Dedikasi dalam pendidikan, pembelajaran, persekolahan, teknologi, dan ilmu pengetahuan untuk kemajuan peradaban ummat manusia. Segala sesuatu yang besar, dimulai dari hal-hal yang kecil.
Senin, 12 Oktober 2009
MATEMATIKA UN DAN UN MATEMATIKA
REVITALISASI PENDIDIKAN DI MADRASAH
MARI DISKUSIKAN TEMA-TEMA BERIKUT INI
KONSTELASI PERUBAHAN MENUJU PARADIGMA BARU PENDIDIKAN DI INDONESIA
Minggu, 11 Oktober 2009
MENULIS ITU GAMPANG
MENUMBUHKAN MINAT BACA ,TANGGUNG JAWAB SIAPA?
Mengembangkan Minat Baca, Tanggung Jawab Siapa?
Dwi Rohmadi Mustofa
Peminat masalah pendidikan
Tinggal di Bandar Lampung
Komunitas Minat Baca Indonesia (KMBI) yang dimotori Jawa Pos Group beberapa waktu lalu sangat aktif menyosialisasikan minat baca masyarakat. Belakangan ini event bazar buku tampaknya lebih banyak diselenggarakan oleh pihak toko buku. Terlebih menjelang tahun ajaran baru, penyelenggara bazaar tentunya mengaitkan dengan penjualan produk-produk lain yang memang diperlukan bagi pendidikan atau oleh siswa-siswa sekolah ataupun mahasiswa. Meskipun demikian, event bazaar buku atau apapun namanya seperti bursa buku murah, pameran, diskon, cuci gudang, obral, semuanya memberikan makna positif bagi peningkatan atau penumbuhan kebiasaan membaca di kalangan masyarakat.
Promosi yang dilakukan kalangan penerbit maupun toko buku, dalam rangka mendongkrak penjualannya, hemat penulis, menyumbangkan sesuatu yang berharga bagi masyarakat. Karena “mengkonsumsi” buku toh tidak seperti mengkonsumsi rokok. “Melahap” buku atau bahan bacaan lain, koran, atau majalah, akan memberikan pencerahan pikiran, membuka cakrawala pengetahuan, dan mengasah bathin untuk selalu mencerna apa yang dibacanya. Membangun peradaban bangsa sesungguhnya dimulai dari menumbuhkan budaya baca. Tradisi lisan yang berkembang secara alamiah harus diimbangi dengan tradisi literasi (baca-tulis).
Di tengah gempuran tradisi nonton televisi, maka untuk menumbuhkembangkan minat baca mendapat tantangan baru yang berat. Menonton televisi tidak membutuhkan olah rasa dan olah pikir. Sedangkan membaca menuntut pembacanya untuk mencerna dan menghayati isi bacaan sehingga harus berkonsentrasi dan mencoba melakukan penghayatan terhadap materi bacaan.
Koran, majalah, dan buku sebagai media transformasi ilmu pengetahuan hendaknya secara format dibuat semenarik mungkin, komunikatif, dan secara distribusi harus meluas dan terjangkau oleh masyarakat.
Ketersediaan sarana prasarana yang ada terkait dengan menumbuhkembangkan minat bacara masyarakat harus terus diperbaiki dan ditingkatkan. Kecepatan perkembangan teknologi dan informasi memaksa sekolah, perpustakaan, dan rumah baca mengadobsi model-model baru yang berkembang, sehingga usaha menumbuhkan minat baca dapat sejalan dan seiiring dengan kemajuan teknologi.
Ketagihan membaca tidak membahayakan kesehatan maupun kantong. Sedangkan ketagihan rokok, selain mengganggu kesehatan pribadi, tapi juga telah turut menguras kantong dan “menyumbangkan” polusi udara. Yang lebih parah dari dampak merokok adalah bagi orang-orang di sekitarnya yang tidak merokok.
Gerakan minat baca sebenarnya sudah dan selalu diaktualisasikan oleh elemen masyarakat yang peduli pada peradaban manusia. Setiap kurun waktu senantiasa ada sebagian anggota masyarakat yang terketuk hatinya untuk membudayakan membaca. Mereka yang tertarik terjun ke pemberdayaan masyarakat biasanya tidak secara provokatif dan demonstratif mengumbar promosi kegiatannya. Bagi mereka yang terpenting adalah mengajak warga sekitarnya, terutama anak-anak, untuk selalu gemar membaca. Mereka menebarkan benih-benih kepedulian dan kecintaan terhadap bangsa dengan cara mereka sendiri. Patriot-patriot bangsa sejatinya ada dalam hati dan tindakan nyata dan bukan semata-mata pada sikap demonstratif menunjukkan apa yang telah diperbuat.
Persentase warga masyarakat yang buta aksara pada beberapa daerah, meskipun kecil - di bawah 10 % - dan sebagian besar kaum tua, mengkontribusikan terhadap rendahnya penilaian dalam melihat aspek pembangunan sumber daya manusia.
Menumbuhkembangkan minat baca di kalangan masyarakat berarti juga berupaya menghapus buta aksara dan membangun peradaban manusia yang lebih baik.
Pertanyaan selanjutnya, tanggung jawab siapa tugas-tugas menumbuhkembangkan minat baca masyarakat ini? Jika pendidikan disebut sebagai kebutuhan umat manusia dan membaca merupakan elemen penting dalam pendidikan, maka wajar bila ini juga merupakan tanggung jawab semua pihak, pemerintah dan masyarakat.
Meskipun demikian, saya kira di manapun di dunia ini, pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan, termasuk dalam bidang pendidikan dan penumbuhkembangan minat baca ini.
Pembangunan perpustakaan baik di sekolah-sekolah, perguruan tinggi, perpustakaan wilayah, perpustakaan di kabupaten/kota, bahkan perpustakaan di tingkat desa/kelurahan menjadi tumpuan harapan bagi terwujudnya masyarakat gemar membaca. Perpustakaan keliling juga diintensifkan dan dilakukan perputaran bahan dan perluasan wilayah yang dikunjungi.
Kita berharap alasan-alasan klasik keterbatasan dana tidak menjadi apologi bagi pemerintah termasuk pemerintah daerah. Kepada lembaga legislatif perlu dipesankan untuk berpihak kepada pendidikan sebagai dimensi universal dari manusia. Pendidikan, termasuk penumbuhkembangan minat baca, bukan cuma isu kampanye. Keberpihakan terhadap pendidikan harus diwujudkan dalam tindakan kongkret kerja-kerja legislator, misalnya melalui penentuan skala prioritas dan pengawasan yang efektif.
Partisipasi masyarakat dalam setiap detak perubahan kearah yang lebih baik dalam pembangunan, merupakan sesuatu yang niscaya lahir dari keterpanggilan anggota masyarakat untuk memberikan sumbangsih bagi negerinya. (dwi_rohmadi@yahoo.com)
NIKMATNYA BERINTERNET
Nikmatnya Berinternet
Oleh Dwi Rohmadi Mustofa
Peminat masalah pendidikan di Bandarlampung
Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo) Republik
Kemajuan teknologi informasi yang demikian pesat dewasa ini menggiring setiap orang pada suatu situasi terjebak alias ketergantungan. Sekarang ini rasanya tidak mungkin hidup normal tanpa bantuan teknologi. Sampai berkembang pengibaratan; “lebih baik ketinggalan dompet daripada ketinggalan handphone”. Mengapa? Ya, karena kalau ketika kita pergi ketinggalan dompet di rumah, bisa nelepon orang rumah untuk mengamankan dompetnya. Tapi kalau ketinggalan handphone, mau bagaimana? Menelepon nggak bisa, karena semua nomor-nomor penting tersimpan dalam handphone. Bukan hanya itu, berbagai catatan penting mungkin disimpan dalam handphone.
Bahwa, benar tiada hari tanpa komunikasi. Tapi di masa kini, komunikasi sudah mengalami perluasan arti, bukan saja bertatapmuka secara langsung. Media komunikasi sekarang telah berkembang, dari yang bersifat satu pihak ke massa, atau sebaliknya, tetapi sudah merupakan gabungan dari berbagai cara dan bentuk komunikasi.
Internet adalah suatu sistem komunikasi yang paling canggih. Definisi sederhana ini untuk menjelaskan betapa sekarang orang mudah memanfaatkan internet baik untuk pendidikan, hiburan, maupun bisnis. Singkatnya, perlu apa saja tinggal klik. Internet dapat menjadi media komunikasi data, suara, gambar, dan video. Internet sekarang telah mampu menghubungkan banyak orang secara interaktif.
Berdasarkan deskripsi dan kondisi seperti tersebut maka dapat dipredikasi bahwa dalam tahun-tahun mendatang penggunaan internet sudah menjadi kebutuhan dan keharusan. Sekarang saja, sudah banyak orang yang sangat menggantungkan pekerjaan dan bisnisnya pada pengguna internet. Siswa, mahasiswa, guru, dosen, peneliti, pengusaha dan politisi memerlukan internet untuk mengkomunikasikan data.
Setiap orang yang memerlukan informasi atau data, hampir semuanya dapat diperoleh melalui internet. Terutama kalangan mahasiswa dan peneliti. Internet adalah “pertambangan” data dan informasi yang tak terhitung kandungannya. Ibarat hutan, ia merupakan belantara yang semakin hari kian lebat. Oleh karena itu untuk mencari data diperlukan kemampuan atau pengetahuan tentang cara akses internet.
Peneliti yang membutuhkan hasil riset terkait dengan topik yang sedang dikajinya, dapat mengakses informasi dan data melalui internet. Ribuan hasil penelitian dengan ratusan topik/subyek dipublish melalui internet. Mahasiswa yang membutuhkan referensi untuk melengkapi tugas juga dapat menelusuri sumber-sumber atau artikel-artikel terkait di internet. Demikian juga wartawan, yang memerlukan bahan pengayaan karya jurnalistiknya tinggal klik internet.
Internet telah menyediakan berbagai sumber informasi yang mudah diperoleh. Enaknya, ia sangat peka dengan perintah pencarian. Misalnya, kalau kita mencari informasi tentang “pendidikan non ormal”, maka tinggal ketikkan kalimat tersebut pada mesin pencari, dan akan tersaji ribuan artikel/naskah terkait.
Lebih hebat lagi, penggunaan internet sekarang telah menjadi isu atau “jualan” politisi untuk meraih dukungan. Simaklah pernyataan berikut terkait dengan perluasan akses internet oleh petani. “Kami akan sediakan komputer murah semurah-murahnya sehingga nanti harga produk petani di desa tidak dipermainkan oleh tengkulak. Karena petani kita bisa mengakses harga dari internet”.
Implikasi dari pesatnya penggunaan internet memunculkan para kreator/wirausaha baru. Lembaga pendidikan komputer yang sudah banyak kian menjamur. Toko komputer pun perang harga. Pabrikan komputer menyediakan produk yang murah dan andal.
Iklan pendidikan/kursus bidang komputer, mengetengahkan tagline iklan berikut: Di tahun-tahun mendatang, jutaan orang akan memiliki komputer, ini berarti membuka peluang kerja bagi para teknisi dan programmer.
Bagi perguruan tinggi, akses internet telah menjadi poin penting penilaian kredibilitasnya. Bagi lembaga pendidikan di tingkat dasar, keberadaan pelajaran dan ketersediaan perangkat komputer di sekolah telah menjadi ciri keunggulan sekolah yang bersangkutan.
Teknologi seperti juga ilmu pengetahuan, dapat diibaratkan sebagai senjata: pedang bermata dua. Ia bisa digunakan untuk kebaikan maupun untuk kejahatan. Internet bisa digunakan untuk pendidikan, bisa juga untuk kemaksiatan.
Penyalahgunaan situs jejaring sosial seperti facebook hanyalah salah satu contoh aktual. Setiap orang bisa terhubung. Mencari teman lama yang sudah memiliki account di facebook sangat mudah. Lantas yang perlu diantisipasi adalah penggunaan nama atau predikat seseorang secara tidak syah. Yang paling heboh tentu saja kasus facebook dengan nama Jakob Oetama. Ada juga facebook for adult, yang berisi materi tentang seks.
Kasus penyalahgunaan account facebook Jakob Oetama, seperti dilansir Kompas, Selasa, 23 Juni 2009. Nama tokoh ini dibuatkan account oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Hasilnya mencengangkan. Sampai pukul 10.15 ia telah memiliki teman 1.818 orang. Sebagian besar temannya itu adalah sejumlah tokoh. Dalam situs ini memuat cover buku karangan Jakob Oetama.
Harian Kompas kemudian memberikan klarifikasi. "Sehubungan dengan adanya account Facebook atas nama Jakob Oetama, Pemimpin Umum Harian Kompas, dengan ini harian Kompas menyatakan bahwa Jakob Oetama tidak pernah membuat atau meminta orang lain untuk membuatkan account Facebook tersebut sehingga segala tulisan, foto dan apa pun yang tercantum di dalamnya berada di luar tanggung jawab Jakob Oetama."
Beberapa minggu lalu, teman saya Dedy Mawardi sudah membuat pengumuman di facebook. Intinya, “nama yang asli dengan huruf y di belakang Dedy. Katanya, sudah ada 26 account yang mirip-mirip nama dia.
Kehebatan, kecanggihan, dan kenikmatan dari internet, terutama dalam situs jejaring sosial facebook ini juga tercermin dari aksi dukung “bebaskan Prita”. Sayang aksi simpati kepada Antasari Azhar yang sudah digagas sebelumnya, tidak seramai untuk Prita.
Maaf, tulisan ini tidak mendiskusikan halal-haram facebook. Di sini penulis hanya ingin mengungkapkan betapa sekarang nikmat hidup dengan internet. Majulah
PROFESI GURU
Memahami Profesi Guru
Oleh Dwi Rohmadi Mustofa
Mahasiswa Pascasarjana Teknologi Pendidikan
Diskusi dalam ruang kuliah tampaknya bermanfaat bagi kalangan yang lebih luas. Meskipun untuk itu harus benar-benar diperhatikan aspek kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik agar tidak terjadi benturan ketika tema-tema diskusi akademika dibawa ke ruang publik. Inilah sebenarnya esensi pendidikan tinggi sebagai mercusuar yang “menerangi dan memandu”, dan bukan sebagai “menara gading”.
Pada kuliah tentang belajar dan pembelajaran maupun dalam kuliah ilmu pendidikan, diskursus mengenai profesi guru tampak berlangsung hangat. Salah satu topik yang selalu berkait dengan profesi pendidik ini adalah masalah mutu pendidikan. Keinginan untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu bagi anak bangsa selalu dibebankan pada guru. Sehingga kemudian muncul anggapan jika pendidikan dinilai gagal, maka pastilah sumber masalahnya ada pada guru. Krisis multidimensi yang melanda negeri ini pada akhir dekade 1990-an juga dikaitkan dengan kegagalan pendidikan nasional.
Tidak mengherankan jika kemudian muncul statemen bahwa masalah utama pendidikan kita adalah guru. Ini karena profesi guru dianggap sebagai “kunci” untuk meningkatkan mutu pendidikan. Padahal banyak faktor yang berhubungan dengan mutu pendidikan. Kompleksitas masalah pendidikan yang terasa akut dewasa ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang pendidikan persekolahan di Tanah air. Selanjutnya terkait dan berkelindan dengan masalah kebijakan, birokrasi, dan perilaku aparatur yang terkait dengan pendidikan itu sendiri.
Profesi guru dewasa ini memiliki magnet tersendiri bagi kalangan muda. FKIP kini menjadi pilihan utama calon mahasiswa yang memang berniat menjadi guru. Keketatan memasuki fakultas ini kian tinggi. Bangku kuliah di fakultas ini semakin diperebutkan oleh banyak orang. Jika dulu jurusan-jurusan di FKIP terasa “kering” mahasiswa, maka sekarang banyak lulusan SLTA yang berhasrat menimba ilmu di sini. Singkatnya, FKIP sedang menapaki menjadi fakultas favorit. Ini tentu saja berbeda dengan masa sebelumnya, di mana lazimnya FKIP menjadi pilihan ketiga atau pilihan kedua. Bahkan yang ekstrem, kalau sudah tidak diterima di jurusan-jurusan lain, maka barulah memilih jurusan di FKIP. Juga yang lebih ekstrem dari contoh tadi adalah anggapan kuliah di FKIP lebih baik “daripada tidak kuliah”.
Maraknya minat anak-anak muda memasuki FKIP tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang mencoba membangkitkan harkat dan martabat profesi keguruan. Perlindungan akan profesi guru kini tengah menjadi mainstream dalam ranah pemerintahan, di mana telah dikeluarkan UU tentang Guru dan Dosen.
Profesi keguruan idealnya merupakan panggilan jiwa, tanpa diembel-embeli kehendak hidup mewah bergelimang harta. Menjalani profesi guru merupakan aktualisasi panggilan hati untuk memberikan pelayanan kepada orang lain untuk terus belajar, dan untuk itu dirinya akan memperoleh kepuasan dan kebahagiaan bathin.
Meskipun di sisi lain, seharusnya menjadi guru tidak berarti menutup pintu untuk hidup kaya, makmur, dan sejahtera. Singkatnya menjadi guru tidak berarti harus hidup “nrimo” apa adanya. Sebab jika demikian maka dapat dipertanyakan bagaimana ia harus memberikan motivasi kepada anak didiknya agar mencapai prestasi yang setinggi-tingginya, sementara dirinya sendiri menjalani tugas-tugas kehidupan tanpa “fighting spirit” terhadap problema-problema kehidupan kekinian.
Deskripsi tentang guru seperti lagu “Omar Bakri”, kalau mau jujur, masih terasa di sekolah-sekolah yang ada di perdesaan. Masih mending “Omar Bakri” yang pegawai negeri, di mana itu berarti memiliki gaji tetap dalam jumlah yang standar atau tergolong cukup, dan status sosialnya lebih baik. Lalu bagaimana dengan guru honor yang mengabdikan diri di daerah-daerah pinggiran, atau bahkan di daerah terpencil? Atau guru honor pada yayasan-yayasan swasta yang memang sudah diketahuinya memiliki keterbatasan finansial?
Mereka yang mengabdikan diri pada profesi guru selayaknya tidak dikerdilkan dengan jargon-jargon yang meninabobokan atau bahkan berpotensi menelantarkan. Gelar “pahlawan tanpa tanda jasa” bukan berarti keharusan bagi guru untuk selalu mentaati perintah tanpa berwenang memikirkan hakikat perintah, tanpa boleh menuntut imbalan atas jerih payahnya, atau malah guru yang harusnya menjadi teladan bagi anak didik tidak pantas untuk “protes”. Jargon yang demikian itu justru membunuh kreativitas, keberanian, rasa percaya diri dan kehendak untuk maju bagi guru.
Persepsi masyarakat yang terinternalisasi dalam diri guru, dalam bingkai “pahlawan tanpa tanda jasa” dalam prakteknya menyodorkan fakta bahwa guru tak pantas meminta fasilitas yang memadai untuk melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik. Seorang guru tidak sepantasnya menuntut ini itu, karena guru harus bisa menerima keadaan apa adanya.
Pesan yang pantas dijadikan bekal bagi para calon guru, atau mahasiswa yang sedang mendalami ilmu di jurusan pendidikan atau FKIP adalah bahwa menjadi guru harus merupakan aktualisasi dari panggilan jiwa untuk memberikan pelayanan kepada orang lain dalam pembelajaran. Implikasi selanjutnya adalah menjadi guru harus memiliki sikap profesional sebagaimana tersurat dan tersirat dalam UU Guru dan Dosen. Dalam mewujudkan sikap profesional tersebut bukan semata-mata mengejar sertifikat, mengharap tunjangan profesi dengan menghalalkan segala cara.
Figur profesional tampak dalam bentuk keteladanan, percaya diri, antusiasme, memotivasi orang lain, dan selalu tegar menghadapi persoalan. Keteladanan diperlukan untuk memberikan pendidikan kepada peserta didik. Percaya diri penting untuk berani mengatakan dan bertindak yang benar. Antusiasme berguna untuk dapat meraih sesuatu yang lebih baik dengan bahagia. Keterampilan memotivasi orang lain penting untuk memberikan kemudahan kepada peserta didik dalam mengikuti pembelajaran. Ketegaran diperlukan dalam menghadapi problema kehidupan, baik yang menyangkut profesinya sendiri, maupun dalam kaitannya dengan kehidupan sosialnya. Sebab, tidak semua persoalan dapat selesai atau diselesaikan dengan seketika.
Tulisan ini ingin merefleksikan betapa masih terjadi jurang pemisah antara pelaksanaan idealisme dengan realitas lingkungan, baik fisik maupun sosial. Semoga pembaca memperoleh kalangan pendidikan atau siapapun yang konsen dengan dunia pendidikan dapat memetik hikmah dari setiap persoalan yang dihadapi guru pada khususnya, dan dunia pendidikan pada umumnya.
Diskusi dan curah pendapat atau berbagi pengalaman dari para guru kiranya pantas dibawa ke ruang publik, sebagaimana aktivitas warga kampus mengkancah ilmu pengetahuan. Dengan demikian masyarakat yang lebih luas dapat lebih memahami profesi guru. Juga dapat menyambung terputusnya tanggung jawab pendidikan bagi semua pihak, bukan hanya guru. (dwi_rohmadi@yahoo.com)
MENULIS
Ayo Menulis Opini
Dwi Rohmadi Mustofa
Karyawan swasta di Bandarlampung
Perkembangan media cetak, khususnya koran, di Lampung kian marak. Pertengahan tahun ini, terbit dua koran harian baru, Trans Lampung (Grup Radar Lampung/Jawa Pos Group) dan Tribun Lampung (Kelompok Penerbit Kompas). Sebelumnya, ada beberapa koran baik harian maupun mingguan yang telah terbit dan menghiasi hari-hari penikmat informasi.
Adanya media
Maraknya penerbitan koran atau media
Artikel ini dimaksudkan untuk menggugah dan mengajak semua pihak untuk memanfaatkan maraknya penerbitan koran di daerah ini, dalam kerangka yang positif. Menyampaikan aspirasi, keluhan, kritik, saran, pendapat, rasanya tidak cukup melalui kolom surat pembaca. Oleh karena itu, kiranya dapat dimanfaatkan rubrik opini yang ada, di mana melalui artikel opini, agaknya cukup memadai untuk mengungkapkan pendapat, pemikiran, dan kritik maupun saran sekaligus memberikan solusi atas suatu permasalahan.
Persoalannya kemudian adalah, menulis artikel yang agak panjang belum menjadi kebiasaan. Jangankan orang awam yang memiliki tugas dan kesibukan tersendiri, di kalangan mahasiswa, dosen, guru, kegiatan menulis tampaknya belum dijadikan sebagai suatu kebutuhan dasar, melainkan kewajiban.
Menyambung artikel saya di sebuah harian, saya mengundang diskusi untuk mengupas statemen Menulis itu Gampang!. Yang setuju, yang nggak setuju, maupun yang punya pandangan di antaranya, misalnya, “menulis itu gampang-gampang susah” atau “susah-susah gampang” ayo memberikan tanggapan.
Menulis itu Gampang! Yang sulit mendisiplinkan diri menuangkan ide dalam bentuk catatan kecil. Padahal, dengan menulis, bukan saja “50 persen masalah sudah selesai”, tapi juga mengurangi stress, dan menyalurkan energi negatif. Mengenai mengurangi stress dan menyalurkan energi negatif ini, biasanya sudah dirasakan oleh para blogger atau netter (orang yang biasa menulisi di internet).
Menulis itu Gampang! Saking inginnya banyak orang memiliki kemampuan menulis, terutama kalangan mahasiswa dan pendidik, Al Chaedar Alwasilah, menulis buku yang diberi judul “Pokoknya Menulis”. Al Chaedar adalah dosen Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)
Kalau kemampuan menulis sudah terbentuk, untuk menjadikan tulisan lebih bagus lagi, tinggal memberikan tambahan referensi. Istilah kerennya riset kecil-kecilan. Dalam hal ini mungkin sebuah tulisan dikaitkan dengan teori, pendapat pakar yang sudah terkenal, atau merujuk pada karya referensi seperti kamus, ensiklopedia, data statistik, dan sebagainya. Bisa lebih bagus lagi dimintakan kepada orang lain untuk membaca ulang tulisan yang ada dan memberikan komentar.
Ditolak Penerbit Koran
Kalau naskah opini ditolak penerbit koran, atau dengan kata lain tidak pernah dimuat, jangan putus asa. Terus perbaiki cara menulis, pilihan tema, topik sedang hangat dibicarakan, menyangkut kepentingan orang banyak. Jadi intinya, menulis lagi, dan kirim lagi ke media.
Kawan saya bercerita, profesornya menulis untuk koran ditolak. Tapi sang kawan, menulis tema yang sama, dimuat oleh koran. “Apa yang salah?” kata profesor kepada kawan tapi, yang notabene masih mahasiswa. Selidik punya selidik, ternyata bahasa sang profesor tidak “membumi”. Jadi jelas, meskipun penerbit koran memiliki kriteria untuk pemuatan sebuah artikel opini, dan terkadang dalam penerapannya sangat subyektif, tapi ada prinsip yang berlaku umum, yaitu bahasanya mudah dipahami. Dan pada tahapan berikutnya hendaknya juga senantiasa memperhatikan unsur pilihan kata tepat, kata-kata atau kalimat yang “menggigit” dan mampu melibatkan emosi pembacanya.
Sekadar contoh, misalnya protes atas kebijakan pemerintah daerah. “Pemda ini kayak nggak tahu perasaan warga saja. Sudah jelas-jelas bukit yang ada di belakang rumah itu menjadi daerah penyangga, penampung air hujan, dan tempat hidup monyet-monyet, malah diijinkan untuk dibangun perumahan elite….”. Dan seterusnya.
Masih ada contoh lagi. “Kelakuan elite politik negeri ini menurut saya keterlaluan. Pandai sekali bermain sandiwara. Katanya galang koalisi untuk kepentingan rakyat. Tapi ujung-ujungnya, semuanya mau menang dalam pemilihan presiden. Lho yang katanya untuk rakyat itu mana? Jangan-jangan nanti kalau sudah menang dalam Pilpres lupa rakyat. Rakyat cuma dijadikan alat untuk meraih kekuasaan.”…..
Menulis dan Mendengar
Penulis, biasanya adalah pembaca yang baik. Artinya, kritis, analitis. Lazimnya tidak dogmatis, melainkan praktis, dan penuh empati. Artinya, karya tulisannya memberikan solusi atas kondisi yang tidak serasi dengan harapan.
Penulis yang baik akan mampu mengungkapkan isi pikirannya dengan tutur kata yang elegan, enak dibaca, dan menyentuh. Dan yang paling penting adalah memberikan pencerahan atas persoalan yang dihadapi oleh masyarakat, untuk tidak mengatakan memberikan solusi. Setiap pokok pikiran disajikan secara sistematis, taktis, dan strategis. Arti dari semua itu adalah, “virus” keranjingan menulis harus terus disebarluaskan dan kemampuan mendengar ditingkatkan.
Bagaimana Memulai Menulis?
Menulis itu Gampang! Menulis bisa dimulai dari menjawab pertanyaan sendiri. Ini tentu bagi penulis pemula. Ajukan pertanyaan-pertanyaan, kemudian tuangkan jawaban-jawabannya dalam tulisan. Jawaban itu adalah jawaban Anda sendiri, hasil olah pikir Anda. Setiap jawaban akan melahirkan pertanyaan baru. Dengan demikian maka akan mengalir tulisan yang anda susun.
Bagi wartawan, ini sekadar perbandingan untuk penulis pemula, menulis ibarat minum obat, sehari tiga kali. Kalau tidak minum obat, maka penyakitnya akan kambuh, alias tidak sembuh. Penyakitnya apa? Ya seperti saya ungkapkan sebelumnya, bagi penulis (dalam hal ini wartawan) kalau tidak menulis ia akan seperti sakit jiwa. Pening. Gejolak jiwanya tidak tersalurkan.
Wartawan yang terbiasa melaporkan suatu berita, menulis merupakan sikap, kebiasaan, perilaku, dan budayanya. Menulis berita sudah seperti spontanitas. Lihatlah reporter di televise yang sedang melaporkan suatu peristiwa secara langsung. Ia dengan lancar mengungkap setiap detail peristiwa. Atau bila melakukan wawancara, ia akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara rinci, terkadang mengejutkan. Dalam arti, pertanyaan yang diajukan, bahkan tidak terpikirkan oleh pemirsanya.
Bagi pekerja pers, jurnalis, wartawan, atau apapun sebutannya, menulis ada pakem dasarnya. 5W + 1 H. What, Why, When, Where, Who, + How. 5 W-nya bisa ditukar-tukar mana yang didahulukan. Biasanya, W yang didahulukan, dianggap paling penting.
Mengacu pada pakem bagi wartawan tersebut, maka bagi penulis pemula, dapat terus mengembangkan/mengasah kemampuannya dalam menulis dengan senantiasa bertanya: mengapa?
Menulis itu Gampang! Untuk melahirkan tulisan yang enak dibaca, bagi pemula, disarankan untuk menuliskan “mimpinya”. Bermimpilah menjadi apa, atau menginginkan suatu kondisi yang bagaimana atas peristiwa dan keadaan lingkungan, baik sosial maupun politik. Sekadar contoh, bermimpilah tinggal di suatu
Mungkin banyak di antara kita, ketika di bangku SD diminta oleh guru untuk menuliskan atau mengarang tentang cita-cita ketika kelak dewasa.
- Wawancara Imajiner
Bisa juga dengan melakukan wawancara imajiner dengan narasumber tertentu. Misalnya, bila ingin menulis tentang situasi politik sekarang, atau mengetahui pendapat pendiri Republik ini, bisa meminta pandangan Bung Karno melalui wawancara imajiner. Anggap saja, mimpi bertemu dengan Bung Karno dan berdialog dengan beliau. Dan beliau mengajukan pendapatnya.
Atau tentang koperasi, bermimpilah bertemu dengan Bung Hatta. Tanyakan kepada beliau tentang membangun koperasi yang baik, seperti apa koperasi yang dicita-citakannya. Mungkin beliau menyesal melihat banyaknya jumlah koperasi, tapi minim kegiatan. Banyak koperasi hanya papan nama. Atau mungkin beliau menangis, melihat keadaan sekarang, koperasi dibentuk hanya untuk “mewadahi” program bantuan atau fasilitas dari pemerintah. Ironis memang.
Dan semua ini, hasil wawancara imajiner tersebut, sah-sah saja. Bolehlah disebut sebagai karya ilmiah popular. Ilmiah karena memenuhi unsure cara berpikir ilmiah. Runtut, adanyanya masalah, pembahasan, dan memberikan solusi. Disebut popular, karena tema yang diangkat sedang hangat-hangatnya dibicarakan masyarakat dewasa ini.
Di tengah situasi politik seperti sekarang, rasa-rasanya hampir semua orang gemar mengomentari politik. Paling tidak membicarakan politik.
Kalau mau menjadi penulis atau pengamat, sekarang memang waktunya tepat menjadi pemerhati pengamat politik. Coba perhatikan betapa berita-berita politik menjadi perhatian semua orang. Semua koran memuat komentar di koran.
Sepuluh tahun lalu masih jarang penulis opini di koran daerah. Kalaupun ada beberapa nama yang rajin mengirim artikel opini, terbatas dari kalangan dosen Fisip atau Hukum. Sangat jarang penulis dari bidang lain mengirimkan opini di koran. Bahkan, untuk menutupi ini, biasanya redaksi menghubungi kalangan tertentu, seperti dosen, pegiat sosial, dan sebagainya untuk meminta tulisan.
Pengalaman tersebut, tampaknya tidak terjadi lagi sekarang. Maraknya penerbitan media cetak, telah mendorong lahirnya penulis-penulis muda. Hanya saja, masih kurang diimbangi jumlah penulis produktif. Apalagi kalau melihat indikator lain, yaitu buku yang ditulis oleh orang daerah. Banyaknya muncul koran di daerah, merupakan lahan untuk menyebarluaskan ide melalui rubrik opini. Hampir semua koran memberikan/menyediakan ruang bagi tulisan-tulisan yang bersifat opini dari para pembacanya. Oleh karena itu, bagi para penulis, terutama penulis pemula, hal ini dapat menjadi medium bagi pengembangan potensi diri.
Bagi pihak media (koran) lahirnya penulis-penulis lokal juga akan memberikan manfaat (benefit) tersendiri. Hubungan antara penulis (pengamat, akademisi, professional) dengan media merupakan hubungan mutualisme. Istilah yang beredar di kalangan pekerja media, adalah: koran membesarkan orang, dan orang membesarkan media. Jadi kloplah.