Selasa, 10 Juni 2014

Yakinkan Investor dengan Data dan Iklim Kondusif



Dr. RAHAYU SETIORINI., ST., MT. – 
Dosen Fakultas Teknik Universitas Lampung


SAYA mengikuti beberapa persoalan, termasuk dalam penyusunan Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) di Lampung. Masalah infrastruktur memang menjadi penghambat. Salah satu contoh adalah provinsi di Sumatera yang memiliki potensi yang luar biasa besarnya, tetapi tidak dapat tumbuh secara cepat. Ini karena hasil-hasil pertanian tidak cepat sampai ke pusat-pusat potensi dan kegiatan ekonomi.
Sebenarnya kita punya banyak infrastruktur, tetapi belum optimal. Masalah infrastruktur bukan hanya soal jalan. Barang dan hasil-hasil pertanian mau tidak mau harus sampai ke konsumen secara cepat. Kita tidak bisa tergantung pada jalan, karena jalan-jalan kita terbatas daya dukung maupun kapasitasnya. Kita harus ‘melirik’ moda angkutan sungai, rel, maupun laut.
Salah satu potensi penggunaan rel adalah untuk angkutan batu bara. Walaupun mungkin batu bara kita kandungan kadar kalorinya belum sesuai standar dunia. Tapi jika ada investor yang akan menginvestasikan di rel, itu bagus. Seperti pemanfaatan rel untuk masuk ke pelabuhan. Sehingga nanti angkutan batu bara ke pelabuhan beralih ke kereta api, tidak lagi menggunakan truk.
Persoalannya rel kita selama ini juga paling banyak digunakan untuk angkutan batu bara. Apalagi jika PT. Bukit Asam mengembangkan eksplorasi lagi, maka beban penggunaan rel kereta akan bertambah. Ini luar biasa.
Terkait pertanyaan adanya pandangan bahwa beberapa proyek infrastruktur hanyalah pencitraan dan proyek ‘mercusuar’, saya tidak setuju dengan pandangan miring seperti itu. Karena bagaimanapun yang namanya proyek infrastruktur itu tidak hanya melihat pada potensi sekarang, tetapi pasti melihat potensi dan pertumbuhan serta proyeksi ke depan. Saya dukung setiap proyek infrastruktur.
Misalnya kita bicara jalan tol di Lampung. Jika pusat menghendaki harus dilintasi 50 ribu kendaraan, maka itu tidak akan tercapai di awal. Tapi jika melihat potensi dan pertumbuhan serta proyeksi ke depan, pasti bisa. Begitu jalan tol dibuka, maka nilai lahan akan meningkat, daerah terisolasi akan terbuka, ekonomi dan sosial akan berkembang. Itu semua kalau dikuantifikasi atau dirupiahkan maka luar biasa besar. Inilah yang diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah pusat.
Tentang jalan jalan yang banyak rusak, itu karena faktor volume kendaraan yang luar biasa besar juga. Juga kita harus tegas dalam penegakan aturan larangan angkutan batu bara melalui jalan raya. Angkutan batu bara baik menggunakan truk besar maupun truk kecil harus dilarang, sesuai aturan. Kemudian jembatan timbang, sebenarnya potensial dan akan efektif untuk mengurangi faktor penyebab kerusakan jalan. Ini bisa untuk membatasi muatan.
Kemudian pemanfaatan jalan rel dan angkutan sungai. Sungai-sungai kita sebenarnya bisa dimanfaatkan seperti di Sumatera Selatan. Kemudian angkutan laut dan bandara-bandara perintis juga bisa dimanfaatkan. Menurut saya demand-nya sudah ada, tapi tergantung maskapai-maskapai penerbangan. Apalagi sekarang sudah banyak tiket murah. Tinggal survei-survei yang lebih mendetail. Termasuk pemanfaatan bandara-bandara perintis. Menurut saya, proyek-proyek ini bukan mimpi. Ini sangat layak, dan mendukung pemerintah pusat.
Kendalanya memang ada pada bagaimana meyakinkan investor. Kita tidak bisa lagi bicara APBD atau APBN saja. Karena memang tidak cukup. Di sinilah kita mulai bicara soal public private partnership (PPP). Jadi dalam infrastruktur harus seperti itu, ada peran swasta. Tetapi peran swasta itu masih dalam ruang lingkup layanan publik, bukan swasta murni. Pemerintah tetap menguasai, dan kerjasamanya saling menguntungkan. Contohnya dalam pengelolaan air minum di kota. Ini akan lebih bagus lagi kalau diperluas ke infrastruktur lainnya.
Pertanyaan kenapa kadang-kadang investor enggan padahal potensinya luar biasa. Mungkin kita harus lebih menciptakan iklim kondusif, mempermudah lagi dalam perijinan, pembebasan lahan, dan sebagainya. Jadi hitungannya jangan hanya teknikal, supaya masyarakat (investor) mau. Artinya, benefit yang dirasakan masyarakat juga harus diperhitungkan. Iklim kondusif harus diciptakan untuk mendukung strategi investor, aspek sosial politik dan sebagainya harus mendukung ini.
Kemudian kita juga tidak bisa menampik bahwa negara kita adalah negara maritime. Jadi tidak bisa semua (angkutan) masuk jalan raya. Ini dapat dilakukan dengan memperkuat pelabuhan-pelabuhan perintis. Banyak pelabuhan-pelabuhan yang di masa lalu sudah ada dermaganya, tapi sekarang tidak digunakan. Ini bisa direvitalisasi. Jalan rel juga banyak yang sekarang ‘tenggelam’. Jadi bukannya bertambah, malah berkurang. Ini sekarang terbuka semua untuk direvitalisasi.
Nah sekarang semua instansi baik Pekerjaan Umum, Bappeda, Perhubungan, perguruan tinggi, dan sebagainya harus bekerjasama. Mungkin lobi ke pusat belum (kuat). Lobi ke pusat perlu didukung dengan data-data tentang manfaat yang kembali ke daerah. Seperti potensi-potensi yang ada, yang jika dikembangkan infrastruktur manfaatnya akan lebih besar, tidak hanya soal teknikal.
Juga mengundang dana-dana investor dunia di bidang lingkungan. Perlu dijelaskan bahwa membangun infrastruktur itu bukan hanya benefit dari infrastruktur itu sendiri, kalau kita bisa membuat proposal, misalnya kerusakan lingkungan akan dapat ditekan, kecelakaan akan turun, kalau dam ini terbangun akan mencegah banjir, kalau jalan ini terbangun polusi akan terkurangi, dan sebagainya. Mungkin sisi-sisi itu belum ditonjolkan, sehingga dana investor (dunia) masih sedikit.
Kemudian yang instansi jangan sampai beririsan saling menyalahkan. Kalau jalan rusak misalnya, ya PU ada di situ, perhubungan ada di situ, kesehatan ada di situ, pertolongan pertama pada kecelakaan ada di situ. Jadi ini tanggung jawab bersama.
Perguruan tinggi juga jangan sampai menjadi ‘mercusuar’, perguruan tinggi juga dapat menyumbangkan konsep-konsep dan praktik, tidak hanya dari sisi teori, jadi dapat terjun ke situ. Menurut saya, apa yang sudah bagus (program Gubernur Sjachroeddin), ya harus dilanjutkan. Supaya tidak mangkrak di tengah jalan.
Kemudian soal terminal. Terminal itu sangat besar manfaatnya. Kita perlu angkat ini menjadi isu (pembangunan) Provinsi Lampung, bagaimana semua bisa terkoneksi, dermaga, bandara, terminal, dan sebagainya. Kalau lihat grand design-nya sudah. Cuma memang terkadang ego (sektoral), juga ada semacam pemimpin baru tidak mau melanjutkan program pemimpin sebelumnya. Mudah-mudahan pemimpin kita tidak. Jadi bagaimana suatu program itu terus (berlangsung) sehingga bisa menjadi sustainable infrastructure. Sehingga nanti apa yang dibilang ‘raksasa’ itu akan jadi. Infrastruktur untuk pertanian, pelabuhan, bandara, jalan rel, jalan raya, saya sangat mendukung.  
Yang juga penting adalah bagaimana melibatkan masyarakat, sehingga mereka merasa memiliki. Termasuk bagaimana melibatkan corporate social responsibility (CSR), atau melibatkan masyarakat (setempat) sebagai tenaga kerjanya. (*)
 

Keterbatasan Anggaran dan Konsistensi Penegakan Aturan




Ir. TONY OL TOBING, M.Sc. - 
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan (Bappeda) Provinsi Lampung

Sebelum masuk ke topik diskusi, kami berikan gambaran Provinsi Lampung, sebagai berikut: luas 35.588,35 km2, termasuk pulau-pulau kecil sebanyak 51.991 pulau. Jadi Lampung ini cukup luas wilayahnya. Panjang garis pantai 1.184 km, 132 pulau besar dan kecil. Saat ini jumlah penduduk yang kita catat 9.586.492 berdasarkan data e-KTP kabupaten/kota.

Secara umum Lampung penghasil pertanian. PDRB dari pertanian sekitar 37%. Lampung pemasok hasil petanian terbesar, seperti sapi dan sebagainya untuk dikirim ke Jawa dan Jabodetabek. Kemudian, produksi kopi menymbang sebesar 22,63 persen dari produksi kopi nasional, tebu 25,19 persen, dan lada 25,40 persen. Ini gambaran potensi ekonomi Lampung dari sisi pertanian.
Setiap hari Lampung mengirim 30 ribu ton batu bara dan mungkin bertambah dari Bukit Asam ke PLTU Suryalaya. Itu belum dihitung batu bara yang dikirim melalui darat. Pada tahun 2013 lalu lintas kendaraan, hampir 5000 kendaraan melintasi Pelabuhan Bakauheni per hari. Setiap hari sekitar 150 ton hasil pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan dari Sumatera dikirim ke Jawa, khususnya Jabodetabek.
Pada tahun ini dikembangkan kerjasama dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk membuat Terminal Agribisnis. Pada tahap awal, dimulai dengan beberapa komoditas. Ada tiga komoditas yang mereka inginkan, yaitu daging, kepala, dan beras. Khusus kelapa, mereka menginginkan kelapa tanpa batok. Jadi kita perlu teknologi, bagaimana memisahkan kulit kelapa dan batok kelapa tanpa merusak kelapanya. Jadi sudah kelapa bersih dengan air kelapa tetap di dalamnya. Mereka juga menginginkan daging yang sudah dalam packing. Oleh karena itu kita sedang siapkan cool storage di sana (Terminal Agribisnis).
Lebih spesifik ke masalah infrastruktur, khususnya jalan, kita ketahui ada tiga kategori jalan yaitu jalan nasional atau jalan negara, jalan provinsi dan jalan kabupaten/kota, berdasarkan Undang-undang Nomor 38 tahun 2004 tentang Jalan. Berdasarkan Keputusan Menteri PU Nomor 631/Kpts/M/2009, panjang jalan nasional di Provinsi Lampung 1159,57 km. Tahun ini menurut evaluasi Kementerian PU, 962 kilometer jalan nasional dalam kondisi mantap. Itu kata Kementerian PU. Kondisi jalan nasional yang tidak mantap 195 km (16,98 persen).
Jalan Provinsi menurut SK Gubernur Nomor G/433A/III/09/HK/2011 panjangnya 1702,81 km. Per juni kondisi jalan provinsi yang mantap sekitar 61,75 persen atau 1.051,52 km, sisanya dalam kondisi tidak mantap 38,25 persen. Ini dari sisi jalan.
Catatan lain dari sisi kendaraan, di Lampung pertambahannya 380 persen. Tahun 2004 ada 548.678 unit kendaraan, sekarang ada 2.636.819 unit kendaraan, belum termasuk kendaraan komuter dan kendaraan yang melintas dari luar Lampung. Artinya beban jalan sudah sangat bertambah.
Pertumbuhan kendaraan roda dua, per tahun rata-rata 22 persen dan pertumbuhan rata-rata kendaraan roda empat per tahun 8,2 persen. Tahun 2013 kendaraan yang melintas di Pelabuhan Bakauheni 2.131.537 kendaraan. Sehingga diperkirakan pertumbuhan rata-rata kendaraan yang melintas di Pelabuhan Bakauheni sampai tahun 2017 sekitar 8,11 persen per tahun. Jadi pada tahun 2017 diperkirakan 2.938.587 kendaraan atau hampir 3 juta kendaraan melintas di Pelabuhan Bakauheni.
Apa masalahnya dengan transportasi Provinsi Lampung? Kita melihat provinsi kita berada di ujung Pulau Sumatera. Menurut Pak Sjachroedin, ini kondisi riil, kita menampung begitu banyak kendaraan yang melintas. Bahkan berdasarkan hasil survey terakhir, jalan tol Lampung (apabila dibangun) akan dilintasi 13 ribu kendaraan per hari. Ini berdasarkan kendaraan yang melintasi Lintas Tengah maupun Lintas Timur. Tapi masalahnya, ini belum sesuai dengan yang diminta oleh pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian PU, yang menghitung untuk jalan tol (minimal) harus dilintasi 500 ribu kendaraan per tahun. Itu patokan di Jawa. Untuk Lampung tentu sulit.
Di sisi lain, kondisi eksisting jalan rata-rata masih Kelas III atau untuk beban 8 sampai 10 ton. Walaupun berdasarkan Kepmen PUtahun 2012, Lintas Tengah dan sebagian Lintas TImur, harusnya sudah masuk jalan Kelas I. Tapi kenyataannya masih Kelas III, sehingga beban yang ditanggung ya luar biasa. Kita berharap Lintas Tengah, Lintas TImur, dan Lintas Barat, harus konstruksi rigid. Tidak mungkin lagi kita punya jalan konstruksi Kelas III ini.
Itu sudah berkali-kali kita sampaikan dalam pertemuan, dalam konferensi, dalam debat, sampai kita ngomong keras. Kenapa di Jawa, jika ada kerusakan jalan sedikit, langsung cepat ditanggapi. Misalnya di Cianjur, rusak sedikit, langsung ditangani. Pantura hampir setiap tahun (diperbaiki), kenapa Lampung tidak? Kita menyuarakan begitu berat beban jalan ini, sehingga menjadi sorotan masyarakat.
Tahun lalu kita minta anggaran perbaikan infrastruktur Rp.2,7 triliun, tapi sesudah di-acc, diubah lagi. Tahun depan kita hanya dapat Rp.500 miliar. BPPJS tidak support, padahal pemerintah pusat sudah dukung. Itu persoalan kita. Menyedihkan memang. Saya sendiri datang ke sana, karena ini penting. Kita ingin ada perhatian Pusat. Kita sudah nggak karuan lagi. Jalan nasional hancur.
Alokasi anggaran nasional untuk infrastruktur jalan dari Rp80 triliun, untuk seluruh Sumatera hanya 10 persennya saja. Nah, kalau Rp8 triliun dibagi 10 provinsi yang ada di Sumatera, Lampung dapat berapa? Cuma 500 miliar. Padahal kita penyumbang 28 persen produk nasional. Harusnya dibagi 28 persen dari Rp80 triliun. Dalam Dana Alokasi Khusus (DAK) dan APBN kita juga sangat tergantung dengan Pusat.  
Problem lainnya adalah bahwa kita sangat tergantung pada angkutan jalan raya. Ini masalah kita. Gubernur sudah menyatakan, coba kita manfaatkan rail buss, angkutan laut, angkutan sungai. Kalau jalan raya semua, begini akibatnya, semua numpuk. Itu masalahnya. Ditambah lagi kita tidak konsisten. Misalnya, saat Sumatera Selatan membatasai angkutan batu-bara melalui angkutan jalan raya, sampai Lampung “diakali”. Melintaslah di Lampung itu kendaraan-kendaraan angkutan batu bara. Sehingga jembatan juga cepat rusak. Jembatan pun bisa patah. Begitu diadakan razia dan operasi terhadap truk angkutan batu bara, mereka nggak ada. Khan nggak mungkin kita nungguin setiap hari. Masalah lainnya, pada saat angkutan jalan raya melebihi batas tonase, hanya kena denda. Kendaraan kemudian jalan. Pengusaha tentu berhitung, jika dia pakai dua truk, dendanya cuma sekian. Akibatnya, mereka memilih kena denda. Saat ini sedang disiakan langkah-langkah penanganan persoalan ini, walaupun nantinya ada pro-kontra.
Di samping itu, dalam APBD kita yang Rp.4,318 triliun, 24 persennya untuk sektor pendidikan. Sisanya 76 persen untuk 26 sektor pembangunan, seperti kesehatan, pertanian, dan sebagainya. Sedangkan persoalan infrastruktur ini bukan hanya persoalan jalan, ada pengairan, bangunan, jembatan, pemukiman, dan sebagainya. Nah, khusus Bina Marga ini dapat Rp578 miliar. Dalam APBD kita Rp145 miliar untuk pilgub. Dari Rp578 miliar untuk bina marga itu tentu ada prioritas-prioritas.
Ada masalah lain, yaitu konsistensi pemerintah kabupaten/kota. Sehingga yang seharusnya mereka yang melaksanakan, terpaksa pemerintah provinsi membantu. Ini juga yang menjadi salah satu beban persoalan jalan. Anggaran juga terbatas. Oleh karena itu Pak Gubernur (yang lama) Pak Sjachroeddin menyatakan, sudahlah tidak perlu hotmix semua, tapi dipadu dengan metode lain, sehingga panjang jalan bisa bertambah. Itu solusi yang harus diambil. Kalau tidak seperti itu, ya nggak.
Di samping itu juga kita sedang menyelesaikan tugas-tugas yang lama, seperti jalan yang ke arah Kota Baru. Kalau itu tidak selesai, ya kita bagaimana mau membangun Kota Baru. Itulah persoalan-persoalan kita, sehingga saat ini ada keluhan masyarakat. Kami memahami memang pada tahun ini suasananya kurang baik karena keterbatasan kemampuan anggaran. Tapi kita terus berusaha.
Ada jalan yang dibangun dengan CSR. Sampai begitu. Ini upaya-upaya yang kita berikan untuk beberapa kabupaten. Tapi memang belum semua kabupaten. Pada beberapa kabupaten yang kita lihat potensi masyarakat besar, pertanian besar, ya kita (provinsi) bantu.
Ada satu lagi yang sekarang kita lakukan, walaupun belum optimal, yaitu bagaimana keterpaduan antarmoda. Potensi ini sedang kita rintis, dan mulai dijalankan. Persoalan-persoalan ini sudah kita sampaikan pada berbagai kesempatan.
Pemerintah Daerah tentunya berupaya semaksimal mungkin. Apapun yang bisa dilakukan, akan dijalankan (untuk perbaikan infrastruktur). Terus terang saja, 20 sektor “ngambek” semua, karena dialihkan ke jalan. Ini karena kita memprioritaskan (pembangunan) jalan. Sehingga sector-sektor lainnya, tahun ini tidak ada belanja.
Saya menyampaikan ini terlalu bersemangat, karena ini persoalan serius. Kami sudah sering ke Pusat, menyampaikan proposal, hadir di berbagai pertemuan, lobi, dan sebagainya. Tapi ya (Pusat) nggak juga turun. (*)