Tampilkan postingan dengan label mutu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label mutu. Tampilkan semua postingan

Selasa, 17 September 2019

Workshop Pengembangan Kurikulum Berbasis KKNI

Dosen STIT Pringsewu Eri Purwanti, M.Pd., dan Maya Aulia, M.Pd. mengikuti Workshop Pengembangan Kurikulum Berbasis Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang diselenggarakan oleh Koordinasi Perguruan Tinggi Agama Islam (Kopertais) Wilayah VII Sumatera Bagian Selatan.
Workshop yang berlangsung tiga hari (9 s.d. 11 September 2019) di Palembang itu diikuti 40 peserta dari 17 perguruan tinggi di Sumbagsel.


Senin, 04 April 2016

Kejujuran di Atas Prestasi



BEBERAPA tahun lalu, ujian nasional (UN) bisa menjadi semacam histeria massa. Semua kalangan terlibat dalam polemik UN. Terutama para orangtua/wali siswa dan sekolah. UN menjadi hajat tahunan yang berskala nasional.
Di masa lalu UN menjadi semacam momok bagi kebanyakan siswa. Berbagai cara ditempuh agar dapat lulus UN. Bahkan kegiatan berbau mistis kerap mewarnai jelang dilaksanakannya UN. Pasalnya, UN menjadi penentu kelulusan. Tidak lulus UN bisa berarti beban mental bagi siswa, tambahan beban biaya bagi orangtua, dan rusaknya reputasi sekolah.
Tapi, sejak 2015 lalu, UN tidak lagi menjadi penentu kelulusan. UN menjadi sarana pemetaan mutu pendidikan. Yang belum mencapai prestasi baik akan dilakukan pembinaan. UN kini menjadi sarana mengetahui kelemahan-kelemahan dan kekuatan-kekuatan dalam penyelenggaraan pendidikan.
Pelaksanaan UN tahun ini masih menggunakan dua metode yaitu UN berbasis komputer (UNBK) dan UN berbasis kertas. Peserta UNBK tahun ini meningkat drastis di berbagai wilayah. Sebanyak 7,6 juta siswa SMP dan SMA Sederajat akan mengikuti UN tahun ini.
Mencermati fenomena kegelisahan di masyarakat dalam menghadapi UN, pantas diingatkan kembali hakikat pendidikan. Bahwa pendidikan sejatinya kebutuhan dasar setiap orang. Penyelenggaraan pendidikan dalam arti luas adalah kewajiban negara bersama masyarakat (swasta).
Dalam masyarakat modern, tugas mendidik anak-anak sebagai generasi penerus tidak cukup hanya dilakukan dalam lingkup keluarga. Maka kemudian sistem persekolahan dipercaya sebagai salah satu cara yang baik untuk menyelenggarakan pendidikan.
Pendidikan diorientasikan untuk mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan. Pendidikan adalah membangun sikap-sikap mulia, nilai-nilai yang diyakini kebenarannya, mental mandiri dan karakter bangsa.
Pendidikan secara sederhana dapat dikatakan untuk memanusiakan manusia, meninggikan derajat kemanusiaan. Pendidikan adalah membangun pribadi-pribadi yang berakhlaq mulia, berbudi luhur, menghargai sesama dan mencintai lingkungannya. Pendidikan adalah membangun jiwa-jiwa pengabdi dengan dilandasi semangat kemanusiaan.
Lantas, apa artinya pendidikan jika pelaksanaan ujian masih diwarnai kecurangan? Apa gunanya pembelajaran bertahun-tahun bila dalam ujian melalukan apapun untuk mencapai status “berprestasi”?
Selain kontraproduktif dengan tujuan pendidikan, ia mendegradasikan nilai-nilai kemanusiaan. Sikap, kecenderungan, dan perilaku curang dalam ujian jelas mengkhianati dedikasi dan pengabdian para pendidik sejati. Selain itu, ia juga mendzolimi mereka yang berjuang keras mencapai prestasi dengan kejujuran.
“Prestasi” yang diraih dengan kecurangan tidak akan pernah menghasilkan kinerja yang baik dalam masyarakat.  Ia justru akan menjelma menjadi bibit-bibit kecurangan-kecurangan yang lebih besar.
Jika demikian, maka potensi terjadinya kerusakan akan lebih besar. Pendidikan yang seharusnya menjadi lahan menyebai nilai-nilai kejujuran justru menjadi lahan perusak masa depan.
Kita berharap semoga penyelenggaraan UN semakin baik, tidak ada kecurangan, tidak ada intrik, dan tidak ada ambisi elit yang dipaksakan.
Ketidakjujuran bukan karakter bangsa kita.  Kejujuran harus berada di atas prestasi. Tidak ada peradaban yang dibangun dengan cara curang. (*) (Artikel ini dimuat di Harian Trans Lampung, Edisi Senin, 4 April 2016 hlmn 1)

Senin, 18 Januari 2016

Menjaga Citra Guru




ADA satu pertanyaan reflektif yang layak diajukan kepada generasi muda masa kini; apakah mereka punya cita-cita menjadi guru? Pertanyaan ini dimaksudkan untuk menggugah kembali penilaian dan penghargaan terhadap profesi guru, sekaligus mengelaborasi minat dan hasrat anak-anak muda untuk menjadi pendidik.
Citra guru dibentuk oleh sikap dan tindakan guru sehari-hari. Persepsi terhadap guru mengalami perkembangan dari waktu ke waktu.
Guru yang menjalani tugas dan kewajibannya didasari panggilan jiwa akan lebih menunjukkan sikap yang memang layak “digugu dan ditiru” (Jawa: dipercaya dan diteladani). Sosok guru yang sabar dalam mendidik, hangat dalam hubungan sosial, dan selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan. Ia akan mampu mengangkat harkat dan martabat guru, mampu bertahan di tengah perubahan paradigma materialisme, dan menjaga marwah serta integritas sebagai sosok pengabdi kepada kemanusiaan.
Menjadi guru di era teknologi informasi berbeda jauh dengan guru era 1970-an. Kemajuaan yang demikiaan cepat seringkali menimbulkan guncangan integritas dan krisis eksistensi. Fase inilah yang disebut fase ujian terbesar dalam melakoni profesi mulia. Oleh karena itu, kita mungkin sepakat bahwa prasyarat untuk menjadi guru memang agak berbeda dibanding profesi lain. Artinya, menjadi guru harus didasari semangat pengabdian untuk kemanusiaan, tak mudah silau dengan kemilau materi, santun dalam tutur kata, sikap,  dan tingkah laku yang mencerminkan penjaga nilai-nilai luhur bangsa. Suatu perwujudan kepribadian yang benar-benar nyata yang keluar dari hati nurani dan dilandasi basis pendidikan yang memadai.
 Pembentukan guru juga harus melalui proses khusus yang memang membangun jiwa dan semangat keguruan dalam suatu kancah “kawah candradimuka”. Ia dibekali dengan beragam kemampuan baik keterampilan lunak (soft skill) maupun keterampilan keras (hard skill). Membangun jiwa dan semangat guru seperti itu tentu tak bisa cukup hanya dalam hitungan bulan atau hanya satu tahun. Proses itu membutuhkan waktu yang cukup lama, intens, dan kontinu dalam suatu iklim pendidikan tenaga keguruan yang kondusif.  
Tak cukup hanya memiliki kecerdasan intelektual maupun kecerdasan sosial yang istimewa. Ia tak hanya mumpuni di satu bidang ilmu pengetahuan.
Figur guru hendaknya mencakup semua aspek kecerdasan, termasuk kecerdasan emosional maupun kecerdasan spiritual. Dengan begitu ia akan mengelola belajar dan pembelajaran dengan cara yang kreatif dan membangun generasi yang inovatif serta kreatif pula. Ia senantiasa mengisi ruang kosong tekanan kebutuhan hidup di era modern kini, sekaligus melihat masa depan dengan preskripsi yang terarah dan terukur.
Namun demikian bukan berarti sosok guru adalah sosok manusia sempurna, tanpa cela dan cacat. Ia adalah manusia biasa yang memiliki kemauan untuk menjadi manusia pembelajar dan membelajarkan dengan sepenuh hati. Ia adalah manusia yang menanam dan menabur kebaikan, tanpa pamrih, dan tetap manusia yang setia di jalannya.
Sekali lagi kita mungkin sepakat bahwa generasi produktif saat ini dibentuk oleh para guru di era 1960-an atau 1970-an, dan wajah bangsa ini 20 atau 40 tahun ke depan akan diwarnai oleh para pendidik saat ini. (*)

Standar Pelayanan Minimal



(Artikel ini dimuat Harian Trans Lampung, edisi Senin, 4 Januari 2016)

PEMERINTAH hadir sebagai wujud tanggung jawab memberikan pelayanan publik kepada masyarakat. Pemerintah wajib menciptakan adanya pelayanan publik yang efektif, berkualitas, tepat sasaran, dan bermanfaat bagi masyarakat. Itulah esensi mencapai kesejahteraan.
Warga masyarakat memiliki hak mendapatkan pelayanan publik untuk 15 urusan yang menjadi kewajiban pemerintahan, dan yang wajib memiliki Standar Pelayanan Minimal (SPM).
Sebuah pelayanan yang didapatkan oleh seluruh rakyat Indonesia, yang memiliki standar minimal, tertuang dalam Undang-undang (UU) 32/2004 tentang Pemerintah Daerah Pasal 11 ayat (4) yang berbunyi “Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib berpedoman pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh pemerintah”.
SPM dimaksudkan sebagai instrumen untuk memastikan dan menjamin mutu serta akses layanan dasar masyarakat secara merata.  
Persoalan praktik layanan di lapangan tidak semudah teori ataupun regulasi. Setiap hari kita masih disuguhi berbagai keluhan masyarakat terhadap layanan publik. Lebih miris lagi kasus-kasus korupsi juga masih mewarnai peristiwa di negeri ini.
Ada beberapa hal mengapa masyarakat yang mendapatkan dan merasakan pelayanan publik yang tidak berkualitas, tidak menyampaikan pengaduan maupun keluhannya. Pertama, terkadang tidak punya cukup waktu dan kesempatan, dan keberanian untuk menyampaikan keluhan. Apalagi kalau keluhan yang akan dia sampaikan itu terkesan sepele dan kasuistik, walaupun sesungguhnya itu penyimpangan terhadap hal yang prinsip.
Kedua, seringkali warga masyarakat secara individual kurang memiliki pengetahuan untuk mengadukan pelayanan yang dirasakan kurang berkualitas, tidak memenuhi standar, dan tidak profesional. Pengetahuan yang dimaksud di antaranya mengenai prosedur, mekanisme, maupun ke mana ia harus mengadukan keluhannya.
Dan yang paling mendasar adalah faktor kepercayaan dan kepastian apakah pengaduannya ditindaklanjuti secara tuntas dan proporsional. Selain bagian besar warga juga tidak punya ccukup “keberanian” untuk mengungkap masalah-masalah pelayanan yang tidak memenuhi standar minimal.
Ini artinya, meskipun sudah memiliki SPM, sebuah instansi pelayanan juga harus betul-betul memastikan aparaturnya memiliki kemampuan, kecakapan, dan keramahan, dalam memberikan pelayanan. Perlu disosialisasikan secara terus menerus dan masif, tentang apa itu SPM, bagaimana mekanisme keluhan, dan adanya kepastian bahwa setiap pengaduan akan ditindaklanjuti, bukan malah “merepotkan” yang menyampaikan keluhan. (*)

Minggu, 06 Desember 2015

Perbaikan Terus Menerus




Artikel ini dimuat Harian Trans Lampung Edisi Senin, 28 September 2015 

LINGKUNGAN sosial dan ekonomi bergerak dinamis. Kehidupan masyarakat mengalami pasang surut. Namun yang pasti, masyarakat menghendaki adanya pelayanan publik yang terbaik. Masyarakat menuntut pelayanan publik yang berkualitas, dan proses yang prima.
Pelayanan publik merupakan bagian dari fungsi negara, yang tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada privat atau swasta. Bahkan, kalau dilihat secara hakiki, eksistensi negara itu ada di pelayanan publik. Kalau hal-hal lain, yang sifatnya substitusi atau sederhana, mungkin tanpa aparatur negara pun bisa diselenggarakan oleh swasta murni.
Apa yang menjadi tuntutan masyarakat akan penyelenggaraan pelayanan publik yang berkualitas wajar saja. Siapapun ingin mendapat pelayanan yang terbaik. Setiap orang ingin mendapatkan pelayanan yang melebihi harapannya oleh penyelenggara pelayanan yang menjunjung tinggi etika dan sikap santun.
Contohnya saat berobat, di Puskesmas maupun rumah sakit pemerintah, kalau bisa tidak perlu antre, petugas medis yang ramah, prosedur yang jelas, dan dokter yang andal.
Masyarakat ingin mendapatkan listrik yang murah, aman, cepat, dan andal. Begitu juga pelayanan petugas penyedia listrik yang ramah, prosedur mendapatkan listrik yang terang-benderang, dan yang jelas, tidak sering mati lampu. Bahkan, kalau listrik tetap ada sepanjang tahun, dan tidak ada pemadaman sedetik pun.
Gambaran tuntutan akan pelayanan publik seperti tersebut, bisa diambil pada contoh-contoh pelayanan publik yang lain, seperti perizinan, pendidikan, keamanan, transportasi umum, bahan bakar minyak, dan sebagainya. Pelayanan publik menyangkut jasa maupun produk. Penyelenggaraannya merupakan amanah undang-undang.
Pemerintah, sebagai aparatur negara, wajib melakukan upaya perbaikan terus menerus dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Pelayanan publik dikatakan memuaskan apabila penerima pelayanan merasakan apa yang diterimanya melebihi harapan saat sebelum mendapat pelayanan.
Pemerintah harus melakukan upaya-upaya efisiensi dan mengefektifkan pelayanan publik, dan tetap meningkatkan kualitas pelayanan, demi kepuasan penerima pelayanan. Pelayanan publik yang baik akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, dan akan memberikan dukungan kepada setiap program pemerintah.
Pelayanan publik yang baik mencerminkan kehidupan yang sejahtera dan negara yang kuat.
Secara konseptual, pelayanan publik harus memiliki standar pelayanan dan dipublikasikan sebagai jaminan dan kepastian bagi masyarakat yang memanfaatkan pelayanan.
Standar pelayanan merupakan ukuran yang harus dimiliki dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang wajib ditaati oleh pemberi dan penerima pelayanan.
Standar pelayanan publik sekurang-kurangnya meliputi prosedur pelayanan, waktu penyelesaian, produk pelayanan, biaya pelayanan, sarana dan prasarana pelayanan, dan terakhir, kompetensi petugas pemberi pelayanan.
Prosedur pelayanan harus dibakukan bagi pemberi dan penerima pelayanan publik, termasuk pengaduan, sehingga tidak terjadi permasalahan di kemudian hari. Prosedur pelayanan harus ditetapkan melalui standar pelayanan minimal, sehingga pihak penerima pelayanan dapat memahami mekanismenya.
Waktu penyelesaian dalam pelayanan publik, yang ditetapkan sejak saat pengajuan permohonan sampai dengan penyelesaian pelayanan termasuk pengaduan. Semakin cepat waktu penyelesaian pelayanan, maka akan semakin meningkatkan kepercayaan masyarakat akan pelayanan yang diberikan.
Produk pelayanan merupakan salah satu dari standar pelayanan publik. Hasil pelayanan akan diterima sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Produk pelayanan harus dipahami secara baik, sehingga memang membutuhkan sosialisasi kepada masyarakat. (*)