Jumat, 22 Juli 2011

Guru, antara Citra dan Realita

---Versi lain artikel ini dimuat Lampung Post, Kamis, 21 Juli 2011---
Tak dapat dipungkiri bahwa profesi guru dipandang oleh banyak orang merupakan profesi yang sangat mulia. Citra guru nicaya positif di benak masyarakat. Maka wajar jika kemudian banyak ibarat disematkan kepada guru: “Pahlawan tanpa tanda jasa”, “lilin yang menerangi”, “pelita dalam kegelapan” “embun penyejuk dalam kehausan”, “patriot pahlawan bangsa“, “pemandu berlayar mengarungi samudera kehidupan” dan sebagainya.
Kesemua ibarat merujuk pada satu hal; kemuliaan. Citra positif yang melekat pada profesi guru, pada kasus tertentu, terkadang terasa berlebihan. Jika guru melakukan kekhilafan, atau pelanggaran, maka runtuhlah citra kemuliaan itu. Ia akan menerima berbagai konsekuensi yang sangat tidak mengenakkan.
Menjaga martabat guru sangat berat. Dalam lingkungan masyarakat tertentu, seorang guru dianggap tahu dan bisa melakukan berbagai hal. Terutama dalam lingkup aktivitas kemasyarakatan. Tak heran, seorang guru di suatu daerah, misalnya, harus bisa memberi ceramah agama, memimpin doa, menyampaikan khutbah Jumat, dan sebagainya.
Di banyak kampung atau desa, peran ganda sering ditemui melekat pada guru; guru di sekolah, di lingkungan tempat tinggalnya ia juga merangkap sebagai ketua Rukun Tetangga, ketua Masjid, ketua Badan Perwakilan Desa, atau bahkan menjadi kepala desa. Untuk guru yang kira-kira usianya masih muda, banyak yang menjadi ketua perhimpunan pemuda desa, penggerak aktivitas olah-raga, maupun menjadi pelatih kegiatan generasi muda. (lanjut******)

Senin, 11 Juli 2011

OTONOMI GURU DAN PENDIDIKAN

***Artikel ini dimuat Lampung Post, Selasa, 12 Juli 2011***
BELAKANGAN ini bergulir wacana agar pengelolaan guru dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Di era otonomi daerah, memang manajemen guru diserahkan ke Daerah. Wacana ini melahirkan pro-kontra di kalangan guru dan pendidik itu sendiri. Kelompok yang setuju, terutama beralasan agar guru terbebas dari “politisasi” dan demi pemerataan. Sedangkan yang kontra, beranggapan akan kembali seperti era Orde Baru.
Manajemen guru memang bukan pekerjaan mudah. Sekitar 2,4 juta orang berprofesi sebagai guru dan tenaga pendidikan. Itu pun tersebar di seluruh wilayah negeri dan pada berbagai jenjang pendidikan. Status guru juga beragam dalam arti ada yang pegawai negeri dan ada yang swasta. Ada yang telah berstatus guru bersertifikasi, banyak juga yang belum. Jumlah guru yang memasuki masa pensiun dan rekrutmen guru baru juga besar.
Dengan keragaman seperti itu, tentu memerlukan berbagai perangkat pengaturan yang benar-benar terencana, sistematis, konsisten, dan berkelanjutan. Apalagi jika dikaitkan dengan upaya peningkatan kualitas pendidikan dan masalah hak terhadap akses pendidikan bagi warga negara.
Secara umum, problema besar pendidikan di Tanah Air adalah masalah kualitas pendidikan dan kesempatan mengikuti pendidikan bagi warga. Dua hal ini harus diwujudkan dan tidak saling dipertentangkan.
Substansi atas wacana agar manajemen guru dikembalikan ke Pusat sebenarnya menyangkut otonomi guru sebagai suatu profesi. Menjadi guru mensyaratkan adanya basis pendidikan keguruan, pengalaman dalam jabatan, pengembangan profesi berkelanjutan. Dalam mengelola kelas, membimbing proses pembelajaran, ia mendasarkan pada konsep dan teori pendidikan (didaktif). Ia menguasai dan mampu menerapkan metode pembelajaran yang dirasakan terbaik. (lanjut*****)

Jumat, 08 Juli 2011

PERAN GURU DAN PEMERATAAN PENDIDIKAN

----- Artikel ini dimuat Radar Lampung, Senin, 18 Juli 2011 -----
Hampir 10 tahun terakhir, manajemen guru diserahkan ke Daerah. Ini seiring dengan era otonomi daerah. Kini, berkembang wacana, agar pengelolaan guru dilakukan oleh Pusat. Dan seperti biasa, sikap pro-kontra menyertai wacana ini. Jika dicermati, ada dua isu utama dalam manajemen guru, selain isu-isu tentang pendidikan. Pertama, adalah manajemen guru dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan. Kedua, pemerataan kesempatan atau akses pendidikan bagi setiap warga masyarakat. 

Peran guru dalam pendidikan masih sangat sentral sebagai fasilitator pembelajaran. Meskipun di tengah kemajuan berbagai perangkat pembelajaran dan aneka sumber belajar. Keberadaan guru menjadi sumber inspirasi, motivasi, dan keteladanan sikap, dalam proses belajar siswa.
Eksistensi guru tidak tergantikan oleh teknologi informasi dan komunikasi, komputer, software, atau program belajar. Justru kehadiran teknologi dan perangkat keras penunjang belajar itulah melengkapi pembelajaran. Teknologi komunikasi dan sumber belajar dimaksudkan untuk mengefektifkan pembelajaran.
(lanjut*****)