Senin, 18 Januari 2016

Menjaga Citra Guru




ADA satu pertanyaan reflektif yang layak diajukan kepada generasi muda masa kini; apakah mereka punya cita-cita menjadi guru? Pertanyaan ini dimaksudkan untuk menggugah kembali penilaian dan penghargaan terhadap profesi guru, sekaligus mengelaborasi minat dan hasrat anak-anak muda untuk menjadi pendidik.
Citra guru dibentuk oleh sikap dan tindakan guru sehari-hari. Persepsi terhadap guru mengalami perkembangan dari waktu ke waktu.
Guru yang menjalani tugas dan kewajibannya didasari panggilan jiwa akan lebih menunjukkan sikap yang memang layak “digugu dan ditiru” (Jawa: dipercaya dan diteladani). Sosok guru yang sabar dalam mendidik, hangat dalam hubungan sosial, dan selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan. Ia akan mampu mengangkat harkat dan martabat guru, mampu bertahan di tengah perubahan paradigma materialisme, dan menjaga marwah serta integritas sebagai sosok pengabdi kepada kemanusiaan.
Menjadi guru di era teknologi informasi berbeda jauh dengan guru era 1970-an. Kemajuaan yang demikiaan cepat seringkali menimbulkan guncangan integritas dan krisis eksistensi. Fase inilah yang disebut fase ujian terbesar dalam melakoni profesi mulia. Oleh karena itu, kita mungkin sepakat bahwa prasyarat untuk menjadi guru memang agak berbeda dibanding profesi lain. Artinya, menjadi guru harus didasari semangat pengabdian untuk kemanusiaan, tak mudah silau dengan kemilau materi, santun dalam tutur kata, sikap,  dan tingkah laku yang mencerminkan penjaga nilai-nilai luhur bangsa. Suatu perwujudan kepribadian yang benar-benar nyata yang keluar dari hati nurani dan dilandasi basis pendidikan yang memadai.
 Pembentukan guru juga harus melalui proses khusus yang memang membangun jiwa dan semangat keguruan dalam suatu kancah “kawah candradimuka”. Ia dibekali dengan beragam kemampuan baik keterampilan lunak (soft skill) maupun keterampilan keras (hard skill). Membangun jiwa dan semangat guru seperti itu tentu tak bisa cukup hanya dalam hitungan bulan atau hanya satu tahun. Proses itu membutuhkan waktu yang cukup lama, intens, dan kontinu dalam suatu iklim pendidikan tenaga keguruan yang kondusif.  
Tak cukup hanya memiliki kecerdasan intelektual maupun kecerdasan sosial yang istimewa. Ia tak hanya mumpuni di satu bidang ilmu pengetahuan.
Figur guru hendaknya mencakup semua aspek kecerdasan, termasuk kecerdasan emosional maupun kecerdasan spiritual. Dengan begitu ia akan mengelola belajar dan pembelajaran dengan cara yang kreatif dan membangun generasi yang inovatif serta kreatif pula. Ia senantiasa mengisi ruang kosong tekanan kebutuhan hidup di era modern kini, sekaligus melihat masa depan dengan preskripsi yang terarah dan terukur.
Namun demikian bukan berarti sosok guru adalah sosok manusia sempurna, tanpa cela dan cacat. Ia adalah manusia biasa yang memiliki kemauan untuk menjadi manusia pembelajar dan membelajarkan dengan sepenuh hati. Ia adalah manusia yang menanam dan menabur kebaikan, tanpa pamrih, dan tetap manusia yang setia di jalannya.
Sekali lagi kita mungkin sepakat bahwa generasi produktif saat ini dibentuk oleh para guru di era 1960-an atau 1970-an, dan wajah bangsa ini 20 atau 40 tahun ke depan akan diwarnai oleh para pendidik saat ini. (*)

Standar Pelayanan Minimal



(Artikel ini dimuat Harian Trans Lampung, edisi Senin, 4 Januari 2016)

PEMERINTAH hadir sebagai wujud tanggung jawab memberikan pelayanan publik kepada masyarakat. Pemerintah wajib menciptakan adanya pelayanan publik yang efektif, berkualitas, tepat sasaran, dan bermanfaat bagi masyarakat. Itulah esensi mencapai kesejahteraan.
Warga masyarakat memiliki hak mendapatkan pelayanan publik untuk 15 urusan yang menjadi kewajiban pemerintahan, dan yang wajib memiliki Standar Pelayanan Minimal (SPM).
Sebuah pelayanan yang didapatkan oleh seluruh rakyat Indonesia, yang memiliki standar minimal, tertuang dalam Undang-undang (UU) 32/2004 tentang Pemerintah Daerah Pasal 11 ayat (4) yang berbunyi “Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib berpedoman pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh pemerintah”.
SPM dimaksudkan sebagai instrumen untuk memastikan dan menjamin mutu serta akses layanan dasar masyarakat secara merata.  
Persoalan praktik layanan di lapangan tidak semudah teori ataupun regulasi. Setiap hari kita masih disuguhi berbagai keluhan masyarakat terhadap layanan publik. Lebih miris lagi kasus-kasus korupsi juga masih mewarnai peristiwa di negeri ini.
Ada beberapa hal mengapa masyarakat yang mendapatkan dan merasakan pelayanan publik yang tidak berkualitas, tidak menyampaikan pengaduan maupun keluhannya. Pertama, terkadang tidak punya cukup waktu dan kesempatan, dan keberanian untuk menyampaikan keluhan. Apalagi kalau keluhan yang akan dia sampaikan itu terkesan sepele dan kasuistik, walaupun sesungguhnya itu penyimpangan terhadap hal yang prinsip.
Kedua, seringkali warga masyarakat secara individual kurang memiliki pengetahuan untuk mengadukan pelayanan yang dirasakan kurang berkualitas, tidak memenuhi standar, dan tidak profesional. Pengetahuan yang dimaksud di antaranya mengenai prosedur, mekanisme, maupun ke mana ia harus mengadukan keluhannya.
Dan yang paling mendasar adalah faktor kepercayaan dan kepastian apakah pengaduannya ditindaklanjuti secara tuntas dan proporsional. Selain bagian besar warga juga tidak punya ccukup “keberanian” untuk mengungkap masalah-masalah pelayanan yang tidak memenuhi standar minimal.
Ini artinya, meskipun sudah memiliki SPM, sebuah instansi pelayanan juga harus betul-betul memastikan aparaturnya memiliki kemampuan, kecakapan, dan keramahan, dalam memberikan pelayanan. Perlu disosialisasikan secara terus menerus dan masif, tentang apa itu SPM, bagaimana mekanisme keluhan, dan adanya kepastian bahwa setiap pengaduan akan ditindaklanjuti, bukan malah “merepotkan” yang menyampaikan keluhan. (*)