Rabu, 17 September 2014

Gede: Apapun Kami Lakukan (Seri Diskusi Trans Lampung)



Bagian Perencanaan PT. PLN (Persero) Distribusi Lampung, Gede Adhi
“Apapun Kami Lakukan untuk Memenuhi kebutuhan Listrik”
KALAU kita melihat secara umum kondisi kelistrikan di Lampung sejak awal tahun ini hingga sekarang sudah membaik. Pembangkit yang ada di Lampung, di antaranya, di Tarahan ada PLTD, PLTA, PLTP, pltu, sisanya dapat kiriman dari Sumatera Selatan. Kalau melihat dari total pembangkit yang ada, menghasilkan 488 MW dalam normal, sedangkan Lampung dapat kiriman dari Sumatera Selatan sekitar 275 MW sampai 325 MW, tergantung kondisi.
Kita ketahui PLTA di Lampung ada dua, yaitu PLTA Batutegi dan PLTA Waybesai. PLTA Batutegi ini kapasitasnya memproduksi 90 MW, tapi itu tidak beroperasi siang, melainkan malam, karena siangnya mengumpulkan air. Rata-rata hanya mampu menghasilkan 80 MW, bahkan pada saat kemarau hanya mampu 35 MW.
Untuk PLTA Batutegi itu juga tergantung PU (Pemerintah Daerah), karena airnya untuk irigasi. Kalau PU mengijinkan, ya beroperasi, kalau tidak yang tidak beroperasi. Batutegi dan Waybesay berbeda sistem operasinya. Batutegi adalah bendungan, kalau Waybesai adalah air yang lewat (run of river).
Untuk menjaga wakatu beban puncak, operasinya kita tahan. Karena tergantung Pemda, kalau memang tidak diijinkan, ya tidak beroperasi. Itu kondisi PLTA.
Kalau PLTU Tarahan, pada bulan April 2014 yang satu overhaul. Karena jam kerja mesin harus ada istirahatnya. Seperti juga motor. Sekian ribu kilometer harus ganti oli. Demikian juga mesin pembangkit, setelah bekerja sekian waktu, harus dimatikan beberapa jam. Pada waktu terjadi pemadaman beberapa waktu lalu, itu karena saat satu mesin perawatan, satu mesin lainnya mengalami gangguan. Akibatnya 200 MW hilang.
Sementara PLTU Sebalang, jika tidak ada halangan, pada akhir September 2014, sudah bisa beroperasi. Dari dua unit dengan kapasitas 90 MW di situ, baru satu unit (yang baru bisa). Jika tidak ada hambatan, bisa menambah 60 MW.
Selain itu, kita juga punya PLTD yang menghasilkan 100 MW. Pada 5 jam operasi, dibutuhkan ribuan liter solar. Kemarin ada kuota (pembelian solar). Sementara pembelian solar adalah b to b (business to business), di mana harganya berlaku saat itu pula. Bisa 12 ribuan, bisa juga 11 ribuan rupiah per liter. Bayangkan, Lampung ini membutuhkan listrik sekitar 790 MW. Pada saat “hilang” 100 MW, sudah berapa itu (yang harus padam).
Oleh karena itu jika PLTD dikurangi jatah solarnya, PLTU bisa masuk, jadi bisa substitusi. Tahun ini juga sudah dimulai PLTG yang ada di Sribhawono dengan kapasitas 2 x 100 MW. Tapi itu baru bisa beroperasi 2016. Untuk mempercepat itu, PLN juga menyewa PLTUG yang saat ini dalam proses lelang, 2 x 100 MW. Itu akan masuk awal atau pertengahan 2015, itu satu ada di Jalan Ir. Sutami dan satu lagi ada di Sribhawono. Dengan adanya itu kondisi kelistrikan itu terpenuhi. Itu dari pembangkit. Sementara yang transfer hanya lewat satu jalur, yaitu lewat Lahat, Baturaja, Bukitkemuning. Itu kapasitasnya bisa sampai 500 MW. Tapi karena jarak yang cukup jauh, saat ini hanya bisa mengirim sekitar 325 MW.
Transmisi Jalur Timur
Sejak tiga tahun lalu PLN sudah merintis (transmisi tegangan tinggi) jalur Timur, yaitu dari Palembang lewat Kayuagung, Mariyana, Menggala, Seputihbanyak. Kemarin ada sedikit kendala (perijinan melalui perkebunan), tapi sudah ada kesepakatan. Mudah-mudahan bisa terlaksana, Oktober 2014 ini perijinan selesai. PLN mulai melanjutkan membangun jaringan, diperkirakan 12 bulan. Jika ini selesai, ada tambahan 500 MW. Dengan dua jalur transmisi ini maka akan mengurangi kendala apabila ada gangguan. Tegangan lebih bagus. Jadi Sumatera ini bisa lebih andal. Sesuai dengan hasil rapat para pihak terkait, maka September atau Oktober 2015 sudah selesai.
PLN sebagai perusahaan memang mencari yang lebih menguntungkan. Tapi di lain pihak ada yang membatasi, yaitu harus menjalankan fungsi sosial. Di saat PLN akan menjalankan bisnis yang lebih menguntungkan, yaitu menjual kepada bisnis, seperti mall, usaha-usaha, dan sebagainya, tapi ada masyarakat yang lebih banyak (pelanggan rumah tangga) yang harus dilayani.
Jadi sampai saat ini, industri yang membutuhkan listrik sampai 200 kVA, sampai saat ini sudah mencapai 180 mVA. Jika itu semua memakai listrik rata-rata 50 persen dari yang dia pasang, maka itu setara 90 MW. Jadi ada beberapa yang mengajukan seperti mall, pabrik, usaha-usaha, kami terima dan kami beri penjelasan seperti itu. Mereka mengerti dengan kondisi PLN ini, karena sebenarnya kami juga membutuhkan mereka (karena harga jualnya lebih tinggi, dibanding harga listrik rumah tangga). Pelanggan listrik rumah tangga yang sudah ada ini khan tidak mungkin kita kurangi.
Oleh karena itu pasang baru juga sementara ditahan dulu pada beberapa daerah seperti Mesuji dan Lampung Barat. Di Lampung Barat sudah dibangun gardu induk (GI) yang harusnya sudah siap operasi tahun 2012, tapi hingga saat ini belum selesai. Di Lampung Barat lahan sudah siap dan sudah dibangun tower, tapi dari perbatasan Lampung Utara hingga Bukitkemuning belum sama sekali. Ada kendala masalah harga dan sebagainya.
Langkah Percepatan Pemenuhan Listrik
Rencananya akan ada tambahan 10 MW yang dari Tarahan dan yang dari Sebalang ada 400 MW. Di Sumatera ini sebenarnya banyak (pembangkit listrik). Tapi pembangkit yang di Sebalang ini ada kendala, sesuai jadwal seharusnya tahun lalu sudah selesai dua-duanya 2 X 100 MW. Di saat itu tidak terpenuhi, kami menyewa. Terpaksa kami membakar solar, menyewa ada 80 MW. Di beberapa tempat seperti di Krui, Wonosobo, lokasi PLTD itu jauh dari pemukiman. Dulu karena kebutuhan listrik cukup dipenuhi, dan karena operasional PLTD mahal, PLTD dimatikan, karena ada yang lebih murah dari PLTU dan PLTG, karena memang sudah cukup.
Ketika pertumbuhan (permintaan listrik) tinggi, ya tidak mencukupi lagi. Se-Indonesia pertumbuhan permintaan listrik paling tinggi. Tahun 2013 disampaikan bahwa pertumbuhan permintaan listrik 28 persen, padahal rata-rata nasional hanya 8 persen. Nah untuk antisipasi, PLN terpaksa menyewa. Walaupun diketahui bahwa dari sewa itu harga per kwh Rp3.800. Bayangkan itu kemudian dijual dengan harga Rp250 per kwh untuk blok I. Jadi memang apapun kita lakukan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan yang sudah ada. Pelanggan itu tetap kita jaga.
Bukankah perbedaan harga jual perolehan listrik PLN dari sewa yang dibayar oleh pelanggan PLN disubsidi oleh pemerintah?
Itu memang ada hitungannya tersendiri. Tahun 2013 lalu subsidi dengan harga dolar Rp9.500. Sedangkan operasionalnya kini harga dolar sampai Rp12.500. Selisihnya seperti itu. Tahun ini solar dibatasi. Subsidi itu sudah ditetapkan, artinya membeli solar dengan harga rata (flat), sedangkan pembelian solar dengan harga mengambang. Solar dibayar sesuai harga saat pembelian, karena b to be (business to business). Jadi kemampuan kita (membeli solar) menurun. Pertamina nggak mau.
Intinya untuk memenuhi kebutuhan listrik, kami menyewa. Harapannya Oktober 2013 sudah selesai, tapi ternyata tidak selesai juga. Untuk mengatasi pertumbuhan beban, PLN merencanakan membangun PLTMG di Labuhanmaringgai. Di jadwalkan selesai dan beroperasi di awal 2015. Nah di sana ijinnya (dari Pemerintah Kabupaten Lampung Timur) harusnya sudah selesai September 2013, tapi sampai kini, ijin belum keluar juga. Setelah kami telusuri, surat permohonan nggak ada, yang ada hanya agenda surat masuk (ke pemkab). Akhirnya kami mulai dari awal lagi Juni 2014 lalu, sehingga semua jadwal bergeser lagi. Untuk mencukupi kebutuhan selama keterlambatan ini, kami menyewa lagi 2 X 100 MW dari PLTG. Jika tidak ada halangan awal tahun 2015 sudah bisa memasok listrik. Mudah-mudahan kami bisa tetap mendapatkan gas.
Kita sudah punya Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) sampai tahun 2022. Semuanya sudah terjadwal, pembangkit ini masuk, transmisi ini masuk, kapan GI masuk, dan sebagainya.
Sekarang yang harus diantisipasi adalah masuknya PLTP Rajabasa, yang seharusnya tahun 2018 sudah bisa masuk, tapi sampai sekarang ijinnya pun belum ada.
Seperti juga kami melakukan evaluasi daya. Saat pembangunan transmisi dari Sumatera Selatan ke Lampung, saat memasuki kehutanan (kawasan kehutanan) belum selesai ijinnya. Semua proyek (kelistrikan) yang di Sumatera ini saat memasuki kawasan kehutanan, belum selesai ijinnya. Padahal pembangunan jaringan transmisi sampai batas masuk kawasan hutan sudah selesai. Kami berharap pemerintahan baru menunjuk menteri kehutanan yang pro listrik.
Sama seperti saat kami akan menyuplai listrik untuk Kabupaten Pesisir Barat, jaringan PLN memasuki kawasan hutan, setiap tahun kami harus perpanjang ijinnya. Padahal jalan (jalan raya) sudah ada, sedangkan kami mengikuti jalan, tapi perlakuannya berbeda. Hambatan-hambatan seperti itu harapan kami tidak ada lagi ke depannya. Masyarakat butuh listrik, kami membangun, pemerintah mendukung. Berdasarkan RUPTL, sampai tahun 2022 kami membangun 1000 MW. Kalau satu proyek jadwalnya mundur, akan mempengaruhi proyek yang lainnya lagi.
Perencanaan per Wilayah
Tentang perencanaan dilakukan per wilayah. Peramalan beban, semua menggunakan asumsi ekonomi yang ada di daerah masing-masing. Itu di-review setiap tahun. Dan dijadikan dasar untuk menyusun RUPTL. Yang ada sekarang RUPTL 2013-2022 (bisa diunduh di www.pln.co.id.). Forecast beban setiap sektor ada sesuai dengan asumsi ekonomi, di daerah setempat seperti rumah tangga, industri dan sebagainya, itu semua kita inventarisasi. Itu kita update setiap tahun. Apa yang dilakukan di masing-masing provinsi itu kemudian digabung, untuk Sumatera digabung karena sistem interkoneksi, seperti juga Jawa dan Bali. (*)

Atasi Masalah Listrik, Hapus Ego Sektoral (Seri Diskusi Harian Trans Lampung)



ADA beberapa permasalahan yang dihadapi oleh PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN) (Persero) khususnya di Lampung. Semua persoalan itu terwujud dalam bentuk kurangnya kemampuan PLN Lampung dalam menyediakan listrik. nya bermuara NYA pemadaman listrik di beberapa daerah di Lampung, merupakan salah satu dampak dari keterbatasan kemampuan PLN dalam menyediakan tenaga listrik.
Saat ini PLN sudah defisit daya listrik. Kebutuhan listrik di waktu normal hampir 800 megawatt (MW). Listrik itu dimanfaatkan untuk kebutuhan listrik rumah tangga, industri, bisnis, jasa, dan perdagangan. Karena kondisi defisit, permintaan pasang baru untuk industri dan bisnis juga tidak sepenuhnya dapat terlayani.
Padahal, perusahaan milik negara itu mengemban misi mulia yaitu meningkatkan kualitas hidup masyarakat serta mendorong pertumbuhan ekonomi melalui ketersediaan listrik. Ketersediaan listrik untuk industri menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana pertumbuhan ekonomi dapat berjalan cepat jika listrik yang dibutuhkan pun tak memadai?
Berbagai persoalan dan gagasan terungkap dalam seri diskusi yang digelar Harian Trans Lampung, Kamis (14/8). Diskusi yang dipandu Pemimpin Redaksi Harian Trans Lampung, Dwi Rohmadi Mustofa ini dihadiri Bagian Perencanaan PLN Distribusi Lampung Gede Adhi, pakar sistem energi elektrik dari Jurusan Teknik Elektro, Universitas Lampung, Dr. Lukmanul Hakim dan Abdurachman, Kepala Divisi Advokasi LBH Bandarlampung, Ajie Surya bersama Chandra dan Annisa Ayu, peneliti Pusat Studi Kota dan Daerah (PSKD) UBL, Ilham Malik, MT., dan Asisten Ombudsman RI Perwakilan Lampung, Hardian dan Atika.
Penyediaan listrik mengkait pada banyak pihak, baik PLN, pemerintah, masyarakat, maupun institusi lainnya. PLN tidak bisa lagi berkutat pada masalah internalnya sendiri, karena dia harus menjadi lokomotif perubahan dalam percepatan kecukupan pasokan listrik. PLN dengan keterbatasan birokrasi yang terpusat, dipandang sebagai salah satu hambatan dalam mewujudkan kecukupan listrik di Lampung.
Demikian juga pemerintah daerah, mesti memiliki program yang berorientasi pada potensi wilayah dan bukan hanya pada berapa besar APBD dan kita dapat berbuat apa dengan APBD itu. Dengan begitu, pemda bisa mendorong pertumbuhan ekonomi yang berbasis pada industri dan mendorong pula kecukupan listrik di daerah.
Dalam diskusi itu terungkap adanya keperluan semua pihak untuk melepaskan diri dari ego sektoral, menyelesaikan masalah di internal masing-masing, sekaligus kemudian mengelaborasi semua potensi yang ada untuk menyelesaikan keterbatasan pasokan listrik. Terungkap pula pentingnya sinergi program antara pemerintah daerah dan PLN.
Secara umum juga diperlukan komitmen yang kuat baik dari jajaran internal PLN dan pemda untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. PLN juga didesak untuk terus menerus memperbaiki mekanisme keluhan dan pengaduan pelanggan dan memberikan respon yang memadai atas setiap keluhan, keterbukaan informasi, serta mensosialisasikan secara lebih masif setiap kebijakan yang ada. (drm)

Senin, 01 September 2014

Menunggu Disahkannya RUU Pilkada



JIKA merujuk pada periode masa jabatan, pada tahun 2015 di Lampung setidaknya akan ada tujuh pemilihan kepala daerah; Bandarlampung, Metro, Lampung Selatan, Lampung Tengah, Lampung Timur, Pesawaran, dan Way Kanan. Puluhan nama beredar dalam bursa kontestasi politik lima-tahunan tersebut, di antaranya calon incumbent.
Sudah banyak nama yang beredar dan akan bersaing dalam pilkada itu ada yang secara terang-terangan melalui statemen bahkan deklarasi, ada pula yang menggunakan medium dukungan-dukungan dari elemen masyarakat. Ada pula cara lain yang ditempuh partai politik, yaitu dengan “melempar” kriteria kader yang akan disorong dalam pilkada.
Menyebut kader internal maupun eksternal parpol yang akan dimajukan dalam pilkada bisa jadi strategi. Kriteria itu biasanya normatif, sehingga melahirkan banyak tafsir tentang siapa sosok yang akan dijadikan bakal calon dari parpol.
Menyebut beberapa nama, akan maju dalam pemilihan walikota/wakil walikota Bandarlampung, antara lain, Herman HN, Thobroni Harun, Gunadi Ibrahim, Abi Hasan Mu’an, Tony Eka Chandra, Sjachrazad ZP, Hartarto Lojaya, Dedy Mawardi, Kherlani, Maruli Hendra Utama, Novelia Yustin Sanggem, Fauzan Sibron, Edy Irawan, Riza Fachrial, Gufron Azis Fuadi, dan sebagainya. Di enam daerah lainnya, puluhan nama juga mencuat ke media, termasuk incumbent.
Pilkada sebelumnya mengacu pada Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Di sini diatur bahwa parpol atau gabungan parpol dapat mengajukan pasangan calon apabila memiliki minimal 15 persen dari jumlah kursi di DPRD. Sedangkan untuk calon perseorangan minimal didukung oleh 3 sampai 6,5 persen dari jumlah penduduk, tergantung jumlah penduduk di suatu kabupaten/kota.
Saat ini, di DPR sedang dibahas RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah. Poin penting dari RUU ini adalah pilkada akan dilaksanakan serentak mulai tahun 2015, mekanisme pemilihan apakah melalui DPRD atau pemilihan langsung oleh rakyat. Selain itu juga mengenai jalur pencalonan, apakah hanya melalui parpol atau dapat melalui perseorangan.
Sementara itu, di luar gedung parlemen berkembang wacana agar pelaksanaan pilkada serentak mulai dilaksanakan tahun 2016 atau pengesahan RUU Pilkada ditunda. Alasannya, masyarakat jenuh dengan pemilu sehingga diperlukan waktu agar dapat mengevaluasi kinerja pemerintah. Dengan begitu diharapkan pilihan masyarakat memiliki dasar rasional, bukan emosional maupun primordial.
Substansi pilkada serentak berdampak krusial untuk pilkada di beberapa daerah di Lampung. Pasalnya, ada jeda waktu antara berakhirnya masa jabatan dengan pelaksanaan pilkada di beberapa daerah Lampung. Apalagi jika pilkada serentak yang dijadwalkan tahun 2015 itu akan diterapkan tahun mulai 2016 atau tahun 2017 sebagaimana usulan Perludem.
So, semua juga harus menunggu. Dan jika September 2014 ini RUU Pilkada disahkan, maka semua dapat melangkah lebih pasti. (*)

Selasa, 10 Juni 2014

Yakinkan Investor dengan Data dan Iklim Kondusif



Dr. RAHAYU SETIORINI., ST., MT. – 
Dosen Fakultas Teknik Universitas Lampung


SAYA mengikuti beberapa persoalan, termasuk dalam penyusunan Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) di Lampung. Masalah infrastruktur memang menjadi penghambat. Salah satu contoh adalah provinsi di Sumatera yang memiliki potensi yang luar biasa besarnya, tetapi tidak dapat tumbuh secara cepat. Ini karena hasil-hasil pertanian tidak cepat sampai ke pusat-pusat potensi dan kegiatan ekonomi.
Sebenarnya kita punya banyak infrastruktur, tetapi belum optimal. Masalah infrastruktur bukan hanya soal jalan. Barang dan hasil-hasil pertanian mau tidak mau harus sampai ke konsumen secara cepat. Kita tidak bisa tergantung pada jalan, karena jalan-jalan kita terbatas daya dukung maupun kapasitasnya. Kita harus ‘melirik’ moda angkutan sungai, rel, maupun laut.
Salah satu potensi penggunaan rel adalah untuk angkutan batu bara. Walaupun mungkin batu bara kita kandungan kadar kalorinya belum sesuai standar dunia. Tapi jika ada investor yang akan menginvestasikan di rel, itu bagus. Seperti pemanfaatan rel untuk masuk ke pelabuhan. Sehingga nanti angkutan batu bara ke pelabuhan beralih ke kereta api, tidak lagi menggunakan truk.
Persoalannya rel kita selama ini juga paling banyak digunakan untuk angkutan batu bara. Apalagi jika PT. Bukit Asam mengembangkan eksplorasi lagi, maka beban penggunaan rel kereta akan bertambah. Ini luar biasa.
Terkait pertanyaan adanya pandangan bahwa beberapa proyek infrastruktur hanyalah pencitraan dan proyek ‘mercusuar’, saya tidak setuju dengan pandangan miring seperti itu. Karena bagaimanapun yang namanya proyek infrastruktur itu tidak hanya melihat pada potensi sekarang, tetapi pasti melihat potensi dan pertumbuhan serta proyeksi ke depan. Saya dukung setiap proyek infrastruktur.
Misalnya kita bicara jalan tol di Lampung. Jika pusat menghendaki harus dilintasi 50 ribu kendaraan, maka itu tidak akan tercapai di awal. Tapi jika melihat potensi dan pertumbuhan serta proyeksi ke depan, pasti bisa. Begitu jalan tol dibuka, maka nilai lahan akan meningkat, daerah terisolasi akan terbuka, ekonomi dan sosial akan berkembang. Itu semua kalau dikuantifikasi atau dirupiahkan maka luar biasa besar. Inilah yang diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah pusat.
Tentang jalan jalan yang banyak rusak, itu karena faktor volume kendaraan yang luar biasa besar juga. Juga kita harus tegas dalam penegakan aturan larangan angkutan batu bara melalui jalan raya. Angkutan batu bara baik menggunakan truk besar maupun truk kecil harus dilarang, sesuai aturan. Kemudian jembatan timbang, sebenarnya potensial dan akan efektif untuk mengurangi faktor penyebab kerusakan jalan. Ini bisa untuk membatasi muatan.
Kemudian pemanfaatan jalan rel dan angkutan sungai. Sungai-sungai kita sebenarnya bisa dimanfaatkan seperti di Sumatera Selatan. Kemudian angkutan laut dan bandara-bandara perintis juga bisa dimanfaatkan. Menurut saya demand-nya sudah ada, tapi tergantung maskapai-maskapai penerbangan. Apalagi sekarang sudah banyak tiket murah. Tinggal survei-survei yang lebih mendetail. Termasuk pemanfaatan bandara-bandara perintis. Menurut saya, proyek-proyek ini bukan mimpi. Ini sangat layak, dan mendukung pemerintah pusat.
Kendalanya memang ada pada bagaimana meyakinkan investor. Kita tidak bisa lagi bicara APBD atau APBN saja. Karena memang tidak cukup. Di sinilah kita mulai bicara soal public private partnership (PPP). Jadi dalam infrastruktur harus seperti itu, ada peran swasta. Tetapi peran swasta itu masih dalam ruang lingkup layanan publik, bukan swasta murni. Pemerintah tetap menguasai, dan kerjasamanya saling menguntungkan. Contohnya dalam pengelolaan air minum di kota. Ini akan lebih bagus lagi kalau diperluas ke infrastruktur lainnya.
Pertanyaan kenapa kadang-kadang investor enggan padahal potensinya luar biasa. Mungkin kita harus lebih menciptakan iklim kondusif, mempermudah lagi dalam perijinan, pembebasan lahan, dan sebagainya. Jadi hitungannya jangan hanya teknikal, supaya masyarakat (investor) mau. Artinya, benefit yang dirasakan masyarakat juga harus diperhitungkan. Iklim kondusif harus diciptakan untuk mendukung strategi investor, aspek sosial politik dan sebagainya harus mendukung ini.
Kemudian kita juga tidak bisa menampik bahwa negara kita adalah negara maritime. Jadi tidak bisa semua (angkutan) masuk jalan raya. Ini dapat dilakukan dengan memperkuat pelabuhan-pelabuhan perintis. Banyak pelabuhan-pelabuhan yang di masa lalu sudah ada dermaganya, tapi sekarang tidak digunakan. Ini bisa direvitalisasi. Jalan rel juga banyak yang sekarang ‘tenggelam’. Jadi bukannya bertambah, malah berkurang. Ini sekarang terbuka semua untuk direvitalisasi.
Nah sekarang semua instansi baik Pekerjaan Umum, Bappeda, Perhubungan, perguruan tinggi, dan sebagainya harus bekerjasama. Mungkin lobi ke pusat belum (kuat). Lobi ke pusat perlu didukung dengan data-data tentang manfaat yang kembali ke daerah. Seperti potensi-potensi yang ada, yang jika dikembangkan infrastruktur manfaatnya akan lebih besar, tidak hanya soal teknikal.
Juga mengundang dana-dana investor dunia di bidang lingkungan. Perlu dijelaskan bahwa membangun infrastruktur itu bukan hanya benefit dari infrastruktur itu sendiri, kalau kita bisa membuat proposal, misalnya kerusakan lingkungan akan dapat ditekan, kecelakaan akan turun, kalau dam ini terbangun akan mencegah banjir, kalau jalan ini terbangun polusi akan terkurangi, dan sebagainya. Mungkin sisi-sisi itu belum ditonjolkan, sehingga dana investor (dunia) masih sedikit.
Kemudian yang instansi jangan sampai beririsan saling menyalahkan. Kalau jalan rusak misalnya, ya PU ada di situ, perhubungan ada di situ, kesehatan ada di situ, pertolongan pertama pada kecelakaan ada di situ. Jadi ini tanggung jawab bersama.
Perguruan tinggi juga jangan sampai menjadi ‘mercusuar’, perguruan tinggi juga dapat menyumbangkan konsep-konsep dan praktik, tidak hanya dari sisi teori, jadi dapat terjun ke situ. Menurut saya, apa yang sudah bagus (program Gubernur Sjachroeddin), ya harus dilanjutkan. Supaya tidak mangkrak di tengah jalan.
Kemudian soal terminal. Terminal itu sangat besar manfaatnya. Kita perlu angkat ini menjadi isu (pembangunan) Provinsi Lampung, bagaimana semua bisa terkoneksi, dermaga, bandara, terminal, dan sebagainya. Kalau lihat grand design-nya sudah. Cuma memang terkadang ego (sektoral), juga ada semacam pemimpin baru tidak mau melanjutkan program pemimpin sebelumnya. Mudah-mudahan pemimpin kita tidak. Jadi bagaimana suatu program itu terus (berlangsung) sehingga bisa menjadi sustainable infrastructure. Sehingga nanti apa yang dibilang ‘raksasa’ itu akan jadi. Infrastruktur untuk pertanian, pelabuhan, bandara, jalan rel, jalan raya, saya sangat mendukung.  
Yang juga penting adalah bagaimana melibatkan masyarakat, sehingga mereka merasa memiliki. Termasuk bagaimana melibatkan corporate social responsibility (CSR), atau melibatkan masyarakat (setempat) sebagai tenaga kerjanya. (*)