Sabtu, 23 Maret 2013

HAJAT NASIONAL BERNAMA UN

(Versi Ringkas artikel ini dimuat Lampung Post, Jumat, 22 Maret 2013)
Setiap tahun, gelaran Ujian Nasional (UN) selalu menyita perhatian publik. Banyak faktor yang mendasari mengapa Ujian Nasional menyedot energi masyarakat. UN bukan event yang berdiri sendiri, sebagai bagian integral proses pembelajaran siswa di sekolah. UN sudah seperti menjadi hajatan tahunan secara nasional.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, ada yang berubah dalam nuansa UN. Jika dulu UN menjadi pemacu belajar siswa secara lebih intensif, dan meraih keberhasilan dengan kebahagiaan dan kebanggaan yang hakiki.
Ketika lulus ujian, siswa mengungkapkannya dengan rasa syukur yang dalam. Keluarga pun menyambut dengan wajar. Sekolah menanggapi secara elegan. Tidak ada acara yang bersifat hura-hura, seperti pawai kendaraan bermotor, mencoret-coret baju seragam, atau pesta-pesta sekelompok pelajar.

Citra dan Harga Diri
Dewasa ini, UN menyangkut citra dan harga diri sebagian pihak. Sekolah yang tidak lulus 100 persen menanggung malu, seakan-akan tamat sudah kelangsungan sekolah. Pejabat daerah, khususnya yang terkait dengan pendidikan, juga akan kehilangan muka, apabila tingkat persentase kelulusan siswa di daerahnya lebih rendah dari daerah lain.
Angka 100 persen kelulusan siswa dalam UN menjadi prestise. Ia akan menjadi ikon promosi yang menggiurkan. Citra sekolah pun naik daun. Sekolah menjadi favorit dituju calon siswa baru. Bagi sekolah swasta, kelulusan 100 persen dan citra favorit merupakan poin yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sulit dibayangkan bagaimana nasib sekolah yang tingkat kelulusannya paling rendah, karena tahun-tahun berikutnya tidak ada calon siswa yang mendaftarkan di sekolah tersebut.
Oleh karena itu, menjelang UN, banyak pihak yang supersibuk. Berbagai cara dilakukan untuk mendongkrak persentase kelulusan siswa. Upaya itu bukan murni didasari motivasi meraih prestasi bagi siswa sekolah, melainkan didorong semangat menjaga harga diri yang bersifat semu.
Akibat lanjutannya, cara-cara illegal pun ditempuh. Ada tim tersembunyi yang bekerja secara sistematis untuk mendongkrak nilai dan tingkat kelulusan. Sebagai “gerakan bawah tanah”, jelas tidak ada “surat keputusan” pengangkatan anggota tim. Tapi gerakannya jelas sistematis dan terkoordinasi. Kalau terbongkar, operator lapangan dijadikan martir. Dan kalau gagal, maka berbagai konsekuensi sudah siap menunggu; mutasi, nonjob, atau sanksi sejenis.
Fenomena “tim sukses” yang berlangsung beberapa tahun belakangan ini berdampak psikologis pada diri siswa yang saat ini sedang belajar atau akan menghadapi UN 2013. Survei kecil menunjukkan kurangnya motivasi belajar menghadapi UN. Dalam diri mereka tertanam sikap, bahwa UN pasti lulus 100 persen atau seloroh, kalau ada yang tidak lulus, yang malu adalah sekolah. Siswa tampak kurang gairah mempersiapkan diri menghadapi ujian. Yang terlihat justru sikap menunggu bocoran, atau menanti SMS jawaban.
Jelas amat sulit mengembalikan kondisi semangat belajar, apabila sudah tertanam sikap seperti tersebut. Padahal membangun motivasi belajar itu semestinya dilakukan sejak dini dengan cara-cara ilmiah. Motivasi belajar yang sudah terbangun juga harus terus ditingkatkan dan dipelihara.
Fenomena kecurangan dalam UN setiap tahun berulang. Modusnya saja yang berbeda dan penyelesaiannya juga kabur. Akhirnya, untuk memperkecil kecurangan, dalam UN 2013 diselenggarakan dengan paket soal bervariasi, kode soal menggunakan barcode, pengawasan berjenjang dan berlapis, serta prosedur-prosedur lain yang lebih ketat.
Menyikapi kecenderungan praktik menyimpang dalam ujian, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Moh. Nuh menyatakan, "Saya minta kepala daerah wajib membuat suasana UN berjalan dengan kondusif. Dilarang menekan kepala dinas, kepala sekolah, juga guru agar sekolah luluskan UN 100 persen ,pelaksanaan UN harus jujur, dan bertanggung jawab," ujar Moh. Nuh di Tangerang Selatan,Banten, Rabu (13/3) (metrotvnews.com).
Dari pernyataan menteri tersebut tersirat fakta bahwa selama ini telah terjadi pelanggaran yang tersistematisasi. Permainan kotor yang merasuki dunia pendidikan. Sementara para guru dan staf sekolah tidak berdaya menghadapi kekuatan elit birokrasi.

Kecemasan Orang tua
Suasana bathin dalam masyarakat pun serupa dalam menghadapi UN. Tetapi kecemasan orang tua itu lebih didasari  “rasa malu” atau gengsi. Maka ramai-ramailah memasukkan anak-anaknya ke dalam program bimbingan belajar yang memang menjamur. Lembaga bimbel kebanjiran siswa, bahkan jam belajar sampai malam hari atau malam minggu. Padahal siswa sudah menghabiskan waktunya di sekolah. Jika demikian, siswa kehilangan kesempatan berinteraksi secara berkualitas dengan keluarganya.
Disadari, menambah jam belajar siswa di lingkungan keluarga merupakan tindakan bijaksana dan penting. Sekolah pun mengharapkan partisipasi orang tua atau wali untuk mengarahkan dan membimbing putra-putrinya belajar di rumah. Yang tidak bijaksana adalah memasukkan anak-anak ke dalam program bimbingan belajar di luar sekolah didasari motivasi “supaya lulus” atau “agar tidak kalah dengan temannya.
Situasi dan kondisi demikian, lagi-lagi melahirkan persaingan tidak sehat. Siswa ditanamkan meraih sesuatu dengan cara instan, bahkan sejak dini. Egoisme anak-anak yang semestinya diarahkan ke hal-hal positif, seperti kerjasama dan keuletan justru dipupuk untuk “menang sendiri”.  Dalam “usia emas”, anak-anak penting mendapat pengalaman yang menunjang kepercayaan diri, menumbuhkan motivasi belajar, dan motivasi berprestasi secara benar.
Bimbingan belajar idealnya diberikan di sekolah. Kalaupun siswa sangat memerlukan pembelajran tambahan dilakukan secara private. Bimbingan belajar diberikan secara situasional, seperti dalam rangka mempersiapkan diri untuk ujian masuk perguruan tinggi, atau untuk seleksi memasuki dunia kerja. Atau dalam rangka kebutuhan khusus minat dan bakat, seperti bahasa Inggris, bahasa asing lainnya, atau bidang seni dan peminatan khusus.
Bimbingan belajar dalam lembaga bimbingan belajar yang bersifat menetap cenderung kehilangan esensi sebagai salah satu cara memperkaya wawasan dan pendampingan siswa. Ia akan mudah tergelincir menjadi lahan bisnis yang bersifat sangat komersial.
Histeria massa menghadapi UN juga kerap tercermin dari gejala kesurupan, baik kesurupan beberapa siswa sekolah maupun kesurupan missal. Menjelang UN ada sekolah yang menyelenggarakan kegiatan kerohanian dan doa bersama, acara-cara yang dimaksudkan untuk motivasi, dan sejenisnya. Sekali lagi, ini upaya manusiawi, tetapi jika diselenggarakan secara mendadak mengesankan ketiadaan persiapan sejak awal.
Harapan Perbaikan
Bagaimanapun, ujian dalam suatu jenjang pendidikan adalah tahapan penting untuk meraih prestasi di berbagai bidang di kemudian hari. Ujian di sekolah termasuk UN, bukan saja untuk mengukur pencapaian proses pembelajaran secara individual dan pemetaan mutu pendidikan,
Kelulusan dalam suatu ujian merupakan harapan setiap orang dan bagi siswa yang sedang menempuh UN juga merupakan harapan dan kebanggaan para orang tua. Kelulusan dalam ujian membuka berbagai kemungkinan dan harapan di masa depan yang lebih baik.
Semoga UN 2013 dilaksanakan secara lebih baik, bermartabat, dan bertanggung jawab. Perbaikan secara teknis dan procedural hendaknya dibarengi dengan perbaikan sikap mental menghadapi UN baik bagi siswa, orang tua, guru, dan pejabat birokrasi pendidikan. (*)