Senin, 04 April 2016

Kejujuran di Atas Prestasi



BEBERAPA tahun lalu, ujian nasional (UN) bisa menjadi semacam histeria massa. Semua kalangan terlibat dalam polemik UN. Terutama para orangtua/wali siswa dan sekolah. UN menjadi hajat tahunan yang berskala nasional.
Di masa lalu UN menjadi semacam momok bagi kebanyakan siswa. Berbagai cara ditempuh agar dapat lulus UN. Bahkan kegiatan berbau mistis kerap mewarnai jelang dilaksanakannya UN. Pasalnya, UN menjadi penentu kelulusan. Tidak lulus UN bisa berarti beban mental bagi siswa, tambahan beban biaya bagi orangtua, dan rusaknya reputasi sekolah.
Tapi, sejak 2015 lalu, UN tidak lagi menjadi penentu kelulusan. UN menjadi sarana pemetaan mutu pendidikan. Yang belum mencapai prestasi baik akan dilakukan pembinaan. UN kini menjadi sarana mengetahui kelemahan-kelemahan dan kekuatan-kekuatan dalam penyelenggaraan pendidikan.
Pelaksanaan UN tahun ini masih menggunakan dua metode yaitu UN berbasis komputer (UNBK) dan UN berbasis kertas. Peserta UNBK tahun ini meningkat drastis di berbagai wilayah. Sebanyak 7,6 juta siswa SMP dan SMA Sederajat akan mengikuti UN tahun ini.
Mencermati fenomena kegelisahan di masyarakat dalam menghadapi UN, pantas diingatkan kembali hakikat pendidikan. Bahwa pendidikan sejatinya kebutuhan dasar setiap orang. Penyelenggaraan pendidikan dalam arti luas adalah kewajiban negara bersama masyarakat (swasta).
Dalam masyarakat modern, tugas mendidik anak-anak sebagai generasi penerus tidak cukup hanya dilakukan dalam lingkup keluarga. Maka kemudian sistem persekolahan dipercaya sebagai salah satu cara yang baik untuk menyelenggarakan pendidikan.
Pendidikan diorientasikan untuk mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan. Pendidikan adalah membangun sikap-sikap mulia, nilai-nilai yang diyakini kebenarannya, mental mandiri dan karakter bangsa.
Pendidikan secara sederhana dapat dikatakan untuk memanusiakan manusia, meninggikan derajat kemanusiaan. Pendidikan adalah membangun pribadi-pribadi yang berakhlaq mulia, berbudi luhur, menghargai sesama dan mencintai lingkungannya. Pendidikan adalah membangun jiwa-jiwa pengabdi dengan dilandasi semangat kemanusiaan.
Lantas, apa artinya pendidikan jika pelaksanaan ujian masih diwarnai kecurangan? Apa gunanya pembelajaran bertahun-tahun bila dalam ujian melalukan apapun untuk mencapai status “berprestasi”?
Selain kontraproduktif dengan tujuan pendidikan, ia mendegradasikan nilai-nilai kemanusiaan. Sikap, kecenderungan, dan perilaku curang dalam ujian jelas mengkhianati dedikasi dan pengabdian para pendidik sejati. Selain itu, ia juga mendzolimi mereka yang berjuang keras mencapai prestasi dengan kejujuran.
“Prestasi” yang diraih dengan kecurangan tidak akan pernah menghasilkan kinerja yang baik dalam masyarakat.  Ia justru akan menjelma menjadi bibit-bibit kecurangan-kecurangan yang lebih besar.
Jika demikian, maka potensi terjadinya kerusakan akan lebih besar. Pendidikan yang seharusnya menjadi lahan menyebai nilai-nilai kejujuran justru menjadi lahan perusak masa depan.
Kita berharap semoga penyelenggaraan UN semakin baik, tidak ada kecurangan, tidak ada intrik, dan tidak ada ambisi elit yang dipaksakan.
Ketidakjujuran bukan karakter bangsa kita.  Kejujuran harus berada di atas prestasi. Tidak ada peradaban yang dibangun dengan cara curang. (*) (Artikel ini dimuat di Harian Trans Lampung, Edisi Senin, 4 April 2016 hlmn 1)