Sabtu, 01 Desember 2012

GURU HARUS BERUBAH


(LAMPUNG POST, SELASA, 27 NOVEMBER 2012)
SUATU kenyataan bahwa setiap organisasi senantiasa menuntut perubahan. Sebab, organisasi yang tidak berubah akan ditinggalkan oleh khalayaknya dan lambat laun akan mati. Demikian halnya sekolah sebagai organisasi belajar atau institusi pendidikan. Sekolah  harus melakukan berbagai perubahan ke arah yang lebih maju, menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan, dan selalu memiliki berorientasi ke masa depan.
Guru merupakan salah satu subyek penentu dalam pendidikan di sekolah. Segala harapan dan tujuan pendidikan sebagian besar ditumpukan pada guru. Oleh karena itu perubahan di organisasi sekolah, atau secara luas perubahan pendidikan, mau tidak mau harus melibatkan peran aktif guru.
Dewasa ini, perhatian terhadap profesi guru sudah semakin membaik. Adanya pengakuan dan perhatian terhadap profesi guru berlanjut dengan berbagai regulasi yang melindungi dan menjamin kelancaran tugas-tugas profesional guru. Dampaknya, minat generasi muda untuk menekuni profesi guru meningkat. Indikasi yang paling nyata adalah animo calon mahasiswa memasuki fakultas keguruan yang semakin tinggi. Berbagai perguruan tinggi pun seakan berlomba menyelenggarakan program studi keguruan dan ilmu pendidikan.
Di era reformasi dan kemajuan teknologi informasi, masyarakat memiliki tuntutan terhadap kualitas output pendidikan yang juga semakin tinggi. Di sisi lain, masyarakat juga dengan mudah menyederhanakan persoalan pendidikan. Adanya kasus perkelahian pelajar, guru atau sekolah dipersalahkan. Maraknya perilaku korupsi, berbagai aksi kejahatan, penyimpangan perilaku sosial, dan sebagainya, seakan-akan dengan ringan menimpakan beban permasalahan pada pendidikan. Pendidikan dianggap telah gagal membina mental dan moral generasi muda. Tudingan semacam itu terasa amat menyederhanakan persoalan. Jangan lupa bahwa pendidikan adalah tanggung jawab semua pihak, pemerintah dan masyarakat. Benar bahwa guru memiliki tanggungjawab yang besar karena tugas dan profesinya. Tetapi yang sering dilupakan, bahwa mendidikan anak di sekolah juga memerlukan perhatian, kerjasama, dan partisipasi dari orang tua.
Kompleksitas persoalan pendidikan terkait dengan siswa semakin jelas jika dilihat durasi waktu keberadaan siswa di sekolah lebih sedikit dibandingkan dengan durasi waktu siswa berada di rumah atau di lingkungan. Tidak semua lingkungan di luar sekolah memberi iklim pendidikan yang positif dan terarah. Di tambah lagi dengan kekurangpedulian orang tua terhadap pendidikan anak-anaknya. Sebagian besar menganggap selesai dengan “menitipkan kepercayaan” anaknya di sekolah, dan melengkapi segala kebutuhan material dan finansialnya. Sementara aspek interaksi pendidikan dan sosial sering terabaikan.
Sebenarnya problem pendidikan dapat dilihat seperti mata rantai yang melingkar. Input, proses, output, sumberdaya pendidikan, dan subsistem lain di luar pendidikan saling mempengaruhi. Pendidikan yang hakikatnya adalah membangun manusia seutuhnya, membutuhkan sinergi kerjasama berbagai pihak dan integrasi program.
Memperbaiki pendidikan harus dimulai dari guru. Persoalannya, jumlah guru sedemikian banyaknya, seiring dengan jumlah anak-anak usia sekolah dan tingkat partisipasi pendidikan yang semakin tinggi. Sehingga program peningkatan kualitas guru (kompetensi) tidak mungkin berlangsung cepat dan mampu menjangkau seluruh guru. Selain itu juga niscaya ada alasan klasik untuk meningkatkan kualitas pendidikan melalui peningkatan kualitas guru, yaitu keterbatasan anggaran pendidikan.
Dari sisi internal, guru itu sendiri harus melakukan berbagai perubahan. Menjadi guru harus dilandasi semangat pengabdian kepada kemanusiaan. Menjadi guru merupakan panggilan jiwa untuk mendedikasikan diri kepada kemajuan harkat dan martabat kemanusiaan, membangun kebudayaan dan peradaban. Guru harus memiliki kesiapan mental untuk tidak tergoda dengan arus konsumerisme yang kontraproduktif dengan tujuan pendidikan. Guru harus memiliki daya tahan terhadap berbagai tantangan dan hambatan yang mungkin dihadapi, bahkan perlu memiliki strategi untuk mengatasinya. Guru harus membangun sikap terbuka terhadap ilmu pengetahuan, dan memiliki ketertarikan terhadap setiap pengetahuan baru.
Salah satu bentuk sikap terbuka dan responsif terhadap perubahan dapat diwujudkan melalui penggalian informasi, pengetahuan, memperkaya bahan bacaan, dan mengikuti berbagai kegiatan ilmiah dan akademik. Hal ini dapat dilakukan baik melalui organisasi profesi maupun secara kelompok kecil. Guru perlu mengintensifkan berbagi pengetahuan dan pengalaman melalui interaksi dan komunikasi dan forum ilmiah. Guru hendaknya senantiasa mengasah keterampilan dan kemampuannya di bidang pedagodik maupun bidang studinya.
Jika itu sudah dilakukan, maka menjalani profesi guru akan terasa ringan, indah, dan menyenangkan. Mendidik dan mengasuh siswa dengan antusias dan penuh kasih sayang. Guru yang demikian akan mampu melaksanakan  pembelajaran secara menyenangkan, inovatif, dan mampu memacu kreativitas siswa.
Setiap paradigma baru pendidikan dan kebijakan pendidikan guru akan siap dengan perangkat kemampuan yang sudah terinternalisasi dalam diri.
Penyediaan guru yang berkompetensi, dan memenuhi berbagai kualifikasi sebagai pendidik, tidak hanya dari aspek jumlah, tetapi masalah kualitas dan pembinaan profesi juga harus menjadi fokus perhatian. Tingginya animo masyarakat terjun ke profesi guru yang diindikasikan dengan membludaknya calon mahasiswa di fakultas keguruan dan ilmu pendidikan harus dibarengi dengan perangkat aturan dan mekanisme seleksi, pembinaan dan program pengembangan yang jelas.
Perbaikan kualitas pendidikan tidak akan berhasil jika tidak sejalan dengan arah program peningkatan kualitas guru. Sebagai profesi, guru mensyaratkan berbagai kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan di lembaga pendidikan tenaga kependidikan dan pemberian pengalaman yang signifikan serta interaksi dengan kalangan ahli di bidangnya.
Jadi lembaga pendidikan tenaga kependidikan juga semestinya memiliki standar dan melaksanakannya sepenuh hati. Jangan sampai mengejar jumlah lulusan, mengesampingkan kualitas proses pembelajaran mendidik calon guru.
Sebagaimana amanah undang-undang, pemerintah memiliki tanggung jawab yang besar di bidang pendidikan. Pemerintah harus menjadikan pendidikan sebagai program prioritas yang terimplementasi secara efektif dan efisien. Pelaksanaan tugas pemerintah di bidang pendidikan itu perlu pula dorongan dan pengawasan dari parlemen maupun dari elemen masyarakat. Selamat Hari Guru 25 November 2012. Jasamu yang tidada tara akan selalu dikenang. (*)

MENJADI GURU DI ERA PERUBAHAN


(RADAR LAMPUNG, KAMIS, 22 NOVEMBER 2012)

Dalam beberapa waktu terakhir, ada beberapa poin penting terkait dengan profesi guru. Setelah hiruk-pikuk digelarnya Uji Kompetensi Guru (UKG), kini muncul kebijakan baru perubahan kurikulum pendidikan yang mulai diberlakukan 2013. Di sisi lain, praktik profesi guru ditingkahi beberapa peristiwa, perkelahian pelajar, laporan kekerasan yang diduga dilakukan oleh guru, tuntutan guru honorer agar diangkat menjadi pegawai negeri, nominal honorer yang dinilai sangat tidak manusiawi, tuntutan transparansi tunjangan sertifikasi, dan sebagainya.

MESKIPUN begitu, ada pula beberapa prestasi siswa yang mencuat, seperti mobil esemka dan bidang permesinan, kemampuan (merakit) komputer dan berbagai perangkat teknologi, serta bidang seni dan budaya lainnya.
Menjadi guru di era kini memang menuntut banyak kompetensi. Perubahan yang serba cepat yang terjadi di masyarakat mengharuskan guru berpacu untuk dapat menjalankan profesinya sesuai ketentuan. Jadi diperlukan kesiapan diri untuk mengantisipasi perubahan.
Perubahan kurikulum, terutama di tingkat Sekolah Dasar, jelas berdampak luas terhadap guru. Meskipun istilahnya pengembangan kurikulum, ada beberapa hal mendasar yang perlu dipersiapkan oleh guru. Perubahan itu bukan sekadar pengurangan jumlah mata pelajaran, tetapi pengintegrasian beberapa substansi mata pelajaran ke dalam semua pelajaran.  Model dan pendekatan pembelajaran juga harus diubah. Singkatnya paradigma guru terhadap pembelajaran yang dikelolanya harus berubah.
Salah satu contoh yang paling nyata dan krusial adalah penerapan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). TIK bukan lagi merupakan mata pelajaran tersendiri, tetapi harus mewujud dalam praktik pembelajaran. Demikian halnya dengan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), dan Pramuka.  
Secara kuantitif jumlah guru yang akrab dengan perangkat teknologi tidak lebih banyak dibandingkan yang sudah menggunakan perangkat teknologi dalam pembelajarannya. Penguasaan guru dalam pemanfaatan teknologi untuk pembelajaran merupakan problem terpendam. Bagaimana mungkin guru dapat melaksanakan pembelajaran yang memenuhi standar minimal, sedangkan ia “belum selesai dengan dirinya sendiri”.
Ada problem psikologis yang dihadapi guru. Merasa usia sudah tua, sehinga menganggap tak perlu lagi belajar komputer, berasumsi komputer itu rumit, dan berada di “zona nyaman”.
Dilema lain yang dihadapi guru adalah tindakan dalam pendisiplinan siswa. Terlalu longgar dalam aturan disiplin membuat siswa tidak fokus dalam belajar dan mengganggu iklim belajar di sekolah. Menegakkan aturan disiplin di sekolah, membuat guru berurusan dengan polisi. Terkadang siswa dan orang tua siswa emosional membuat laporan ke polisi.
Guru yang menghadapi permasalahan terkadang tidak berdaya dalam berbagai situasi. Menyuarakan aspirasi sering dianggap sebagai tindakan tak pantas, dengan dalih guru banyak tuntutan. Mempertanyakan transparansi pengelolaan anggaran sekolah atau gaji dan tunjangan yang tersendat, dikatakan guru tak layak mengurusi soal uang. Tugas guru itu mengajar, bukan soal uang.
Di bagian lain guru tugas-tugas guru juga syarat beban administratif . Hal ini terjadi karena tidak berjalannya sistem dan fungsi-fungsi institusional. Guru yang bersertifikasi disibukkan oleh pendataan (pemberkasan) yang berulang-ulang, pencairan tunjangan yang terhambat, simpang-siur informasi kebijakan baru yang akan diberlakukan, dan sebagainya.
Guru yang sedang dalam proses sertifikasi juga menghadapi tantangan yang sama. Karena ketidaksiapan, dan karena  dorongan untuk dapat lulus dalam program sertifikasi tak jarang ada yang menempuh jalan pintas.
Padahal dengan sistem yang terkomputerisasi, beberapa beban tugas yang bersifat rutin dan administratif dapat terkurangi secara  signifikan. Pendataan (pemberkasan) cukup dilakukan sekali dalam periode waktu tertentu, misalnya satu tahun atau dua tahun, karena perubahan-perubahan data dalam kurun waktu itu dalam secara otomatis diprogram.
Pemberkasan yang bersifat fisik dan berulang-ulang selain pemborosan juga mencerminkan sikap tidak profesional. Pernah ditemukan berkas-berkas guru sertifikasi di suatu kabupaten di Lampung, menjadi bungkus kacang di Ciamis, Jawa Barat. Ini mengindikasikan bahwa pemberkasan fisik sebagiannya adalah memproduksi limbah kantor. Padahal guru dibuat pontang-panting memenuhi berkas yang diminta.
Masih banyak guru yang enggan melakukan perubahan dan tidak siap terhadap perubahan. Sebagian beranggapan perubahan sebagai “ancaman” terhadap statusnya. Penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang kemudian menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menghendaki guru kreatif dan aktif merencanakan pembelajaran dan leluasan memanfaatkan sumber belajar yang sesuai dengan kondisi setempat.  Tetapi setelah berjalan beberapa tahun, ternyata masih banyak guru yang mengelola kelas secara konvensional dan membelajarkan siswanya sebagaimana dia dulu diajar oleh guru-gurunya terdahulu.
Adanya seminar, pelatihan, dan workshop mampu mengubah cara pandang guru terhadap keberlakuan kebijakan  dan program baru. Tetapi biasanya setelah kembali ke tempat tugas hasil dari kegiatan pelatihan, workshop, dan sejenisnya itu, sulit terimplementasi di tempat tugasnya. Persoalannya adalah seminar, pelatihan, atau workshop itu tidak mampu menjangkau sebagian besar guru, dilaksanakan dalam kerangka proyek (biasanya akhir tahun anggaran), dan ketidaksiapan perangkat-perangkat lain yang ada di sekolah.
Pengamatan penulis di suatu sekolah dengan jumlah guru sekitar 60 orang, diberangkatkan dua orang untuk mengikuti pelatihan TIK selama tiga hari. Karena bekal kemampuan dasar yang minimal, dalam pelatihan yang semestinya dengan target untuk implementasi pembelajaran multimedia, akhirnya pelatihan berisi kegiatan “belajar mengetik dengan komputer”.  Sekembalinya ke tempat tugas mengajar, di sekolah tidak tersedia komputer, LCD projector, bahkan aliran listrik pun terbatas.
Paradigma baru pendidikan menghendaki pembelajaran dilaksanakan secara aktif, inovatif, kreatif, dan menyenangkan. Merencanakan, mengelola, merefleksikan, dan mengevaluasi pembelajaran, dengan cara konvensional dan manual saja belum sepenuhnya mampu dilaksanakan, kini sudah disusul dengan kebijakan baru perubahan kurikulum dengan pendekatan sains dan pemanfaatan komputer.
Yang juga menjadi tantangan pemerintah adalah penyediaan perangkat komputer dan jaringan internet di sekolah. Menyediakan sarana komputer dan jaringan internet di tengah infrastruktur fisik yang belum beres, jelas bukan pekerjaan mudah.
Dari seluruh paparan di atas penulis meyakini masih ada idealisme, spirit, dan dedikasi guru untuk mendidik generasi muda. Dengan bermodal semangat dan panggilan jiwa untuk mengabdi kepada kemanusiaan, diyakini guru mampu terus berkiprah dan berkontribusi dalam membangun fondasi pembangunan.
Birokrasi pemerintahan yang mengelola guru juga harus melakukan perubahan substansial, yaitu responsif terhadap perubahan. Perubahan bukan hanya simbolik atau kamuflase dan lip service. Birokrasi harus menjadi sarana tertib administrasi dan pemandu agar program tetap berada di arah yang benar dan agar dapat dilaksanakan secara lancar.
Kepemimpinan di organisasi sekolah juga memiliki ciri khas yang berbeda dengan perusahaan. Kepala sekolah yang berhasil adalah yang mampu menumbuhkan prakarsa dan motivasi guru untuk melakukan tugas dengan penuh tanggung jawab, mendorong guru untuk terus belajar, dan membangun iklim sekolah yang kondusif untuk belajar siswa. Keberhasilan kepala sekolah juga dapat diindikasikan dari kesantunan sikap orang-orang yang ada di sekolah itu, suasana belajar yang penuh semangat, pengelolaan anggaran sekolah yang transparan, dan keterlibatan berbagai stakeholder di sekolah yang dipimpinnya.
Kepala sekolah yang berhasil bukan mereka yang ke sekolah dengan bermobil mewah, atau tidak ada di tempat ketika guru hendak bertanya. Bukan pula yang selalu sibuk tugas luar, dan tugas dalam ketika akan ada tamu pejabat yang lebih tinggi.
Pembinaan terhadap profesi guru merupakan bagian tak terpisahkan dari fungsi-fungsi institusi pemerintahan bidang pendidikan. Paradigma pembinaan bukan “mengawasi”, atau menekan dan menebar informasi tak jelas. Pembinaan profesi guru dilakukan melalui pendampingan dan konsultasi, pengarahan, diskusi, dan pelatihan-pelatihan. Semoga tidak ada lagi instansi yang saling melempar tanggung-jawab. Dan semoga terwujud profil dan figur guru yang selalu dirindu siswanya, diteladani sikap-tindaknya, dan menebar kreativitas terhadap siswa sehingga terwujud siswa yang berprestasi. Selamat Hari Guru 25 November 2012. (*)

Kamis, 15 November 2012

MENCINTAI BUKU DAN PERPUSTAKAAN

Perpustakaan adalah sarana penyebarluasan ilmu pengetahuan dan sarana pewarisan nilai-nilai budaya bangsa. Koleksi yang ada di perpustakaan menjadi dokumen yang tak ternilai harganya. Perpustakaan adalah sumber belajar yang dapat digunakan setiap saat, sistematis, dan terus dipelihara dan dikembangkan.
Pendidikan dan perpustakaan dapat diibaratkan dua sisi mata uang. Semua memberi peran dan saling melengkapi. Perpustakaan merupakan sarana yang wajib ada di lembaga pendidikan. Di sekolah, perpustakaan sesungguhnya bagian integral Pusat Sumber Belajar (PSB) yang menjadi pusat peningkatan mutu proses pembelajaran. Di perguruan tinggi perpustakaan menjadi bagian paling penting dalam menunjang pencapaian tujuan pendidikan tinggi. Saking pentingnya perpustakaan, ada yang mengistilahkan bahwa perpustakaan adalah “jantung perguruan tinggi”.
Bahkan di setiap institusi dan pemerintahan daerah membutuhkan adanya perpustakaan. Berbagai daerah kini juga memiliki perpustakaan, meskipun ada yang masih merupakan rintisan maupun digabung dengan satuan kerja lainnya.
Untuk memahami isi koleksi perpustakaan, harus dilakukan dengan membacanya. Membaca adalah aktivitas intelektual tetapi sekaligus dapat dilakukan dengan santai. Perpustakaan hendaknya menjadi tempat belajar yang menyenangkan, menginspirasi dan memotivasi orang untuk terus belajar.
Dalam proses pendidikan, baik di jenjang SD sampai perguruan tinggi, aktivitas membaca merupakan bagian paling banyak dari seluruh waktu yang ada. Membaca adalah jalan menuju pengetahuan dan perpustakaan dapat dipandang sebagai kendaraan yang mengantarkan pada pemahaman dan wawasan yang luas.
Koleksi perpustakaan adalah pintu-pintu menuju cakrawala pandangan dan dunia ilmu pengetahuan. Koleksi perpustakaan yang sesuai dengan kebutuhan kelompok masyarakat penggunanya, menjadi ikon yang menandai proses bertumbuh-kembangnya budaya dan peradaban umat manusia.
Budaya membaca merupakan wujud proses panjang dan kontribusi banyak pihak. Lingkungan strategis harusnya berperan besar dalam membangun budaya membaca. Masyarakat perlu memberikan dukungan bagi kemajuan budaya membaca. Ini dapat dilakukan dengan cara yang sangat sederhana seperti menyempatkan berkunjung ke perpustakaan, berkunjung ke toko buku, atau memiliki buku bacaan di rumah.
Sekolah merupakan lembaga strategis dan formal yang menjadi pilihan pendidikan bagi masyarakat. Sekolah dan perpustakaan yang ada di sekolah dapat menjadi arus utama (mainstream) dalam mewujudkan pendidikan karakter bagi peserta didik.
Kita saat ini perlu menanamkan kepada peserta didik bahwa perpustakaan sebagai pusat pengetahuan dan sumber belajar yang tak pernah kering. Perpustakaan tak lekang oleh waktu. Untuk mencapai kondisi ini pengelola perpustakaan dituntut untuk mengembangkan diri, meningkatkan keterampilan dan bekerja melayakan koleksi yang dimiliki kepada penggunanya.
Pimpinan instansi induk dan pejabat pemerintah perlu menaruh perhatian lebih terhadap peran dan kontribusi perpustakaan bagi penyebaran pengetahuan, ilmu, dan secara umum bagi pewarisan nilai-nilai budaya dan perkembangan peradaban.
Kita sering membaca berita di media, terkait perpustakaan, hampir semua berisi keluhan dan komplain. Pengguna mengeluhkan kondisi dan layanan perpustakaan yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya. Pengelola perpustakaan melemparkan berbagai kendala yang dihadapi, seperti masalah tidak adanya anggaran yang mencukupi, kebijakan instansi induk yang tidak berpihak pada perpustakaan. Sementara pimpinan instansi induk menyalahkan rendahnya minat baca masyarakat, sehingga beranggapan untuk apa membangun perpustakaan dengan biaya besar.
Pengelola perpustakaan dan pimpinan instansi induk perlu mencari cara kreatif untuk menjadikan perpustakaan sebagai pusat perhatian dan ramai dimanfaatkan oleh masyarakat. Perpustakaan dapat menggelar berbagai even terkait penumbuhkembangan budaya baca, menyosialisasikan peran dan fungsi perpustakaan, terus melengkapi koleksi, dan yang juga penting adalah memberikan layanan sesuai dengan perkembangan teknologi informasi.
Secara khusus bagi perpustakaan sekolah, peran guru dan pimpinan sekolah, juga sangat penting. Guru dan pengelola sekolah harus bergandeng tangan dan satu visi untuk mewujudkan perpustakaan yang ideal. Perpustakaan perlu menambah keragaman koleksi bahan pustaka yang sesuai dengan taraf perkembangan peserta didik dan menyediakan ruang baca yang nyaman. Dari semua peran pustakawan atau petugas perpustakaan yang paling penting adalah memberikan layanan dengan pendekatan yang humanis.
Perpustakaan harus menghapus kesan miring dan anggapan bahwa perpustakaan adalah gudang buku. Petugas perpustakaan adalah pegawai “bermasalah” sehingga dimutasi ke perpustakaan. Perpustakaan harusnya tidak dipandang sebelah mata.
Perpustakaan yang maju akan memberikan kredit poin bagi instansi induk secara umum. Perpustakaan sekolah yang dikelola secara modern dan dimanfaatkan secara maksimal oleh warga sekolah, mengkontribusi pada citra sekolah yang baik. Di perguruan tinggi, perpustakaan yang banyak dimanfaatkan oleh civitas akademika mengkontribusi pada berbagai aktivitas belajar mahasiswa dan penelitian. Perpustakaan yang representatif dan mampu memenuhi kehausan informasi dan pengetahuan mahasiswa menjadi tempat paling favorit bagi mahasiswa.
Intinya adalah perpustakaan mengkontribusi terhadap proses kreatif, sumber inspirasi, dan membantu memandu perkembangan hasil belajar siswa.
Sekolah yang menerapkan filosofi buku dan perpustakaan sebagai jendela dunia akan menyediakan alokasi sumberdaya untuk perpustakaan yang memadai. Kepala sekolah karena jabatannya akan berada di garis terdepan dalam memperjuangkan terwujudnya perpustakaan yang menarik, lengkap, dan mampu memenuhi kebutuhan belajar siswanya. Buku dan perpustakaan adalah pembicara yang tidak ngobrol dan tak akan pernah ngibul.
Guru dapat memberikan pembelajaran secara kreatif dengan mengaitkan perpustakaan seperti penugasan kepada siswa untuk resume buku yang ada di perpustakaan. Guru juga dapat memanfaatkan perpustakaan untuk pembelajaran, baik melalui pengamatan bersama siswa, berdiskusi dalam perpustakaan baik dengan sesama pengunjung maupun dengan pustakawan, dan sebagainya.
Perpustakaan idealnya menjadi sarana yang memudahkan siswa untuk belajar. Sifat demokratis dan egaliter perpustakaan harus dijaga dan dikembangkan. Layanan perpustakaan menganut prinsip terbuka, dalam arti siapa saja boleh memanfaatkan perpustakaan untuk menambah pengetahuannya. Tentu dengan memenuhi tata tertib dan aturan yang berlaku. Meskipun yang utama adalah warga sekolah atau anggota perpustakaan itu sendiri, prinsip bahwa perpustakaan dapat dimanfaatkan oleh warga masyarakat umum tidak dapat ditanggalkan.
Perpustakaan menjadi sumber belajar dan mencari pengetahuan secara efisien dan efektif. Tidak harus berbiaya mahal untuk membaca buku, dan tidak harus pergi ke tempat yang jauh untuk mempelajari sesuatu yang berada disuatu tempat.
Untuk melihat dan mencari perbandingan sejarah Brazil, misalnya, siswa dapat membaca koleksi buku yang ada di perpustakaan. Demikian pula untuk mempelajari budaya masyarakat Timur Tengah, siswa dapat mengkaji buku yang dimiliki di perpustakaan sekolahnya. Jadi tidak perlu jauh-jauh.
Selain itu untuk mengetahui kehidupan hewan, kehidupan bawah laut, astronomi, geologi, dan sebagainya, semua dapat dipelajari melalui buku yang ada di perpustakaan. Perpustakaan menyediakan catatan sejarah masa lalu dan pengetahuan.
Perkembangan peradaban ditopang oleh perpustakaan. Buku dan koleksi perpustakaan harus tumbuh seiring dengan kemajuan yang dicapai oleh umat manusia. Generasi yang sekarang gemar membaca buku, mencintai perpustakaan, dan memiliki motivasi belajar yang terjaga dengan baik, akan menjadi generasi penerus yang juga akan melahirkan karya tulis berharga, memacu inovasi, dan menyebarluaskan gagasan-gagasan cerdas yang bermanfaat. (*)

Rabu, 17 Oktober 2012

TANTANGAN PENGELOLAAN PERPUSTAKAAN

-----Artikel ini dimuat Radar Lampung, Jumat,12 Oktober 201-----

Dunia perpustakaan saat ini menghadapi berbagai tantangan. Dua tantangan dapat dikemukakan, yaitu ketersediaan perpustakaan dan segala sarananya serta keterampilan dan keahlian para pengelola perpustakaan.
SALAH satu tugas utama perpustakaan adalah menumbuhkembangkan minat baca masyarakat. Setelah terbangun budaya baca, penyebaran dan penyerapan pengetahuan akan lebih mudah dilakukan.
Ada dugaan rendahnya minat baca masyarakat karena ketersediaan perpustakaan dan koleksi yang dimiliki terbatas. Saat ini secara nasional terdapat lebih dari 76 ribu sekolah dari jenjang SD hingga SMA/SMK belum memiliki perpustakaan. Rinciannya sekolah yang belum memiliki perpustakaan itu adalah 55 ribu lebih SD, 12 ribu lebih SMP, dan hampir 9 ribu SMA/SMK.
    Sekolah yang telah memiliki perpustakaan pun diyakini masih banyak yang belum sepenuhnya menyelenggarakan perpustakaan secara ideal. Padahal, perpustakaan adalah sarana baku yang harus ada di sekolah guna meningkatkan mutu pendidikan. Perpustakaan juga menjadi tonggak dan wahana membangun peradaban kemanusiaan yang lebih baik.
Di Lampung sekitar 60 persen sekolah belum memiliki perpustakaan (Radar Lampung, 14/9). Terungkap pula masalah minimnya koleksi dan makin berkurangnya anggaran sektor pendidikan. Hal ini menjadi sorotan anggota DPRD Lampung dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Lampung.
    Problem lebih rumit ketika kebutuhan gedung sekolah saja masih kurang, dan beberapa gedung sekolah yang rusak belum diperbaiki. Artinya, masih ada masalah pemenuhan kecukupan ruang kelas untuk aktivitas pembelajaran.  
Kondisi perpustakaan sekolah serupa juga dialami perpustakaan daerah. Beberapa media memberitakan kondisi perpustakaan daerah yang sepi pengunjung. Pengelola perpustakaan mengungkapkan kurangnya keragaman dan jumlah koleksi yang dimiliki perpustakaan.
    Keterbatasan perpustakaan dan kurangnya koleksi perpustakaan jelas berpengaruh terhadap minat kunjungan ke perpustakaan. Berbagai kajian menunjukkan bahwa para pemustaka (pengguna perpustakaan) kurang tertarik berkunjung ke perpustakaan selain karena bahan pustaka yang diperlukan tidak tersedia di perpustakaan, juga beralasan karena suasana perpustakaan dan layanan yang diberikan dinilai tidak sesuai dengan kebutuhannya.
    Faktor keterampilan dan keahlian pengelola perpustakaan juga berpengaruh terhadap minat pengguna perpustakaan. Perpustakaan yang ideal adalah yang dikelola secara profesional, berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan pengguna, dan selalu berupaya melakukan perbaikan dan peningkatan terus menerus.
Koleksi perpustakaan perlu dipelihara, ditambah, dan dimanfaatkan atau dilayankan kepada pengguna. Suasana perpustakaan juga harus diciptakan senyaman mungkin dan mendorong masyarakat untuk datang dan melakukan aktivitas membaca di perpustakaan.  
    Penyelenggaraan perpustakaan saat ini mensyaratkan penggunaan teknologi informasi. Perpustakaan harus mampu memenuhi kebutuhan pengguna yang semakin beragam dan fleksibel. Pengguna perpustakaan sekarang menghendaki kecepatan dan ketepatan atas informasi yang dibutuhkan. Artinya, pengelolaan perpustakaan harus mengikuti perkembangan teknologi informasi. Koleksi, data, dan informasi yang dimiliki perpustakaan dilayankan kepada pengguna dengan memanfaatkan berbagai media baik online, offline, maupun layanan baca di tempat dan peminjaman.
    Jadi jelas, tantangan perpustakaan tidak sekadar gedung dan koleksi perpustakaan berupa buku, majalah, dan sejenisnya. Tetapi lebih dari itu adalah penyediaan ragam koleksi dan mekanisme layanan yang prima, dengan memanfaatkan teknologi.
    Sebenarnya sudah ada regulasi yang dapat menjadi landasan pengembangan perpustakaan, terutama UU No. 43/2007 tentang Perpustakaan. Selain itu, untuk perpustakaan sekolah diatur dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa sekolah harus mengalokasikan minimal lima persen dari rencana anggaran sekolah untuk perpustakaan. Hal yang sama juga berlaku untuk perguruan tinggi.
    Ketika perangkat aturan sudah ada, persoalan pada komitmen dalam implementasi. Sampai kini masih ada sebagian orang yang berpandangan bahwa perpustakaan sekadar pelengkap. Pengangkatan pegawai atau petugas perpustakaan sering didasarkan pada pertimbangan miring, seperti pegawai yang ’’bermasalah’’ dimutasi ke perpustakaan atau siapa saja bisa jadi petugas perpustakaan. Ada juga penempatan perpustakaan di lokasi yang tidak strategis, di sudut ruang yang tidak terpakai. Kalau sudah demikian, selanjutnya koleksi usang, orang malas berkunjung ke perpustakaan, dan tidak ada penambahan koleksi yang berarti.
    Ketersediaan tenaga kerja dengan basis pendidikan ilmu perpustakaan dan informasi juga masih terbatas. Bisa jadi ini problem yang membentuk mata rantai melingkar. Lulusan SMA/SMK kurang berminat masuk program studi ilmu perpustakaan dan informasi karena paradigma usang bahwa perpustakaan bukan tempat yang menjanjikan untuk berkarir. Perguruan tinggi juga tidak menyelenggarakan program studi ilmu perpustakaan secara mandiri dimungkinkan karena rendahnya minat dan jumlah calon mahasiswa. Kalaupun ada masih dicangkokkan di program
studi lain.
    Mereka yang telah menyelesaikan pendidikan di ilmu perpustakaan dan informasi tidak juga terserap di berbagai perpustakaan. Penyelenggara perpustakaan, tidak juga merekrut tenaga dengan basis pendidikan ilmu perpustakaan dan informasi karena tidak ada program rekrutmen, keterbatasan anggaran, atau karena berpandangan bahwa tugas-tugas di perpustakaan bisa dilakukan oleh siapa saja, tidak harus berpendidikan ilmu perpustakaan dan informasi.
    Sampai saat ini memang belum ada definisi yang disepakati terhadap apa yang disebut perpustakaan. Tetapi ada beberapa patokan yang dapat dijadikan pegangan. Suatu perpustakaan adalah memiliki ruang tersendiri, memiliki koleksi minimal 1000 judul, ada petugas khusus yang melayankan, dan memiliki mekanisme pengelolaan dan pelayanan.
    Untuk perpustakaan sekolah atau perguruan tinggi ada pegangan rasio koleksi dengan peserta didik yaitu sekitar 1:15. Jadi, suatu sekolah yang memiliki 700 siswa, maka koleksi perpustakaan idealnya minimal 10.000 judul. Itu pun koleksi harus terus ditambah dan diperbarui sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
    Sementara perpustakaan ideal dikelola oleh minimal tiga orang; yaitu bidang layanan, bidang pengelolaan, dan seorang kepala atau koordinator perpustakaan.
Jika pun terpaksa, perpustakaan minimal dikelola oleh dua orang, kepala atau koordinator bisa dirangkap oleh salah satu di antaranya. Jika dilihat dari jumlah sekolah, terutama yang belum memiliki perpustakaan yang berjumlah lebih dari 76 ribu sekolah, maka sebenarnya peluang karir di perpustakaan cukup terbuka. Belum lagi perpustakaan umum milik daerah, perguruan tinggi, maupun perpustakaan institusi tertentu.
    Adanya UU tentang Perpustakaan dan aturan-aturan pelaksanaan merupakan pengakuan bahwa pustakawan merupakan profesi yang diakui dan perpustakaan merupakan lembaga resmi. Tinggal bagaimana kita mengubah cara pandang dan komitmen terhadap pendidikan melalui perpustakaan.
    Guru, kepala sekolah, dan pimpinan instansi dapat bersinergi mendorong budaya baca, menyelenggarakan pembelajaran yang menyenangkan dan kreatif melalui perpustakaan. Pengelola perpustakaan juga dituntut memberikan layanan secara tepat sesuai kebutuhan pengguna, cepat tanggap, kepastian layanan sesuai yang dijanjikan, dan mengedepankan sifat humanis. Dengan demikian perpustakaan akan mampu mencapai misinya menjadi sumber belajar dan wahana penerusan nilai-nilai budaya bangsa. (*)

Kamis, 20 September 2012

GURU DAN POLITIK PENDIDIKAN


---ARTIKEL INI DIMUAT LAMPUNG POST, JUMAT, 14 SEPTEMBER 2012--- 
HAKIKAT politik pendidikan adalah bagaimana komitmen institusi politik memainkan peran keberpihakan pada usaha memajukan pendidikan. Nilai filosofi politik pendidikan adalah perubahan sosial ke arah yang lebih baik.

Politik menjadi instrumen untuk memajukan pendidikan. Namun, dalam praktek sering dijumpai justru pendidikan menjadi instrumen politik, meraih dan memelihara kekuasaan atau berbagai keuntungan politik.

Dalam perspektif politik pendidikan, para aktor yang terlibat dituntut memberikan sumbangan yang optimal bagi pendidikan. Esensi praktek politik pendidikan adalah bagaimana pengalokasian sumber daya yang dimiliki, termasuk anggaran, pada sektor pendidikan. Di level teknis operasional, aplikasi politik pendidikan adalah bagaimana anggaran dan penggerakan sumber daya yang sudah disepakati dialokasikan di sektor pendidikan dapat dilaksanakan secara optimal. Institusi politik berperan melakukan pengawasan agar pelaksanaan program, kebijakan, dan kegiatan di bidang pendidikan benar-benar sesuai dengan apa yang telah direncanakan.

Untuk mengukur komitmen politik pendidikan, hal yang paling tampak mudah adalah seberapa besar proporsi anggaran diberikan pada sektor pendidikan. Selain itu juga komitmen politik pendidikan dapat dianalisis melalui apa saja yang telah dilakukan para aktor yang terlibat.


Guru Korban Politik?

Desentralisasi merupakan bagian dari upaya manajemen, tetapi berdampak atau bertalian dengan politik. Di era otonomi daerah, kewenangan pengelolaan guru berada di daerah. Sudah bukan rahasia lagi, guru (dan jabatan kepala sekolah) menjadi tersandera oleh berbagai kekuatan yang sedang membahana di daerah. Kondisi seperti ini akan sangat kental ketika menjelang pemilihan kepala daerah.

Guru dijadikan instrumen politik untuk kepentingan kelompok tertentu. Guru diombang-ambing oleh keinginan segelintir elite. Guru berada di tengah kegalauan birokrasi yang tak prima. Barangkali dunia politik memiliki perhitungan bahwa guru adalah simpul massa dan dianggap sebagai kelompok strategis untuk memuluskan kepentingan politik tertentu. Di sisi lain, tentu ada pula kalkulasi jumlah guru, kapitalisasi massa yang dapat didulang, dan anggaran yang berpusar di sektor pendidikan.

Kebijakan untuk guru terasa indah dan terdengar nyaring. Pemerintah memberikan berbagai tunjangan, dan terutama tunjangan guru yang tersertifikasi. Berbagai program juga dirancang untuk memajukan pendidikan, baik melalui dana bantuan operasional sekolah, pembangunan gedung baru, beasiswa, dan sebagainya.

Ketika terjadi karut-marut pengelolaan berbagai anggaran dan pembangunan, posisi guru terkena imbas negatif. Saat pembayaran tunjangan terkatung-klatung, ada dilema dihadapi guru. Menuntut pembayaran, dianggap tidak pantas karena nantinya dianggap sebagai guru yang tidak ikhlas dan hanya mengejar uang. Tidak menunut, lebih runyam karena semakin menenggelamkan harkat dan martabat guru sebagai sosok yang pantas diteladani.

Guru demo atau rasa, untuk menuntut hak-hak guru yang ditelantarkan, jelas mengesankan "ketidakpantasan". Guru kok demo. Demo atau unjuk-rasa masih diidentikkan dengan anarki dan ketidaktertiban. Bahkan ketika guru mempertanyakan nasibnya, maka "ancaman" mutasi sudah membayangi.

Tak dapat dipungkiri ada guru yang keblinger gemerlap materi, termasuk tunjangan sertifikasi. Guru seperti ini menjadikan uang dan tunjangan sertifikasi sebagai orientasi utama. Guru seperti ini enggan mengelola diri untuk mencapai kemajuan dan sudah puas dengan apa yang dijalani selama ini. Tetapi tidak akan pernah puas terhadap materi.


Perjuangan

Perjuangan aspirasi guru melalui organisasi yang ada juga tampak menemui jalan buntu, di tengah kuatnya kepentingan politik elite. Kekuatan dan potensi guru rentan dipecah belah dan dibuat galau. Siapa peduli guru? Pertanyaan “nakal” ini menunggu jawaban konkret dan tindakan nyata dari lembaga wakil rakyat, kelompok masyarakat, dunia pendidikan, dan siapa saja yang terpanggil.

Guru jangan demo karena tak pantas. Konsep guru harus nrimo, masih didengung-dengungkan. Kalau guru bersuara menuntut haknya, mutasi sepihak akan diterimanya. Meskipun saluran komunikasi politik macet, guru terpaksa menelan ludah pahit.

Pendidikan adalah proses yang lebih merupakan proses perubahan kualitas. Oleh karena itu, indikator keberhasilan pendidikan juga sangat kualitatif. Ukuran-ukuran kuantitatif harus dijadikan pelengkap pencapaian kualitatif. Atau setidaknya model pengukuran gabungan sehingga lebih mampu mencakup pencapaian-pencapaian yang ada. Agar tidak ada klaim sepihak atau klaim yang semata-mata kuantitif tetapi tidak mencerminkan isi dan proses pendidikan yang sesungguhnya.

Pendidikan harus dikembalikan pada roh menyiapkan generasi yang lebih baik dan tangguh menghadapi berbagai tantangan dan peluang. Pendidikan adalah membangun kompetensi dan berbagai keterampilan yang berguna bagi masa depan peserta didik.

Pendidikan adalah pelayanan terhadap kemanusiaan, yang dalam konsep bernegara disebut sebagai pelayanan publik. Tapi nyatanya pendidikan kini lebih mudah dilihat sebagai komoditas politik, lahan perburuan rente ekenomi, dan pasar sasaran berbagai produk barang dan jasa yang tidak terkait dengan pendidikan secara langsung.

Core pendidikan harus dijalankan oleh aparat, pegawai, staf, pejabat, dan pelaku-pelaku yang memiliki kompetensi, bekerja profesional, motivasi dan menjiwai dunia pendidikan sebagai lahan pengabdian dan menekuni perannya sebagai panggilan jiwa. Pendidikan memerlukan kepemimpinan yang memahami lingkungan strategis pendidikan itu sendiri sekaligus tetap memberikan ruang bagi dinamika profesi guru yang bergerak sangat cepat.


Guru Ideal

Mestinya profesi guru adalah panggilan jiwa, dan imbalan maupun prestise yang disandangkan harus dilihat sebagai dampak ikutan yang diberikan oleh pemerintah dan masyarakat. Guru harus terus meningkatkan wawasan dan keterampilannya. Istilahnya, guru harus sudah selesai dengan dirinya sendiri. Kalau sudah demikian, guru akan dapat tenang bekerja mendidikan dan mengasuh siswanya. Guru mengembangkan segenap potensi yang dimiliki siswanya agar mencapai kondisi yang paling optimal.

Guru ideal adalah guru yang tidak sibuk dengan keinginan-keinginan berlebihan terhadap duniawi. Apalagi guru berstatus pegawai negeri sipil dan sudah bersertifikat sebagai guru profesional. Guru yang sepenuh hati melaksanakan fungsi pendidikan dan menjalankan amanah kemanusiaan. Guru yang mendidik siswa dengan kasih sayang dan membelajarkan secara menyenangkan.

Guru yang diperlukan di lembaga pendidikan siswa adalah guru yang senantiasa memiliki gairah untuk terus belajar dan mengembangkan diri melalui berbagai media, forum, organisasi, dan pelatihan-pelatihan. Guru yang memiliki pengetahuan dan keterampilan pedagogis dan menerapkan dalam proses pembelajaran.

Guru dituntut untuk terus menempa diri dengan berbagai pengalaman kependidikan yang berharga. Guru yang dilahirkan oleh lembaga pendidikan yang juga dikelola secara profesional dan menghargai makna dan hakikat pendidikan.

Kondisi guru ideal dapat terwujud jika guru tidak terombang-ambing dalam gelombang politik local dan elite politik. Profesi guru dilakoni oleh mereka yang menghargai proses pendidikan dan bukan yang mengagung-agungkan angka yang bersifat semu. Guru ideal akan senantiasa dirindukan siswanya.

Guru yang sudah melaksanakan kewajiban dan mencoba memperbaiki diri secara terus-menerus hanya bisa berharap semoga terjadi perbaikan birokrasi pendidikan. n

Rabu, 15 Agustus 2012

MEDIA DAN HAK PUBLIK


Tak dapat dipungkiri bahwa eksistensi media massa telah menjadi salah satu penopang utama keberlanjutan era reformasi. Suasana kebebasan mengemukakan pendapat seperti sekarang, adalah bentuk peran media dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. 
Media telah berperan secara terus menerus dalam upaya terwujudnya keterbukaan informasi publik. Keterbukaan informasi adalah suatu kondisi yang memungkinkan orang memperoleh informasi yang berguna bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain secara mudah dan cepat.
Memperoleh informasi hakikatnya adalah hak dasar warga negara. Pemenuhan hak memperoleh informasi akan terhambat, karena adanya benturan kepentingan terhadap pihak-pihak yang menguasai informasi.
Keterbukaan informasi publik berarti kewajiban badan publik untuk menyampaikan informasi publik. Jadi hak dasar warga negara mendapat informasi, dibarengi dengan kewajiban pemegang informasi untuk menyampaikan atau mengumumkannya.
Media memiliki tanggung jawab yang besar terhadap bangsa dan negara. Dalam perspektif institusi sosial, media bertanggung jawab terhadap masyarakat. Ia harus memainkan peran sebagai media penyalur aspirasi bagi masyarakat, sekaligus menjalankan fungsi kontrol baik terhadap dinamika sosial itu sendiri maupun terhadap perilaku kekuasaan. Idealnya media memainkan peran sebagai penjaga arah agar institusi-institusi publik dan negara tetap berjalan pada rel yang semestinya. Di sinilah media akan menjaga gawang pepatah “kekuasaan cenderung korupsi” agar tidak terjadi.
Keseimbangan kekuatan saling kontrol antar-institusi akan meminimalkan terjadinya kecenderungan korupsi, penyimpangan, maupun monopoli kebenaran dan informasi.
Melalui pemberitaan, analisis, esai, laporan, kolom, dan artikel, media terus menyebarluaskan informasi kepada masyarakat sebagai hak publik. Media menjalankan fungsi mendidik, dalam arti luas, menyebarluaskan informasi, dan menjadi sarana hiburan. Media membangun budaya dan peradaban yang lebih maju.
Dahaga Informasi
Rasa ingin tahu pasti dimiliki individu. Kebutuhan akan informasi lebih penting daripada kebutuhan fisik. Fitrahnya, setiap orang akan berusaha memenuhi dahaga informasi. Jika keinginan untuk mengetahui sesuatu itu terpenuhi, maka ia akan merasa tenang dan puas. Dalam bahasa lain, masyarakat yang terinformasi adalah masyarakat yang sejahtera secara bathiniah. Masyarakat yang memperoleh informasi, akan lebih mudah memiliki kesadaran pentingnya bermasyarakat dan berpartisipasi dalam membangun masyarakatnya ke arah yang lebih baik.
Kebutuhan akan informasi bagi masyarakat sebagian besar terpenuhi atau disalurkan melalui pemanfaatan media massa. Oleh karena itu media massa hendaknya menangkap kebutuhan akan informasi itu sebagai umpan balik untuk terus menerus memperbaiki diri. Media massa yang akan bertahan dan dicintai masyarakat adalah media yang tidak hanya pandai mengkritik, tetapi juga diisi oleh awak redaksi yang selalu terbuka terhadap kritik.
Kritik, saran, masukan, pendapat, dari manapun datangnya, jika itu esensinya adalah untuk perbaikan, akan diterima dengan baik.
Pengelola media dan pekerja media mendedikasikan dirinya di bidang informasi sebagai lahan pengabdian. Karakteristik informasi adalah kebenaran, keterbukaan, kesetaraan, kecepatan, dan ketepatan. Pengelola media pasti memahami dan menghayati terhadap karakteristik informasi itu sehingga mampu mengoptimalkan pengabdiannya bagi masyarakat.
Kebebasan dan Tantangan
Di masa Orde Baru, mengkritik pimpinan negara, membutuhkan keberanian yang luar biasa. Bahkan, mengkritik kebijakan pemerintah, adalah “kemewahan” yang harus dibayar mahal.
Meskipun media telah memberikan peran bagi keterbukaan informasi, harus diakui media juga memberikan ekses baik berupa ketegangan maupun disharmoni. Ekses media yang mungkin negatif, biasanya bersifat sementara, sebagai akibat kurangnya pengetahuan dan kesadaran terhadap fungsi media itu sendiri.
Contohnya, di awal reformasi, kantor media massa didemo merupakan hal yang biasa. Seorang tokoh yang mencalonkan diri untuk maju menjadi calon pemimpin suatu organisasi, ketika mendapat sorotan kritis media, mengerahkan massa ke kantor media untuk menekan. Banyak modus lain reaksi ketidaksenangan suatu kelompok terhadap peran media, seperti memboikot, mengancam personil media, maupun membuat media sendiri.
Kebebasan dan hak setiap individu akan dibatasi oleh kebebasan dan hak individu lainnya. Media harus mendorong terpenuhinya hak publik dengan tetap menjaga kebenaran di atas kebebasan.
Media sebagai entitas bisnis menghadapi tantangan iklim kompetisi dan keterbatasan sumberdaya. Media harus menjaga keseimbangan antara idealisme dan fungsi bisnis.
Pemandu
Media harus menjadi guideline bagi pembacanya dalam memandu untuk mengambil keputusan. Bagi pengusaha, media berperan membantu dalam mengambil keputusan bisnis yang tepat. Bagi politisi media menjadi pemandu arah karir politiknya dan dukungan massa kepadanya. Bagi masyarakat kota, media menjadi rambu-rambu dan petunjuk akan bahaya kriminal, trend gaya hidup, informasi tentang arus lalu-lintas, layanan publik, potensi penyakit, dan gangguan keamanan. Bagi petani menjadi media informasi dan pengetahuan untuk meningkatkan budidaya dan produksi serta saluran pemasaran.
Media hendaknya mengungkap kebenaran dan memberitakan sesuatu di balik peristiwa. Media perlu memperbarui semangat dan khitahnya sebagai penyebar pencerahan. Memberitakan korupsi, misalnya, agar yang lain tidak melakukan korupsi. Menampilkan tokoh dan kisah sukses agar menjadi teladan bagi masyarakat umum. Memuat laporan tentang kerusakan sarana umum agar segera mendapat respon dari yang berwenang. Singkatnya, informasi yang disampaikan media dibutuhkan dan bermanfaat bagi setiap orang.  
Dengan demikian kehadiran media mampu menjaga layanan publik tetap baik dan menjamin terlaksananya kewajiban institusi publik. Bagi masyarakat, media membantu memenuhi hak-haknya akan informasi. (Bandar Lampung, 09 Agustus 2012)

Selasa, 07 Agustus 2012

UNJUK KEPEDULIAN UNTUK GURU

Pekan lalu dan beberapa pekan atau bulan ke depan, guru yang tersertifikasi sibuk dan akan tetap sibuk oleh apa yang disebut Uji Kempetensi Guru (UKG). Saya ingin memberikan catatan, sebaiknya kita sekarang unjuk kepedulian kepada guru. Guru adalah figur yang menjadikan kita seperti sekarang. Sebagai manusia biasa, guru tak luput dari beberapa kelemahan. Tapi pun begitu, peran, kontribusi, jasa, dedikasi, para guru,  patut kita apresiasi. (Bandar Lampung, Jumat, 03 Agustus 2012)

Para guru yang telah bersertifikat sebagai guru profesional, dihadapkan pada Uji Kompetensi Guru (UKG). Seperti biasa, program pemerintah pusat ini menuai pro dan kontra. Ide dasar UKG seperti digembar-gemborkan pemerintah, adalah dalam rangka pemetaan kualitas guru di berbagai jenjang sekolah dan di berbagai daerah.

PIHAK-PIHAK yang kontra terhadap UKG bersikukuh menolak UKG sebagai instrumen penilaian kinerja guru dengan dalih pemetaan. Mereka menganggap pemerintah seakan-akan kurang pekerjaan, dengan menggelar UKG. Ada dua hal substansial yang mendasari penolakan UKG secara online; pertama adalah bahwa menilai kompetensi guru tidak bisa hanya berdasarkan ujian dengan tipe soal pilihan jamak. Apalagi aspek-aspek profesional guru sangat banyak, dan sebagian besar menyangkut kompetensi yang untuk menilainya mengharuskan dilakukan pengamatan praktis dan menyeluruh.
Kedua, bahwa pemerintah saat ini memiliki tanggung jawab menuntaskan ratusan ribu guru yang belum tersertifikasi.  Dalam dua tahun terakhir, kuota bagi peserta sertifikasi ditingkatkan, dalam rangka mengejar pencapaian sertifikasi guru. Pertanyaannya, mengapa tidak peningkatan status guru tersertifikasi itu dulu yang diprioritaskan?
Sejak akan dilaksanakannya UKG, penulis berhipotesis bahwa ini adalah suatu program yang mengemban dua agenda. Pertama, melalui UKG pemerintah akan mudah menjawab kritik masyarakat bahwa sertifikasi guru bermanfaat atau setidaknya meningkatkan kinerja guru, meskipun dalam kadar yang tidak terlalu menggembirakan. Kedua, apabila ada beberapa kekurangan atau kelemahan dalam aspek-aspek profesional di kalangan guru, maka pemerintah akan meluncurkan program pembinaan yang lebih masif.
---Perlu Penjelasan
Pertanyaan-pertanyaan yang perlu jawaban dan penjelasan adalah, mengapa untuk melakukan pemetaan kualitas guru harus melalui UKG yang diikuti semua guru bersertifikasi? Tidak adakah metode sampling yang valid dan reliabel untuk memetakan kualitas guru? Bukankah untuk menggelar UKG memerlukan biaya yang besar? Apakah selama ini tidak ada institusi atau tim yang fungsinya melakukan pendataan dan pemetaan terhadap kualitas guru dan sebaran guru?
Agak miris malah ketika UKG diluncurkan, muncul statemen bahwa “jika guru selama ini menguji murid, maka guru saat ini harus siap diuji”. Statemen ini terlalu meremehkan seolah-olah guru tidak mau (tidak siap) diuji.
Persoalan lain adalah waktu untuk sosialisasi UKG juga sangat singkat. Informasi yang sampai di tingkat guru membias. Yang didengar guru adalah bahwa UKG akan berdampak kepada status sertifikasi mereka. Jika tidak lulus dalam UKG, maka status sertifikasi terancam.
Kenyataannya, seperti mudah diduga, pelaksanaan UKG tidak optimal, untuk tidak menyebut gagal. Di berbagai tempat ujian, akses internet sangat lambat bahkan ngadat. Kesiapan para guru peserta UKG juga sangat memprihatinkan. Masih banyak yang gagap teknologi. Bagi sebagian guru yang tidak terbiasa dengan komputer, mengoperasikan komputer bagaikan menghadapi hantu.
Dilema teknologi, seperti biasa, dapat digambarkan seperti menunggang harimau. Jika tak pandai mengendalikan, maka penungganglah yang akan diterkam oleh harimau. Idiom ini berlaku terhadap penggunaan komputer dalam UKG yang dilakukan secara online.
Sekedar diketahui, ada banyak guru dari suatu kecamatan, terpaksa membeli laptop baru dan dibawa ke tempat ujian, meskipun belum bisa memanfaatkan fungsi-fungsi laptop. Dan benar, di tempat ujian, laptop itu tidak digunakan sama sekali untuk ujian, karena sudah disediakan komputer oleh panitia.
Menyimak pelaksanaan UKG yang lalu, belum tampak bahwa UKG berpihak pada guru. UKG lebih menampilkan sebagai peran antagonis dalam suatu drama kolosal. Peduli nasib guru tidak harus menjadikan guru terombang-ambing dalam ketidakpastian.
Suatu kompetensi sudah selayaknya diasah dan ditingkatkan sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman. Jika ada guru yang bersertifikasi, tetapi kinerjanya menurun, mungkin secara kasuistik itu ada. Tetapi menggeneralisasi bahwa sertifikasi belum atau tidak memperbaiki kualitas guru, adalah pandangan yang naif. Mengapa? Karena saat lolos sertifikasi, guru telah diwajibkan memenuhi berbagai persyaratan dan proses panjang oleh institusi yang kredibel.
--- Motivasi Pribadi
Meningkatkan kapasitas, kualitas, dan kompetensi diri pribadi terutama didorong oleh kemauan dari dalam diri sendiri. Siapapun kita, apalagi seorang guru, rasanya perlu selalu menambah energi dan terus berusaha mencari pola baru yang lebih efektif untuk meningkatkan kompetensi.
Eksistensi guru dalam diri siswa tidak semata-mata kehadirannya di depan kelas maupun di sekolah. Seorang guru harus menampilkan diri sebagai sosok teladan dalam segala hal yang positif.
Guru harus memiliki motivasi belajar yang tinggi, sehingga bisa memotivasi siswanya untuk belajar lebih giat. Guru harus menebar semangat kemandirian dan menanamkan tanggung jawab dalam diri siswa.
Menjadi guru di era sekarang, berbeda dengan beberapa dasawarsa lalu. Bahkan situasinya jauh berbeda dibanding dengan enam tahun silam.  Guru sekarang menghadapi berbagai tantangan yang semakin kompleks.
UKG diplesetkan menjadi Uji Kesabaran Guru. Ini sebuah ungkapan bahwa guru, di samping melaksanakan tugas dan fungsi mendidik, menjadi obyek eksploitasi dari birokrasi yang cenderung tidak peduli. Meskipun tidak sepenuhnya benar, aspirasi ini patut mendapat apresiasi. Mengapa? Sudah sepantasnya guru menyuarakan aspirasi, kondisi, kebutuhan, dan berbagai problematika terkait tugas dan fungsinya, di hadapan praktik birokrasi yang berjiwa "kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah". Mengherankan memang, di era keterbukaan, masih saja birokrasi belum berubah. (*)

Selasa, 24 Juli 2012

REFORMASI SISTEM PENDIDIKAN

ARTIKEL INI DIMUAT LAMPUNG POST, SABTU, 28 JULI 2012
 
MASALAH yang berkembang dalam dunia pendidikan Indonesia dewasa ini sungguh kompleks. Satu sama lain saling bertaut dan silang sengkarut persoalan itu seakan sulit dicarikan solusinya.
Di bidang teknis pendidikan dan pembelajaran, ada persoalan kualitas guru, pendidikan karakter, kualitas output pendidikan, ujian nasional, penerimaan siswa baru, dan sebagainya. Sedangkan di bidang teknis sarana dan prasarana, terkait dengan penyediaan dan penyebaran fasilitas pendidikan, mekanisme pembiayaan pendidikan, dan penyaluran bantuan operasional sekolah (BOS), pembayaran gaji dan tunjangan guru, dan seterusnya.
Pada hampir semua bidang tersebut, tampak belum semuanya berjalan mulus. Selalu ada kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Kebijakan yang digulirkan pemerintah, secara konseptual mungkin sudah baik, tapi implementasinya selalu bermasalah.
Daya Saing
Media massa sering mengekspos berbagai kasus dalam praktek pendidikan. Terkait dengan kualitas, patut menjadi catatan pendidikan belum mampu mendongkrak daya saing pribadi peserta didik maupun daya saing bangsa. Masih banyak guru yang belum menguasai sepenuhnya metode didaktik maupun substansi keilmuan. Evaluasi umum menunjukkan belum ada peningkatan kinerja guru yang berarti meskipun telah mengantongi sertifikat guru profesional. Dua kondisi ini dapat menjadi cerminan adanya masalah dalam proses pendidikan yang mesti dicarikan solusinya.
Di sisi lain, kasus dugaan korupsi dan penyimpangan penggunaan dana BOS, keterlambatan dan kekurangan pembayaran tunjangan bagi guru, pungutan liar, pemotongan, dan sebagainya, pun masih menjadi problema serius.
Bahkan beberapa di antara pelaku sudah ditetapkan sebagai tersangka dan masuk bui. Akhirnya, kata-kata oknum menjadi pilihan untuk menyebut para pelaku penyimpangan. Memang tidak semua aparatur pendidikan berkinerja buruk. Tapi, selalu saja kasus-kasus serupa penyimpangan, pungli, maupun korupsi, mencuat ke ruang publik. Kasus apa pun, dalam dunia pendididikan, jelas sangat mencoreng citra pendidikan.
Masyarakat telanjur menaruh harapan besar terhadap hasil pendidikan. Selama ini masyarakat memiliki persepsi bahwa dunia pendidikan adalah dunia yang baik, sehat, bersih, dan bebas korupsi. Guru adalah sosok panutan, yang idealnya tanpa cela dan tanpa cacat dalam sikap dan tindakan. Meskipun sebenarnya guru juga manusia biasa.
Masyarakat masih percaya sekolah sebagai tempat terbaik untuk menyemai kepribadian anak-anak menjadi pribadi yang matang dewasa. Mereka masih memercayakan dan "menitipkan" anak-anak mereka di sekolah. Kepercayaan masyarakat ini tidak jarang tercoreng oleh tindakan dan perilaku aparatur pendidikan.
Pendidikan harus dikelola berdasarkan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan jiwa serta semangat perubahan. Pengelola pendidikan harusnya mendasarkan kerjanya pada pengabdian kepada umat manusia dan kemanusiaan.
Komitmen Pelaksana
Muara dari segala persoalan dan problema itu mudah dipahami merupakan masalah manajemen. Manajemen pendidikan menegaskan adanya perencanaan, pelaksanaan program dan kegiatan oleh orang-orang yang kompeten dan profesional. Juga adanya evaluasi terus-menerus dan upaya peningkatan kualitas secara berkelanjutan.
Tidak akan ada korupsi jika pelaksana programnya adalah orang-orang yang punya komitmen tinggi terhadap dunia pendidikan. Tidak akan ada pungli dan pemotongan apabila pelaksana program pendidikan adalah orang-orang yang bekerja secara profesional dan memiliki jiwa pengabdian.
Institusi pendidikan idealnya dikelola oleh orang-orang yang memahami kependidikan dan metode pengelolaan lembaga pendidikan, sekaligus dijiwai semangat dedikasi bagi umat manusia. Pendidikan tidak boleh diarahkan pada praktek mekanisme pasar; siapa yang kuat dialah yang menang. Tanggung jawab ini pertama-tama ada di pundak pemerintah, dan partisipasi masyarakat melalui lembaga pendidikan swasta dan elemen lainnya.
Mengurusi dunia pendidikan memang tidak mudah. Pendidikan adalah hajat hidup setiap orang. Pendidikan melibatkan setiap individu, elemen masyarakat, dan pemerintah. Manajemen pendidikan mestinya memudahkan setiap orang melaksanakan tugasnya. Pembelajaran dalam kelas yang monoton, tidak melahirkan kreativitas atau bahkan justru membunuh kreativitas siswa, berarti adanya ketidaksesuaian dalam praktik manajemen pembelajaran. Pengelolaan kelas meniscayakan perlunya keragaman dan penghargaan atas individu untuk memacu potensi segenap peserta didik.
Mengelola dan mereformasi institusi pendidikan berarti mensyaratkan kemampuan, keterampilan, dan semangat loyalitas dan dedikasi bagi kemanusiaan. Ini jelas tidak mudah, tapi juga bukan tidak mungkin. Lembaga pendidikan yang akan melahirkan para guru dan tenaga kependidikan juga mengemban amanah ini.
Mekanisme seleksi mahasiswa baru di lembaga tenaga kependidikan harus benar-benar mencerminkan adanya potensi yang dapat dikembangkan bagi kemajuan dunia pendidikan di masa depan. Generasi muda kini adalah aset masa depan yang menjamin keberlangsungan umat manusia, peradaban bangsa, dan kesejahteraan yang lebih baik. (n)

Kamis, 21 Juni 2012

ORIENTASI PENDIDIKAN KARAKTER

(Artikel dimuat Lampung Post, Selasa, 19 Juni 2012)
KECENDERUNGAN maraknya perilaku menyimpang pada sebagian generasi muda menimbulkan keprihatinan insan pendidikan dan masyarakat umum. Dari sinilah muncul gagasan pendidikan karakter.
Pendidikan moral, etika, maupun pendidikan agama yang ada sekarang, ternyata belum mampu melahirkan generasi muda yang beriman dan berkepribadian bangsa. Budaya hidup konsumtif dan gemar menyerobot, kecenderungan kolusi, senang menempuh jalan pintas, dan sebagainya masih mewarnai sebagian besar siswa. Perayaan kelulusan dengan aksi coret-coret baju dan pawai di jalan adalah contoh gaya hidup anak muda sekarang. Contoh lain yang sudah menjadi rahasia umum adalah mengikuti ujian nasional tanpa persiapan karena mengharap bocoran.
Sejatinya, masalah karakter bukan masalah baru. Perbedaan generasi memunculkan tantangan yang berbeda pula. Di era kemajuan teknologi informasi tantangan pendidikan kian dinamis dan kompleks. Pendidikan di sekolah berpacu dengan aneka tawaran dari media hiburan. Hiburan yang berlebihan jelas membuat generasi muda kurang tanggap terhadap lingkungan.
Pendidikan karakter merupakan respons atas maraknya penyimpangan dan pelanggaran hukum dewasa ini. Secara kuantitas jumlah perbuatan melawan hukum makin tinggi. Secara kualitas, modus perilaku penyimpangan kejahatan juga semakin canggih. Ada pemikiran, perilaku menyimpang generasi muda, salah satunya karena kehilangan sosok teladan.
Tokoh terpandang dalam masyarakat yang semestinya menjadi teladan malah melakukan memberi contoh perbuatan yang tidak baik. Pengusutan kasus korupsi, misalnya, terkesan lamban dan akrobatik. Jika pun terungkap dan tersangka ditetapkan, masih mendapat fasilitas dan status sosial yang tinggi di sebagian masyarakat.
Fondasi Kejujuran
Lagi-lagi, untuk mengembalikan atau paling tidak meluruskan kondisi itu ditumpukan pada pendidikan karakter. Pendidikan karakter sejatinya menanamkan kejujuran, tanggung-jawab, kemandirian, jiwa dan semangat kerjasama, dan ketahanan daya juang menghadapi berbagai tantangan.
Tugas dan fungsi sekolah bukan cuma meluluskan, tetapi mendidik anak bangsa menuju perubahan sikap dan tingkah laku positif sejalan dengan budaya bangsa. Kecerdasan dan prestasi akademik akan mengiringi apabila tercipta iklim belajar yang kondusif.
Kejujuran berada di depan kepandaian. Kejujuran bisa ditanamkan sejak dini dan secara konsisten dalam lingkungan yang mendukung. Kepandaian dapat diasah dan dikembangkan setelah fondasi kejujuran terbentuk.  Sekolah sebagai tempat persemaian generasi muda dicirikan dengan produksi dan reproduksi pengetahuan dan praktek yang mengarah ke arah manfaat dan kebaikan. Siswa belajar menghargai proses yang bermakna dalam belajar, dan bukan hanya simbol semata.
Proses pembelajaran di lembaga pendidikan harus merupakan proses eksplorasi potensi siswa dan meneguhkan kreativitas. Kondisi ideal proses pembelajaran dan pendidikan tersebut mensyaratkan banyak hal. Setidaknya, diperlukan pendidik yang menjiwai profesinya. Guru dan tenaga pendidikan yang profesional akan mampu mengelola pembelajaran secara efektif dan efisien serta menumbuhkan motivasi belajar siswanya.
Baik guru maupun siswa, sesungguhnya semua pembelajar. Siswa perlu belajar tentang bagaimana belajar yang efektif dan efisien. Demikian pula guru terus belajar cara membelajarkan. Jika guru tidak belajar, sesungguhnya yang dia kerjakan hanyalah pengulangan tindakan usang, bahkan ketinggalan zaman. Hakikat pendidikan adalah menyiapkan generasi muda menghadapi situasi, kondisi, dan kehidupan masa depan.
Di tengah tuntutan pendidikan karakter, tugas guru juga bertambah. Setiap tindakan pembelajaran dan pendidikan harus bermuatan pendidikan karakter dan mencerminkan adanya perubahan sikap ke arah positif.
Proses pembelajaran dan pendidikan yang membekali siswa berbagai keterampilan, baik keterampilan keras maupun keterampilan lunak untuk menghadapi situasi masa depan yang semakin dinamis. Kemampuan siswa membangun visi masa depan mereka akan menjadi pembuka jalan bagi kehidupan mereka di masa datang yang lebih baik.
Kepemimpinan lembaga pendidikan atau sekolah bukan pola hubungan kekuasaan. Kepemimpinan sekolah mengembangkan mengedepankan kerja sama fungsional dan kesejawatan. Setiap tindakan dilandasi logika ilmiah dan pertimbangan kebijaksanaan. Kepemimpinan sekolah yang integratif adalah yang terbebas dari tekanan dari pihak mana pun.
Kewirausahaan
Persoalan lain yang juga menonjol adalah kesenjangan dunia pendidikan dan dunia kerja. Kesenjangan antara kompetensi lulusan dan kebutuhan pasar kerja merupakan salah satu tantangan lembaga pendidikan yang krusial. Topik ini kemudian menjadi tagline bagi lembaga pendidikan untuk mendapat dukungan dari masyarakat.
Pendidikan karakter, terkait erat dengan kebutuhan akan jumlah wirausahawan di Indonesia. Model pendidikan karakter akan melahirkan jiwa-jiwa yang kreatif dan dengan tetap menghargai nilai-nilai budaya bangsa.
Pendidikan kewirausahaan bukan berarti menjadikan sekolah seperti pasar. Tidak pula segala sesuatu diukur dengan uang. Kewirausahaan dalam pendidikan bukan menjadikan siswa sebagai pekerja, melainkan melatih kemampuan membangun jaringan dan mengelola berbagai kegiatan. Pendidikan kewirausahaan merupakan penanaman sikap mental dan membangun keterampilan serta memanfaatkan keterampilan lunak untuk mewujudkan kreativitas dan inovasi. Kata kunci untuk ini adalah memberi nilai tambah atas aktivitas, karya, dan jasa.
Wirausaha pada hakikatnya bertumpu pada kreativitas dan inovasi. Kreativitas manusia sesungguhnya tanpa batas sehingga pendidikan merupakan pemicu dan pemacu kreativitas siswa. Dengan kreativitas itulah melahirkan aneka inovasi.
Mewujudkan pendidikan karakter dan jati diri bangsa merupakan upaya melahirkan generasi muda dan wirausaha yang unggul dan berkualitas. Pendidikan karakter dan kewirausahaan adalah jawaban atas berbagai tantangan masa depan yang sudah diperkirakan sekarang. (n)

Kamis, 14 Juni 2012

PENDIDIKAN KARAKTER DAN KEWIRAUSAHAAN


Mudah dipahami bahwa adanya perilaku menyimpang pada sebagian generasi muda, melahirkan keprihatinan insan pendidikan dan masyarakat umum. Maka muncullah gagasan pendidikan karakter bangsa.
Pendidikan moral, etika, maupun pendidikan agama yang ada sekarang, ternyata belum mampu melahirkan generasi muda yang beriman, takwa, cerdas, dan berkepribadian bangsa. Budaya hidup hedonis, konsumtif, tidak sabaran, gemar serobot, kecenderungan kolusi, senang menempuh jalan pintas dan sebagainya masih mewarnai sebagian besar siswa. Perayaan kelulusan dengan aksi coret-coret baju, pawai ugal-ugalan di jalan raya, dan sejenisnya, adalah salah satu contoh gaya hidup anak muda sekarang. Contoh lain yang sudah menjadi rahasia umum adalah mengikuti Ujian Nasional tanpa persiapan memadai, karena mengharap bocoran.
Sejatinya, masalah karakter merupakan masalah lama, bukan masalah baru. Perbedaan generasi, memunculkan tantangan yang berbeda pula. Di era kemajuan teknologi informasi sekarang, tantangan pendidikan kian dinamis dan kompleks.
Pendidikan dan pembelajaran yang diselenggarakan di sekolah dan di lingkungan keluarga, berpacu dengan aneka tawaran dari media hiburan. Hiburan yang berlebihan jelas membuat generasi muda kurang tanggap terhadap lingkungan, kurang memiliki daya juang, dan keberanian menghadapi risiko.
Hiburan, baik melalui televisi, internet, game, maupun media lainnya, menanamkan semangat seakan-akan hidup ini penuh tekanan, sehingga sedikit-sedikit perlu hiburan. Bahwa siswa harus belajar giat dan bekerja keras serta memiliki semangat untuk berprestasi. Melalui kegiatan ekstra-kurikuler di sekolah siswa dapat menggali dan mengembangkan potensi dirinya sesuai minat dan kegemarannya.
Topik pendidikan karakter yang kembali diusung dewasa ini, merupakan respons atas berbagai sikap dan tindakan penyimpangan, pelanggaran hukum, bahkan perbuatan melawan hukum masih marak.
Secara kuantitas jumlah perbuatan melawan hukum makin tinggi. Secara kualitas, modus perilaku menyimpang dan kejahatan juga semakin canggih.(****lanjut)

Selasa, 01 Mei 2012

MASALAH KUALITAS DAN KUANTITAS DALAM PENDIDIKAN


Dalam keseharian kita, sebagian besar energi kehidupan tercurah untuk hal-hal terkait pendidikan. Sadar atau tidak, bahwa pendidikan adalah proses sepanjang hayat. Pendidikan seperti mata-rantai yang saling terkait, membentuk lingkaran, dan dipengaruhi faktor lingkungan eksternal. Untuk menciptakan lulusan lembaga pendidikan yang berkualitas, berarti proses pendididikan dan pembelajaran juga harus berkualitas. Ini berarti guru dan tenaga kependidikan juga harus berkualitas, dan sarana pembelajaran yang juga harus baik. Guru, tenaga kependidikan, dan sarana pembelajaran yang baik, dihasilkan dari perencanaan, aturan, dan kebijakan yang baik pula.

Masalah kualitas dan kuantitas tidak boleh saling mengorbankan, tetapi harus berjalan seiring. Mengejar kuantitas dengan mengesampingkan kualitas, akan membuat hancur dunia pendidikan. Sementara, jika mengedepankan kualitas dan mengabaikan kuantitas, akan membuat dunia pendidikan terseok-seok.
Demikian pula masalah kesenjangan antar-wilayah, yang meliputi penyediaan tenaga pendidik dan kependidikan, gedung sekolah, sarana pendukung, dan sebagainya. Keberadaan guru, sebagai fasilitator dalam pembelajaran adalah sangat vital. Guru harus diposisikan sebagai pihak yang mengemban amanah pendidikan. Masalah penempatan dan peningkatan kualitas guru adalah wewenang pemerintah.
Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan pendidikan. Negara bertugas menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas bagi warganya. Warga masyarakat pun diberi ruang untuk berpartisipasi menyelenggarakan pendidikan, sebagai representasi dari tanggungjawab bersama terhadap pendidikan.
Masalah pendidikan, merupakan tanggung jawab bersama, bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Tapi jelas, pemerintah juga tidak bisa melepas tanggung jawab. Diperlukan keseimbangan dalam memerankan diri mengupayakan perbaikan bidang pendidikan. Pemerintah bertanggungjawab terhadap aturan-aturan dan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan, sehingga setiap kebijakan harus didasarkan para perencanaan yang matang dan mempertimbangkan berbagai situasi yang ada.
Salah satu pertanyaan mendasar terhadap output lembaga pendidikan adalah bagaimana kualitas lulusannya. Pertanyaan itu sebenarnya merupakan muara dari semua proses di lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan berfungsi menyelenggarakan pendidikan bagi pesertanya sesuai dengan standar yang ditetapkan. Standar itu meliputi standar input, proses, dan output.
Biasanya masyarakat memiliki penilaian dengan cara tersendiri terhadap lulusan lembaga pendidikan. Lulusan yang berkualitas adalah yang memenuhi harapan sesuai yang dipersepsikannya. Sebagian lain  melihat lulusan lembaga pendidikan dari aspek kemampuan dalam melakukan tugas-tugas tertentu dalam masyarakat.
Pernyataan tentang kualitas lulusan sangat mungkin bersifat relatif dan subyektif. Tetapi tak dapat disangkal bahwa penilaian masyarakat itu penting dan dapat dijadikan salah umpan balik sebagai bahan perbaikan.
Kualitas pendidikan tidak bisa dilihat hanya dari lulusan suatu lembaga pendidikan tertentu. Artinya, kualitas lulusan sangat ditentukan oleh bagaimana kualitas masukan dari lembaga pendidikan itu sendiri, termasuk sumber siswa, ketersediaan sarana dan prasarana, para pendidik, dan faktor lingkungan sekitar. Dalam hal proses, yaitu bagaimana komitmen menciptakan iklim akademik yang kondusif dalam proses pendidikan.(*****lanjut)