Kamis, 15 Juni 2017

Pro Kontra Kebijakan Lima Hari Sekolah

MENTERI Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Muhadjir Effendy sepekan belakangan ini menjadi sorotan. Ia bahkan dianggap melahirkan kegaduhan. Seantero negeri dan seluruh elemen masyarakat bereaksi terhadap kebijakan menteri tersebut. Ormas, politisi, akademisi, orang tua murid, pendidik, birokrat, semuanya merespons keras.
Muhadjir dianggap membuat kegaduhan dengan kebijakan diterapkannya lima hari sekolah yaitu Senin sampai Jumat mulai tahun pelajaran 2017-2018. Kebijakan itu berlaku di semua jenjang Pendidikan Dasar dan menengah.
Kepastian akan kebijakan diterapkannya lima hari sekolah dalam satu minggu ditegaskan oleh Mendikbud di Istana Kepresidenan (11/6/2017). Mendikbud memberi keterangan bahwa sekolah lima hari dengan dasar hukum Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Inti dari peraturan tersebut adalah bahwa PP itu mengatur waktu kerja guru dan kepala sekolah mencapai 40 jam per pekan dengan waktu istirahat sekitar 30 menit per hari, atau waktu kerja aktif 37,5 jam per pekan. Dengan demikian, Sabtu libur atau lima hari sekolah adalah berdasarkan peraturan yang sah.
Berbagai gelombang penolakan terus mengalir dari banyak elemen masyarakat, terutama para pelaku pendidikan. Meskipun demikian, ada juga kelompok masyarakat yang mendukung diterapkannya lima hari sekolah. Bahkan sebagian akademisi pun menyatakan bahwa konsep lima hari sekolah akan lebih bermanfaat baik bagi siswa, keluarga, maupun lembaga pendidikan lain seperti madrasah diniyah maupun pondok pesantren.
Sebelumnya, pada Agustus 2016, Mendikbud Prof. Muhadjir Effendy merilis akan diterapkannya model pendidikan Full Day School (FDS) yang secara konseptual mengacu pada prinsip penguatan pendidikan karakter (PPK). Konsep ini mendasarkan pada argumentasi bahwa jumlah jam proses pembelajaran di sekolah 40 jam per pekan. Ini berarti apabila sekolah menerapkan delapan jam per hari, maka kriteria 40  jam pembelajaran di sekolah sudah terpenuhi.
Konsep lima hari sekolah ini tampaknya menjadi agenda bagi sang menteri. Setidaknya itu bisa dilihat dari ambisi menerapkan lima hari sekolah, dan mengkampanyekan bahwa lima hari sekolah berbeda dengan konsep FDS.
Derasnya arus penolakan guru berada di sekolah 8 jam per hari umumnya menilai karena akan mendegradasi nilai-nilai keluarga, menggerus eksistensi madrasah diniyah yang sebagian besar aktivitas belajarnya sore hari. Selain itu juga ketidaksiapan sarana dan prasarana sekolah, serta kesiapan guru.
Yang juga penting dicatat bahwa kebijakan ini, jika benar-benar akan diterapkan tahun ini, dianggap tidak melalui proses uji publik, tidak dilakukan sosialisasi secara memadai, tidak melalui percontohan terlebih dahulu. Dengan demikian benar penilaian bahwa Mendikbud Muhadjir Effendy memiliki agenda tersendiri. Namun bagi para penyokongnya, Muhadjir Effendy dipromosikan sebagai figure yang demokratis, menghargai pendapat pihak lain, dan mau menerima berbagai masukan. Dasarnya, saat tahun 2016 silam ketika gagasan FDS dia lontarkan dan kemudian mendapat penolakan yang kencang dari para stakeholder, dia berketetapan bahwa penerapan FDS ditunda, sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
Nah, barangkali jika di pertengahan Juni 2017 dia mengeluarkan Permendikbud Nomor 23 Tahun 217 tentang yang mengatur jumlah jam sekolah. Tersiar kabar Presiden meminta Mendikbud untuk membatalkan aturan tersebut.
Kebijakan Mendikbud ini membuat publik gerah. Masyarakat dibuat seolah-olah tidak paham. Dibuat rancu dengan istilah-istilah. Jika dulu istilah yang digunakan adalah FDS, yang esensinya adalah sekolah hanya lima hari, kini dikenalkan konsep sekolah lima hari dengan kata-kata berbeda, yaitu Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). PPK mengutamakan lima nilai utama, yaitu religius, nasionalis, gotong royong, mandiri, dan integritas.
Kedua konsep tersebut sama-sama mempraktekkan dan mempromosikan sekolah lima hari. Pak Menteri tetap menyatakan bahwa dengan PPK model lima hari sekolah ini maka penerapan pendidikan karakter dengan porsi 70 persen dan pendidikan pengetahuan 30 persen. Prosesnya juga memanfaatkan berbagai sumber  belajar, termasuk lapangan olahraga, masjid atau mushola, perpustakaan, museum, dan sebagainya.
Penerapan kebijakan lima hari sekolah ini juga menimbulkan berbagai spekulasi dan dugaan-dugaan yang menjurus pada anggapan bahwa Mendikbud sengaja menguji kekuatan ormas tertentu, sekaligus menunjukkan “power” sebagai menteri.
Jabatan menteri adalah jabatan politik.  Sudah menjadi rahasia umum bahwa Mendikbud Muhadjir Effendy berafiliasi dengan salah satu ormas. Sementara ormas lain mengklaim memiliki puluhan ribu satuan pendidikan, dan ratusan perguruan tinggi. Sementara jumlah lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan ormas sang menteri kalah jumah jumlahnya.
Saat ini juga di berbagai platform media sosial, beredar penolakan diterapkannya lima hari sekolah. Bahkan ada situs yang menyelenggarakan petisi untuk menolak program lima hari sekolah. Salah satu akun di facebook membuat surat terbuka kepada menteri pendidikan dan kebudayaan, dan menilai kebijakan lima hari sekolah berpotensi membenturkan dua ormas tertentu.
Adanya pro dan kontra atas suatu kebijakan baru sebenarnya hal yang lumrah. Namun arus pro dan kontra itu harus dikelola dan diadaptasi dengan mengedepankan obyektivitas dan rasionalitas. Dahulu penerapan Kurikulum Tahun 2013 pun menuai banyak protes dan keluhan.
Menyikapi polemik ini, sebaiknya jauhkan sikap curiga dan mau menang sendiri. Bagi pemegang otoritas juga sebaiknya meninjau kembali pada aspek-aspek tertentu dalam penerapan lima hari sekolah, yang berpotensi mengganggu proses pembelajaran, merusak mental siswa, atau sistem pendidikan.
Dalam hemat penulis, sebaiknya penerapan lima hari sekolah ditunda (lagi). Kalaupun terpaksa harus diterapkan tahun ini juga, maka sebaiknya diterapkan sebagai proyek proyek percontohan atau bertahap sesuai kesiapan sekolah.
Tantangan utama konsep lima hari sekolah yaitu kesiapan sarana dan prasarana sekolah serta sumber daya pendidik dan tenaga kependidikan. Secara adinistratif juga perlu sosialisasi dan pilot proyek, membangun partisipasi dan koordinasi dari semua elemen masyarakat.
Secara pedagogik perlu dilakukan kajian lebih mendalam mengenai dampak dan manfaat lima hari sekolah. Sebab, sekolah adalah institusi yang kita percaya untuk mendidik anak-anak generasi muda penerus bangsa.
Proses pembelajaran harus dalam suasana yang mampu memicu dan memacu kreativitas peserta didik, dalam suasana yang menyenangkan dan menumbuhkembangkan sikap demokratis. Artinya, guru sebagai sosok penting  dalam aktivitas belajar juga harus memiliki kemampuan menstimulus kreativitas peserta didik, berusaha keras menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan bagi peserta didik, dan tetap meperlakukan peserta didik sebagai subyek yang setara dalam harkat dan martabatnya. (*)