Minggu, 06 Desember 2015

Perbaikan Terus Menerus




Artikel ini dimuat Harian Trans Lampung Edisi Senin, 28 September 2015 

LINGKUNGAN sosial dan ekonomi bergerak dinamis. Kehidupan masyarakat mengalami pasang surut. Namun yang pasti, masyarakat menghendaki adanya pelayanan publik yang terbaik. Masyarakat menuntut pelayanan publik yang berkualitas, dan proses yang prima.
Pelayanan publik merupakan bagian dari fungsi negara, yang tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada privat atau swasta. Bahkan, kalau dilihat secara hakiki, eksistensi negara itu ada di pelayanan publik. Kalau hal-hal lain, yang sifatnya substitusi atau sederhana, mungkin tanpa aparatur negara pun bisa diselenggarakan oleh swasta murni.
Apa yang menjadi tuntutan masyarakat akan penyelenggaraan pelayanan publik yang berkualitas wajar saja. Siapapun ingin mendapat pelayanan yang terbaik. Setiap orang ingin mendapatkan pelayanan yang melebihi harapannya oleh penyelenggara pelayanan yang menjunjung tinggi etika dan sikap santun.
Contohnya saat berobat, di Puskesmas maupun rumah sakit pemerintah, kalau bisa tidak perlu antre, petugas medis yang ramah, prosedur yang jelas, dan dokter yang andal.
Masyarakat ingin mendapatkan listrik yang murah, aman, cepat, dan andal. Begitu juga pelayanan petugas penyedia listrik yang ramah, prosedur mendapatkan listrik yang terang-benderang, dan yang jelas, tidak sering mati lampu. Bahkan, kalau listrik tetap ada sepanjang tahun, dan tidak ada pemadaman sedetik pun.
Gambaran tuntutan akan pelayanan publik seperti tersebut, bisa diambil pada contoh-contoh pelayanan publik yang lain, seperti perizinan, pendidikan, keamanan, transportasi umum, bahan bakar minyak, dan sebagainya. Pelayanan publik menyangkut jasa maupun produk. Penyelenggaraannya merupakan amanah undang-undang.
Pemerintah, sebagai aparatur negara, wajib melakukan upaya perbaikan terus menerus dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Pelayanan publik dikatakan memuaskan apabila penerima pelayanan merasakan apa yang diterimanya melebihi harapan saat sebelum mendapat pelayanan.
Pemerintah harus melakukan upaya-upaya efisiensi dan mengefektifkan pelayanan publik, dan tetap meningkatkan kualitas pelayanan, demi kepuasan penerima pelayanan. Pelayanan publik yang baik akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, dan akan memberikan dukungan kepada setiap program pemerintah.
Pelayanan publik yang baik mencerminkan kehidupan yang sejahtera dan negara yang kuat.
Secara konseptual, pelayanan publik harus memiliki standar pelayanan dan dipublikasikan sebagai jaminan dan kepastian bagi masyarakat yang memanfaatkan pelayanan.
Standar pelayanan merupakan ukuran yang harus dimiliki dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang wajib ditaati oleh pemberi dan penerima pelayanan.
Standar pelayanan publik sekurang-kurangnya meliputi prosedur pelayanan, waktu penyelesaian, produk pelayanan, biaya pelayanan, sarana dan prasarana pelayanan, dan terakhir, kompetensi petugas pemberi pelayanan.
Prosedur pelayanan harus dibakukan bagi pemberi dan penerima pelayanan publik, termasuk pengaduan, sehingga tidak terjadi permasalahan di kemudian hari. Prosedur pelayanan harus ditetapkan melalui standar pelayanan minimal, sehingga pihak penerima pelayanan dapat memahami mekanismenya.
Waktu penyelesaian dalam pelayanan publik, yang ditetapkan sejak saat pengajuan permohonan sampai dengan penyelesaian pelayanan termasuk pengaduan. Semakin cepat waktu penyelesaian pelayanan, maka akan semakin meningkatkan kepercayaan masyarakat akan pelayanan yang diberikan.
Produk pelayanan merupakan salah satu dari standar pelayanan publik. Hasil pelayanan akan diterima sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Produk pelayanan harus dipahami secara baik, sehingga memang membutuhkan sosialisasi kepada masyarakat. (*)

Pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil


Artikel ini dimuat Harian Trans Lampung Edisi Senin, 5 Oktober 2015

USAHA mikro dan kecil muncul sebagai tuntutan untuk “bertahan hidup”.  Kehadirannya seringkali bersifat alamiah, dalam arti dibentuk dan dilakukan oleh perorangan atau badan usaha untuk menghidupi keluarga atau kelompok kecil.  Dalam pengelolaannya sangat sederhana, belum menerapkan sistem akuntansi yang rumit dan legalitas yang terbatas.
Usaha mikro kecil mendayagunakan potensi yang ada dalam diri perorangan atau badan usaha, dengan skala usaha yang juga terbatas dan tidak bersifat ekspansif. Biasanya pula, usaha mikro kecil menghadapi permasalahan akses terhadap modal perbankan karena berbagai keterbatasannya.
Usaha mikro kecil acapkali bergerak di bidang industri rumah tangga, produk kerajinan, perdagangan dalam skala yang kecil, atau pelayanan jasa yang sederhana.
Penyederhanaan ini untuk membedakan dengan usaha besar yang bersifat konglomerasi dan orientasi profit. Usaha besar seringkali menangani usaha dari hulu hingga hilir, bernafsu menguasai semua lini usaha, dan menyebar luas di seluruh wilayah negeri. Tabiat kapitalisasi akan muncul dalam wujud ekspansi yang masif dengan memanfaatkan teknologi, sumber daya manusia yang berkeahlian tinggi, dan akses modal yang boleh dibilang nyaris tak terbatas.  
Berdasar pengalaman krisis moneter 1997 hingga 1998, usaha mikro dan kecil dianggap tangguh menghadapi situasi krisis. Ini karena usaha kecil ditopang oleh berbagai faktor yang bersifat mandiri dan penggunaan sumber daya setempat. Yang juga penting diingat, usaha mikro kecil tidak memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap kurs mata uang asing.  
Perbedaan akan sangat mencolok ketika perusahaan besar menghadapi krisis moneter dan nilai tukar terhadap dolar dibandingkan usaha mikro kecil. Perusahaan besar memiliki ketergantungan terhadap bahan baku dan sumber daya dalam jumlah yang sangat besar. Ketika terjadi pengurangan pasokan bahan baku, sistem operasi akan terganggu.
Situasi perekonomian tahun 2015 ini memaksa kita belajar dengan kondisi serupa tahun 1997-1998. Krisis waktu itu berimbas pada krisis politik sehingga menumbangkan Orde Baru.
Untuk memberdayakan usaha mikro kecil, pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah tak cukup hanya  beretorika atau menabur harapan semu. Diperlukan program dan aksi nyata yang langsung menyentuh kepentingan usaha mikro kecil.  Usaha mikro kecil tidak membutuhkan program yang muluk-muluk. Ia hanya butuh “keberpihakan” dari pemerintah.
Dalam skala daerah, pemerintah daerah perlu mencari terobosan untuk memberikan stimulus bagi usaha mikro kecil, tanpa mengorbankan tatanan lain yang sudah mapan dan mengganggu pundi-pundi pendapatan daerah.
Pembinaan terhadap usaha mikro kecil benar-benar berdasarkan potensi dan identifikasi masalah yang diahdapi, pendampingan berkelanjutan, dan stimulus lain yang benar-benar memberdayakan.
Aktivitas usaha mikro kecil meskipun tidak menjadi sumber utama pendapatan asli daerah, ia bisa menopang perekonomian masyarakat. Dan yang lebih penting ia juga menjadi katalisator krisis ekonomi. (*)

Jumat, 04 Desember 2015

Mudik, Ritual Tahunan


MUDIK di hari raya Idul Fitri telah menjadi ritual tahunan, yang mecirikan kekhasan masyarakat Indonesia. Mudik atau pulang kampung, dimaksudkan untuk bersilaturahmi dengan keluarga, mengunjungi kampung halaman, dan atau melakukan ziarah kubur kepada orang-orang yang disayangi.
Mudik menjadi tradisi turun-temurun, yang cenderung boleh dibilang membudaya. Banyak nilai-nilai mulia yang terkandung dalam tradisi mudik ini. Silaturahmi, mengunjungi orangtua, menyebar kebaikan, semuanya merupakan ajaran yang memuat nilai-nilai kebersamaan dan kegotong-royongan.
Apalagi, kalau dilihat bahwa dalam mudik itu ada perputaran ekonomi yang luar biasa besar. Dampak ekonomi juga sangat besar. Harapannya, terjadi pergeseran perputaran uang dari perkotaan ke perdesaan. Ini perlu dijaga bahwa jangan sampai perputaran uang yang selama ini sudah banyak di perkotaan, justru tidak berdampak positif terhadap perekonomian perdesaan.  
Biasanya, dari tradisi mudik juga diikuti dengan arus urbanisasi. Para pemudik acap kali mengajak sanak kerabat mereka dari desa ke kota. Datang ke kota untuk mengadu nasib, mencari pekerjaan atau mencari penghidupan yang lebih baik.
Tidak jadi soal jika memang sudah memiliki bekal keterampilan, kesiapan mental, dan fisik yang memadai. Yang jadi persoalan dan akan membebani perkotaan jika para pendatang baru itu tidak memiliki bekal yang cukup. Setidaknya, dalam mencari pekerjaan sudah ada gambaran dan kesiapan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki.
Tradisi mudik menjadi menarik dan menyedot perhatian, mengingat jutaan orang melakukan perjalanan dalam waktu bersamaan. Hanya dalam hitungan hari, terjadi pergerakan manusia dari satu tempat ke tempat lainnya. Setiap arus mudik, selalu juga diikuti arus baik, yang memiliki kompleksitas yang sama.
Hal ini yang harus diantisipasi oleh pemerintah dalam menyiapkan infrastruktur dan sistem transportasi. Pemerintah dituntut menyiapkan moda angkutan, sumberdaya manusia, dan sarana pendukung lainnya.
Kita ingin adanya perbaikan dari waktu ke waktu. Perbaikan infrastruktur jalan, moda angkutan yang nyaman dan aman, aparatur perhubungan yang ramah dan melayani, fasilitas terminal yang bersih, rest area yang bersih dan aman.
Kita tidak ingin dicap sebagai bangsa yang gagap dalam penyelenggaraan sistem perhubungan. Penyelenggaraan arus mudik dan arus balik harus memperhitungkan pertumbuhan jumlah orang, jumlah kendaraan, dan kebutuhan fasilitas pendukung yang diperlukan.
Kita tidak mau niat baik dan tradisi baik mudik menjadi tidak baik, mengumpat kepada pemerintah, atau para penyelenggara dan penyedia jasa transportasi. Sebab, ini terjadi setiap tahun. (*)   

Selamatkan Pasar Tradisional



 KEBERADAAN pasar tradisional kini kian terpinggirkan. Faktanya, pasar tradisional kian tergerus oleh arus modernisasi. Mini-market bertaburan di sekitar pasar. Mall dan pusat perbelanjaan modern pun berada sangat dekat dengan pasar (tradisional).
Para pedagang di pasar tradisional tetap bertahan, dengan segmen pembeli kelompok tertentu, yang jumlahnya semakin berkurang. Para pengunjung pasar tradisional, selain karena alasan idealisme dan kultural, biasanya karena alasan dekat dengan tempat tinggal.
Kini mungkin agar terdengar aneh kalau menyebut pasar tradisional. Anak-anak muda sudah jarang atau mungkin tidak pernah berkunjung ke pasar tradisional. Untuk memenuhi berbagai keperluan, yang para orangtua dulu membelinya di pasar, kini mereka memperolehnya di mini-market, mall, atau bahkan belanja via online.
Keberadaan pasar tradisional bukan tak tersentuh oleh pembangunan. Pemerintah, atau pemerintah daerah, bahkan dinilai memiliki kepedulian yang sangat tinggi terhadap pasar tradisional. Namun sayangnya, kepedulian terhadap pasar tradisional lebih pada aspek infrastruktur.
Berbagai permasalahan di pasar tradisional sudah menjadi rahasia umum. Faktor kenyamanan, kebersihan, keamanan, dan pungutan-pungutan yang mendera pedagang sudah menjadi hal lumrah. Tapi, dengan alasan keterdesakan kebutuhan, baik oleh pedagang maupun para pengunjung pasar, semua permasalahan itu bagai angin lalu. Apalagi yang namanya pungli, sulit sekali membuktikannya. Yang dipungut juga takut mengungkapkan, karena masih butuh, dan yang memungut juga berlindung di balik status maupun kekuatan.
Revitalisasi atau pembangunan pasar, seringkali membawa misi mencari profit dari proses pembangunan itu. Rencana revitalisasi pasar pasti dengan kemasan meningkatkan kapasitas pasar, menciptakan dayatarik pasar, dan demi kenyamanan pedagang dan pengunjung pasar. Di sisi lain, untuk revitalisasi pasar, para pedagang yang sudah ada harus membayar sejumlah uang untuk “booking” los atau lapak. Kalau tidak mau, masih banyak calon pedagang yang siap membeli.
Para pedagang yang lama, dalam proses pembangunan ditempatkan di tempat penampungan sementara (TPS).  Yang miris, kalau proses pembangunan pasar itu terkatung-katung, sehingga nasib para pedagang yang berada di TPS kian tak menentu.
Sebenarnya, beberapa pasar yang ada di Bandarlampung maupun di beberapa daerah, masih banyak yang layak digunakan. Malah, los maupun toko di pasar tersebut masih banyak yang kosong. Utamanya pasar yang bangunannya bertingkat. Namun, atas nama pembangunan, revitalisasi pasar tetap harus dilanjutkan.
Beberapa waktu belakangan ini, Pemerintah Kota telah dan akan terus melakukan penataan pasar. Belajar dari proses pembangunan Pasar Tugu dan Pasar Smep, hendaknya revitalisasi pasar maupun penataan pasar, lebih mengedepankan aspek humanisme.
Penataan pasar bukan hanya merobohkan bangunan yang sudah ada, merombak total bangunan yang lama, tetapi yang lebih penting adalah penataan sistem pengelolaan pasar.
Pembinaan terhadap pedagang tidak saja dalam segi ketaatan terhadap peraturan, tetapi yang lebih penting adalah kelangsungan hidup para pedagang. Penerapan aturan memang harus dengan disipin. Tapi, memberikan ruang fleksibilitas terhadap pedagang juga penting. Pembinaan dari segi permodalan, manajemen usaha, akses terhadap barang, penciptaan keamanan dan kepastian di pasar, dan sebagainya tak kalah pentingnya daripada pembangunan fisik pasar. (*)

Kamis, 02 Juli 2015

Gubernur Termuda. So what?



TANGGAL 2 Juni 2015 tepat setahun M. Ridho Ficardo menjabat sebagai Gubernur Lampung bersama Bakhtiar Basri sebagai Wakil Gubernur. Satu tahun kepemimpinan gubernur termuda ini layak dijadikan sebagai momentum untuk merefleksikan apa yang sudah dilakukan dan seberapa jauh dampak dan pengaruhnya terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Satu tahun pertama masa jabatan merupakan periode yang akan menentukan keyakinan masyarakat akan kinerja gubernur beserta jajarannya.
Saat dilantik pada 2 Juni 2014, banyak harapan masyarakat Lampung digantungkan di pundak Ridho dan Bakhtiar. Maklumlah, ini karena “darah muda” dan segar, pasca rezim pemerintahan sebelumnya di bawah Sjachroedin sebagai gubernur yang menjabat selama dua periode masa jabatan.
Berbagai sanjungan mengemuka saat Ridho dilantik sebagai gubernur. Sebutan sebagai gubernur termuda, bahkan menggemakan suara, sebagai gubernur termuda se-Asia.
Tapi Ridho tak larut dalam pujian dan sanjungan. Hal itu malah dijadikan sebagai kekuatan pemicu untuk terus mengabdi dan berkarya untuk Lampung.
Yang sering disampaikan oleh Ridho dalam banyak kesempatan, kalau memang muda, lantas apa? Muda usia yang penting adalah perannya terhadap kemajuan masyarakat dan daerah Lampung. Muda kalau tidak turut berpartisipasi dalam pembangunan, tidak ada artinya. Hal ini sangat disadari oleh Ridho. “Lha kalau gubernur termuda, so what,” ucapnya seraya tersenyum.
Saat ini, setahun gubernur termuda memimpin Lampung, saat tepat mengajukan “gugatan” dan berbagai pertanyaan, sudahkan dia memenuhi janji-janji kampanyenya? Saat kampanye, perbaikan infrastruktur dan pertanian menjadi prioritas program yang diusung Ridho bersama Bakhtiar. Tentu saja, tidak mengabaikan sektor lainnya, industri dan perdagangan, pendidikan, kesehatan, sosial keagamaan, dan sebagainya.
Kita tahu, di awal masa jabatan, kondisi infrastruktur khususnya jalan, di Lampung, rusak parah. Faktanya, akses jalan, baik jalan negara, jalan provinsi, maupun jalan kabupaten, banyak yang tidak layak. Tak terhitung lagi keluhan masyarakat disampaikan melalui berbagai media dan saluran.
Menanggapi kondisi dan keluhan masyarakat itu, respon Ridho sejalan dengan program prioritas yang diusung saat kampanye, memberi “angin surga” bagi perbaikan prasarana dan sarana jalan. Megaproyek Kotabaru di Jatimulyo, Lampung Selatan ditunda pembangunannya. Dasarnya adalah kebijakan pemerintah pusat untuk moratorium pembangunan gedung perkantoran pemerintahan. Alasan yang dikemukakan selain keterbatasan anggaran, dan anggaran yang ada akan dioptimalkan untuk perbaikan infrastruktur jalan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat.
Tapi faktanya, hingga kini perbaikan jalan belum juga dilakukan secara massif dan signifikan.
Di awal masa jabatannya, Ridho pernah meninjau lokasi kerusakan Jalan Ir. Sutami. Ruas jalan ini adalah salah satu contoh, sekali lagi, salah satu contoh, buruknya jalan di Lampung.
Ruas Jalan Ir. Sutami yang menghubungkan Bandarlampung dengan Kabupaten Lampung Timur melintasi Kabupaten Lampung Selatan. Kondisi jalan itu rusak parah. Kubangan sedalam sekitar 50 centimeter bahkan lebih, bertebaran di mana-mana, di badan jalan! Saat warga Lampung Timur sakit dan harus dirujuk ke rumah sakit di Bandarlampung, kendaraan yang membawa pasien tidak bisa melaju cepat, agar pasien segera mendapat pertolongan di rumah sakit yang memiliki fasilitas memadai. Ironis.
Dalam keadaan normal, ruas Jalan Ir Sutami dari Panjang (Bandarlampung) hingga Sribhawono (Lampung Timur) sepanjang sekitar 60 kilometer, bisa ditempuh dengan kendaraan selama sekitar satu jam. Kini, harus ditempuh empat jam! Naif.
Kondisi kerusakan jalan tersebut hanyalah salah satu contoh, buruknya infrastruktur jalan di Lampung. Di kabupaten lainnya, kondisi serupa banyak  ditemukan. Kerusakan jalan itu berlangsung bertahun-tahun. Adanya perbaikan tambal sulam sangat tidak signifikan dibanding kerusakan badan jalan.
Buruknya infrastruktur jalan menunjukkan “wajah asli” kondisi kekinian, yang bisa menjadi indikator buruknya sektor lainnya. Iklim investasi, sosial budaya, lingkungan hidup, dan pelayanan publik lainnya bisa dipastikan tidak jauh berbeda dengan kondisi jalan yang bopeng.  
Potret buram wajah infrastruktur jalan di Lampung dapat dijadikan tolak ukur sejauh mana kinerja jajaran Pemerintahan Provinsi Lampung.
Jalanan yang rusak berimbas pada terhambatnya distribusi barang, beratnya akses hasil pertanian, lambatnya pelayanan jasa, mandeknya pariwisata, buruknya akses informasi dan susahnya generasi muda mendapat pendidikan. Semua permasalahan itu bermuara pada penilaian kinerja gubernur dan jajarannya.
Saat ini, waktu yang tepat pula untuk memberikan masukan, kritik, dan saran konstruktif. Pemimpin yang matang, akan senantiasan mendengar kritik sepedas apapun itu dan dari manapun itu berasal. Saat ini dapat diibaratkan sebagai entri pint untuk mengetahui efektivitas birokrasi dalam mewujudkan pelayanan publik, pengembangan sumberdaya manusia, dan kesejahteraan masyarakat.
Pemerintahan dapat diibaratkan sebagai entitas pelayanan, khususnya pelayanan publik. Sebab, pelayanan yang sifatnya nonpublik bisa diselenggarakan oleh masyarakat. Apresiasi patut diberikan jika apa yang diberikan melebihi apa yang diharapkan oleh pengguna jasa layanannya, dalam hal ini masyarakat. Kalau pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah Provinsi Lampung di bawah “dirigen” Gubernur Ridho Ficardo kepada masyarakat Lampung masih belum bisa melebihi harapan, rasanya berat dan tidak banyak yang ringan untuk memberikan acungan jempol. Empat tahun ke depan, menjadi ajang pembuktian bahwa gubernur muda tidak sekadar muda, tetapi juga mampu mengelola pemerintahan dengan baik, membina birokrasi, mengayomi masyarakat, dan mengembangkan kehidupan sosial yang harmonis. Visi Lampung maju dan sejahtera bukan hal mustahil. (*)
Artikel ini dimuat di Harian Trans Lampung, Edisi Senin, 3 Juni 2015