Sabtu, 25 November 2017

Menjadi Guru di Era Milenial



TIAP masa, ada orangnya. Tiap orang, ada masanya. 
Dua kalimat yang bersifat jargon tersebut sangat terkenal di kalangan politisi. Kalimat pertama diartikan, setiap era ada orang-orang yang memainkan peran penting dalam berbagai sektor kehidupan. Contohnya, era sebelum kemerdekaan, ada para pejuang yang merebut kemerdekaan bangsa ini. Disusul kemudian era Orde Lama, Orde Baru, dan kini era reformasi. Di setiap era itu ada tokoh-tokoh sentral yang dicatat dalam sejarah.
Kalimat kedua antara lain diartikan bahwa jabatan atau peran seseorang itu ada batas waktunya, ada akhirnya. Tidak ada jabatan yang abadi. Seseorang yang kini menduduki posisi tertentu, nantinya akan digantikan oleh generasi berikutnya. Yang pegawai atau karyawan, akan berakhir masa pengabdiannya dan pensiun. Hukum alam berlaku di sini.
Dari semua itu artinya bahwa setiap era memiliki tuntutan dan tantangan yang berbeda, peluang yang berbeda, dan tingkat kompetisi yang berbeda. Pencapaian setiap orang juga berbeda, bahkan dengan jerih payah yang sama sekalipun. Namun demikian, secara kodrati yang terpenting bagi kita adalah seberapa besar daya upaya meraih prestasi, mencermati peluang-peluang, terus bekarya, dan mengisinya dengan kiprah yang bermanfaat bagi banyak orang. Kalimat Tiap masa, ada orangnya. Tiap orang, ada masanya, hendaknyanya menjadi motivasi, bukan malah bersikap apatis dan pesimis.
Pengaruh Teknologi
Zaman terus berubah. Terjadi dinamika dan perkembangan di bidang ekonomi, politik, sosial, dan teknologi dan semua aspek kehidupan. Perubahan-perubahan itu terasa begitu cepat. Hampir setiap bulan muncul teknologi baru baik berupa perangkat keras maupun perangkat lunak.
Anak-anak muda sekarang dikenal sebagai generasi milenial. Meskipun tidak ada batasan waktu yang pasti, tetapi generasi milenial dicirikan dengan meningkatnya penggunaan teknologi informasi dan komunikasi, dan teknologi digital. Di beberapa wilayah ditandai dengan munculnya sikap liberalisasi terhadap politik dan ekonomi.
Diakui memang belum ada kajian mendalam dan komprehensif dampak liberalisasi politik dan ekonomi, tetapi ada kekhawatiran terhadap ekses meningkatnya jumlah pengangguran dan krisis sosial ekonomi yang dalam jangka panjang merusak generasi muda. Kekhawatiran ini sangat beralasan mengingat perubahan-perubahan yang terjadi sedemikian cepat. Dalam teknologi disebut sebagai era konvergensi.
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah menggantikan tugas dan peran sekian banyak pekerja. Karyawan yang selama ini melakukan tugas secara manual, harus terpinggirkan karena perannya digantikan oleh alat dan teknologi.
Mesin dan teknologi menggantikan peran manusia dalam proses produksi dan distribusi barang. Di pabrik perakitan otomotif, di pabrik rokok, pengolahan daging, pembuatan minuman, dan sebagainya semuanya kini padat teknologi.
Bahkan kini manusia sangat tergantung pada teknologi. Untuk berbelanja, hiburan, memesan transportasi umum, melakukan transaksi, semuanya dapat dilakukan dengan aplikasi secara online.
Dampak teknologi informasi dan komunikasi telah menggerus banyak profesi yang dulu berperan penting dan primadona bagi generasi muda. Pengantar surat (pos) digantikan email dan berbagai aplikasi komunikasi, aktivitas berbelanja di pasar tradisional bergeser ke pasar modern (mall) dan kini ada kecenderungan meningkat berbelanja secara online.
Sektor ekonomi kreatif kini mulai bangkit dan diharapkan menjadi penopang pekerjaan dan profesi di masa depan. Ekonomi kreatif yang antara lain berbasis pemanfaatan teknologi. Jika dahulu banyak anak-anak muda yang bermimpi menjadi pegawai negeri, tampaknya kini sudah banyak mengalami pergeseran. Persepsi kalangan muda untuk memasuki suatu profesi semakin bervariasi.
Memang harus diakui bahwa teknologi dapat berdampak positif dan negatif, sangat tergantung pada tujuan penggunaannya. Teknologi sejatinya diciptakan dan dikembangkan untuk membantu memudahkan pekerjaan manusia, bukan menggantikan eksistensi manusia.
Belakangan berkembang meluasnya informasi yang dianggap hoax atau berita bohong, sehingga pemerintah dan elemen masyarakat lain menabuh genderang perang terhadap hoax. Turn Back Hoax.
Lihatlah sekarang, anak-anak sedemikian cepat menerima informasi dan memberikan reaksi secara bebas terhadap suatu peristiwa. Melalui media sosial setiap orang dapat memerankan diri sebagai reporter sekaligus sebagai penikmat informasi dan secara aktif dapat berinteraksi secara realtime. Dalam hitungan menit, gambar-gambar lucu (meme) dan video-video kreatif merespon suatu peristiwa. Yang terbaru misalnya, terhadap peristiwa kecelakaan tunggal ketua DPR Setya Novanto. Saat hari menjelang petang itu Setya Novanto dikabarkan akan menyerahkan diri ke KPK, tetapi dalam perjalanan mengalami kecelakaan tunggal menabrak tiang listrik. Dalam hitungan jam hampir semua platform media sosial dibanjiri komentar disertai gambar-gambar kreasi yang beragam, yang kontennya bernada nyinyir.
Peran Guru
Dalam kaitan peran dan profesi guru, jargon Tiap masa, ada orangnya. Tiap orang, ada masanya tersebut juga berlaku. Tantangan dan tuntutan atas profesi guru di abad 21 juga semakin banyak.  Menjadi guru bukan pekerjaan mudah. Apalagi di era milenial ini. Ia dituntut memainkan peran di lingkup sekolah dan juga di lingkungan masyarakat.
Dalam konsep sosiologis, guru di sekolah dituntut menjadi mitra belajar siswa di kelas, melaksanakan tugas-tugas administrasi pendidikan yang dilakukannya, melakukan evaluasi dan memotivasi siswa, serta memacu kreativitas siswa. Sebagai pribadi yang menjadi anggota masyarakat guru sekaligus diharapkan menjadi penyelesai masalah di masyarakat.
Kebebasan menggunakan tekonologi inforasi dan komunikasi di kalangan generasi muda juga menjadi tantangan tersendiri bagi guru. Sebab seharusnya teknologi dapat menjadi media pembelajaran yang efektif, memudahkan dan mempercepat terbangunnya ekonomi yang mensejahterakan dan berkeadilan.
Bagi guru kini dituntut selangkah lebih maju dalam kemampuan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi, sehingga ia dapat melaksanakan pembelajaran dengan efektif dan kreatif. Akan menjadi dilema saat guru belum menguasai teknologi informasi, sementara siswa sudah sangat akrab dengan teknologi itu. Guru diharapkan mampu menjadi filter derasnya arus informasi yang bermuatan nilai-nilai negative bagi perkembangan pribadi siswa.
Hal ini berarti bahwa guru harus sudah selesai dengan “urusan domestik”, sehingga dapat berkonsentrasi dalam tugas-tugas pembelajaran. Apagi dengan diterapkannya kebijakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) berdasarkan Kepres Nomor 87 Tahun 2017, yang di dalamnya diatur tentang penanaman nilai-nilai luhur yang menjadi karakter bangsa dikaitkan dengan seluruh proses dan jalur pendidikan.
Peran guru yang tidak tergantikan oleh teknologi informasi dan komunikasi harus menjadi penyemangat para pendidik untuk terus meng-up grade pengetahuan dan berbagai kompetensi yang wajib dimiliki. (*)

Senin, 20 November 2017

STIT Pringsewu Gelar Festival Rebana



Dalam memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW 1439 hijriyah, Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Pringsewu berencana menggelar Festival Rebana 2017 yang dipusatkan di halaman kampus perguruan tinggi ini.
Ketua STIT Pringsewu Dwi Rohmadi Mustofa, M.Pd di ruang kerjanya, Selasa (3/10/2017) menjelaskan, kegiatan tahunan ini akan digelar Sabtu dan Minggu, 25-26 November 2017. Festival Rebana kali keempat ini dirangkai dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW 1439 Hijriyah, mengangkat tema “STIT PRINGSEWU BERSHOLAWAT”.
“Melalui kegiatan ini, STIT Pringsewu bermaksud membumikan Shalawat di kampus STIT Pringsewu sekaligus mengenal lebih dekat seni budaya Islam. STIT Pringsewu sebagai lembaga pendidikan yang ada di Bumi Jejama Secancanan terus berupaya menyebarluaskan dan mengajak masyarakat untuk lebih dekat dengan seni Islami yang mengandung banyak hikmah,” ucap bapak dua putri ini.
Festival Rebana, lanjut Dwi, juga dijadikan sebagai sarana untuk mempererat tali silaturrahiem dengan masyarakat dan sekaligus mendorong tumbuhnya kreasi dan prestasi.
Festival Rebana se-Provinsi Lampung dan Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang digagas Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) STIT Pringsewu, kata Dwi, diharapkan mampu menghidupkan kembali kecintaan terhadap kesenian rebana di era modern.
Selain itu, menurut Dwi, kegiatan tersebut diharapkan mampu meningkatkan kecintaan terhadap Nabi Muhammad SAW melalui syair-syair yang bermakna.
Dwi yang juga sebagai Ketua Bidang Kelembagaan DPD ADRI (Ahli dan Dosen Republik Indonesia) ini mengatakan, bahwa kegiatan yang dilaksanakan selama dua hari, 25 s/d 26 November 2017 mencakup kategori Remaja dan Ibu-Ibu yang akan memperebutkan hadiah jutaan rupiah dan tropy.
Bagi masyarakat luas yang ingin mengikuti perlombaan tersebut dapat mendaftarkan grupnya dengan menghubungi panitia di “contact person” Abdul Hamid, M.Pd.I (081369740662), Evi Gusliana, M.Pd.I (085769970676) dan Ust. Syaiful (085384275609) melalui SMS dengan format : NAMA GROUP REBANA _ ALAMAT _ NO. HP. Biaya pendaftaran per grup Rp100 ribu.

Senin, 10 Juli 2017

Berbahayakah Pembelajaran Calistung di PAUD



USIA BALITA MERUPAKAN USIA EMAS 
JANGAN TINGGALKAN GENERASI YANG LEMAH


Pada musim tahun pelajaran baru, banyak tema diskusi di kalangan orang tua atau wali siswa, mulai dari soal biaya pendidikan, persepsi tentang sekolah yang bagus, prestasi pendidikan, hingga keunggulan-keunggulan spesifik yang dimiliki oleh anak.
Salah satu topik pembicaraan yang hangat di kalangan orang tua adalah membanggakan “kehebatan-kehebatan” anaknya. Sebenarnya, kalau kita mau jujur, semua anak itu hebat. Hebat di bidangnya masing-masing.  Ada anak yang gemar dan pandai matematika, namun ada pula yang menonjol di bidang olahraga atau seni.
Saat anak memasuki usia Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) jalur formal yaitu Taman Kanak-kanak (TK) atau Raudlatul Athfal (RA) biasanya anak dalam satu keluarga menjadi pusat curahan perhatian orang tua. Rasa kasih sayang dan kebanggaan itu diekspresikan dengan memilihkan tempat pendidikan yang terbaik dala pandangan orang tua.
Sayangnya, persepsi sebagian besar orang tua tentang TK atau RA yang baik adalah yang mengajarkan anak membaca, menulis, dan berhitung (Calistung). Artinya, anak-anak yang didik di TK/RA itu sudah pandai membaca, menulis, dan berhitung.
Faktor emosional orang tua yang seringkali memiliki persepsi bahwa anaknya yang “paling lebih” dibanding anak-anak lainnya, membuat penyelenggara TK/RA seakan  “berlomba” mempromosikan bahwa lembaga pendidikan yang dikelolanya adalah yang terbaik, yang paling layak menjadi pilihan para orang tua untuk mendidik anak-anak mereka.
Di sisi lain, para penyelenggara TK/RA juga harus kompetitif, sebab jika tidak memiliki “kelebihan”, akan kehilangan kepercayaan masyarakat. Hilangnya kepercayaan masyarakat akan berarti sinyal bahwa TK/RA itu harus tutup, karena tidak ada orang tua yang mempercayakan anak-anak mereka untuk diasuh di TK/RA itu. Kondisi seperti ini merupakan dilema bagi para penyelenggara TK/RA.
Sementara pada saat memasuki jenjang Sekolah Dasar (SD) banyak sekolah yang secara tertutup menerapkan seleksi apakah anak-anak yang akan masuk SD itu sudah bisa Calistung. Akhirnya, para orang tua juga dihadapkan pada situasi yang dilematis. Sebab, apabila anaknya belum bisa Calistung, maka akan sulit bisa diterima di SD. Sehingga pilihan menitipkan anaknya di TK/RA yang sudah menerapkan pembelajaran Calistung menjadi pilihan utama.
Para orang tua dalam memilih TK/RA umumnya sudah merencanakan SD mana nantinya yang akan dituju. Artinya, bila SD yang akan dituju sudah menerapkan bahwa calon siswa SD itu harus sudah bisa Calistung, maka orang tua akan memilih TK/RA yang sudah menerapkan pembelajaran Calistung.
Sebenarnya regulasi dan petunjuk teknis yang ditetapkan pemerintah sudah sangat jelas tentang bagaimana standar, kriteria, strategi pembelajaran, kurikulum, dan sebagainya baik di TK/RA maupun SD. Tetapi praktek pendidikan, pembelajaran, dan persekolahan, terkadang deviasi terhadap konsep dan prinsip yang diberlakukan. Sekali lagi, ini karena penyelenggara TK/RA maupun SD juga harus kopetitif dan mampu meraih kepercayaan masyarakat.
Berbagai peraturan, pedoman, dan panduan atau petunjuk teknis penyelenggaraan PAUD sudah mengatur dan mengadopsi filosofi dan prinsip-prinsip pendidikan, model dan strategi pembelajaran, pendekatan pembelajaran, sesuai dengan tahap perkembangan dan usia peserta didik.
Surat Edaran Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional Nomor: 1839/C.C2/TU/2009 tanggal 25 April 2009 Perihal Penyelenggaraan Pendidikan Taman Kanak-Kanak dan Penerimaan Siswa Baru Sekolah Dasar, menyebutkan bahwa istilah "Taman" pada Taman Kanak-kanak mengandung makna "tempat yang aman dan nyaman (safe and comfortable) untuk bermain" sehingga pelaksanaan pendidikan di TK harus mampu menciptakan lingkungan bermain yang aman dan nyaman sebagai wahana tumbuh kembang anak.
Guru hendaknya memperhatikan tahap tumbuh kembang anak didik, kesesuaian dan keamanan alat dan sarana bermain, serta metode yang digunakan dengan mempertimbangkan waktu, tempat, serta teman bermain.

Permendikbud RI Nomor 146 tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 PAUD Pasal 1 menegaskan bahwa Pendidikan Anak Usia Dini, yang selanjutnya disingkat PAUD, merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia 6 (enam) tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

Selanjutnya Pasal 8 (1) Program pengembangan PAUD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dilakukan melalui serangkaian proses pemberian rangsangan pendidikan oleh pendidik, respons peserta didik, intervensi pendidik, dan penguatan oleh pendidik.
(2) Program pengembangan PAUD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diorganisasikan secara psiko-pedagogis dan terintegrasi dalam kegiatan
peserta didik.
(3) Pengorganisasian secara psiko-pedagogis sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diwujudkan dalam bentuk belajar melalui bermain.
(4) Pengorganisasian secara terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diwujudkan dalam bentuk integrasi antarprogram pengembangan.
Secara keseluruhan, prinsip utama yang terkandung dalam PAUD adalah belajar sambil bermain, mengembangkan potensi peserta didik sesuai dengan usia dan tahap perkembangannya.
Para orang tua perlu menyadari bahwa anak-anak, apalagi di usia PAUD adalah “usia emas” yang akan menentukan perkembangan semua aspek dalam diri anak di masa datang. Mereka bukanlah orang dewasa yang berada dalam fisik yang kecil. Tidak akan ada manfaatnya memaksakan egoisme dan ambisi orang tua kepada anak, bahkan akan merugikan mental dan perkembangan psikologis anak di masa datang. (*)    

Kamis, 15 Juni 2017

Pro Kontra Kebijakan Lima Hari Sekolah

MENTERI Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Muhadjir Effendy sepekan belakangan ini menjadi sorotan. Ia bahkan dianggap melahirkan kegaduhan. Seantero negeri dan seluruh elemen masyarakat bereaksi terhadap kebijakan menteri tersebut. Ormas, politisi, akademisi, orang tua murid, pendidik, birokrat, semuanya merespons keras.
Muhadjir dianggap membuat kegaduhan dengan kebijakan diterapkannya lima hari sekolah yaitu Senin sampai Jumat mulai tahun pelajaran 2017-2018. Kebijakan itu berlaku di semua jenjang Pendidikan Dasar dan menengah.
Kepastian akan kebijakan diterapkannya lima hari sekolah dalam satu minggu ditegaskan oleh Mendikbud di Istana Kepresidenan (11/6/2017). Mendikbud memberi keterangan bahwa sekolah lima hari dengan dasar hukum Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Inti dari peraturan tersebut adalah bahwa PP itu mengatur waktu kerja guru dan kepala sekolah mencapai 40 jam per pekan dengan waktu istirahat sekitar 30 menit per hari, atau waktu kerja aktif 37,5 jam per pekan. Dengan demikian, Sabtu libur atau lima hari sekolah adalah berdasarkan peraturan yang sah.
Berbagai gelombang penolakan terus mengalir dari banyak elemen masyarakat, terutama para pelaku pendidikan. Meskipun demikian, ada juga kelompok masyarakat yang mendukung diterapkannya lima hari sekolah. Bahkan sebagian akademisi pun menyatakan bahwa konsep lima hari sekolah akan lebih bermanfaat baik bagi siswa, keluarga, maupun lembaga pendidikan lain seperti madrasah diniyah maupun pondok pesantren.
Sebelumnya, pada Agustus 2016, Mendikbud Prof. Muhadjir Effendy merilis akan diterapkannya model pendidikan Full Day School (FDS) yang secara konseptual mengacu pada prinsip penguatan pendidikan karakter (PPK). Konsep ini mendasarkan pada argumentasi bahwa jumlah jam proses pembelajaran di sekolah 40 jam per pekan. Ini berarti apabila sekolah menerapkan delapan jam per hari, maka kriteria 40  jam pembelajaran di sekolah sudah terpenuhi.
Konsep lima hari sekolah ini tampaknya menjadi agenda bagi sang menteri. Setidaknya itu bisa dilihat dari ambisi menerapkan lima hari sekolah, dan mengkampanyekan bahwa lima hari sekolah berbeda dengan konsep FDS.
Derasnya arus penolakan guru berada di sekolah 8 jam per hari umumnya menilai karena akan mendegradasi nilai-nilai keluarga, menggerus eksistensi madrasah diniyah yang sebagian besar aktivitas belajarnya sore hari. Selain itu juga ketidaksiapan sarana dan prasarana sekolah, serta kesiapan guru.
Yang juga penting dicatat bahwa kebijakan ini, jika benar-benar akan diterapkan tahun ini, dianggap tidak melalui proses uji publik, tidak dilakukan sosialisasi secara memadai, tidak melalui percontohan terlebih dahulu. Dengan demikian benar penilaian bahwa Mendikbud Muhadjir Effendy memiliki agenda tersendiri. Namun bagi para penyokongnya, Muhadjir Effendy dipromosikan sebagai figure yang demokratis, menghargai pendapat pihak lain, dan mau menerima berbagai masukan. Dasarnya, saat tahun 2016 silam ketika gagasan FDS dia lontarkan dan kemudian mendapat penolakan yang kencang dari para stakeholder, dia berketetapan bahwa penerapan FDS ditunda, sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
Nah, barangkali jika di pertengahan Juni 2017 dia mengeluarkan Permendikbud Nomor 23 Tahun 217 tentang yang mengatur jumlah jam sekolah. Tersiar kabar Presiden meminta Mendikbud untuk membatalkan aturan tersebut.
Kebijakan Mendikbud ini membuat publik gerah. Masyarakat dibuat seolah-olah tidak paham. Dibuat rancu dengan istilah-istilah. Jika dulu istilah yang digunakan adalah FDS, yang esensinya adalah sekolah hanya lima hari, kini dikenalkan konsep sekolah lima hari dengan kata-kata berbeda, yaitu Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). PPK mengutamakan lima nilai utama, yaitu religius, nasionalis, gotong royong, mandiri, dan integritas.
Kedua konsep tersebut sama-sama mempraktekkan dan mempromosikan sekolah lima hari. Pak Menteri tetap menyatakan bahwa dengan PPK model lima hari sekolah ini maka penerapan pendidikan karakter dengan porsi 70 persen dan pendidikan pengetahuan 30 persen. Prosesnya juga memanfaatkan berbagai sumber  belajar, termasuk lapangan olahraga, masjid atau mushola, perpustakaan, museum, dan sebagainya.
Penerapan kebijakan lima hari sekolah ini juga menimbulkan berbagai spekulasi dan dugaan-dugaan yang menjurus pada anggapan bahwa Mendikbud sengaja menguji kekuatan ormas tertentu, sekaligus menunjukkan “power” sebagai menteri.
Jabatan menteri adalah jabatan politik.  Sudah menjadi rahasia umum bahwa Mendikbud Muhadjir Effendy berafiliasi dengan salah satu ormas. Sementara ormas lain mengklaim memiliki puluhan ribu satuan pendidikan, dan ratusan perguruan tinggi. Sementara jumlah lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan ormas sang menteri kalah jumah jumlahnya.
Saat ini juga di berbagai platform media sosial, beredar penolakan diterapkannya lima hari sekolah. Bahkan ada situs yang menyelenggarakan petisi untuk menolak program lima hari sekolah. Salah satu akun di facebook membuat surat terbuka kepada menteri pendidikan dan kebudayaan, dan menilai kebijakan lima hari sekolah berpotensi membenturkan dua ormas tertentu.
Adanya pro dan kontra atas suatu kebijakan baru sebenarnya hal yang lumrah. Namun arus pro dan kontra itu harus dikelola dan diadaptasi dengan mengedepankan obyektivitas dan rasionalitas. Dahulu penerapan Kurikulum Tahun 2013 pun menuai banyak protes dan keluhan.
Menyikapi polemik ini, sebaiknya jauhkan sikap curiga dan mau menang sendiri. Bagi pemegang otoritas juga sebaiknya meninjau kembali pada aspek-aspek tertentu dalam penerapan lima hari sekolah, yang berpotensi mengganggu proses pembelajaran, merusak mental siswa, atau sistem pendidikan.
Dalam hemat penulis, sebaiknya penerapan lima hari sekolah ditunda (lagi). Kalaupun terpaksa harus diterapkan tahun ini juga, maka sebaiknya diterapkan sebagai proyek proyek percontohan atau bertahap sesuai kesiapan sekolah.
Tantangan utama konsep lima hari sekolah yaitu kesiapan sarana dan prasarana sekolah serta sumber daya pendidik dan tenaga kependidikan. Secara adinistratif juga perlu sosialisasi dan pilot proyek, membangun partisipasi dan koordinasi dari semua elemen masyarakat.
Secara pedagogik perlu dilakukan kajian lebih mendalam mengenai dampak dan manfaat lima hari sekolah. Sebab, sekolah adalah institusi yang kita percaya untuk mendidik anak-anak generasi muda penerus bangsa.
Proses pembelajaran harus dalam suasana yang mampu memicu dan memacu kreativitas peserta didik, dalam suasana yang menyenangkan dan menumbuhkembangkan sikap demokratis. Artinya, guru sebagai sosok penting  dalam aktivitas belajar juga harus memiliki kemampuan menstimulus kreativitas peserta didik, berusaha keras menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan bagi peserta didik, dan tetap meperlakukan peserta didik sebagai subyek yang setara dalam harkat dan martabatnya. (*)