputer dan jaringan internet di tengah infrastruktur fisik yang belum beres, jelas bukan pekerjaan mudah.
Dari seluruh paparan di atas penulis meyakini masih ada idealisme, spirit, dan dedikasi guru untuk mendidik generasi muda. Dengan bermodal semangat dan panggilan jiwa untuk mengabdi kepada kemanusiaan, diyakini guru mampu terus berkiprah dan berkontribusi dalam membangun fondasi pembangunan.
Birokrasi pemerintahan yang mengelola guru juga harus melakukan perubahan substansial, yaitu responsif terhadap perubahan. Perubahan bukan hanya simbolik atau kamuflase dan lip service. Birokrasi harus menjadi sarana tertib administrasi dan pemandu agar program tetap berada di arah yang benar dan agar dapat dilaksanakan secara lancar.
Kepemimpinan di organisasi sekolah juga memiliki ciri khas yang berbeda dengan perusahaan. Kepala sekolah yang berhasil adalah yang mampu menumbuhkan prakarsa dan motivasi guru untuk melakukan tugas dengan penuh tanggung jawab, mendorong guru untuk terus belajar, dan membangun iklim sekolah yang kondusif untuk belajar siswa. Keberhasilan kepala sekolah juga dapat diindikasikan dari kesantunan sikap orang-orang yang ada di sekolah itu, suasana belajar yang penuh semangat, pengelolaan anggaran sekolah yang transparan, dan keterlibatan berbagai stakeholder di sekolah yang dipimpinnya.
Kepala sekolah yang berhasil bukan mereka yang ke sekolah dengan bermobil mewah, atau tidak ada di tempat ketika guru hendak bertanya. Bukan pula yang selalu sibuk tugas luar, dan tugas dalam ketika akan ada tamu pejabat yang lebih tinggi.
Pembinaan terhadap profesi guru merupakan bagian tak terpisahkan dari fungsi-fungsi institusi pemerintahan bidang pendidikan. Paradigma pembinaan bukan “mengawasi”, atau menekan dan menebar informasi tak jelas. Pembinaan profesi guru dilakukan melalui pendampingan dan konsultasi, pengarahan, diskusi, dan pelatihan-pelatihan. Semoga tidak ada lagi instansi yang saling melempar tanggung-jawab. Dan semoga terwujud profil dan figur guru yang selalu dirindu siswanya, diteladani sikap-tindaknya, dan menebar kreativitas terhadap siswa sehingga terwujud siswa yang berprestasi. Selamat Hari Guru 25 November 2012. (*)