Kamis, 20 September 2012

GURU DAN POLITIK PENDIDIKAN


---ARTIKEL INI DIMUAT LAMPUNG POST, JUMAT, 14 SEPTEMBER 2012--- 
HAKIKAT politik pendidikan adalah bagaimana komitmen institusi politik memainkan peran keberpihakan pada usaha memajukan pendidikan. Nilai filosofi politik pendidikan adalah perubahan sosial ke arah yang lebih baik.

Politik menjadi instrumen untuk memajukan pendidikan. Namun, dalam praktek sering dijumpai justru pendidikan menjadi instrumen politik, meraih dan memelihara kekuasaan atau berbagai keuntungan politik.

Dalam perspektif politik pendidikan, para aktor yang terlibat dituntut memberikan sumbangan yang optimal bagi pendidikan. Esensi praktek politik pendidikan adalah bagaimana pengalokasian sumber daya yang dimiliki, termasuk anggaran, pada sektor pendidikan. Di level teknis operasional, aplikasi politik pendidikan adalah bagaimana anggaran dan penggerakan sumber daya yang sudah disepakati dialokasikan di sektor pendidikan dapat dilaksanakan secara optimal. Institusi politik berperan melakukan pengawasan agar pelaksanaan program, kebijakan, dan kegiatan di bidang pendidikan benar-benar sesuai dengan apa yang telah direncanakan.

Untuk mengukur komitmen politik pendidikan, hal yang paling tampak mudah adalah seberapa besar proporsi anggaran diberikan pada sektor pendidikan. Selain itu juga komitmen politik pendidikan dapat dianalisis melalui apa saja yang telah dilakukan para aktor yang terlibat.


Guru Korban Politik?

Desentralisasi merupakan bagian dari upaya manajemen, tetapi berdampak atau bertalian dengan politik. Di era otonomi daerah, kewenangan pengelolaan guru berada di daerah. Sudah bukan rahasia lagi, guru (dan jabatan kepala sekolah) menjadi tersandera oleh berbagai kekuatan yang sedang membahana di daerah. Kondisi seperti ini akan sangat kental ketika menjelang pemilihan kepala daerah.

Guru dijadikan instrumen politik untuk kepentingan kelompok tertentu. Guru diombang-ambing oleh keinginan segelintir elite. Guru berada di tengah kegalauan birokrasi yang tak prima. Barangkali dunia politik memiliki perhitungan bahwa guru adalah simpul massa dan dianggap sebagai kelompok strategis untuk memuluskan kepentingan politik tertentu. Di sisi lain, tentu ada pula kalkulasi jumlah guru, kapitalisasi massa yang dapat didulang, dan anggaran yang berpusar di sektor pendidikan.

Kebijakan untuk guru terasa indah dan terdengar nyaring. Pemerintah memberikan berbagai tunjangan, dan terutama tunjangan guru yang tersertifikasi. Berbagai program juga dirancang untuk memajukan pendidikan, baik melalui dana bantuan operasional sekolah, pembangunan gedung baru, beasiswa, dan sebagainya.

Ketika terjadi karut-marut pengelolaan berbagai anggaran dan pembangunan, posisi guru terkena imbas negatif. Saat pembayaran tunjangan terkatung-klatung, ada dilema dihadapi guru. Menuntut pembayaran, dianggap tidak pantas karena nantinya dianggap sebagai guru yang tidak ikhlas dan hanya mengejar uang. Tidak menunut, lebih runyam karena semakin menenggelamkan harkat dan martabat guru sebagai sosok yang pantas diteladani.

Guru demo atau rasa, untuk menuntut hak-hak guru yang ditelantarkan, jelas mengesankan "ketidakpantasan". Guru kok demo. Demo atau unjuk-rasa masih diidentikkan dengan anarki dan ketidaktertiban. Bahkan ketika guru mempertanyakan nasibnya, maka "ancaman" mutasi sudah membayangi.

Tak dapat dipungkiri ada guru yang keblinger gemerlap materi, termasuk tunjangan sertifikasi. Guru seperti ini menjadikan uang dan tunjangan sertifikasi sebagai orientasi utama. Guru seperti ini enggan mengelola diri untuk mencapai kemajuan dan sudah puas dengan apa yang dijalani selama ini. Tetapi tidak akan pernah puas terhadap materi.


Perjuangan

Perjuangan aspirasi guru melalui organisasi yang ada juga tampak menemui jalan buntu, di tengah kuatnya kepentingan politik elite. Kekuatan dan potensi guru rentan dipecah belah dan dibuat galau. Siapa peduli guru? Pertanyaan “nakal” ini menunggu jawaban konkret dan tindakan nyata dari lembaga wakil rakyat, kelompok masyarakat, dunia pendidikan, dan siapa saja yang terpanggil.

Guru jangan demo karena tak pantas. Konsep guru harus nrimo, masih didengung-dengungkan. Kalau guru bersuara menuntut haknya, mutasi sepihak akan diterimanya. Meskipun saluran komunikasi politik macet, guru terpaksa menelan ludah pahit.

Pendidikan adalah proses yang lebih merupakan proses perubahan kualitas. Oleh karena itu, indikator keberhasilan pendidikan juga sangat kualitatif. Ukuran-ukuran kuantitatif harus dijadikan pelengkap pencapaian kualitatif. Atau setidaknya model pengukuran gabungan sehingga lebih mampu mencakup pencapaian-pencapaian yang ada. Agar tidak ada klaim sepihak atau klaim yang semata-mata kuantitif tetapi tidak mencerminkan isi dan proses pendidikan yang sesungguhnya.

Pendidikan harus dikembalikan pada roh menyiapkan generasi yang lebih baik dan tangguh menghadapi berbagai tantangan dan peluang. Pendidikan adalah membangun kompetensi dan berbagai keterampilan yang berguna bagi masa depan peserta didik.

Pendidikan adalah pelayanan terhadap kemanusiaan, yang dalam konsep bernegara disebut sebagai pelayanan publik. Tapi nyatanya pendidikan kini lebih mudah dilihat sebagai komoditas politik, lahan perburuan rente ekenomi, dan pasar sasaran berbagai produk barang dan jasa yang tidak terkait dengan pendidikan secara langsung.

Core pendidikan harus dijalankan oleh aparat, pegawai, staf, pejabat, dan pelaku-pelaku yang memiliki kompetensi, bekerja profesional, motivasi dan menjiwai dunia pendidikan sebagai lahan pengabdian dan menekuni perannya sebagai panggilan jiwa. Pendidikan memerlukan kepemimpinan yang memahami lingkungan strategis pendidikan itu sendiri sekaligus tetap memberikan ruang bagi dinamika profesi guru yang bergerak sangat cepat.


Guru Ideal

Mestinya profesi guru adalah panggilan jiwa, dan imbalan maupun prestise yang disandangkan harus dilihat sebagai dampak ikutan yang diberikan oleh pemerintah dan masyarakat. Guru harus terus meningkatkan wawasan dan keterampilannya. Istilahnya, guru harus sudah selesai dengan dirinya sendiri. Kalau sudah demikian, guru akan dapat tenang bekerja mendidikan dan mengasuh siswanya. Guru mengembangkan segenap potensi yang dimiliki siswanya agar mencapai kondisi yang paling optimal.

Guru ideal adalah guru yang tidak sibuk dengan keinginan-keinginan berlebihan terhadap duniawi. Apalagi guru berstatus pegawai negeri sipil dan sudah bersertifikat sebagai guru profesional. Guru yang sepenuh hati melaksanakan fungsi pendidikan dan menjalankan amanah kemanusiaan. Guru yang mendidik siswa dengan kasih sayang dan membelajarkan secara menyenangkan.

Guru yang diperlukan di lembaga pendidikan siswa adalah guru yang senantiasa memiliki gairah untuk terus belajar dan mengembangkan diri melalui berbagai media, forum, organisasi, dan pelatihan-pelatihan. Guru yang memiliki pengetahuan dan keterampilan pedagogis dan menerapkan dalam proses pembelajaran.

Guru dituntut untuk terus menempa diri dengan berbagai pengalaman kependidikan yang berharga. Guru yang dilahirkan oleh lembaga pendidikan yang juga dikelola secara profesional dan menghargai makna dan hakikat pendidikan.

Kondisi guru ideal dapat terwujud jika guru tidak terombang-ambing dalam gelombang politik local dan elite politik. Profesi guru dilakoni oleh mereka yang menghargai proses pendidikan dan bukan yang mengagung-agungkan angka yang bersifat semu. Guru ideal akan senantiasa dirindukan siswanya.

Guru yang sudah melaksanakan kewajiban dan mencoba memperbaiki diri secara terus-menerus hanya bisa berharap semoga terjadi perbaikan birokrasi pendidikan. n