Senin, 12 Oktober 2009

MATEMATIKA UN DAN UN MATEMATIKA

Matematika UN dan UN Matematika Oleh Dwi Rohmadi Mustofa (pemerhati pendidikan, tinggal di Bandarlampung) Artikel ini pernah dimuat di Tabloid FOKUS tahun 2007 Semua orang tua wali siswa yang menghadapi ujian akhir sekolah, dalam bulan-bulan ini dapat dipastikan lebih sibuk. Ujian Nasional alias UN, tak pelak lagi, menguras energi siswa kelas VI maupun kelas IX dan kelas XII. Demikian juga para orang tua siswa dan sekolah. Wacana passing grade atau nilai minimal untuk dapat dinyatakan lulus, menggema sejak tahun 2006 lalu, melalui ketetapan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Tahun 2007 ini, passing grade untuk tiga matapelajaran yang diujikan, nilai rata-rata minimal 5,00. Sebelumnya, nilai rata-rata untuk tiga matapelajaran yang diujikan adalah 4,10. Bedanya, tahun ini untuk satu matapelajaran yang nilainya 4,25 masih ditolerir asal diimbangi dengan nilai dua matapelajaran lainnya yang lebih besar sehingga memenuhi persyaratan nilai rata-rata 5,00. Padahal, tahun lalu, jika satu matapelajaran saja mendapat nilai di bawah 4,10 maka siswa tersebut dinyatakan tidak lulus. Khusus untuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), nilai minimum matapelajaran kompetensi yang diujikan minimal 7,00. Dampak Passing Grade Kebijakan ini tampaknya mengakomodasi keragaman aspek kemampuan siswa. Memang benar, tidak semua siswa memiliki kemampuan dan minat yang sama untuk tiga matapelajaran yang di-UN-kan. Dan di sinilah hakikat pendidikan, yaitu penghargaan atas perbedaan yang merupakan sifat melekat (pembawaan) setiap orang. Masih ingat beberapa kasus lalu? Siswa tidak lulus kemudian berebut mencari ijazah lewat program Paket B dan C. Jalan keluar ini pun menyisakan masalah. Program ujian penyetaraan menimbulkan gejolak karena biayanya tinggi dan dibebankan kepada peserta. Selanjutnya, pemegang besluied paket C tidak dapat mengikuti program ujian masuk perguruan tinggi negeri. Selain itu, selesainya penyelenggaraan paket C, melewati batas waktu penerimaan mahasiswa PTN! Passing grade juga menjadi momok bagi sekolah. Tahun kemarin, muncul ”tim sukses” di beberapa sekolah. Hebatnya lagi, ini terjadi merata di berbagai daerah di Indonesia. Sayangnya, tak terdengar lagi bagaimana kelanjutan episode ”tim sukses” tersebut. Satu lagi yang menjadi tugas berat sekolah. UN tahun 2007 dilaksanakan bulan April. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, UN digelar dalam bulan Mei. Sekarang, guru dituntut kerja ekstra; menyiapkan siswa mengikuti UN sehingga dapat lulus. Paling tidak, persentase kelulusan siswa di satu sekolah lebih baik dari tahun kemarin. Padahal, waktunya makin diperpendek, sedangkan beban kurikulum sama. Dalam kondisi seperti itu, ketika semua pihak sibuk mempersiapkan UN, maka di situ muncul kompetisi. Siswa pun berbondong-bondong mengikuti bimbingan belajar (bimbel). Pelajaran tambahan juga diselenggarakan di beberapa sekolah. Singkatnya, beban di pundak guru bertambah. Kecemasan akan hasil UN anak-anak juga menghinggapi para orang tua siswa. Soalnya, kalau sampai tidak lulus, biaya yang harus mereka keluarkan untuk mengulang kelas pasti tidak sedikit. Belum lagi ”rugi waktu” satu tahun, dan ketidakpastian apakah tahun depan pasti lulus. Para orang tua yang cemas akan hasil UN anak-anak mereka, pun mengikutseratakan anak-anaknya dalam bimbingan belajar di luar sekolah. Konsekuensinya, mengeluarkan biaya tambahan untuk membayar biaya bimbingan belajar. Lembaga bimbel yang menjamur pun kebanjiran peminat. Inilah mata rantai dan dampak dari kebijakan UN yang ditetapkan BSNP. Secara normatif, memang harus diakui bahwa semua itu dimaksudkan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Tetapi, biaya yang ditanggung demikian besar, di mana sebagian besar dari biaya itu ditanggung oleh orang tua wali siswa. Matematika Ada apa dengan matematika? Kita mahfum, matematika adalah salah satu matapelajaran yang ditakuti oleh sebagian siswa. Padahal, semestinya, tidak demikian. Faktanya adalah, semua lembaga bimbel menawarkan bimbingan belajar matematika. Di sisi lain, nilai rata-rata terendah adalah matapelajaran matematika. Dengan demikian, matematika menjadi perhatian utama para pihak terkait UN; mulai dari guru, siswa, dan orang tua. Fenomena ini ditangkap oleh lembaga bimbel sebagai peluang untuk menyelenggarakan bimbel. Sejatinya, matematika ada di sekitar kita. Bahkan melekat dalam diri kita. Jari tangan misalnya, berjumlah 10. Jumlah ini menginspirasi lahirnya bilangan persepuluhan. Padahal, kita bisa saja menciptakan bilangan berbasis berapa saja, tidak mesti persepuluhan. Ketika transaksi jual beli, semuanya adalah matematika. Memasang keramik untuk lantai, membutuhkan matematika, agar lahir estetika dan efisiensi. Berapa luas lantai yang akan dipasang keramik, berapa ukuran luas keramik, dan berapa banyak keping keramik yang dibutuhkan. Inilah matematika. Ketika kita bepergian ke suatu tempat, berapa kira-kira jarak dan waktu tempuh yang dibutuhkan. Inilah matematika. Memasak nasi untuk satu keluarga dengan lima anggota keluarga, untuk konsumsi satu hari dengan makan tiga kali, misalnya, dibutuhkan kilogram beras. Ini juga matematika. Lalu, kenapa matematika harus ditakuti? Matematika memang membutuhkan kesabaran. Memberikan pelajaran matematika juga harus dengan kesabaran. Pada dasarnya, matematika sama juga dengan matapelajaran lainnya. Ia adalah aspek dasar yang dibutuhkan sebagai bekal kehidupan di masa depan. Keterampilan bermatematika harus ditanamkan sejak dini dengan cara yang benar. Guru matematika yang tidak sabaran, membuat anak-anak trauma, dan ”takut” terhadap matematika. Penyajian matematika yang kaku dan tidak menggugah minat siswa, hanya akan melahirkan sikap antipati siswa terhadap matematika. Beban Guru Matematika Dari gambaran tersebut, dapat dimengerti beban berat yang diemban para guru matematika, terutama guru yang mengajar di kelas VI, IX, dan XII. Mereka dituntut untuk dapat membimbing siswa sehingga mampu mengerjakan soal-soal matematika yang di-UN-kan, sementara prakondisi yang ada menunjukkan sebaliknya. Belum lagi masalah bahwa siswa yang akan mengikuti UN ini, di kelas-kelas sebelumnya diajar matematika oleh guru lain. Menghadapi UN tahun 2007 ini, semoga perjuangan para guru tidak sia-sia. Dan semoga para guru juga terbebaskan dari target-target persentase kelulusan yang memaksa mereka menempuh langkah-langkah tidak elegan, seperti tahun sebelumya; ”tim sukses”. Selamat bekerja. (*)

REVITALISASI PENDIDIKAN DI MADRASAH

Revitalisasi Pendidikan di Madrasah Dwi Rohmadi Mustofa, S.Pd. (Artikel ini telah dipublikasikan pada Tabloid FOKUS, Tahun 2006) Awal tahun 1980-an, di kampung saya, di daerah Lampung Timur, ada tiga SD negeri dan satu madrasah ibtidaiyah swasta serta satu SD Muhammadiyah. Pada waktu itu, masing-masing SD di ketiga SD negeri itu siswanya mencapai ratusan. Sedangkan di madrasah ibtidaiyah swasta dan di SD Muhammadiyah itu, seluruh siswanya dari kelas 1 hingga kelas 6 jumlahnya hanya puluhan. Di akhir tahun 1990-an, SD Muhammadiyah tidak beroperasi lagi. Sedangkan madrasah ibtidaiyah kondisinya tak jauh beda dengan tahun 1980-an. Nah kalau SD negeri itu, tetap ada dan siswanya makin banyak. Itu dari segi kuantitas. Dari sisi sarana dan prasarana, terdapat kesenjangan yang luar biasa. Kalau SD negeri berdinding tembok diplester dan lantai semen, yang SD Muhammadiyah dan madrasah ibtidaiyah berdinding papan dan berlantai tanah. Gambaran kondisi sekolah tersebut ternyata masih berlangsung sampai sekarang. Dan saya yakin, kondisi serupa terjadi di berbagai daerah, bukan hanya di kampung saya. Dewasa ini, ketika era otonomi daerah merajai, dampak positif bagi perkembangan madrasah masih kurang menggembirakan. Dalam berbagai pemberitaan media, kondisi terpinggirkan (marjinal) madrasah sebagai akibat diskriminasi terhadap madrasah. Bahkan, di berbagai forum pertemuan baik pejabat Departemen Agama maupun kalangan madrasah itu sendiri, topik ”diskriminasi” tak habis-habisnya jadi pokok pembicaraan. Tapi lagi-lagi hasilnya hanya statemen pasca pertemuan itu. Langgengnya diskriminasi dapat diduga karena tidak adanya kebijakan sistematis baik menyangkut anggaran maupun kebijakan strategis lainnya. Pada sisi lain kalangan pengelola madrasah negeri maupun swasta tetap tak berdaya. Di era otonomi daerah, ketika bidang pendidikan sebagian besar sudah diurus/diserahkan ke daerah (Dinas Pendidikan), pembinaan madrasah dari madrasah ibtidaiyah hingga aliyah bahkan sampai perguruan tinggi/IAIN, masih tetap di bawah Departemen Agama. Dalam hal kurikulum, penyediaan sarana dan prasarana, tenaga kependidikan dan sebagainya di madrasah dan perguruan tinggi agama, Departemen Agama merupakan leading sector. Ini tentu saja berbeda dengan sekolah umum baik negeri maupun swasta, di mana Daerah berperan besar dalam penentuan kebijakan. Dalam konteks ini, Departemen Pendidikan Nasional bertindak selaku regulator, sedangkan implementasinya lebih banyak menuntut partisipasi dan kreativitas Daerah. Memang harus diakui bahwa era otonomi daerah, menimbulkan dikotomi Pusat dan Daerah. Sekarang, terminologi Pusat dan Daerah menjadi istilah semakin akrab di telinga kita. Pertanyaan muncul manakala output sekolah-sekolah agama tersebut (madrasah hingga perguruan tinggi agama [termasuk IAIN/STAIN]) diharapkan memiliki profil yang sama dengan mereka yang sekolah di sekolah umum. Sekadar ilustrasi, lulusan madrasah ibtidaiyah dapat masuk ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) umum, demikian seterusnya. Mungkin agak berbeda dengan perguruan tinggi agama yang sudah memiliki spesifikasi profil lulusan yang diharapkan, karena mereka akan segera memasuki dunia kerja. Padahal di sisi lain, isi kurikulum yang dipakai di madrasah dan sekolah umum berbeda, karena institusi induk yang menjadi leading sector juga berbeda. Sudah saatnya kini kita meninjau kembali model struktur dalam pembinaan madrasah ini, guna memperpendek rentang kendali serta efisiensi dan efektivitas. Selain itu, potensi dan kreativitas Daerah juga agar dapat lebih memperoleh tempat dalam memajukan pendidikan di daerah masing-masing. Salah satu contoh kongkret yang mirip dengan topik ini adalah penyelenggaraan ibadah haji oleh Departemen Agama. Sejak beberapa tahun lalu sudah banyak pihak yang mengusulkan agar penyelenggaraan ibadah haji dilaksanakan oleh suatu badan tersendiri atau departemen tersendiri. Belakangan pemerintah memutuskan bahwa penyelenggaraan ibadah haji masih menjadi tanggung jawab Departemen Agama (Radar Lampung, 8 Februari 2007). Jika siklus ibadah haji yang setahun sekali dengan jumlah jemaah sekitar 205 ribu jemaah saja muncul tuntutan agar ”direformasi”, apalagi dengan proses pendidikan dan pembelajaran di madrasah di seluruh Indonesia. Madrasah di Indonesia memang memiliki sejarahnya sendiri. Bermula ketika para orang tua menghendaki agar anak-anaknya memiliki bekal pengetahuan agama yang kuat. Waktu itu, mereka menitipkan anak-anak itu pada surau, majelis taklim, masjid dan sejenisnya di mana di dalamnya ada pelajaran mengaji. Lambat laun, model ini melembaga hingga menjelma menjadi madrasah yang kita kenal sekarang ini. Pemerintah semula menetapkan bahwa madrasah adalah sekolah umum dengan ciri khusus keagamaan. Tapi, apa manfaat yang sudah bisa dirasakan kini? Beberapa Masalah Dalam hal penyelenggaraan pendidikan, dikaitkan dengan pendidikan di madrasah dan otonomi daerah, terdapat beberapa poin yang menuntut perhatian besar. Bagaimana manajemen pendidikan di madrasah dan perguruan tinggi agama dilaksanakan? Bagaimana peran pemerintah dan masyarakat dalam memajukan pendidikan di madrasah dan perguruan tinggi agama? Bagaimana profil lulusan madrasah dikomparasikan dengan lulusan sekolah umum. Apakah pengelolaan madrasah diserahkan ke Daerah dan regulasi oleh Departemen Pendidikan Nasional. Di tingkat lulusan perguruan tinggi agama, berapa formasi rekrutmen calon pegawai negeri sipil (CPNS) setiap tahunnya yang tersedia bagi mereka? Melalui tulisan ini kiranya dapat memetakan dinamika pendidikan di madrasah dan perguruan tinggi agama. Para pihak yang terlibat dalam pengelolaan pendidikan di madrasah dan perguruan tinggi agama dan pengambil kebijakan bidang pendidikan, diharapkan dapat selalu memperoleh inspirasi sehinga kebijakan yang diambil dapat lebih konstruktif dan implementatif. Dengan demikian dikotomi Pemerintah Pusat dan Daerah; dikotomi madrasah dan sekolah umum dapat menjadi titik tolak yang kokoh dalam mengelola pendidikan di masa depan. Menghilangkan Stigma Diskriminasi Sudah menjadi rahasia umum, bahwa madrasah bukan pilihan pertama dan utama para orang tua untuk menyekolahkan putra-putrinya. Hanya sebagian kecil saja orang tua kini yang mengidamkan anaknya dapat bersekolah di madrasah atau perguruan tinggi agama. Di Lampung, tengoklah kapasitas IAIN dan jumlah peminatnya setiap tahun. Belum lagi kalau kita mau menelisik lebih jauh, ”minat dan motivasi” pendaftar ke IAIN. Sudah saatnya kini menghilangkan diskriminasi (sadar atau tidak) terhadap madrasah dibanding sekolah umum. Kemudian yang lebih penting lagi adalah membebaskan sekolah (pendidikan) dalam cengkeraman birokrasi yang bertele-tele, gamang, atau inkonsisten. Pemerintah juga hendaknya memberikan alokasi anggaran yang cukup dan proporsional bagi pendidikan di madrasah ini. Sebenarnya, kalau mau jujur, tidak terlalu menjadi persoalan siapa atau instansi mana yang bertanggung jawab dalam pembinaan madrasah, asalkan pada tingkat operasional tercipta pemahaman dan kesetaraan perlakuan. Hampir tidak pernah kita dengan kampanye atau sosialisasi (sounding) bahwa madrasah sama dengan sekolah umum; baik dalam penyediaan penganggaran, penyediaan prasarana dan sarana, pembinaan kelembagaan, proses belajar-mengajar, dan lulusannya. Berbagai persoalan tersebut, menjadi PR bagi kepala daerah, bupati/walikota, gubernur, untuk dapat ”memperhatikan” bagaimana madrasah dapat menjadi pilihan utama para orang tua menyekolahkan putra-putrinya. Warning yang sama juga perlu menjadi atensi bagi para pengelola madrasah. Memang dalam pengelolaan pendidikan di semua jenjang, kunci jawaban yang paling penting adalah peningkatan kualitas secara terus menerus (continuous quality improvement). Di kalangan madrasah, boleh dikatakan terdapat bahaya laten ”krisis identitas”, yang dipicu oleh berbagai stigma diskriminasi yang berlangsung lama. Jika saja kita dapat menghilangkan diskriminasi itu, maka idealisasi akan pewarisan nilai-nilai pendidikan agama dapat terjaga, dan yang lebih utama adalah lahirnya kader-kader pemimpin dengan basis pendidikan agama yang andal. Kita tentu tak ingin terjadi krisis kader bangsa yang memiliki basis pendidikan agama yang kuat, yang memegang teguh ajaran agama dan menerapkannya di lingkungannya masing-masing. Kita jelas tak ingin mimpi buruk menjadi kenyataan, yaitu ”hilangnya” generasi yang santun, cerdas, religius, dan terampil. Kita pasti tak mengidamkan profil generasi muda yang cerdas saja tapi kering moralitas. Diskursus yang berkembang adalah untuk menciptakan kader dai dan ulama tidak mesti melalui madrasah/IAIN/STAIN. Masih banyak pola pendidikan nonformal yang menyediakan fasilitas untuk mencetak dai dan ulama, yaitu pondok pesantren modern dan berbagai pelatihan. Penulis mengundang atensi dari semua pihak untuk urun rembug dan berpolemik dalam masalah ini. Harapannya, bukan mencari kambing hitam, tetapi membangun rumah bagi pendidikan anak-anak kita di masa depan yang lebih baik. (dwi rohmadi mustofa)

MARI DISKUSIKAN TEMA-TEMA BERIKUT INI

1. Masalah pendidikan di Indonesia diakui sangat kompleks, baik pada tataran pelaksanaan maupun pada level kebijakan. Benarkah semua masalah itu berakar pada kualitas guru? Jika ya, bagaimana dengan kualitas aparatur birokrasi, dari departemen sampai dinas-dinas di kabupaten/kota, bahkan sampai mereka yang disebut pengawas/penilik/kepala UPT di kecamatan-kecamatan? Lalu apa kunci untuk mulai membongkar dan memperbaiki sistem pendidikan? 2. Bagaimana upaya meningkatkan kualitas/mutu guru yang tersebar luas di seluruh wilayah negeri ini? Cukupkah mereka dengan di-S1-kan, dengan tetap melaksanakan tugasnya, dan dosen yang mendatangi mereka (kelompok-kelompok belajar mahasiswa)? Seberapa signifikan perubahan yang dihasilkan dari model ini? 3. Di perguruan tinggi telah diwacanakan dan mulai dilaksanakan Badan Hukum Pendidikan (BHP) dan Badan Hukum Milik Negara (BHMN)untuk kampus-kampus negeri. Hal ini menimbulkan dua kutub pro-kontra. Jika Anda pro, apa penjelasannya? Dan jika Anda kontra, lalu ide apa dan bagaimana yang Anda tawarkan untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi?

KONSTELASI PERUBAHAN MENUJU PARADIGMA BARU PENDIDIKAN DI INDONESIA

Dwi Rohmadi Mustofa Teknologi Pendidikan Sistem pendidikan di masa lalu dipandang belum memberikan hasil ideal, salah satunya karena bersifat sentralistik. Secara makro, kebijakan pendidikan bersifat topdown. Program dan kebijakan disusun kurang memberi ruang bagi lahirnya aspirasi masyarakat. Sekolah swasta dianggap pesaing sekolah negeri. Akhirnya, kebijakan yang telah ditetapkan dan menjadi keputusan Pemerintah Pusat kurang mencerminkan kondisi riil kebutuhan masyarakat. Celakanya, pelaksananya juga harus menerima apa adanya. Oleh karena itu maka wajar jika segala sesuatu yang terjadi dalam pusaran pendidikan bersifat seragam. Hasilnya, output dan outcome lembaga pendidikan pun “seragam”. Dalam kegiatan persekolahan, guru menjadi pusat proses dan pusat orientasi belajar. Paradigma baru menghendaki masyarakat menjadi sumber informasi kebutuhan terhadap bagaimana suatu sistem pendidikan semestinya disusun. Paradigma baru menghendaki siswa menjadi pusat pembelajaran. Guru bertindak sebagai fasilitator yang memudahkan terjadinya proses pembelajaran. Dalam prakteknya semua itu tidaklah mudah. Meski sudah digagas, dirancang, diprogramkan, dan ditetapkan, maka masih ada prasarat lain, dalam mewujudkan paradigma baru pendidikan itu. Apa saja? Pertama kesiapan sumber daya manusia guru dan tenaga kependidikan. Kedua, sikap mental aparatur pelaksana pada jalur birokrasi. Ketiga ketersediaan sarana dan prasarana. Keempat, komitmen politik dan dukungan pemerintah serta masyarakat luas. Dari tema paradigma baru pendidikan maka lahirlah apa yang disebut manajemen berbasis sekolah (MBS), Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Pembelajaran Aktif, Interaktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan, dan Pembelajaran yang Atraktif dan Inovatif (PAIKEM & PAINO) Selanjutnya diadopsi berbagai model instructional learning.

Minggu, 11 Oktober 2009

MENULIS ITU GAMPANG

Menulis itu Gampang Oleh Dwi Rohmadi Mustofa Karyawan swasta di Bandar Lampung Menulis itu Gampang! Agaknya judul di atas terlalu menyederhanakan masalah. Mungkin bagi sebagian orang menulis itu sama sulitnya dengan mencari jarum di tumpukan jerami, atau mengukir di atas air. Ada yang beralasan, tidak semua orang dikaruniai kemampuan dua hal sekaligus; pandai bicara, dan lancar menulis. Sebagian besar orang akan menganut aliran kepercayaan, bahwa seseorang yang dikarunai “kemampuan” berbicara, akan memiliki kelemahan dalam menulis. Atau sebaliknya. Saya pernah mengajukan pertanyaan kepada seorang kawan, yang tulisannya tersebar di berbagai media. Pertayaannya sederhana: Menurut Anda, menulis itu bakat atau keterampilan?. Yang saya maksud bakat adalah bahwa tidak semua orang akan memiliki kemampuan menulis, sedangkan yang dimaksud keterampilan, artinya adalah bahwa menulis itu bisa dipelajari oleh semua orang dan dengan demikian kemampuan menulis bisa diajarkan kepada setiap orang. Ternyata dengan lancar sang kawan tadi, justru menjawab dengan cara yang berbeda. Menulis itu, kata dia, tergantung orientasinya. Maksudnya, seseorang mau dan bisa menulis apabila ia memiliki kepentingan. “Mau apa dia menulis. Mau kaya, ingin terkenal, atau mau melakukan aksi protes”. Dia sendiri kemudian menceritakan pengalamannya hingga keadaannya sekarang, di mana tulisannya banyak tersebar di berbagai media dalam berbagai tema. Awalnya ketika di bangku SMA dia mengirimkan dua naskah artikel opini, dan tidak dimuat. Kemudian ketika di tahun pertama di bangku kuliah, dia mengirimkan artikel opini ke sebuah media, dan dimuat. Bukan main bangganya, waktu itu. Sejak saat itulah kemudian dia rajin menuangkan gagasannya dalam bentuk artikel opini di koran. Dalam tulisan ini penulis mengambil konteks menulis opini untuk media massa/koran. Sebab, langkah untuk menjadi penulis buku, misalnya, akan mudah dilalui jika mampu menulis opini di media massa. Menulis itu Gampang! Kendala dalam menulis adalah adanya aturan-aturan. Masih menurut kawan tadi, jika seseorang diminta menulis apa saja yang ingin dia kemukakan, tanpa ada aturan harus begini-begitu, maka diperkirakan akan mampu menyajikan sebuah tulisan yang baik. Tapi, jika dalam tahap awal menulis, sudah dibatasi dengan aturan-aturan tertentu bahwa menulis itu harus didahului dengan latar belakang masalah, rumusan masalah, metode pembahasan, landasan teori, pembahasan masalah, dan solusi, harus menggunakan bahasa ilmiah, harus menggunakan tata bahasa yang benar, dan sebagainya, maka dipastikan orang tidak akan mampu menuangkan idenya dalam bentuk tulisan. Saya kemudian mengetik di search engine internet google: Menulis itu Gampang. Hasilnya, terdapat sekitar 220 ribu artikel yang sesuai dengan kata-kata yang saya ketikkan tadi. Ketika kata-kata “itu” saya hilangkan dalam pencarian di google, menjadi “Menulis Gampang”, hasilnya malah lebih banyak lagi, yaitu sekitar 1.930 ribu artikel yang berkesesuaian. Bisa saja artikel di internet itu merupakan perpaduan dua kata yaitu “Menulis” dan “Gampang”. Dari jawaban kawan tadi, dan entri pada search engine di google, saya berkesimpulan bahwa menulis sebenarnya gampang. Sekarang mari kita lihat munculnya situs Facebook atau Friendster dan sejenisnya atau situs para blogger. Di sana, hampir semua orang mampu menuangkan idenya dengan bebas dan ekspresif. Muncul beragam tema, pembahasan, dan artikel yang amat kaya informasi. Jadi, dari kesimpulan saya itu kemudian muncul pertanyaan baru, mengapa masih beredar anggapan menulis itu sulit? Bagi saya, ini merupakan akibat faktor ketersediaan sarana dan pendidikan yang kurang memberi tempat dalam mengasah kemampuan siswa dalam bidang menulis. Coba kita tanyakan kepada guru, berapa jam pelajaran bahasa, dengan topik mengajukan gagasan dalam bentuk tulisan, dibandingkan dengan jumlah jam pelajaran siswa di sekolah dalam setahun. Kemudian, berapa banyak siswa sekolah kita yang memiliki buku catatan harian, atau melakukan kegiatan menuliskan kegiatannya sehari-hari? Biarlah pertanyaan ini tetap menjadi pertanyaan, karena sesungguhnya jawabannya ada di benak para pembaca. Kemampuan menulis, dimulai dari kebiasaan. Yaitu kebiasaan berpikir atau memikirkan sesuatu dan kemudian menuangkannya dalam bentuk tulisan. Kebiasaan ini terkait dengan keterampilan seseorang menyusun dengan baik rencana hidupnya, baik untuk hari ini, atau pun untuk jangka waktu yang lama. Sekarang mari kita tanya pada diri sendiri, berapa kali kita, ketika pagi hari, menuliskan rencana kegiatan sepanjang hari yang akan dilalui. Misalnya, 1. menyelesaikan tugas kantor/sekolah, 2. menelepon kawan lama yang sudah janjian. 3. membeli bola lampu. 4. menyiangi bunga, 5. makan malam dengan teman, 6. mengecek email. 7. ke bank menabung, dan sebagainya. Sebenarnya dengan menuliskan apa yang akan dilakukan, sudah bisa dianggap bahwa 50 % masalah sudah selesai. Pakem ini tampaknya mujarab. Itulah sebabnya banyak direktur yang sibuk, mesti mengangkat sekretaris. Bayangkan kalau tidak ada sekretaris, betapa kacaunya pekerjaan sang direktur. Dan sekretaris, di sini, bolehlah disepadankan dengan pekerjaan “menulis”. Membaca dan Menulis Menulis itu gampang! Yang sulit adalah membiasakan diri untuk menulis. Sesudah kesulitan pertama ini dapat diatasi, maka untuk dapat menjadi penulis, juga harus diimbangi dengan kebiasaan membaca. Penulis yang baik, biasanya akan selalu haus bacaan. Dia akan selalu berusaha mencari sumber informasi, dan perbandingan-perbandingan gagasan memalui bahan bacaan Orang yang sudah menjadikan menulis sebagai kebiasaan, akan merasakan tiada hari tanpa menulis. Dia akan merasa sakit jiwa jika tidak menulis. Nah bagaimana membalik kondisi dari “menulis itu susahnya setengah mati” ke kondisi “kalau tidak menulis rasanya seperti orang dipasung”. Menulis itu Gampang! Untuk membiasakan agar mampu menulis, maka patut dicoba menuliskan apa saja yang dirasakan, protes terhadap suatu keadaan, mengajukan ide-ide kreatif, mengomentari pendapat orang lain, dan sebagainya. Misalnya: “Hari ini saya kesal bukan main, karena ketika akan masak gas habis. Sedangkan tukang gas keliling tidak juga muncul. Ketika saya memutuskan membeli gas di depot, yang agak jauh, eh malah sepeda motor yang saya kendarai ditabrak becak. Abang becaknya malah marah-marah, menyalahkan saya. Hampir saya menanggapi omelannya. Sungguh sial hari ini. Tapi kemudian saya menyesal, mengapa saya mengumpat diri saya sendiri. Penyesalan saya itu ternyata membawa berkah. Pulang dari depot, sampai di rumah ada kawan lama, yang sudah lima tahun nggak ketemu, datang bermaksud membayar hutang. Padahal saya sendiri sudah lupa, utang apa, berapa, dan kapan……” Contoh di atas memang simpel saja. Tapi kalau tidak biasa menuliskan isi perasaan, saya jamin tidak bisa menuangkan perasaan yang campur aduk tersebut dalam bentuk tulisan. Apalagi dengan pilihan kata yang “menggigit” dan melibatkan emosi. Atau contoh lain, protes atas kebijakan pemerintah daerah. “Pemda ini kayak nggak tahu perasaan warga saja. Sudah jelas-jelas bukit yang ada di belakang rumah itu menjadi daerah penyangga, penampung air hujan, dan tempat hidup monyet-monyet, malah diijinkan untuk dibangun perumahan elite….”. Dan seterusnya. Masih ada contoh lagi. “Kelakuan elite politik negeri ini menurut saya keterlaluan. Pandai sekali bermain sandiwara. Katanya galang koalisi untuk kepentingan rakyat. Tapi ujung-ujungnya, semuanya mau menang dalam pemilihan presiden. Lho yang katanya untuk rakyat itu mana? Jangan-jangan nanti kalau sudah menang dalam Pilpres lupa rakyat. Rakyat cuma dijadikan alat untuk meraih kekuasaan.”….. Menulis itu Gampang! Yang sulit mendisiplinkan diri menuangkan ide dalam bentuk catatan kecil. Padahal, dengan menulis, bukan saja “50 persen masalah sudah selesai”, tapi juga mengurangi stress, dan menyalurkan energi negatif. Mengenai mengurangi stress dan menyalurkan energi negatif ini, biasanya sudah dirasakan oleh para blogger atau netter (orang yang biasa menulisi di internet). Menulis itu Gampang! Saking inginnya banyak orang memiliki kemampuan menulis, Al Chaedar Alwasilah, menulis buku yang diberi judul “Pokoknya Menulis”. Al Chaedar adalah dosen Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Sebelumnya dia sukses menulis buku berjudul “Pokoknya Kualitatif”. Kalau kemampuan menulis sudah terbentuk, untuk menjadikan tulisan lebih bagus lagi, tinggal memberikan tambahan referensi. Istilah kerennya riset kecil-kecilan. Dalam hal ini mungkin sebuah tulisan dikaitkan dengan teori, pendapat pakar yang sudah terkenal, atau merujuk pada karya referensi seperti kamus, ensiklopedia, data statistik, dan sebagainya. Bisa lebih bagus lagi dimintakan kepada orang lain untuk membaca ulang tulisan yang ada dan memberikan komentar. Ditolak Penerbit Koran Kalau naskah opini ditolak penerbit koran, atau dengan kata lain tidak pernah dimuat, jangan putus asa. Terus perbaiki cara menulis, pilihan tema, topik sedang hangat dibicarakan, menyangkut kepentingan orang banyak. Jadi intinya, menulis lagi, dan kirim lagi ke media. Kawan saya bercerita, profesornya menulis untuk koran ditolak. Tapi sang kawan, menulis tema yang sama, dimuat oleh koran. “Apa yang salah?” kata profesor kepada kawan tapi, yang notabene masih mahasiswa. Selidik punya selidik, ternyata bahasa sang profesor tidak “membumi”. Jadi jelas, meskipun penerbit koran memiliki kriteria untuk pemuatan sebuah artikel opini, dan terkadang dalam penerapannya sangat subyektif, tapi ada prinsip yang berlaku umum, yaitu bahasanya mudah dipahami. Menulis dan Mendengar Penulis, biasanya adalah pembaca yang baik. Artinya, kritis, analitis. Lazimnya tidak dogmatis, melainkan praktis, dan penuh empati. Artinya, karya tulisannya memberikan solusi atas kondisi yang tidak serasi dengan harapan. Penulis yang baik akan mampu mengungkapkan isi pikirannya dengan tutur kata yang elegan, enak dibaca, dan menyentuh. Dan yang paling penting adalah memberikan pencerahan atas persoalan yang dihadapi oleh masyarakat, untuk tidak mengatakan memberikan solusi. Setiap pokok pikiran disajikan secara sistematis, taktis, dan strategis. Bagaimana Memulai Menulis? Menulis itu Gampang! Menulis bisa dimulai dari menjawab pertanyaan sendiri. Ini tentu bagi penulis pemula. Ajukan pertanyaan-pertanyaan, kemudian tuangkan jawaban-jawabannya dalam tulisan. Jawaban itu adalah jawaban Anda sendiri, hasil olah pikir Anda. Setiap jawaban akan melahirkan pertanyaan baru. Dengan demikian maka akan mengalir tulisan yang anda susun. Bagi wartawan, ini sekadar perbandingan untuk penulis pemula, menulis ibarat minum obat, sehari tiga kali. Kalau tidak minum obat, maka penyakitnya akan kambuh, alias tidak sembuh. Penyakitnya apa? Ya seperti saya ungkapkan sebelumnya, bagi penulis (dalam hal ini wartawan) kalau tidak menulis ia akan seperti sakit jiwa. Pening. Gejolak jiwanya tidak tersalurkan. Wartawan yang terbiasa melaporkan suatu berita, menulis merupakan sikap, kebiasaan, perilaku, dan budayanya. Menulis berita sudah seperti spontanitas. Lihatlah reporter di televise yang sedang melaporkan suatu peristiwa secara langsung. Ia dengan lancar mengungkap setiap detail peristiwa. Atau bila melakukan wawancara, ia akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara rinci, terkadang mengejutkan. Dalam arti, pertanyaan yang diajukan, bahkan tidak terpikirkan oleh pemirsanya. Bagi pekerja pers, jurnalis, wartawan, atau apapun sebutannya, menulis ada pakem dasarnya. 5W + 1 H. What, Why, When, Where, Who, + How. 5 W-nya bisa ditukar-tukar mana yang didahulukan. Biasanya, W yang didahulukan, dianggap paling penting. Mengacu pada pakem bagi wartawan tersebut, maka bagi penulis pemula, dapat terus mengembangkan/mengasah kemampuannya dalam menulis dengan senantiasa bertanya: mengapa? Menulis itu Gampang! Untuk melahirkan tulisan yang enak dibaca, bagi pemula, disarankan untuk menuliskan “mimpinya”. Bermimpilah menjadi apa, atau menginginkan suatu kondisi yang bagaimana atas peristiwa dan keadaan lingkungan, baik sosial maupun politik. Sekadar contoh, bermimpilah tinggal di suatu kota yang bebas polusi, aman, penduduknya ramah tamah, lingkungan bersih, warganya tertib dalam mengantri, transportasi lancar, tersedia taman kota, sarana pendidikan yang baik, dan sebagainya. Mungkin banyak di antara kita, ketika di bangku SD diminta oleh guru untuk menuliskan atau mengarang tentang cita-cita ketika kelak dewasa. Ada yang menyebut ingin jadi dokter, ada yang mengarang jika jadi insinyur, astronot, pilot, guru, dosen, tentara, polisi, ada yang mengemukakan jadi pedagang, dan sebagainya. Jadi dapat disimpulkan, baik cita-cita, kondisi di masa depan, bisa menjadi inspirasi untuk melahirkan karya tulis. Inspirasi itu akan selalu ada bila kita terbiasa menulis. - Wawancara Imajiner Bisa juga dengan melakukan wawancara imajiner dengan narasumber tertentu. Misalnya, bila ingin menulis tentang situasi politik sekarang, atau mengetahui pendapat pendiri Republik ini, bisa meminta pandangan Bung Karno melalui wawancara imajiner. Anggap saja, mimpi bertemu dengan Bung Karno dan berdialog dengan beliau. Dan beliau mengajukan pendapatnya. Atau tentang koperasi, bermimpilah bertemu dengan Bung Hatta. Tanyakan kepada beliau tentang membangun koperasi yang baik, seperti apa koperasi yang dicita-citakannya. Mungkin beliau menyesal melihat banyaknya jumlah koperasi, tapi minim kegiatan. Banyak koperasi hanya papan nama. Atau mungkin beliau menangis, melihat keadaan sekarang, koperasi dibentuk hanya untuk “mewadahi” program bantuan atau fasilitas dari pemerintah. Ironis memang. Dan semua ini, hasil wawancara imajiner tersebut, sah-sah saja. Bolehlah disebut sebagai karya ilmiah popular. Ilmiah karena memenuhi unsure cara berpikir ilmiah. Runtut, adanyanya masalah, pembahasan, dan memberikan solusi. Disebut popular, karena tema yang diangkat sedang hangat-hangatnya dibicarakan masyarakat dewasa ini. Di tengah situasi politik seperti sekarang, rasa-rasanya hampir semua orang gemar mengomentari politik. Paling tidak membicarakan politik. Kalau mau menjadi penulis atau pengamat, sekarang memang waktunya tepat menjadi pemerhati pengamat politik. Coba perhatikan betapa berita-berita politik menjadi perhatian semua orang. Semua koran memuat komentar di koran. Sepuluh tahun lalu masih jarang penulis opini di koran daerah. Kalaupun ada beberapa nama yang rajin mengirim artikel opini, terbatas dari kalangan dosen Fisip atau Hukum. Sangat jarang penulis dari bidang lain mengirimkan opini di koran. Bahkan, untuk menutupi ini, biasanya redaksi menghubungi kalangan tertentu, seperti dosen, pegiat sosial, dan sebagainya untuk meminta tulisan. Pengalaman tersebut, tampaknya tidak terjadi lagi sekarang. Maraknya penerbitan media cetak, telah mendorong lahirnya penulis-penulis muda. Hanya saja, masih kurang diimbangi jumlah penulis produktif. Apalagi kalau melihat indikator lain, yaitu buku yang ditulis oleh orang daerah. Banyaknya muncul koran di daerah, merupakan lahan untuk menyebarluaskan ide melalui rubrik opini. Hampir semua koran memberikan/menyediakan ruang bagi tulisan-tulisan yang bersifat opini dari para pembacanya. Oleh karena itu, bagi para penulis, terutama penulis pemula, hal ini dapat menjadi medium bagi pengembangan potensi diri. Bagi pihak media (koran) lahirnya penulis-penulis lokal juga akan memberikan manfaat (benefit) tersendiri. Hubungan antara penulis (pengamat, akademisi, professional) dengan media merupakan hubungan mutualisme. Istilah yang beredar di kalangan pekerja media, adalah: koran membesarkan orang, dan orang membesarkan media. Jadi kloplah. (dwi_rohmadi@yahoo.com)

MENUMBUHKAN MINAT BACA ,TANGGUNG JAWAB SIAPA?

Mengembangkan Minat Baca, Tanggung Jawab Siapa?

Dwi Rohmadi Mustofa

Peminat masalah pendidikan

Tinggal di Bandar Lampung

Komunitas Minat Baca Indonesia (KMBI) yang dimotori Jawa Pos Group beberapa waktu lalu sangat aktif menyosialisasikan minat baca masyarakat. Belakangan ini event bazar buku tampaknya lebih banyak diselenggarakan oleh pihak toko buku. Terlebih menjelang tahun ajaran baru, penyelenggara bazaar tentunya mengaitkan dengan penjualan produk-produk lain yang memang diperlukan bagi pendidikan atau oleh siswa-siswa sekolah ataupun mahasiswa. Meskipun demikian, event bazaar buku atau apapun namanya seperti bursa buku murah, pameran, diskon, cuci gudang, obral, semuanya memberikan makna positif bagi peningkatan atau penumbuhan kebiasaan membaca di kalangan masyarakat.

Promosi yang dilakukan kalangan penerbit maupun toko buku, dalam rangka mendongkrak penjualannya, hemat penulis, menyumbangkan sesuatu yang berharga bagi masyarakat. Karena “mengkonsumsi” buku toh tidak seperti mengkonsumsi rokok. “Melahap” buku atau bahan bacaan lain, koran, atau majalah, akan memberikan pencerahan pikiran, membuka cakrawala pengetahuan, dan mengasah bathin untuk selalu mencerna apa yang dibacanya. Membangun peradaban bangsa sesungguhnya dimulai dari menumbuhkan budaya baca. Tradisi lisan yang berkembang secara alamiah harus diimbangi dengan tradisi literasi (baca-tulis).

Di tengah gempuran tradisi nonton televisi, maka untuk menumbuhkembangkan minat baca mendapat tantangan baru yang berat. Menonton televisi tidak membutuhkan olah rasa dan olah pikir. Sedangkan membaca menuntut pembacanya untuk mencerna dan menghayati isi bacaan sehingga harus berkonsentrasi dan mencoba melakukan penghayatan terhadap materi bacaan.

Koran, majalah, dan buku sebagai media transformasi ilmu pengetahuan hendaknya secara format dibuat semenarik mungkin, komunikatif, dan secara distribusi harus meluas dan terjangkau oleh masyarakat.

Ketersediaan sarana prasarana yang ada terkait dengan menumbuhkembangkan minat bacara masyarakat harus terus diperbaiki dan ditingkatkan. Kecepatan perkembangan teknologi dan informasi memaksa sekolah, perpustakaan, dan rumah baca mengadobsi model-model baru yang berkembang, sehingga usaha menumbuhkan minat baca dapat sejalan dan seiiring dengan kemajuan teknologi.

Ketagihan membaca tidak membahayakan kesehatan maupun kantong. Sedangkan ketagihan rokok, selain mengganggu kesehatan pribadi, tapi juga telah turut menguras kantong dan “menyumbangkan” polusi udara. Yang lebih parah dari dampak merokok adalah bagi orang-orang di sekitarnya yang tidak merokok.

Gerakan minat baca sebenarnya sudah dan selalu diaktualisasikan oleh elemen masyarakat yang peduli pada peradaban manusia. Setiap kurun waktu senantiasa ada sebagian anggota masyarakat yang terketuk hatinya untuk membudayakan membaca. Mereka yang tertarik terjun ke pemberdayaan masyarakat biasanya tidak secara provokatif dan demonstratif mengumbar promosi kegiatannya. Bagi mereka yang terpenting adalah mengajak warga sekitarnya, terutama anak-anak, untuk selalu gemar membaca. Mereka menebarkan benih-benih kepedulian dan kecintaan terhadap bangsa dengan cara mereka sendiri. Patriot-patriot bangsa sejatinya ada dalam hati dan tindakan nyata dan bukan semata-mata pada sikap demonstratif menunjukkan apa yang telah diperbuat. Para aktivis yang telah menggerakkan minat baca, menumbuhkan kegemaran membaca, sebagian memang membuat situs web, yang menurut hemat penulis, sangat baik dalam rangka menularkan semangat membangun negeri.

Persentase warga masyarakat yang buta aksara pada beberapa daerah, meskipun kecil - di bawah 10 % - dan sebagian besar kaum tua, mengkontribusikan terhadap rendahnya penilaian dalam melihat aspek pembangunan sumber daya manusia.

Menumbuhkembangkan minat baca di kalangan masyarakat berarti juga berupaya menghapus buta aksara dan membangun peradaban manusia yang lebih baik.

Pertanyaan selanjutnya, tanggung jawab siapa tugas-tugas menumbuhkembangkan minat baca masyarakat ini? Jika pendidikan disebut sebagai kebutuhan umat manusia dan membaca merupakan elemen penting dalam pendidikan, maka wajar bila ini juga merupakan tanggung jawab semua pihak, pemerintah dan masyarakat.

Meskipun demikian, saya kira di manapun di dunia ini, pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan, termasuk dalam bidang pendidikan dan penumbuhkembangan minat baca ini.

Pembangunan perpustakaan baik di sekolah-sekolah, perguruan tinggi, perpustakaan wilayah, perpustakaan di kabupaten/kota, bahkan perpustakaan di tingkat desa/kelurahan menjadi tumpuan harapan bagi terwujudnya masyarakat gemar membaca. Perpustakaan keliling juga diintensifkan dan dilakukan perputaran bahan dan perluasan wilayah yang dikunjungi.

Kita berharap alasan-alasan klasik keterbatasan dana tidak menjadi apologi bagi pemerintah termasuk pemerintah daerah. Kepada lembaga legislatif perlu dipesankan untuk berpihak kepada pendidikan sebagai dimensi universal dari manusia. Pendidikan, termasuk penumbuhkembangan minat baca, bukan cuma isu kampanye. Keberpihakan terhadap pendidikan harus diwujudkan dalam tindakan kongkret kerja-kerja legislator, misalnya melalui penentuan skala prioritas dan pengawasan yang efektif.

Partisipasi masyarakat dalam setiap detak perubahan kearah yang lebih baik dalam pembangunan, merupakan sesuatu yang niscaya lahir dari keterpanggilan anggota masyarakat untuk memberikan sumbangsih bagi negerinya. (dwi_rohmadi@yahoo.com)

NIKMATNYA BERINTERNET

Nikmatnya Berinternet

Oleh Dwi Rohmadi Mustofa

Peminat masalah pendidikan di Bandarlampung

Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo) Republik Indonesia telah mencanangkan bahwa pada tahun 2010 seluruh desa di Indonesia telah terhubung dengan internet. Hal ini didukung dengan penyedia jasa telekomunikasi, yang berlomba menyediakan jaringan di setiap jengkal wilayah Indonesia. Memang benar bahwa teknologi akan memudahkan kehidupan umat manusia. Tapi yang paling penting adalah bagaimana pemanfaatannya. Teknologi sebagaimana ilmu pengetahuan apapun, bersifat netral. Ia bisa digunakan untuk kepentingan yang sesat dan menyesatkan, untuk kejahatan, atau untuk tujuan merusak kehidupan. Tapi sebenarnya manusia mengembangkan teknologi pada dasarnya dimaksudkan untuk kesejahteraan.

Kemajuan teknologi informasi yang demikian pesat dewasa ini menggiring setiap orang pada suatu situasi terjebak alias ketergantungan. Sekarang ini rasanya tidak mungkin hidup normal tanpa bantuan teknologi. Sampai berkembang pengibaratan; “lebih baik ketinggalan dompet daripada ketinggalan handphone”. Mengapa? Ya, karena kalau ketika kita pergi ketinggalan dompet di rumah, bisa nelepon orang rumah untuk mengamankan dompetnya. Tapi kalau ketinggalan handphone, mau bagaimana? Menelepon nggak bisa, karena semua nomor-nomor penting tersimpan dalam handphone. Bukan hanya itu, berbagai catatan penting mungkin disimpan dalam handphone.

Bahwa, benar tiada hari tanpa komunikasi. Tapi di masa kini, komunikasi sudah mengalami perluasan arti, bukan saja bertatapmuka secara langsung. Media komunikasi sekarang telah berkembang, dari yang bersifat satu pihak ke massa, atau sebaliknya, tetapi sudah merupakan gabungan dari berbagai cara dan bentuk komunikasi.

Internet adalah suatu sistem komunikasi yang paling canggih. Definisi sederhana ini untuk menjelaskan betapa sekarang orang mudah memanfaatkan internet baik untuk pendidikan, hiburan, maupun bisnis. Singkatnya, perlu apa saja tinggal klik. Internet dapat menjadi media komunikasi data, suara, gambar, dan video. Internet sekarang telah mampu menghubungkan banyak orang secara interaktif.

Berdasarkan deskripsi dan kondisi seperti tersebut maka dapat dipredikasi bahwa dalam tahun-tahun mendatang penggunaan internet sudah menjadi kebutuhan dan keharusan. Sekarang saja, sudah banyak orang yang sangat menggantungkan pekerjaan dan bisnisnya pada pengguna internet. Siswa, mahasiswa, guru, dosen, peneliti, pengusaha dan politisi memerlukan internet untuk mengkomunikasikan data.

Setiap orang yang memerlukan informasi atau data, hampir semuanya dapat diperoleh melalui internet. Terutama kalangan mahasiswa dan peneliti. Internet adalah “pertambangan” data dan informasi yang tak terhitung kandungannya. Ibarat hutan, ia merupakan belantara yang semakin hari kian lebat. Oleh karena itu untuk mencari data diperlukan kemampuan atau pengetahuan tentang cara akses internet.

Peneliti yang membutuhkan hasil riset terkait dengan topik yang sedang dikajinya, dapat mengakses informasi dan data melalui internet. Ribuan hasil penelitian dengan ratusan topik/subyek dipublish melalui internet. Mahasiswa yang membutuhkan referensi untuk melengkapi tugas juga dapat menelusuri sumber-sumber atau artikel-artikel terkait di internet. Demikian juga wartawan, yang memerlukan bahan pengayaan karya jurnalistiknya tinggal klik internet.

Internet telah menyediakan berbagai sumber informasi yang mudah diperoleh. Enaknya, ia sangat peka dengan perintah pencarian. Misalnya, kalau kita mencari informasi tentang “pendidikan non ormal”, maka tinggal ketikkan kalimat tersebut pada mesin pencari, dan akan tersaji ribuan artikel/naskah terkait.

Lebih hebat lagi, penggunaan internet sekarang telah menjadi isu atau “jualan” politisi untuk meraih dukungan. Simaklah pernyataan berikut terkait dengan perluasan akses internet oleh petani. “Kami akan sediakan komputer murah semurah-murahnya sehingga nanti harga produk petani di desa tidak dipermainkan oleh tengkulak. Karena petani kita bisa mengakses harga dari internet”.

Implikasi dari pesatnya penggunaan internet memunculkan para kreator/wirausaha baru. Lembaga pendidikan komputer yang sudah banyak kian menjamur. Toko komputer pun perang harga. Pabrikan komputer menyediakan produk yang murah dan andal.

Iklan pendidikan/kursus bidang komputer, mengetengahkan tagline iklan berikut: Di tahun-tahun mendatang, jutaan orang akan memiliki komputer, ini berarti membuka peluang kerja bagi para teknisi dan programmer.

Bagi perguruan tinggi, akses internet telah menjadi poin penting penilaian kredibilitasnya. Bagi lembaga pendidikan di tingkat dasar, keberadaan pelajaran dan ketersediaan perangkat komputer di sekolah telah menjadi ciri keunggulan sekolah yang bersangkutan.

Teknologi seperti juga ilmu pengetahuan, dapat diibaratkan sebagai senjata: pedang bermata dua. Ia bisa digunakan untuk kebaikan maupun untuk kejahatan. Internet bisa digunakan untuk pendidikan, bisa juga untuk kemaksiatan.

Penyalahgunaan situs jejaring sosial seperti facebook hanyalah salah satu contoh aktual. Setiap orang bisa terhubung. Mencari teman lama yang sudah memiliki account di facebook sangat mudah. Lantas yang perlu diantisipasi adalah penggunaan nama atau predikat seseorang secara tidak syah. Yang paling heboh tentu saja kasus facebook dengan nama Jakob Oetama. Ada juga facebook for adult, yang berisi materi tentang seks.

Kasus penyalahgunaan account facebook Jakob Oetama, seperti dilansir Kompas, Selasa, 23 Juni 2009. Nama tokoh ini dibuatkan account oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Hasilnya mencengangkan. Sampai pukul 10.15 ia telah memiliki teman 1.818 orang. Sebagian besar temannya itu adalah sejumlah tokoh. Dalam situs ini memuat cover buku karangan Jakob Oetama.

Harian Kompas kemudian memberikan klarifikasi. "Sehubungan dengan adanya account Facebook atas nama Jakob Oetama, Pemimpin Umum Harian Kompas, dengan ini harian Kompas menyatakan bahwa Jakob Oetama tidak pernah membuat atau meminta orang lain untuk membuatkan account Facebook tersebut sehingga segala tulisan, foto dan apa pun yang tercantum di dalamnya berada di luar tanggung jawab Jakob Oetama."

Beberapa minggu lalu, teman saya Dedy Mawardi sudah membuat pengumuman di facebook. Intinya, “nama yang asli dengan huruf y di belakang Dedy. Katanya, sudah ada 26 account yang mirip-mirip nama dia.

Kehebatan, kecanggihan, dan kenikmatan dari internet, terutama dalam situs jejaring sosial facebook ini juga tercermin dari aksi dukung “bebaskan Prita”. Sayang aksi simpati kepada Antasari Azhar yang sudah digagas sebelumnya, tidak seramai untuk Prita.

Maaf, tulisan ini tidak mendiskusikan halal-haram facebook. Di sini penulis hanya ingin mengungkapkan betapa sekarang nikmat hidup dengan internet. Majulah Indonesia dengan internet. (dwi_rohmadi@yahoo.com)

PROFESI GURU

Memahami Profesi Guru

Oleh Dwi Rohmadi Mustofa

Mahasiswa Pascasarjana Teknologi Pendidikan

Diskusi dalam ruang kuliah tampaknya bermanfaat bagi kalangan yang lebih luas. Meskipun untuk itu harus benar-benar diperhatikan aspek kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik agar tidak terjadi benturan ketika tema-tema diskusi akademika dibawa ke ruang publik. Inilah sebenarnya esensi pendidikan tinggi sebagai mercusuar yang “menerangi dan memandu”, dan bukan sebagai “menara gading”.

Pada kuliah tentang belajar dan pembelajaran maupun dalam kuliah ilmu pendidikan, diskursus mengenai profesi guru tampak berlangsung hangat. Salah satu topik yang selalu berkait dengan profesi pendidik ini adalah masalah mutu pendidikan. Keinginan untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu bagi anak bangsa selalu dibebankan pada guru. Sehingga kemudian muncul anggapan jika pendidikan dinilai gagal, maka pastilah sumber masalahnya ada pada guru. Krisis multidimensi yang melanda negeri ini pada akhir dekade 1990-an juga dikaitkan dengan kegagalan pendidikan nasional.

Tidak mengherankan jika kemudian muncul statemen bahwa masalah utama pendidikan kita adalah guru. Ini karena profesi guru dianggap sebagai “kunci” untuk meningkatkan mutu pendidikan. Padahal banyak faktor yang berhubungan dengan mutu pendidikan. Kompleksitas masalah pendidikan yang terasa akut dewasa ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang pendidikan persekolahan di Tanah air. Selanjutnya terkait dan berkelindan dengan masalah kebijakan, birokrasi, dan perilaku aparatur yang terkait dengan pendidikan itu sendiri.

Profesi guru dewasa ini memiliki magnet tersendiri bagi kalangan muda. FKIP kini menjadi pilihan utama calon mahasiswa yang memang berniat menjadi guru. Keketatan memasuki fakultas ini kian tinggi. Bangku kuliah di fakultas ini semakin diperebutkan oleh banyak orang. Jika dulu jurusan-jurusan di FKIP terasa “kering” mahasiswa, maka sekarang banyak lulusan SLTA yang berhasrat menimba ilmu di sini. Singkatnya, FKIP sedang menapaki menjadi fakultas favorit. Ini tentu saja berbeda dengan masa sebelumnya, di mana lazimnya FKIP menjadi pilihan ketiga atau pilihan kedua. Bahkan yang ekstrem, kalau sudah tidak diterima di jurusan-jurusan lain, maka barulah memilih jurusan di FKIP. Juga yang lebih ekstrem dari contoh tadi adalah anggapan kuliah di FKIP lebih baik “daripada tidak kuliah”.

Maraknya minat anak-anak muda memasuki FKIP tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang mencoba membangkitkan harkat dan martabat profesi keguruan. Perlindungan akan profesi guru kini tengah menjadi mainstream dalam ranah pemerintahan, di mana telah dikeluarkan UU tentang Guru dan Dosen.

Profesi keguruan idealnya merupakan panggilan jiwa, tanpa diembel-embeli kehendak hidup mewah bergelimang harta. Menjalani profesi guru merupakan aktualisasi panggilan hati untuk memberikan pelayanan kepada orang lain untuk terus belajar, dan untuk itu dirinya akan memperoleh kepuasan dan kebahagiaan bathin.

Meskipun di sisi lain, seharusnya menjadi guru tidak berarti menutup pintu untuk hidup kaya, makmur, dan sejahtera. Singkatnya menjadi guru tidak berarti harus hidup “nrimo” apa adanya. Sebab jika demikian maka dapat dipertanyakan bagaimana ia harus memberikan motivasi kepada anak didiknya agar mencapai prestasi yang setinggi-tingginya, sementara dirinya sendiri menjalani tugas-tugas kehidupan tanpa “fighting spirit” terhadap problema-problema kehidupan kekinian.

Deskripsi tentang guru seperti lagu “Omar Bakri”, kalau mau jujur, masih terasa di sekolah-sekolah yang ada di perdesaan. Masih mending “Omar Bakri” yang pegawai negeri, di mana itu berarti memiliki gaji tetap dalam jumlah yang standar atau tergolong cukup, dan status sosialnya lebih baik. Lalu bagaimana dengan guru honor yang mengabdikan diri di daerah-daerah pinggiran, atau bahkan di daerah terpencil? Atau guru honor pada yayasan-yayasan swasta yang memang sudah diketahuinya memiliki keterbatasan finansial?

Mereka yang mengabdikan diri pada profesi guru selayaknya tidak dikerdilkan dengan jargon-jargon yang meninabobokan atau bahkan berpotensi menelantarkan. Gelar “pahlawan tanpa tanda jasa” bukan berarti keharusan bagi guru untuk selalu mentaati perintah tanpa berwenang memikirkan hakikat perintah, tanpa boleh menuntut imbalan atas jerih payahnya, atau malah guru yang harusnya menjadi teladan bagi anak didik tidak pantas untuk “protes”. Jargon yang demikian itu justru membunuh kreativitas, keberanian, rasa percaya diri dan kehendak untuk maju bagi guru.

Persepsi masyarakat yang terinternalisasi dalam diri guru, dalam bingkai “pahlawan tanpa tanda jasa” dalam prakteknya menyodorkan fakta bahwa guru tak pantas meminta fasilitas yang memadai untuk melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik. Seorang guru tidak sepantasnya menuntut ini itu, karena guru harus bisa menerima keadaan apa adanya.

Pesan yang pantas dijadikan bekal bagi para calon guru, atau mahasiswa yang sedang mendalami ilmu di jurusan pendidikan atau FKIP adalah bahwa menjadi guru harus merupakan aktualisasi dari panggilan jiwa untuk memberikan pelayanan kepada orang lain dalam pembelajaran. Implikasi selanjutnya adalah menjadi guru harus memiliki sikap profesional sebagaimana tersurat dan tersirat dalam UU Guru dan Dosen. Dalam mewujudkan sikap profesional tersebut bukan semata-mata mengejar sertifikat, mengharap tunjangan profesi dengan menghalalkan segala cara.

Figur profesional tampak dalam bentuk keteladanan, percaya diri, antusiasme, memotivasi orang lain, dan selalu tegar menghadapi persoalan. Keteladanan diperlukan untuk memberikan pendidikan kepada peserta didik. Percaya diri penting untuk berani mengatakan dan bertindak yang benar. Antusiasme berguna untuk dapat meraih sesuatu yang lebih baik dengan bahagia. Keterampilan memotivasi orang lain penting untuk memberikan kemudahan kepada peserta didik dalam mengikuti pembelajaran. Ketegaran diperlukan dalam menghadapi problema kehidupan, baik yang menyangkut profesinya sendiri, maupun dalam kaitannya dengan kehidupan sosialnya. Sebab, tidak semua persoalan dapat selesai atau diselesaikan dengan seketika.

Tulisan ini ingin merefleksikan betapa masih terjadi jurang pemisah antara pelaksanaan idealisme dengan realitas lingkungan, baik fisik maupun sosial. Semoga pembaca memperoleh kalangan pendidikan atau siapapun yang konsen dengan dunia pendidikan dapat memetik hikmah dari setiap persoalan yang dihadapi guru pada khususnya, dan dunia pendidikan pada umumnya.

Diskusi dan curah pendapat atau berbagi pengalaman dari para guru kiranya pantas dibawa ke ruang publik, sebagaimana aktivitas warga kampus mengkancah ilmu pengetahuan. Dengan demikian masyarakat yang lebih luas dapat lebih memahami profesi guru. Juga dapat menyambung terputusnya tanggung jawab pendidikan bagi semua pihak, bukan hanya guru. (dwi_rohmadi@yahoo.com)

MENULIS

Ayo Menulis Opini

Dwi Rohmadi Mustofa

Karyawan swasta di Bandarlampung

Perkembangan media cetak, khususnya koran, di Lampung kian marak. Pertengahan tahun ini, terbit dua koran harian baru, Trans Lampung (Grup Radar Lampung/Jawa Pos Group) dan Tribun Lampung (Kelompok Penerbit Kompas). Sebelumnya, ada beberapa koran baik harian maupun mingguan yang telah terbit dan menghiasi hari-hari penikmat informasi.

Adanya media massa yang beragam dan berkembang, setidaknya mengindikasikan dua hal sekaligus: dinamika kegiatan ekonomi dan kemajuan masyarakat di bidang informasi. Bagi saya, sebuah koran hendaknya menawarkan paling tidak tiga hal: informasi, pendidikan, dan hiburan. Secara lebih rinci bisa saja koran memberikan dimensi bisnis bagi pembacanya.

Maraknya penerbitan koran atau media massa cetak di daerah, merupakan peluang bagi masyarakat untuk memberikan kontribusi positif kemajuan daerahnya. Dari pihak pengelola koran, diharapkan senantiasa menjadi salah satu pilar demokrasi. Sedangkan bagi masyarakat sebuah koran diharapkan menjadi salah satu media saluran aspirasi.

Artikel ini dimaksudkan untuk menggugah dan mengajak semua pihak untuk memanfaatkan maraknya penerbitan koran di daerah ini, dalam kerangka yang positif. Menyampaikan aspirasi, keluhan, kritik, saran, pendapat, rasanya tidak cukup melalui kolom surat pembaca. Oleh karena itu, kiranya dapat dimanfaatkan rubrik opini yang ada, di mana melalui artikel opini, agaknya cukup memadai untuk mengungkapkan pendapat, pemikiran, dan kritik maupun saran sekaligus memberikan solusi atas suatu permasalahan.

Persoalannya kemudian adalah, menulis artikel yang agak panjang belum menjadi kebiasaan. Jangankan orang awam yang memiliki tugas dan kesibukan tersendiri, di kalangan mahasiswa, dosen, guru, kegiatan menulis tampaknya belum dijadikan sebagai suatu kebutuhan dasar, melainkan kewajiban.

Menyambung artikel saya di sebuah harian, saya mengundang diskusi untuk mengupas statemen Menulis itu Gampang!. Yang setuju, yang nggak setuju, maupun yang punya pandangan di antaranya, misalnya, “menulis itu gampang-gampang susah” atau “susah-susah gampang” ayo memberikan tanggapan.

Menulis itu Gampang! Yang sulit mendisiplinkan diri menuangkan ide dalam bentuk catatan kecil. Padahal, dengan menulis, bukan saja “50 persen masalah sudah selesai”, tapi juga mengurangi stress, dan menyalurkan energi negatif. Mengenai mengurangi stress dan menyalurkan energi negatif ini, biasanya sudah dirasakan oleh para blogger atau netter (orang yang biasa menulisi di internet).

Menulis itu Gampang! Saking inginnya banyak orang memiliki kemampuan menulis, terutama kalangan mahasiswa dan pendidik, Al Chaedar Alwasilah, menulis buku yang diberi judul “Pokoknya Menulis”. Al Chaedar adalah dosen Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Buku ini mampu memberikan pencerahan bagi pembacanya, dalam menyelami aspek menulis. Judulnya saja sangat provokatif. Sesuai dengan isiny. Sebelumnya dia sukses menulis buku berjudul “Pokoknya Kualitatif”.

Kalau kemampuan menulis sudah terbentuk, untuk menjadikan tulisan lebih bagus lagi, tinggal memberikan tambahan referensi. Istilah kerennya riset kecil-kecilan. Dalam hal ini mungkin sebuah tulisan dikaitkan dengan teori, pendapat pakar yang sudah terkenal, atau merujuk pada karya referensi seperti kamus, ensiklopedia, data statistik, dan sebagainya. Bisa lebih bagus lagi dimintakan kepada orang lain untuk membaca ulang tulisan yang ada dan memberikan komentar.

Ditolak Penerbit Koran

Kalau naskah opini ditolak penerbit koran, atau dengan kata lain tidak pernah dimuat, jangan putus asa. Terus perbaiki cara menulis, pilihan tema, topik sedang hangat dibicarakan, menyangkut kepentingan orang banyak. Jadi intinya, menulis lagi, dan kirim lagi ke media.

Kawan saya bercerita, profesornya menulis untuk koran ditolak. Tapi sang kawan, menulis tema yang sama, dimuat oleh koran. “Apa yang salah?” kata profesor kepada kawan tapi, yang notabene masih mahasiswa. Selidik punya selidik, ternyata bahasa sang profesor tidak “membumi”. Jadi jelas, meskipun penerbit koran memiliki kriteria untuk pemuatan sebuah artikel opini, dan terkadang dalam penerapannya sangat subyektif, tapi ada prinsip yang berlaku umum, yaitu bahasanya mudah dipahami. Dan pada tahapan berikutnya hendaknya juga senantiasa memperhatikan unsur pilihan kata tepat, kata-kata atau kalimat yang “menggigit” dan mampu melibatkan emosi pembacanya.

Sekadar contoh, misalnya protes atas kebijakan pemerintah daerah. “Pemda ini kayak nggak tahu perasaan warga saja. Sudah jelas-jelas bukit yang ada di belakang rumah itu menjadi daerah penyangga, penampung air hujan, dan tempat hidup monyet-monyet, malah diijinkan untuk dibangun perumahan elite….”. Dan seterusnya.

Masih ada contoh lagi. “Kelakuan elite politik negeri ini menurut saya keterlaluan. Pandai sekali bermain sandiwara. Katanya galang koalisi untuk kepentingan rakyat. Tapi ujung-ujungnya, semuanya mau menang dalam pemilihan presiden. Lho yang katanya untuk rakyat itu mana? Jangan-jangan nanti kalau sudah menang dalam Pilpres lupa rakyat. Rakyat cuma dijadikan alat untuk meraih kekuasaan.”…..

Menulis dan Mendengar

Penulis, biasanya adalah pembaca yang baik. Artinya, kritis, analitis. Lazimnya tidak dogmatis, melainkan praktis, dan penuh empati. Artinya, karya tulisannya memberikan solusi atas kondisi yang tidak serasi dengan harapan.

Penulis yang baik akan mampu mengungkapkan isi pikirannya dengan tutur kata yang elegan, enak dibaca, dan menyentuh. Dan yang paling penting adalah memberikan pencerahan atas persoalan yang dihadapi oleh masyarakat, untuk tidak mengatakan memberikan solusi. Setiap pokok pikiran disajikan secara sistematis, taktis, dan strategis. Arti dari semua itu adalah, “virus” keranjingan menulis harus terus disebarluaskan dan kemampuan mendengar ditingkatkan.

Bagaimana Memulai Menulis?

Menulis itu Gampang! Menulis bisa dimulai dari menjawab pertanyaan sendiri. Ini tentu bagi penulis pemula. Ajukan pertanyaan-pertanyaan, kemudian tuangkan jawaban-jawabannya dalam tulisan. Jawaban itu adalah jawaban Anda sendiri, hasil olah pikir Anda. Setiap jawaban akan melahirkan pertanyaan baru. Dengan demikian maka akan mengalir tulisan yang anda susun.

Bagi wartawan, ini sekadar perbandingan untuk penulis pemula, menulis ibarat minum obat, sehari tiga kali. Kalau tidak minum obat, maka penyakitnya akan kambuh, alias tidak sembuh. Penyakitnya apa? Ya seperti saya ungkapkan sebelumnya, bagi penulis (dalam hal ini wartawan) kalau tidak menulis ia akan seperti sakit jiwa. Pening. Gejolak jiwanya tidak tersalurkan.

Wartawan yang terbiasa melaporkan suatu berita, menulis merupakan sikap, kebiasaan, perilaku, dan budayanya. Menulis berita sudah seperti spontanitas. Lihatlah reporter di televise yang sedang melaporkan suatu peristiwa secara langsung. Ia dengan lancar mengungkap setiap detail peristiwa. Atau bila melakukan wawancara, ia akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara rinci, terkadang mengejutkan. Dalam arti, pertanyaan yang diajukan, bahkan tidak terpikirkan oleh pemirsanya.

Bagi pekerja pers, jurnalis, wartawan, atau apapun sebutannya, menulis ada pakem dasarnya. 5W + 1 H. What, Why, When, Where, Who, + How. 5 W-nya bisa ditukar-tukar mana yang didahulukan. Biasanya, W yang didahulukan, dianggap paling penting.

Mengacu pada pakem bagi wartawan tersebut, maka bagi penulis pemula, dapat terus mengembangkan/mengasah kemampuannya dalam menulis dengan senantiasa bertanya: mengapa?

Menulis itu Gampang! Untuk melahirkan tulisan yang enak dibaca, bagi pemula, disarankan untuk menuliskan “mimpinya”. Bermimpilah menjadi apa, atau menginginkan suatu kondisi yang bagaimana atas peristiwa dan keadaan lingkungan, baik sosial maupun politik. Sekadar contoh, bermimpilah tinggal di suatu kota yang bebas polusi, aman, penduduknya ramah tamah, lingkungan bersih, warganya tertib dalam mengantri, transportasi lancar, tersedia taman kota, sarana pendidikan yang baik, dan sebagainya.

Mungkin banyak di antara kita, ketika di bangku SD diminta oleh guru untuk menuliskan atau mengarang tentang cita-cita ketika kelak dewasa. Ada yang menyebut ingin jadi dokter, ada yang mengarang jika jadi insinyur, astronot, pilot, guru, dosen, tentara, polisi, ada yang mengemukakan jadi pedagang, dan sebagainya. Jadi dapat disimpulkan, baik cita-cita, kondisi di masa depan, bisa menjadi inspirasi untuk melahirkan karya tulis. Inspirasi itu akan selalu ada bila kita terbiasa menulis.

- Wawancara Imajiner

Bisa juga dengan melakukan wawancara imajiner dengan narasumber tertentu. Misalnya, bila ingin menulis tentang situasi politik sekarang, atau mengetahui pendapat pendiri Republik ini, bisa meminta pandangan Bung Karno melalui wawancara imajiner. Anggap saja, mimpi bertemu dengan Bung Karno dan berdialog dengan beliau. Dan beliau mengajukan pendapatnya.

Atau tentang koperasi, bermimpilah bertemu dengan Bung Hatta. Tanyakan kepada beliau tentang membangun koperasi yang baik, seperti apa koperasi yang dicita-citakannya. Mungkin beliau menyesal melihat banyaknya jumlah koperasi, tapi minim kegiatan. Banyak koperasi hanya papan nama. Atau mungkin beliau menangis, melihat keadaan sekarang, koperasi dibentuk hanya untuk “mewadahi” program bantuan atau fasilitas dari pemerintah. Ironis memang.

Dan semua ini, hasil wawancara imajiner tersebut, sah-sah saja. Bolehlah disebut sebagai karya ilmiah popular. Ilmiah karena memenuhi unsure cara berpikir ilmiah. Runtut, adanyanya masalah, pembahasan, dan memberikan solusi. Disebut popular, karena tema yang diangkat sedang hangat-hangatnya dibicarakan masyarakat dewasa ini.

Di tengah situasi politik seperti sekarang, rasa-rasanya hampir semua orang gemar mengomentari politik. Paling tidak membicarakan politik.

Kalau mau menjadi penulis atau pengamat, sekarang memang waktunya tepat menjadi pemerhati pengamat politik. Coba perhatikan betapa berita-berita politik menjadi perhatian semua orang. Semua koran memuat komentar di koran.

Sepuluh tahun lalu masih jarang penulis opini di koran daerah. Kalaupun ada beberapa nama yang rajin mengirim artikel opini, terbatas dari kalangan dosen Fisip atau Hukum. Sangat jarang penulis dari bidang lain mengirimkan opini di koran. Bahkan, untuk menutupi ini, biasanya redaksi menghubungi kalangan tertentu, seperti dosen, pegiat sosial, dan sebagainya untuk meminta tulisan.

Pengalaman tersebut, tampaknya tidak terjadi lagi sekarang. Maraknya penerbitan media cetak, telah mendorong lahirnya penulis-penulis muda. Hanya saja, masih kurang diimbangi jumlah penulis produktif. Apalagi kalau melihat indikator lain, yaitu buku yang ditulis oleh orang daerah. Banyaknya muncul koran di daerah, merupakan lahan untuk menyebarluaskan ide melalui rubrik opini. Hampir semua koran memberikan/menyediakan ruang bagi tulisan-tulisan yang bersifat opini dari para pembacanya. Oleh karena itu, bagi para penulis, terutama penulis pemula, hal ini dapat menjadi medium bagi pengembangan potensi diri.

Bagi pihak media (koran) lahirnya penulis-penulis lokal juga akan memberikan manfaat (benefit) tersendiri. Hubungan antara penulis (pengamat, akademisi, professional) dengan media merupakan hubungan mutualisme. Istilah yang beredar di kalangan pekerja media, adalah: koran membesarkan orang, dan orang membesarkan media. Jadi kloplah.

(dwi_rohmadi@yahoo.com)