Jumat, 24 September 2010

ASUMSI

Hidup harus punya asumsi. Bahkan terkadang disadari ataupun tidak, asumsi itu selalu ada. Tapi, tidak semua asumsi itu terbukti. Sebagian asumsi terbukti, (mungkin) sebagian besar tidak terbukti. Jika kita tidak memiliki asumsi, sama saja dengan orang yang tidak punya harapan. Asumsi-asumsi adalah gambaran tentang segala sesuatu di masa datang. Asumsi-asumsi itu menjadi kompas yang mengarahkan jalan hidup. Contoh kecil, kita berasumsi bahwa masa depan kita akan dapat hidup sejahtera, bahagia, lebih baik, dan seterusnya. Tetapi seiring waktu yang dilalui, ternyata faktanya tidak selalu seperti yang kita bayangkan. Asumsi adalah laksana hipotesis. Jadi, pada dasarnya setiap saat kita selalu mengajukan suatu hipotesis. Sekali lagi, hipotesis itu bisa disadari bisa tidak, bisa diungkapkan secara nyata, bisa juga tetap tersimpan rapi dalam hati dan pikiran. Agar hidup ini lapang, maka kita perlu membangun asumsi-asumsi tentang keterbukaan. Asumsikan bahwa setiap masalah dapat diselesaikan. Atau, tidak semua masalah mesti kita selesaikan sekarang! Sebaliknya, kita perlu menghindarkan diri dari memikirkan sesuatu secara kerdil. Asumsikan setiap orang adalah baik, berniat baik, dan akan baik kepada diri kita. Kalaupun nyatanya nanti, ada orang yang tidak bersikap tidak baik kepada kita, itulah yang dimaksud bahwa tidak semua asumsi terbukti benar.

Rabu, 15 September 2010

Meninjau Motivasi Guru

(artikel ini dimuat Radar Lampung, Kamis, 16 September 2010)
Menjadi guru idealnya merupakan panggilan jiwa yang terdalam. Pilihan menjalani profesi ini didasarkan pada minat, hasrat, dan motivasi, untuk mengabdikan diri pada pendidikan generasi bangsa. Profesi ini diyakini sebagian besar orang sebagai profesi yang mulia. Bahkan, ada yang memberi makna lebih jauh, yaitu bahwa menjadi guru adalah ibadah sepanjang waktu.
Sekarang muncul sinyalemen bahwa sebagian guru terdegradasi pada motif-motif lain selain dedikasi pada pemberdayaan dan pembudayaan generasi muda. Indikasi hal ini antara lain pada upaya mengejar status bukan pada proses dan hasil. Wujud kongkret indikatornya seperti, pertama, menjadi guru karena dalam beberapa tahun ke depan, diasumsikan “cukup mudah” menjadi pegawai negeri sipil (PNS), sehingga Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dibanjiri peminat; kedua, yang sudah menjadi guru, berusaha dengan berbagai cara mengikuti program sertifikasi guru. Persyaratan formal untuk itu seperti kegiatan pengembangan profesi, dipenuhi sebagai formalitas bukan substansi; ketiga, yang sudah berstatus guru profesional bersertifikasi, sibuk menghitung-hitung nilai dana tunjangan profesional dan menggunakan dana tunjangan profesional itu untuk berbagai keperluan konsumtif belaka, yang jauh dari hakikat pengembangan profesi; keempat, yang belum PNS berlomba-lomba mengintip peluang. Apa yang dapat diungkapkan di atas sebenarnya tidak ada salahnya manakala semuanya didasarkan pada motivasi pengabdian. Keputusan memasuki LPTK untuk nantinya menjadi guru hendaknya dimaknai sebagai panggilan hati nurani, sehingga sejak awal sudah menanamkan sikap dan membangun kepribadian sebagai guru. Menjadi guru PNS berarti terbukanya peluang lebih aktif dalam kiprah pendidikan. Menjadi guru bersertifikasi, berarti meningkatkan kinerja proses dan hasil membelajarkan peserta didik secara optimal. Hemat penulis, guru masa kini adalah guru yang berpikiran terbuka (open minded), menghargai kekayaan ragam latar peserta didik dan membelajarkan dengan menyenangkan. Guru masa kini adalah guru yang dirindu siswa untuk menjadi tempat bertanya dan teman diskusi yang menggembirakan sekaligus mencerahkan. Guru ideal masa kini adalah guru yang senantiasa haus akan pengetahuan sehingga gerak langkah kesehariannya senantiasa diwarnai dengan usaha-usaha untuk juga belajar. Ia menjadikan buku sebagai mahkota statusnya, dan aktivitas membaca sebagai kebutuhan. Ia memanfaatkan organisasi profesi dan teman sejawat sebagai medium dan mitra diskusi. Profil guru ideal, adalah guru yang dalam proses pembelajaran menjadi pelecut kreativitas siswanya. Ia tidak menyerah oleh keadaan. Ia merasa selalu tertantang untuk memberikan yang terbaik bagi pendidikan anak-anak bangsa. Guru ideal adalah guru yang progresif sekaligus sabar dalam membimbing. Guru yang baik adalah ia yang tidak terjebak dalam rutinitas semu. Ia tidak terbelenggu slogan, tetapi menjadikan hikmah sebagai spirit meraih prestasi. Ia selalu menemukan hal-hal baru yang dapat dijadikan inspirasi bagi pembelajaran siswanya. Ia memiliki daya juang dan daya tahan yang lebih baik dari kebanyakan orang. (lanjut*****)

Meninjau Motivasi Guru


(artikel ini dimuat Radar Lampung, Kamis, 16 September 2010)

Menjadi guru idealnya merupakan panggilan jiwa yang terdalam. Pilihan menjalani profesi ini didasarkan pada minat, hasrat, dan motivasi, untuk mengabdikan diri pada pendidikan generasi bangsa. Profesi ini diyakini sebagian besar orang sebagai profesi yang mulia. Bahkan, ada yang memberi makna lebih jauh, yaitu bahwa menjadi guru adalah ibadah sepanjang waktu.
Sekarang muncul sinyalemen bahwa sebagian guru terdegradasi pada motif-motif lain selain dedikasi pada pemberdayaan dan pembudayaan generasi muda. Indikasi hal ini antara lain pada upaya mengejar status bukan pada proses dan hasil. Wujud kongkret indikatornya seperti, pertama, menjadi guru karena dalam beberapa tahun ke depan, diasumsikan “cukup mudah” menjadi pegawai negeri sipil (PNS), sehingga Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dibanjiri peminat; kedua, yang sudah menjadi guru, berusaha dengan berbagai cara mengikuti program sertifikasi guru. Persyaratan formal untuk itu seperti kegiatan pengembangan profesi, dipenuhi sebagai formalitas bukan substansi; ketiga, yang sudah berstatus guru profesional bersertifikasi, sibuk menghitung-hitung nilai dana tunjangan profesional dan menggunakan dana tunjangan profesional itu untuk berbagai keperluan konsumtif belaka, yang jauh dari hakikat pengembangan profesi; keempat, yang belum PNS berlomba-lomba mengintip peluang.
Apa yang dapat diungkapkan di atas sebenarnya tidak ada salahnya manakala semuanya didasarkan pada motivasi pengabdian. Keputusan memasuki LPTK untuk nantinya menjadi guru hendaknya dimaknai sebagai panggilan hati nurani, sehingga sejak awal sudah menanamkan sikap dan membangun kepribadian sebagai guru. Menjadi guru PNS berarti terbukanya peluang lebih aktif dalam kiprah pendidikan. Menjadi guru bersertifikasi, berarti meningkatkan kinerja proses dan hasil membelajarkan peserta didik secara optimal.
Hemat penulis, guru masa kini adalah guru yang berpikiran terbuka (open minded), menghargai kekayaan ragam latar peserta didik dan membelajarkan dengan menyenangkan. Guru masa kini adalah guru yang dirindu siswa untuk menjadi tempat bertanya dan teman diskusi yang menggembirakan sekaligus mencerahkan. Guru ideal masa kini adalah guru yang senantiasa haus akan pengetahuan sehingga gerak langkah kesehariannya senantiasa diwarnai dengan usaha-usaha untuk juga belajar. Ia menjadikan buku sebagai mahkota statusnya, dan aktivitas membaca sebagai kebutuhan. Ia memanfaatkan organisasi profesi dan teman sejawat sebagai medium dan mitra diskusi.
Profil guru ideal, adalah guru yang dalam proses pembelajaran menjadi pelecut kreativitas siswanya. Ia tidak menyerah oleh keadaan. Ia merasa selalu tertantang untuk memberikan yang terbaik bagi pendidikan anak-anak bangsa. Guru ideal adalah guru yang progresif sekaligus sabar dalam membimbing. Guru yang baik adalah ia yang tidak terjebak dalam rutinitas semu. Ia tidak terbelenggu slogan, tetapi menjadikan hikmah sebagai spirit meraih prestasi. Ia selalu menemukan hal-hal baru yang dapat dijadikan inspirasi bagi pembelajaran siswanya. Ia memiliki daya juang dan daya tahan yang lebih baik dari kebanyakan orang.
Guru ideal adalah ia yang selalu memperkuat basis kemampuan analisis dan metodologis menemukan masalah sekaligus mencari solusi. Dalam prakteknya ini berbentuk kemampuan guru dalam melakukan penelitian; apakah itu penelitian tindakan, penelitian deskriptif, penelitian eksperimen, maupun penelitian kuantitatif. Karya tulis hasil penelitian yang dilakukan dengan penuh kesungguhan adalah bukti fisik dan otentik portofolio. Soal karya tulis menjadi suatu persyaratan kenaikan pangkat, hendaknya dipandang sebagai suatu implikasi belaka. Singkatnya guru ideal adalah guru yang menerapkan pembelajaran yang humanis.  
Untuk mewujudkan sosok guru yang ideal, profesional, dan sekaligus humanis bukan perkara mudah. Semuanya berpulang pada diri guru itu sendiri. Pemerintah, melalui program sertifikasi, dapat diapresiasi telah melaksanakan suatu program yang ideal menuju peningkatan mutu pendidikan. Meskipun dalam implementasinya banyak menuai kritik dan perlu pembenahan di masa depan.
Sekarang saatnya bagi guru untuk melakukan peninjauan kembali ke dalam diri sendiri. Merefleksikan atas apa yang sudah dikontribusikan bagi pendidikan. Sebagai guru yang menjadi salah satu pilar penopang kelangsungan peradaban kemanusiaan, tak ada salahnya menanyakan kembali motif dasar terjun ke dunia pendidikan. Mempertanyakan dan selalu meninjau kembali kiprah diri dalam pembelajaran guna mempertajam kemampuan analisis persoalan. Menjadikan kritik dan saran sebagai resep memperbaiki diri. Menjadikan pendapat orang lain sebagai gizi bagi peningkatan profesi.
Untuk memperbaiki diri rasanya tak perlu menunggu momentum. Setiap saat bisa (dan harus) dilakukan. Logikanya, untuk dapat melahirkan generasi muda yang berprestasi, guru harus memiliki motivasi berprestasi. Motivasi dari dalam diri sendiri, diyakini lebih bernilai dari pada motivasi dari luar diri. Ketika motivasi dari dalam diri sudah terbentuk dan kuat, maka motivasi dari luar dapat menjadi penambah daya dan stamina.
Motivasi dari dalam diri sendiri antara lain keyakinan bahwa dedikasi terhadap pendidikan bernilai ibadah, menjadi guru adalah hasrat dan minat yang kuat sejak lama. Dengan demikian menjalani profesi sebagai guru dengan keikhlasan dan senang hati, tapi bukan pasrah pada nasib. Mereka yang memiliki motivasi dari dalam diri yang kuat, memiliki keyakinan bahwa semua usaha akan mencapai hasil dan dampak positif yang menjadi ikutan adalah sesuatu yang nicaya.
Motivasi dari luar seperti keinginan memperoleh status pengakuan dan penghargaan. Kehendak untuk mendapat imbalan finansial maupun nonfinansial atas hasil kerjanya. Tunjangan profesional bagi guru bersertifikasi, maupun tunjangan-tunjangan lain, serta status kepangkatan, adalah dampak dan implikasi dari suatu usaha dan kinerja.
Guru yang memiliki motivasi dari dalam diri yang kuat adalah mereka yang memiliki konsep diri yang selalu positif. Ia memiliki antusiasme yang luar biasa terhadap berbagai peluang dan kemajuan, tetapi sekaligus memiliki mekanisme dalam diri berupa sikap antisipatif terhadap berbagai tantangan di masa depan. Ia mempercayai bahwa definisi sukses adalah suatu pencapaian dengan usaha keras, bukan pemberian maupun hasil dari kegiatan-kegiatan yang bersifat formalitas belaka. Semoga berbagai harapan dan aspirasi segenap orang tua terhadap pendidikan yang terbaik bagi anak-anak mereka dapat terwujud. (*)

Jumat, 03 September 2010

Ijazah Palsu dan Kapitalisme Pendidikan

(artikel ini dimuat Radar Lampung, edisi Kamis, 02 September 2010)
Berbicara tentang kapitalisme pendidikan, maka pasti akan banyak pihak yang menangkap kesan hiperbolik atau melebih-lebihkan. Tetapi, jika melihat fakta-fakta di lapangan, kapitalisme pendidikan itu nyata. Kapitalisme, anehnya, sering diartikan secara sempit, dan celakanya lagi dikonotasikan dengan duniawi semata-mata seakan-akan tidak bertuhan.
Hari Rabu, 1 September 2010 Harian Radar Lampung, tampil dengan headline "10 Guru Terlibat Ijazah Palsu". Mengapa ini bisa terjadi? Menurut hemat saya, selain faktor eksternal, seperti peluang mengikuti program sertifikasi bagi guru, iming-iming dari penyedia ijazah yang mungkin  "mamer" alias mahal meriah itu, tetapi faktor internal individu juga berperan penting. Andai saja mereka menyadari betapa jalan pintas yang mereka tempuh sangat kontras dengan statusnya sebagai guru, tentu ini tidak akan terjadi.
Kasus ini jelas memprihatinkan, karena bisa merosotnya citra guru. Kita tahu tidak semua guru melakukan pemalsuan. Masih amat banyak guru yang berdedikasi, meskipun terkadang tidak mendapat kesempatan untuk melejitkan potensi dirinya guna lebih mengoptimalkan pengabdiannya pada dunia pendidikan.
Kasus ijazah palsu, yang diduga dilakukan oleh guru, mencerminkan adanya kapitalisme di dunia pendidikan. Sertiikasi dipandang sebagai medium memperoleh tunjangan. Implikasinya adalah kesejahteraan. Jika dilihat dalam kacamata ideal, memang tujangan profesional yang diberikan pemerintah, dimaksudkan untuk memperbaiki kesejahteraan guru, sehingga diharapkan kinerjanya meningkat. Tetapi, kalau mengikuti program sertifikasi itu dengan cara-cara yang ilegal, maka apa yang diharapkan dari peningkatan kinerja dapat dipastikan omong kosong. (lanjut*****)