Kamis, 02 Juli 2015

Gubernur Termuda. So what?



TANGGAL 2 Juni 2015 tepat setahun M. Ridho Ficardo menjabat sebagai Gubernur Lampung bersama Bakhtiar Basri sebagai Wakil Gubernur. Satu tahun kepemimpinan gubernur termuda ini layak dijadikan sebagai momentum untuk merefleksikan apa yang sudah dilakukan dan seberapa jauh dampak dan pengaruhnya terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Satu tahun pertama masa jabatan merupakan periode yang akan menentukan keyakinan masyarakat akan kinerja gubernur beserta jajarannya.
Saat dilantik pada 2 Juni 2014, banyak harapan masyarakat Lampung digantungkan di pundak Ridho dan Bakhtiar. Maklumlah, ini karena “darah muda” dan segar, pasca rezim pemerintahan sebelumnya di bawah Sjachroedin sebagai gubernur yang menjabat selama dua periode masa jabatan.
Berbagai sanjungan mengemuka saat Ridho dilantik sebagai gubernur. Sebutan sebagai gubernur termuda, bahkan menggemakan suara, sebagai gubernur termuda se-Asia.
Tapi Ridho tak larut dalam pujian dan sanjungan. Hal itu malah dijadikan sebagai kekuatan pemicu untuk terus mengabdi dan berkarya untuk Lampung.
Yang sering disampaikan oleh Ridho dalam banyak kesempatan, kalau memang muda, lantas apa? Muda usia yang penting adalah perannya terhadap kemajuan masyarakat dan daerah Lampung. Muda kalau tidak turut berpartisipasi dalam pembangunan, tidak ada artinya. Hal ini sangat disadari oleh Ridho. “Lha kalau gubernur termuda, so what,” ucapnya seraya tersenyum.
Saat ini, setahun gubernur termuda memimpin Lampung, saat tepat mengajukan “gugatan” dan berbagai pertanyaan, sudahkan dia memenuhi janji-janji kampanyenya? Saat kampanye, perbaikan infrastruktur dan pertanian menjadi prioritas program yang diusung Ridho bersama Bakhtiar. Tentu saja, tidak mengabaikan sektor lainnya, industri dan perdagangan, pendidikan, kesehatan, sosial keagamaan, dan sebagainya.
Kita tahu, di awal masa jabatan, kondisi infrastruktur khususnya jalan, di Lampung, rusak parah. Faktanya, akses jalan, baik jalan negara, jalan provinsi, maupun jalan kabupaten, banyak yang tidak layak. Tak terhitung lagi keluhan masyarakat disampaikan melalui berbagai media dan saluran.
Menanggapi kondisi dan keluhan masyarakat itu, respon Ridho sejalan dengan program prioritas yang diusung saat kampanye, memberi “angin surga” bagi perbaikan prasarana dan sarana jalan. Megaproyek Kotabaru di Jatimulyo, Lampung Selatan ditunda pembangunannya. Dasarnya adalah kebijakan pemerintah pusat untuk moratorium pembangunan gedung perkantoran pemerintahan. Alasan yang dikemukakan selain keterbatasan anggaran, dan anggaran yang ada akan dioptimalkan untuk perbaikan infrastruktur jalan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat.
Tapi faktanya, hingga kini perbaikan jalan belum juga dilakukan secara massif dan signifikan.
Di awal masa jabatannya, Ridho pernah meninjau lokasi kerusakan Jalan Ir. Sutami. Ruas jalan ini adalah salah satu contoh, sekali lagi, salah satu contoh, buruknya jalan di Lampung.
Ruas Jalan Ir. Sutami yang menghubungkan Bandarlampung dengan Kabupaten Lampung Timur melintasi Kabupaten Lampung Selatan. Kondisi jalan itu rusak parah. Kubangan sedalam sekitar 50 centimeter bahkan lebih, bertebaran di mana-mana, di badan jalan! Saat warga Lampung Timur sakit dan harus dirujuk ke rumah sakit di Bandarlampung, kendaraan yang membawa pasien tidak bisa melaju cepat, agar pasien segera mendapat pertolongan di rumah sakit yang memiliki fasilitas memadai. Ironis.
Dalam keadaan normal, ruas Jalan Ir Sutami dari Panjang (Bandarlampung) hingga Sribhawono (Lampung Timur) sepanjang sekitar 60 kilometer, bisa ditempuh dengan kendaraan selama sekitar satu jam. Kini, harus ditempuh empat jam! Naif.
Kondisi kerusakan jalan tersebut hanyalah salah satu contoh, buruknya infrastruktur jalan di Lampung. Di kabupaten lainnya, kondisi serupa banyak  ditemukan. Kerusakan jalan itu berlangsung bertahun-tahun. Adanya perbaikan tambal sulam sangat tidak signifikan dibanding kerusakan badan jalan.
Buruknya infrastruktur jalan menunjukkan “wajah asli” kondisi kekinian, yang bisa menjadi indikator buruknya sektor lainnya. Iklim investasi, sosial budaya, lingkungan hidup, dan pelayanan publik lainnya bisa dipastikan tidak jauh berbeda dengan kondisi jalan yang bopeng.  
Potret buram wajah infrastruktur jalan di Lampung dapat dijadikan tolak ukur sejauh mana kinerja jajaran Pemerintahan Provinsi Lampung.
Jalanan yang rusak berimbas pada terhambatnya distribusi barang, beratnya akses hasil pertanian, lambatnya pelayanan jasa, mandeknya pariwisata, buruknya akses informasi dan susahnya generasi muda mendapat pendidikan. Semua permasalahan itu bermuara pada penilaian kinerja gubernur dan jajarannya.
Saat ini, waktu yang tepat pula untuk memberikan masukan, kritik, dan saran konstruktif. Pemimpin yang matang, akan senantiasan mendengar kritik sepedas apapun itu dan dari manapun itu berasal. Saat ini dapat diibaratkan sebagai entri pint untuk mengetahui efektivitas birokrasi dalam mewujudkan pelayanan publik, pengembangan sumberdaya manusia, dan kesejahteraan masyarakat.
Pemerintahan dapat diibaratkan sebagai entitas pelayanan, khususnya pelayanan publik. Sebab, pelayanan yang sifatnya nonpublik bisa diselenggarakan oleh masyarakat. Apresiasi patut diberikan jika apa yang diberikan melebihi apa yang diharapkan oleh pengguna jasa layanannya, dalam hal ini masyarakat. Kalau pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah Provinsi Lampung di bawah “dirigen” Gubernur Ridho Ficardo kepada masyarakat Lampung masih belum bisa melebihi harapan, rasanya berat dan tidak banyak yang ringan untuk memberikan acungan jempol. Empat tahun ke depan, menjadi ajang pembuktian bahwa gubernur muda tidak sekadar muda, tetapi juga mampu mengelola pemerintahan dengan baik, membina birokrasi, mengayomi masyarakat, dan mengembangkan kehidupan sosial yang harmonis. Visi Lampung maju dan sejahtera bukan hal mustahil. (*)
Artikel ini dimuat di Harian Trans Lampung, Edisi Senin, 3 Juni 2015

Membela yang Lemah


SETIAP kota menghadapi problem yang terkait dengan pertambahan penduduk. Pertambahan jumlah penduduk tidak saja terjadi karena kelahiran, tetapi juga arus urbanisasi. Urbanisasi menjadi keniscayaan, ketika kehidupan di perdesaan juga banyak tekanan. Daya tarik kota dengan segenap ingar-bingar, seringkali menjadi alasan warga berbondong-bondong pindah ke kota.
Pemerintah kota, harus berjibaku dalam penyediaan lapangan kerja, pelayanan publik, penanganan kemacetan, pengelolaan sampah, pengendalian lingkungan hidup, dan sebagainya.
Dipastikan tidak ada satu pun pemerintah kota yang bisa secara paripurna mengelola kota menciptakan wajah kota yang ramah, asri, damai, nyaman, dan lestari, tanpa partisipasi warganya.
Kesenjangan sering kali terlihat menganga antara visi dan cita-cita menciptakan kota yang aman, damai, sejahtera, serta makmur warganya dibandingkan dengan fakta yang ada. Setidaknya, ada warga yang kurang beruntung, yang masuk kategori belum sejahtera, sering pula disebut keluarga miskin. Apapun istilah dan predikat yang disematkan, bagi kelompok ini, semestinya pemerintah kota memiliki kebijakan “memihak yang lemah”.
Ini bukan semata-mata membela yang lemah, dan mengabaikan yang benar. Tidak. Membela yang lemah sembari memberi arah yang benar. Apalagi kalau kelompok lemah itu memang sudah berada di “jalan yang benar”, sehingga sebenarnya yang diperlukan adalah memberi ruang kreasi dan aktivitas. Ini semua harus difasilitasi oleh pemerintah.
Kelompok lemah, kurang beruntung, yang tidak mendapat pembelaan, akan semakin terpuruk. Hal ini penting, karena kelompok yang kuat, memiliki modal dan sumberdaya untuk bertahan. Sementara, kelompok lemah dapat bertahan hidup saja sudah “beruntung”.
Membela yang lemah menjadi doktrin, yang semestinya menjadi spirit pemimpin.
Kelompok lemah dalam potret kota bisa berwujud pada pedagang kaki-lima, pedagang makanan keliling, anak jalanan, tunawisma, pekerja sektor informal lainnya, dan sebagainya.
Pedagang kaki-lima bukan untuk digusur, tetapi bagaimana diciptakan ruang untuk mereka beraktivitas. Ciptakan pasar, yang memungkinkan pengunjung datang dengan nyaman dan senang, dan bagi pedagang kaki-lima dapat menjajakan jualannya di tempat yang layak dan semestinya.
Anak jalanan perlu dibimbing agar tidak mengganggu pengendara, agar tidak melakukan tindakan melanggar hukum, dan mengisi hari dengan kegiatan positif.
Banyaknya pengangguran dan tunawisma bisa menjadi indikator belum optimalnya kinerja pemerintah kota. Maraknya pedagang kaki-lima yang mengokupasi trotoar, merampas hak pejalan kaki, mengganggu kenyamanan pengguna jalan, dan merusak estetika wajah kota, mencerminkan absennya pemerintah. Warga seakan-akan dibiarkan berjalan tanpa pemerintahan.
Warga yang selama ini beraktivitas di pasar, seperti di Pasar Smep dan Pasar Tugu, di Bandarlampung, saat pasar mereka dilakukan revitalisasi, kemudian ditempatkan di Tempat Penampungan Sementara (TPS). Proses pembangunan pasar yang teramat lambat, menyebabkan para pedagang harus semakin lama berada di TPS. Segenap sumber daya yang dimiliki para pedagang, sudah semakin habis menipis, selain karena sebagian sudah disetor ke pengembang, berjualan di TPS juga bukan pilihan mereka. Omset berjualan di TPS tidak sebaik berjualan di pasar. Semoga terwujud doktrin membela yang lemah, sambil menunjukkan cara yang benar. (*)
Artikel ini dimuat di Harian Trans Lampung Edisi Senin, 8 Juni 2015




Belajar dari Kepalsuan



PEKAN silam polemik ijazah palsu mewarnai pemberitaan media. Kasus ini mencuat setelah Menteri Riset dan Pendidikan Tinggi M. Nasir melakukan monitoring dan evaluasi pengelolaan perguruan tinggi. Dalam hal ini termasuk melakukan inspeksi. Kasus ini dilaporkan ke Polri, dan sedang dalam penanganan aparat hukum.
Ijazah palsu, bukan semata-mata ijazahnya palsu, tetapi juga termasuk yang asli tetapi diperoleh dengan cara tidak sesuai prosedur dan aturan. Ijazah seperti ini disebut aspal (asli tapi palsu) dan asal (asal-asalan).
Palsu dan kepalsuan, seringkali menjadi kecenderungan orang sebagai salah satu cara untuk menutupi kekurangan, tetapi tidak memiliki kemampuan dan kapasitas mencapai tingkat tertentu.
Untuk barang atau alat palsu yang sifatnya urgen dan berada dalam ranah pribadi mungkin tidak menjadi soal. Contohnya, gigi palsu, kaki palsu, atau rambut palsu.
Tetapi jika sudah menyangkut kepentingan publik dan merugikan negara, ini jelas berbahaya. Barang-barang palsu misalnya, selain merugikan negara karena tidak membayar pajak, juga merugikan konsumen karena kualitas barang tidak sesuai yang diharapkan atau standar yang dijanjikan.
Apalagi kalau yang palsu itu ijazah. Ini bukan hanya soal kerugiaan material, finansial, tetapi ini menyangkut moral dan etika serta hukum. Kerusakan moral dan etika akibat kepalsuan-kepalsuan seperti itu lebih berbahaya. Apalagi kalau itu menjadi sikap, kebiasaan, dan perilaku banyak orang. Jangan sampai palsu dan kepalasuan itu menjadi kegemaran, pilihan, apalagi menjadi tradisi dan budaya.
Ada banyak motif “pembeli” ijazah palsu, selain untuk prestise, ada juga yang bermotif ekonomi. Motif prestise biasanya dilakukan oleh mereka yang merasa rendah diri tampil tanpa embel-embel gelar. Ia ingin terpandang dengan status pendidikan, padahal itu palsu. Atau juga “gila gelar” dan ingin status sosial yang tinggi dengan cara pintas. Padahal status sosial yang tinggi harusnya ditunjukkan melalui sikap sosial seperti pergaulan, ramah tamah, kebersamaan, dan kekeluargaan.
Motif ekonomi dilakukan oleh mereka yang ingin meraup keuntungan dari ijazah yang digunakannya. Biasanya untuk memenuhi kepentingan administrasi kepegawaian. Ini terkait dengan pangkat dan jabatan dalam struktur organisasi formal. Jika digunakan oleh pegawai negeri sipil, akan merugikan negara, karena pangkat dan atau jabatan tidak sesuai dengan persyaratan. Terlih lagi kalau kinerja yang ditunjukkan juga tidak sesuai dengan target.
Ijazah harusnya menjadi tanda pencapaian tingkat tertentu seseorang dalam belajar. Itupun dalam proses belajarnya dilakukan dengan giat, tekun, dan terarah. Belajar dilakukan dengan daya upaya dan jerih payah untuk mengetahui dan menguasai kemampuan tertentu.
Proses belajar sesungguhnya berlangsung sepanjang hayat. Perlu pemahaman bahwa pendidikan sejatinya membentuk pribadi manusia menjadi lebih baik dan lebih sejahtera.
Kalau ijazah diperoleh dengan cara “membeli” atau cara-cara instan lainnya, itu artinya ia secara moral tidak lebih baik, pun dari segi kesejahteraan bathin makin tidak sejahtera. Mengapa? Ya karena ia membohongi dirinya sendiri dan sepanjang hayat ia akan dihantui oleh kebohongannya itu.
Persoalan ijazah palsu, kalau mau jujur, sebenarnya merupakan fenomena permukaan. Karena ada orang yang merasa butuh ijazah palsu, maka muncullah penyedia ijzah palsu. Terjadilah mekanisme pasar dan transaksi perdagangan. Yang lebih mengkhawatirkan adalah sikap dan tradisi pembiaran atau permisif terhadap kepalsuan. Proses belajar di lembaga pendidikan formal diatur sedemikian rupa seolah-olah semuanya memenuhi syarat, padahal hanya formalitas. Ada dalih perluasan akses pendidikan dan peningkatan angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi. Ini tidak boleh terjadi. Di sini diperlukan pengawasan dan pembinaan dari pemerintah dan elemen masyarakat lainnya. Pengguna ijazah palsu pastilah ia yang memiliki sikap serba boleh. Inilah bahayanya, ia akan menabrak aturan dan merasa boleh atau sah-sah saja.
Ijazah palsu merupakan laten, artinya gejala atau ancaman yang sewaktu-waktu dapat muncul kembali. (*)

Artikel ini dimuat di Harian Trans Lampung Edisi Senin, 15 Juni 2015

Calon Perseorangan atau Independen?



PEMILIHAN kepala daerah serentak di Provinsi Lampung yang rencananya digelar pada 9 Desember mendatang tergolong sepi peserta calon perseorangan. Calon perseorangan selama ini sering disebut sebagai calon independen. Semua peraturan pelaksanaan pilkada serentak menyebut dengan istilah calon perseorangan.
Calon independen “menjanjikan” perubahan sosial politik yang lebih kuat, di tengah kejenuhan terhadap parpol. Selama ini banyak kritik mampetnya peran pendidikan politik dari parpol. Pendidikan politik dari parpol selama ini lebih pada bujuk rayu untuk menjadi pemilih, bukan “memberikan” pilihan.
Calon perseorangan merujuk pada kepemilikan modal sosial politik dari sang calon, sehingga meyakini mampu meraih dukungan dan kemenangan dalam kontestasi polltik. Selanjutnya, dengan kemenangan itu mampu mengartikulasikan semua aspirasi rakyat, sekaligus mewujudkan visi dan misi yang diusung.
Calon perseorangan biasanya tidak menggunakan partai politik untuk maju dalam Pilkada karena kalah dengan calon lain, dan bukan karena pilihan yang berdasarkan idealisme politik. Sementara calon independen bersikap konsisten untuk tidak maju dari jalur partai politik karena yakin pada dukungan rakyat.
Faktanya, sangat sulit menemukan, - untuk tidak menyebut tidak ada-, calon perseorangan yang benar-benar independen. Dalam politik selalu ada pembicaraan, lobi-lobi, dan bargaining. Dalam politik yang ada interdependensi, hubungan-hubungan kepentingan, dan tawar-menawar.
Sepinya peserta pilkada dari jalur perseorangan ini berbeda dengan pilkada-pilkada sebelumnya, yang selalu “ramai” calon perseorangan (independen). Selain itu, setidaknya, juga tidak sama dengan gembar-gembor bakal calon yang meramaikan bursa pilkada, yang sebelumnya menyatakan akan maju melalui jalur perseorangan (independen).  
Bisa jadi, sepinya calon perseorangan setelah ada PKPU Nomor 9 Tahun 2015 yang membebankan berbagai persyaratan bagi calon perseorangan. Di antaranya dukungan Kartu Tanda Penduduk dan verifikasi faktual. Untuk jumlah dukungan berkisar 10 persen sampai 6,5 persen. Kabupaten/kota dengan penduduk sampai 250 ribu jiwa, wajib menyertakan dukungan sebesar 10 persen dari jumlah penduduk, dan kabupaten/kota dengan penduduk lebih dari 1.000.000 jiwa wajib menyertakan dukungan sebesar 6,5 persen dari jumlah penduduk.
Sebaran jumlah dukungan juga minimal di 50 persen kecamatan di satu kabupaten/kota. Selain itu, pada saat verifikasi oleh petugas Panitia Pemungutan Suara (PPS) juga mengharuskan adanya cap dan tandatangan basah dari setiap kelapa desa/lurah atau sebutan lainnya.
Pasangan calon perseorangan dalam pilkada serentak di Lampung  yang berhasil memenuhi syarat minimal dukungan jalur perseorangan sebelum tahap verifikasi dukungan kartu tanda penduduk (KTP), yakni, Pilkada Kota Bandarlampung; Muhammad Yunus - Ahmad Muslimin, 80.697 KTP.
Pilkada Kabupaten Pesawaran; Aries Sandi Dharma Putra (Bupati Pesawaran) - Mahmud Yunus  67 ribu KTP dan Okta Rijaya - Salamun Soliokhin 41.203 KTP.
Pilkada Kabupaten Lampung Tengah; Mudiyanto Thoyib (mantan bupati/wakil bupati Lampung Tengah) - Musa Ahmad 130 ribu KTP.
Pilkada Kabupaten Pesisir Barat; Jamal Nasir -Syahrial 24.993 KTP. Sementara di Metro diikuti calon perseorangan tiga pasangan dan Lamtim dua pasangan. Pilakada Kabupaten Way Kanan dan Lampung Selatan, minus calon perseorangan.
Menarik menyimak apa yang terjadi di Pesawaran. Bupati Aries Sandi Dharma Putra yang maju lagi dari jalur perseorangan, padahal secara politik Aries Sandi memiliki dukungan beberapa parpol. Selain itu, sebagai incumbent, Aries Sandi memiliki “modal” yang terbilang cukup. Mengapa lewat jalur perseorangan? Apa masih kurang dukungan parpol? Itulah politik.  Hitungan-hitungan politik memang bisa saja berubah setiap saat.
Nyatanya, ada dua parpol yang terang benderang mendukung Aries Sandi, yaitu Partai Nasional Demokrat.
Banyak di antara calon perseorangan, setidaknya memiliki relasi dengan parpol. Di antara calon perseorangan yang maju dalam pilkada di Lampung setidaknya juga aktivis parpol. Pilihan jalur perseorangan dapat dikatakan lebih bernuansa menghindari ribetnya bersaing di parpol. Jadi, memang sulit untuk mengatakan calon perseorangan adalah calon independen. (*)
Artikel ini dimuat di Harian Trans Lampung Edisi Senin, 22 Juni 2015


Bina Lingkungan



SALAH-satu fungi pemerintahan adalah melaksanakan pembangunan baik fisik mapun nonfisik. Sebagai eksekutif, atau pelaksana pembangunan, pemerintah dibekali dengan seperangkat kewenangan, aparatur, dan anggaran.
Wacana publik yang mengemuka belakangan ini khususnya di Kota Bandarlampung adalah karut-marut pelaksanaan program bina lingkungan (Biling). Program ini digagas Walikota dengan maksud agar anak-anak dari keluarga kurang mampu mendapat kesempatan pendidikan yang baik. Slogan “semua harus sekolah” menjadi alas logika program ini.
Secara substantif, program ini baik. Bahkan, kalau mau merujuk ke belakang, program Biling merupakan pengejawantahan amanat Undang-undang Dasar.
Semua orang sepakat bahwa anak-anak, generasi muda bangsa ini harus mendapat pendidikan yang baik. Mereka bagian dari masa depan bangsa.
Anaka-anak yang kini menempuh pendidikan dasar, maupun menengah, merupakan gambaran wajah bangsa ini, katakanlah 15 atau 30 tahun ke depan. Mereka harus dibekali perangkat pengetahuan, keterampilan, kemampuan, dan keahlian, sehingga dapat mengisi pembangunan. Mereka akan menjadi pemicu  dan pemacu kemajuan bangsa.
Mereka harus mendapat kesempatan memperoleh pendidikan yang baik, tanpa terkendala faktor keterbatasan ekonomi keluarga. Pemerintah sesuai dengan fungsinya, wajib memberi akses yang seluas-luasnya.
Bagaimanampun indah dan gemilangnya visi dan misi yang diemban pemimpin, tidak selalu selaras dengan kenyataan di lapangan. Banyak faktor yang memengaruhi pelaksanaan suatu program. Memang, dalam tataran pelaksanaan, Biling menuai banyak persoalan.
Secara umum, ada dua persoalan dalam pelaksanaan Biling. Pertama soal besaran kuota, dan kedua lemahnya dalam verifikasi data calon peserta didik.
Dua persoalan ini berimbas pada persoalan-persoalan lain, seperti “kecemburuan” sekolah swasta, psikologis peserta didik di sekolah, mereka yang diterima bukan yang berhak, dan sebagainya.
Masalah “kecemburuan” sekolah swasta tidak bisa dianggap sepele. Pemerintah daerah tidak bisa hanya menjawab dengan mengatakan, sekolah-sekolah yang terancam gulung tikar karena minimnya pendaftar karena manajemen sekolah mereka kurang baik. Apalagi dengan membuat perbandingan yang tidak sebanding, dengan menunjukkan contoh, bahwa masih banyak sekolah-sekolah yang baik dan fasilitas lengkap diminati calon peserta didik.
Bagaimanapun, peranan sekolah swasta tidak bisa dikesampingkan. Sekolah-sekolah yang diselenggarakan masyarakat berperan membantu pemerintah memperluas akses pendidikan. Janganlah karena program Biling, sekolah-sekolah swasta itu dibiarkan tanpa arah. Kebijakan seperti itu secara nilai tidak bijaksana. Apalagi kalau mau dicermati bahwa penyelenggaraan program Biling didanai dari dana masyarakat juga.
Persoalan yang paling krusial dari Biling adalah adanya mereka yang seharusnya tidak masuk program Biling, tetapi faktanya mereka diterima di sekolah melalui jalur Biling. Ini kasat mata. Fakta terpapar di depan mata mereka yang lebih berhak diterima.  
Kalau kita mau berpikir sederhana, kuota jumlah siswa jalur Biling harus didasarkan pada indikator-indikator yang jelas. Sedangkan memerangi mereka yang “merebut” hak orang-orang yang kurang mampu, harus ada ketegasan dari pemimpin tertinggi di daerah. Ketegasan itu harus turun ke para pejabat di Dinas Pendidikan, sampai ke jajaran di bawahnya. Selama ini persoalan seperti ini berulang setiap tahun. Tidak ada efek jera.
Ini persoalan etika dan adab. Mereka yang “merebut” hak orang-orang yang kurang mampu, sudah menggadaikan harkat dan martabatnya, demi dapat masuk kesekolah negeri. Mereka mungkin sedang tidak punya rasa malu. (*)