Jumat, 13 April 2012

DISORIENTASI PENDIDIKAN DAN BUDAYA INSTAN

(ARTIKEL INI DIMUAT RADAR LAMPUNG, SELASA, 10 APRIL 2012)
Dewasa ini dapat diamati munculnya gejala disorientasi pendidikan. Pragmatisme menyelimuti hampir setiap aspek pendidikan. Idealisme masih ada, tetapi terkalahkan oleh sikap pragmatis. Terhadap pendidikan, sebagian besar masyarakat berorientasi pada hasil, bukan proses.


GEJALA disorientasi pendidikan itu secara nyata dapat dilihat cara pandang pendidikan pada hasil semata-mata yang dicerminkan nilai angka. Sampai-sampai, mengabaikan bahwa hakikat pendidikan adalah proses panjang. Kelulusan bukan dilihat sebagai momentum untuk memacu prestasi lebih baik lagi.
Diperlukan banyak persiapan dan waktu yang lama untuk meyakini dan menghayati bahwa pendidikan adalah suatu proses panjang. Mengubah cara pikir dan pandang terhadap pendidikan sebagai pembelajaran sepanjang hayat itu perlu keterlibatan banyak pihak. Budaya instan, semuanya asal cepat. Seperti makanan atau minuman instan, yang mementingkan cepat saji. Karena pemahaman, sikap, tindakan, kebiasaan, dan perilaku instan itu telah merasuk ke sendi-sendi kehidupan terkait dengan pendidikan, tak berlebihan jika lahir istilah budaya instan.
Kini, pelajar kelas VI SD, IX SMP, dan XII SMA sedang serta akan mengikuti ujian nasional (UN). Seperti tahun-tahun sebelumnya, para orang tua juga turut sibuk. Kekhawatiran menyeruak terhadap kemungkinan hasil UN anak-anak mereka. Tidak lulus adalah momok yang amat menakutkan. Tidak lulus UN berarti menguras sumber daya setahun lagi. Belum lagi beban mental dan moral secara sosial, serta harapan bahwa jika anaknya lulus UN akan melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya atau memasuki dunia kerja.
Persoalan lulus atau tidak dalam suatu ujian, harusnya menjadi hal yang biasa. Karena memang, hanya ada dua kemungkinan hasil suatu ujian. Yaitu lulus dan tidak. Tidak ada hasil ujian yang menyebutkan, misalnya, setengah lulus, agak lulus, dan hampir lulus. Masalahnya, apakah ujian itu dilaksanakan secara profesional dan berkeadilan? Apakah ujian itu mencakup banyak aspek penilaian? Apakah setiap siswa mendapat layanan dan fasilitas belajar yang memadai?
Jika semua pertanyaan itu terjawab ’’sudah’’, menghadapi suatu ujian sebenarnya tidak terlampau menjadi masalah. Mengapa? Karena dalam diri siswa sudah tumbuh semangat kompetisi secara fair, kesadaran akan batas kemampuannya. Sebab, iklim yang ada sekarang tidak merangsang orang untuk menerima kenyataan suatu ujian. Proses penyelenggaraan ujian itu sendiri juga masih carut-marut.
Hiruk-pikuk seputar UN bagi siswa di sekolah seakan-akan menjadi ritual tahunan. Perdebatan yang menguras energi, dan biaya yang tidak sedikit. Tapi belum ada satu formula ujian yang disepakati semua pihak. Untuk menentukan kelulusan siswa dari suatu jenjang sekolah tahun ini sudah lebih maju, karena melibatkan penilaian sejak semester awal. Dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sudah mematok slogan UN berlangsung jujur dan berprestasi.
Evaluasi
Fungsi sekolah adalah mendidik, membelajarkan siswa, dan mencapai tujuan pendidikan yang universal yaitu terwujudnya manusia yang bertakwa kepada Tuhan, cerdas, berbudi pekerti luhur, memiliki keterampilan, dan ketanggapan terhadap peluang masa depan.
Fungsi sekolah bukan hanya meluluskan siswa. Kelulusan adalah suatu tahapan penanda selesainya siswa mengikuti jenjang pendidikan dan memenuhi segala kewajiban dan kriteria yang ditetapkan. Jadi, kelulusan itu bukan tujuan.
Menghadapi UN, perilaku jalan pintas mewujud dalam belajar secepat-cepatnya dalam rangka lulus UN. Tak pelak, penyedia jasa bimbingan belajar, les privat, dan sejenisnya laris manis. Semuanya terfokus pada bagaimana lulus, bukan bagaimana berprestasi.
UN adalah sarana evaluasi. Evaluasi adalah upaya untuk mengetahui pencapaian suatu program atau kegiatan dibandingkan dengan kriteria yang ditetapkan. Kriteria itu dapat berupa target, tujuan, kemampuan, dan kondisi yang diharapkan.
Sudah semestinya, UN difungsikan sebagai alat ukur untuk menilai sejauh mana pencapaian standar kompetensi lulusan peserta didik secara nasional. Mengukur hasil proses belajar siswa-siswi di selama bersekolah pada masing-masing tingkatannya.
Tantangan dunia pendidikan dewasa ini adalah dalam hal pelaksanaan model pembelajaran instan, keengganan sebagian pendidik memperbarui materi dan kecemasan mengakses aneka sumber belajar, dan lainnya. Karakter siswa yang lemah, melahirkan disiplin rendah.
Mata rantai budaya instan telah merajalela pada semua sendi kehidupan, tidak hanya di dunia pendidikan. Di lembaga pendidikan meski ada sebagian siswa yang menunjukkan prestasi gemilang, perilaku sebagian siswa menampar wajah sosial kita. Kecenderungan mau menang sendiri di jalan raya, tidak sabar dalam antrean, dan yang lain adalah sebagian contohnya.
Harus diakui anak usia sekolah, terutama sekolah dasar, adalah masa emas (golden age) untuk membentuk sikap positif, menanamkan nilai-nilai, menghargai keragaman, mendorong motivasi berprestasi, dan disiplin belajar.

Pendidikan harus dipandang secara multidimensi dan multidampak. Dampak pendidikan itu akan terlihat dalam jangka panjang. Mendidik harus dilakukan dengan cara yang paling sesuai dengan situasi dan kondisi siswa, dukungan lingkungan, dan penciptaan iklim yang kondusif untuk belajar. Selalu dicari model-model pembelajaran yang efektif dan menyenangkan. Pembelajaran di sekolah hendaknya menjadi pemicu mengeksplorasi segenap potensi diri siswa. (****lanjut)