---ARTIKEL INI DIMUAT LAMPUNG POST, JUMAT, 14 SEPTEMBER 2012---
HAKIKAT
politik pendidikan adalah bagaimana komitmen institusi politik memainkan
peran keberpihakan pada usaha memajukan pendidikan. Nilai filosofi
politik pendidikan adalah perubahan sosial ke arah yang lebih baik.
Politik
menjadi instrumen untuk memajukan pendidikan. Namun, dalam praktek
sering dijumpai justru pendidikan menjadi instrumen politik, meraih dan
memelihara kekuasaan atau berbagai keuntungan politik.
Dalam
perspektif politik pendidikan, para aktor yang terlibat dituntut
memberikan sumbangan yang optimal bagi pendidikan. Esensi praktek
politik pendidikan adalah bagaimana pengalokasian sumber daya yang
dimiliki, termasuk anggaran, pada sektor pendidikan. Di level teknis
operasional, aplikasi politik pendidikan adalah bagaimana anggaran dan
penggerakan sumber daya yang sudah disepakati dialokasikan di sektor
pendidikan dapat dilaksanakan secara optimal. Institusi politik berperan
melakukan pengawasan agar pelaksanaan program, kebijakan, dan kegiatan
di bidang pendidikan benar-benar sesuai dengan apa yang telah
direncanakan.
Untuk
mengukur komitmen politik pendidikan, hal yang paling tampak mudah
adalah seberapa besar proporsi anggaran diberikan pada sektor
pendidikan. Selain itu juga komitmen politik pendidikan dapat dianalisis
melalui apa saja yang telah dilakukan para aktor yang terlibat.
Guru Korban Politik?
Desentralisasi
merupakan bagian dari upaya manajemen, tetapi berdampak atau bertalian
dengan politik. Di era otonomi daerah, kewenangan pengelolaan guru
berada di daerah. Sudah bukan rahasia lagi, guru (dan jabatan kepala
sekolah) menjadi tersandera oleh berbagai kekuatan yang sedang membahana
di daerah. Kondisi seperti ini akan sangat kental ketika menjelang
pemilihan kepala daerah.
Guru
dijadikan instrumen politik untuk kepentingan kelompok tertentu. Guru
diombang-ambing oleh keinginan segelintir elite. Guru berada di tengah
kegalauan birokrasi yang tak prima. Barangkali dunia politik memiliki
perhitungan bahwa guru adalah simpul massa dan dianggap sebagai kelompok
strategis untuk memuluskan kepentingan politik tertentu. Di sisi lain,
tentu ada pula kalkulasi jumlah guru, kapitalisasi massa yang dapat
didulang, dan anggaran yang berpusar di sektor pendidikan.
Kebijakan
untuk guru terasa indah dan terdengar nyaring. Pemerintah memberikan
berbagai tunjangan, dan terutama tunjangan guru yang tersertifikasi.
Berbagai program juga dirancang untuk memajukan pendidikan, baik melalui
dana bantuan operasional sekolah, pembangunan gedung baru, beasiswa,
dan sebagainya.
Ketika
terjadi karut-marut pengelolaan berbagai anggaran dan pembangunan,
posisi guru terkena imbas negatif. Saat pembayaran tunjangan
terkatung-klatung, ada dilema dihadapi guru. Menuntut pembayaran,
dianggap tidak pantas karena nantinya dianggap sebagai guru yang tidak
ikhlas dan hanya mengejar uang. Tidak menunut, lebih runyam karena
semakin menenggelamkan harkat dan martabat guru sebagai sosok yang
pantas diteladani.
Guru
demo atau rasa, untuk menuntut hak-hak guru yang ditelantarkan, jelas
mengesankan "ketidakpantasan". Guru kok demo. Demo atau unjuk-rasa masih
diidentikkan dengan anarki dan ketidaktertiban. Bahkan ketika guru
mempertanyakan nasibnya, maka "ancaman" mutasi sudah membayangi.
Tak
dapat dipungkiri ada guru yang keblinger gemerlap materi, termasuk
tunjangan sertifikasi. Guru seperti ini menjadikan uang dan tunjangan
sertifikasi sebagai orientasi utama. Guru seperti ini enggan mengelola
diri untuk mencapai kemajuan dan sudah puas dengan apa yang dijalani
selama ini. Tetapi tidak akan pernah puas terhadap materi.
Perjuangan
Perjuangan
aspirasi guru melalui organisasi yang ada juga tampak menemui jalan
buntu, di tengah kuatnya kepentingan politik elite. Kekuatan dan potensi
guru rentan dipecah belah dan dibuat galau. Siapa peduli guru?
Pertanyaan “nakal” ini menunggu jawaban konkret dan tindakan nyata dari
lembaga wakil rakyat, kelompok masyarakat, dunia pendidikan, dan siapa
saja yang terpanggil.
Guru jangan demo karena tak pantas. Konsep guru harus nrimo,
masih didengung-dengungkan. Kalau guru bersuara menuntut haknya, mutasi
sepihak akan diterimanya. Meskipun saluran komunikasi politik macet,
guru terpaksa menelan ludah pahit.
Pendidikan
adalah proses yang lebih merupakan proses perubahan kualitas. Oleh
karena itu, indikator keberhasilan pendidikan juga sangat kualitatif.
Ukuran-ukuran kuantitatif harus dijadikan pelengkap pencapaian
kualitatif. Atau setidaknya model pengukuran gabungan sehingga lebih
mampu mencakup pencapaian-pencapaian yang ada. Agar tidak ada klaim
sepihak atau klaim yang semata-mata kuantitif tetapi tidak mencerminkan
isi dan proses pendidikan yang sesungguhnya.
Pendidikan
harus dikembalikan pada roh menyiapkan generasi yang lebih baik dan
tangguh menghadapi berbagai tantangan dan peluang. Pendidikan adalah
membangun kompetensi dan berbagai keterampilan yang berguna bagi masa
depan peserta didik.
Pendidikan
adalah pelayanan terhadap kemanusiaan, yang dalam konsep bernegara
disebut sebagai pelayanan publik. Tapi nyatanya pendidikan kini lebih
mudah dilihat sebagai komoditas politik, lahan perburuan rente ekenomi,
dan pasar sasaran berbagai produk barang dan jasa yang tidak terkait
dengan pendidikan secara langsung.
Core
pendidikan harus dijalankan oleh aparat, pegawai, staf, pejabat, dan
pelaku-pelaku yang memiliki kompetensi, bekerja profesional, motivasi
dan menjiwai dunia pendidikan sebagai lahan pengabdian dan menekuni
perannya sebagai panggilan jiwa. Pendidikan memerlukan kepemimpinan yang
memahami lingkungan strategis pendidikan itu sendiri sekaligus tetap
memberikan ruang bagi dinamika profesi guru yang bergerak sangat cepat.
Guru Ideal
Mestinya
profesi guru adalah panggilan jiwa, dan imbalan maupun prestise yang
disandangkan harus dilihat sebagai dampak ikutan yang diberikan oleh
pemerintah dan masyarakat. Guru harus terus meningkatkan wawasan dan
keterampilannya. Istilahnya, guru harus sudah selesai dengan dirinya
sendiri. Kalau sudah demikian, guru akan dapat tenang bekerja mendidikan
dan mengasuh siswanya. Guru mengembangkan segenap potensi yang dimiliki
siswanya agar mencapai kondisi yang paling optimal.
Guru
ideal adalah guru yang tidak sibuk dengan keinginan-keinginan berlebihan
terhadap duniawi. Apalagi guru berstatus pegawai negeri sipil dan sudah
bersertifikat sebagai guru profesional. Guru yang sepenuh hati
melaksanakan fungsi pendidikan dan menjalankan amanah kemanusiaan. Guru
yang mendidik siswa dengan kasih sayang dan membelajarkan secara
menyenangkan.
Guru
yang diperlukan di lembaga pendidikan siswa adalah guru yang senantiasa
memiliki gairah untuk terus belajar dan mengembangkan diri melalui
berbagai media, forum, organisasi, dan pelatihan-pelatihan. Guru yang
memiliki pengetahuan dan keterampilan pedagogis dan menerapkan dalam
proses pembelajaran.
Guru
dituntut untuk terus menempa diri dengan berbagai pengalaman
kependidikan yang berharga. Guru yang dilahirkan oleh lembaga pendidikan
yang juga dikelola secara profesional dan menghargai makna dan hakikat
pendidikan.
Kondisi
guru ideal dapat terwujud jika guru tidak terombang-ambing dalam
gelombang politik local dan elite politik. Profesi guru dilakoni oleh
mereka yang menghargai proses pendidikan dan bukan yang
mengagung-agungkan angka yang bersifat semu. Guru ideal akan senantiasa
dirindukan siswanya.
Guru
yang sudah melaksanakan kewajiban dan mencoba memperbaiki diri secara
terus-menerus hanya bisa berharap semoga terjadi perbaikan birokrasi
pendidikan. n