Rabu, 23 Maret 2011

Guru Besar Anomali

link: http://www.dikti.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1940:guru-besar-anomali&catid=159:artikel-kontributor (22 Maret 2011)   --------   
Written by Prof. Ronny Rachman Noor, Ir, MRur.Sc, Ph.D. ------- 
Tuesday, 01 March 2011 08:41 ------- Dalam UU Republik Indonesia No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Bab I tetang Ketentuan Umum Pasal 1 poin 3 (tiga) disebutkan bahwa Guru besar atau profesor yang selanjutnya disebut profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi. Selanjutnya pada pasal 49 ayat 1 tercantum pula bahwa Profesor merupakan jabatan akademik tertinggi pada satuan pendidikan tinggi yang mempunyai kewenangan membimbing calon doktor. Kata Jabatan fungsional dan jabatan akademik tertinggi, tidak saja bermakna sebagai pengakuan prestasi akedemik, akan tetapi tersimpan magna yang paling dalam, yaitu “keteladanan”. Makna keteladanan ini tidak saja menyangkut prestasi akademik, akan tetapi juga menyangkut norma dan moral. Seseorang yang telah menyandang jabatan fungsional tentunya telah meniti karir dan melakukan kegiatan tridharma, yang meliputi pendididkan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dalam kurun waktu yang cukup lama. Sederetan persyaratan tentunya sudah dipenuhinya, antara lain memiliki kualifikasi akademik Doktor. Selain itu, calon Guru Besar harus memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan - perundangan yang berlaku. Sebagai penghargaan atas kecermelangan karirnya tersebut, sejak Januari 2008, pemerintah memberikan sertifikasi otomatis kepada guru besar yang telah memiliki gelar doktor sehingga gajinya ditambah dengan satu kali gaji pokok. Mulai Januari 2009, para guru besar mendapatkan tunjangan kehormatan profesor yang nilainya sebesar dua kali gaji pokok. Pada awal karir seorang dosen tentunya pernah terkilas dipikirannya bahwa suatu kelak nanti dia berharap dapat mencapai jabatan akademik tertinggi. Sayangnya dalam mencapai cita cita tersebut masih ada segelintir dosen yang seharusnya menjadi suri teladan, melakukan tindakan anomali yang tidak sesuai dengan magna dan norma yang melekat pada predikat Guru Besar yang akan diraihnya. Temuan di lapangan masih menunjukkan bahwa dalam pengusulan Guru Besar masih ada tindakan anomali yang cenderung menghalalkan segala cara untuk mencapai jabatan fungsional tertinggi tersebut. Pada suatu saat salah satu Tim Penilaian Angka Kredit mengevaluasi berkas pengusulan Guru Besar dan secara insting dia merasa bahwa ada yang kurang beres dengan publikasi hasil penelitian si pengusul. Penerbit Jurnal internasional tempat karya ilmiah si pengusul diajukan tampak asing baginya, walaupun karya ilmiah tersebut dicetak dengan kelas cetakan dan kertas mewah sekelas penerbit Elsevier. Dari keraguan ini selanjutnya dilakukan investigasi dengan cara mengunjungi alamat Jurnal Internasional tersebut. Hasilnya ? Alamat penerbit tidak ditemukan dan yang ada hanya komplek pertokoan. Hal ini mengindikasikan bahwa si pengusul memalsukan berkas karya ilmiahnya dengan cara mencetaknya sendiri. Ada juga kasus lain, dimana secara kebetulan salah seorang Guru Besar yang membimbing Doktor menemukan karya ilmiah bimbingannya yang sama sekali tidak mencantumkan nama beliau sebagai salah satu penulis, padahal beliau pembimbing utama dan disertasinya merupakan karya pemikiran bersama. Alasan si penulis melakukan tidakan yang kurang terpuji ini adalah si pembimbing sudah Guru Besar dan tidak memerlukan angka kredit lagi. Ternyata karya ilmiah yang telah direkayasa dengan menghilangkan sama pembimbingnya tersebut diajukan sebagai salah salah satu publikasi ilmiah utama dalam pengajuan Guru Besarnya. Apapun alasannya tindakan ini merupakan salah satu bentuk anomali yang mengarah kepada ketidakjujuruan ilmiah. Kasus lain yang akhir akhir ini menggejala adalah mencapai gelar doktor tanpa proses belajar mengajar yang normal. Secara administrasi ijasah yang didapat memang asli dan resmi, akan tetapi secara proses belajar sama sekali tidak memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Doktor. Program ini banyak ditawarkan oleh Negara tetangga dekat kita. Petanyaan yang muncul dalam benak kita adalah bagaimana mungkin seseorang mendapatkan gelar Doktor yang notabene gelar akademik tertinggi tanpa melewati suatu program yang intensif. Dalam masa studinya yang 2-4 tahun tersebut sang dosen secara kumulatif berada di Negara yang bersangkutan hanya tidak lebih dari 2 bulan saja. Ini berarti bahwa pada awal mendaftar beliau datang beberapa hari, dipertengahan studi datang beberapa hari dan mengikuti ujian akhir dan wisuda beberapa hari saja. Bahkan beberapa diantaranya melakukankan seminar proposalnya di Universitas asalnya dengan hanya dihadiri sesama dosen koleganya. Semua korespondensi dilakukan hanya melalui email. Pada kasus yang lebih ekstrim ada dosen yang walaupun ijasahnya disebutkan berasal dari Negara lain, akan tetapi selama proses belajarnya tidak penah belajar dan mengunjungi Negara yang bersangkutan. Dapatkah kita membayangkan apa yang akan terjadi apabila sang Doktor yang diraihnya dengan cara seperti ini telah mencapai jabatan Guru Besar tersebut membimbing mahasiswa? Wawasan ilmiah apa yang yang dia akan berikan kepada mahasiswanya? Seperti yang telah diuraikan di atas sebutan dan jabatanya Guru Besar itu merupakan akumulasi dari proses yang sangat panjang. Dalam prosesnya, ada dosen yang dapat dengan cepat menggapainya ada pula yang mendapatkannya nyaris diujung masa baktinya. Dalam mencapainya ada empat kategori, yaitu: Kelompok Pertama adalah Guru Besar yang dicapai dengan ‘segala cara’, karena Guru Besar bagi orang tersebut merupakan tujuan akhir yang harus dicapai. Konon pula dosen yang tergolong dalam kategori ini setelah mendapatkan guru besar dia akan frustasi karena ternyata ‘respect’ terhadap dirinya sebagai seorang guru besar dari orang sekitarnya dan harapan-harapan yang melekat dengan guru besarnya tersebut tidak seperti yang dia harapkan dan sebelumnya. Bahkan muncul gunjingan dan ungkapan dari lingkungan sekitarnya seperti: ‘orang seperti itu kok bisa ya jadi guru besar? Orang ini sering diungkapkan sebagai Guru Besar GBHN (Guru Besar Hanya Nama). Keberadaan Guru Besar ini di unit kerjanya dirasakan sebagai kegerahan yang luar biasa bagi kolega dan sama sekali bukan merupakan kebanggaan unit kerjanya. Kelompok Kedua adalah Guru Besar yang dicapai atas dasar prestasi cemerlangnya dalam tridarma pergurunan tinggi . Guru Besar kelompok ini sering disebut sebagai Guru Besar GBPP (Guru Besar Pencapaianya melalui Prestasi). Konon Guru Besar dalam kelompok ini sering mendapat pujian seperti : ‘hebat ya masih muda sudah Guru Besar dan prestasinya dapat dijadikan panutan’ atau ‘hebat ya bapak-ibu itu, dia Guru Besar yang sangat berwibawa dan produktif’ Karena Guru Besarnya bukan merupakan tujuan akhir, maka setelah mendapat Buru Besar nya pun dia terus menunjukkan prestasi gemilangnya. Bisanyanya Guru Besar ini dijadikan kebanggaan bagi unit kerjanya dan mahasiswa berbondong bondong antri untuk meminta beliau menjadi pembimbing. Kelompok Ketiga adalah dosen yang Belum Guru Besar, tapi prestasi tridharmanya melebihi Guru Besar. Kelompok ini sering disebut dosen B-GBPP ( Belum Guru Besar tapi Penuh Prestasi). Orang di sekitarnya sering sekali sudah menganggap dia sebagai Guru Besar karena kepakarannya. Biasanya orang ini kalau saja mau meluangkan waktu sebentar untuk mengajukan kenaikkan pangkat maka sudah dapat dipastikan dia akan memperoleh gelar Guru Besar. Kelompok ini sering beranggapan bahwa secara moral dirinya masih belum pantas menjadi Guru Besar. Kalau sudah dirasa pantas, baru kemudian dia mengajukan Guru Besarnya Kelompok Keempat adalah orang sekaliber Guru Besar prestasinya, tapi dia tidak pernah perduli dengan urusan kenaikan pangkatnya termasuk mengurus Guru Besarnya. Kelompok ini beranggapan bahwa Guru Besar merupakan suatu penghargaan atas prestasi seorang dosen. Oleh karena itu, Institusi lah yang berkewajiban mengurus dan memberikan penghargaan tersebut kepadanya, bukan dia yang harus mengusahakannya. Kelompok ini sering diistilahkan KaGB (Kelompok acuh Guru Besar). Mari kita merenung sejenak, termasuk kelompok manakah kita? Semoga kita tidak masuk ke dalam kelompok anomali yang tanpa kita sadari telah meracuni generasi penerus bangsa. Prof. Ronny Rachman Noor, Ir, MRur.Sc, PhD Research and Community Services Institute - Bogor Agricultural University ronny_noor[at]yahoo.com

Jumat, 11 Maret 2011

Menggugah Minat Baca dan Cinta Buku

Sejak fase awal manusia mengenal tulisan, buku dalam bentuknya yang paling sederhana, telah menjadi medium pewarisan pengetahuan, nilai-nilai, dan budaya suatu masyarakat. Ringkasnya adalah bahwa peradaban umat manusia sekarang tak dapat dilepaskan dari peran buku.
Di era kemajuan di bidang teknologi komunikasi dan informasi, buku telah bermetamorfosis menjadi beragam bentuk dan wujud. Desain buku biasanya dibuat atraktif guna menggugah ketertarikan orang untuk membacanya. Buku sekarang juga tersedia dalam bentuk elektronik (e-book). Apapun bentuknya, fungsi dan peran buku bagi suatu masyarakat atau umat manusia pada hakikatnya adalah sama: penjaga keberlangsungan kebudayaan dan peradaban.
Sesungguhnya, tak dapat disangkal, disadari atau tidak, bahwa setiap orang memerlukan buku. Peran buku dalam komunikasi ilmu pengetahuan sangat vital. Tak dapat dipungkiri, buku turut berperan, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap perkembangan diri seseorang.
Buku adalah samudera ilmu pengetahuan. Dalam buku terkandung cakrawala pandangan dari beragam latar belakang ras bangsa, terekam catatan sejarah para tokoh, tersaji beragam peristiwa. Buku juga berisi konsep-kosnep dan metodologi yang bisa diterapkan dalam berbagai konteks.(lanjut*****)