Tampilkan postingan dengan label pers. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pers. Tampilkan semua postingan

Rabu, 15 Agustus 2012

MEDIA DAN HAK PUBLIK


Tak dapat dipungkiri bahwa eksistensi media massa telah menjadi salah satu penopang utama keberlanjutan era reformasi. Suasana kebebasan mengemukakan pendapat seperti sekarang, adalah bentuk peran media dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. 
Media telah berperan secara terus menerus dalam upaya terwujudnya keterbukaan informasi publik. Keterbukaan informasi adalah suatu kondisi yang memungkinkan orang memperoleh informasi yang berguna bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain secara mudah dan cepat.
Memperoleh informasi hakikatnya adalah hak dasar warga negara. Pemenuhan hak memperoleh informasi akan terhambat, karena adanya benturan kepentingan terhadap pihak-pihak yang menguasai informasi.
Keterbukaan informasi publik berarti kewajiban badan publik untuk menyampaikan informasi publik. Jadi hak dasar warga negara mendapat informasi, dibarengi dengan kewajiban pemegang informasi untuk menyampaikan atau mengumumkannya.
Media memiliki tanggung jawab yang besar terhadap bangsa dan negara. Dalam perspektif institusi sosial, media bertanggung jawab terhadap masyarakat. Ia harus memainkan peran sebagai media penyalur aspirasi bagi masyarakat, sekaligus menjalankan fungsi kontrol baik terhadap dinamika sosial itu sendiri maupun terhadap perilaku kekuasaan. Idealnya media memainkan peran sebagai penjaga arah agar institusi-institusi publik dan negara tetap berjalan pada rel yang semestinya. Di sinilah media akan menjaga gawang pepatah “kekuasaan cenderung korupsi” agar tidak terjadi.
Keseimbangan kekuatan saling kontrol antar-institusi akan meminimalkan terjadinya kecenderungan korupsi, penyimpangan, maupun monopoli kebenaran dan informasi.
Melalui pemberitaan, analisis, esai, laporan, kolom, dan artikel, media terus menyebarluaskan informasi kepada masyarakat sebagai hak publik. Media menjalankan fungsi mendidik, dalam arti luas, menyebarluaskan informasi, dan menjadi sarana hiburan. Media membangun budaya dan peradaban yang lebih maju.
Dahaga Informasi
Rasa ingin tahu pasti dimiliki individu. Kebutuhan akan informasi lebih penting daripada kebutuhan fisik. Fitrahnya, setiap orang akan berusaha memenuhi dahaga informasi. Jika keinginan untuk mengetahui sesuatu itu terpenuhi, maka ia akan merasa tenang dan puas. Dalam bahasa lain, masyarakat yang terinformasi adalah masyarakat yang sejahtera secara bathiniah. Masyarakat yang memperoleh informasi, akan lebih mudah memiliki kesadaran pentingnya bermasyarakat dan berpartisipasi dalam membangun masyarakatnya ke arah yang lebih baik.
Kebutuhan akan informasi bagi masyarakat sebagian besar terpenuhi atau disalurkan melalui pemanfaatan media massa. Oleh karena itu media massa hendaknya menangkap kebutuhan akan informasi itu sebagai umpan balik untuk terus menerus memperbaiki diri. Media massa yang akan bertahan dan dicintai masyarakat adalah media yang tidak hanya pandai mengkritik, tetapi juga diisi oleh awak redaksi yang selalu terbuka terhadap kritik.
Kritik, saran, masukan, pendapat, dari manapun datangnya, jika itu esensinya adalah untuk perbaikan, akan diterima dengan baik.
Pengelola media dan pekerja media mendedikasikan dirinya di bidang informasi sebagai lahan pengabdian. Karakteristik informasi adalah kebenaran, keterbukaan, kesetaraan, kecepatan, dan ketepatan. Pengelola media pasti memahami dan menghayati terhadap karakteristik informasi itu sehingga mampu mengoptimalkan pengabdiannya bagi masyarakat.
Kebebasan dan Tantangan
Di masa Orde Baru, mengkritik pimpinan negara, membutuhkan keberanian yang luar biasa. Bahkan, mengkritik kebijakan pemerintah, adalah “kemewahan” yang harus dibayar mahal.
Meskipun media telah memberikan peran bagi keterbukaan informasi, harus diakui media juga memberikan ekses baik berupa ketegangan maupun disharmoni. Ekses media yang mungkin negatif, biasanya bersifat sementara, sebagai akibat kurangnya pengetahuan dan kesadaran terhadap fungsi media itu sendiri.
Contohnya, di awal reformasi, kantor media massa didemo merupakan hal yang biasa. Seorang tokoh yang mencalonkan diri untuk maju menjadi calon pemimpin suatu organisasi, ketika mendapat sorotan kritis media, mengerahkan massa ke kantor media untuk menekan. Banyak modus lain reaksi ketidaksenangan suatu kelompok terhadap peran media, seperti memboikot, mengancam personil media, maupun membuat media sendiri.
Kebebasan dan hak setiap individu akan dibatasi oleh kebebasan dan hak individu lainnya. Media harus mendorong terpenuhinya hak publik dengan tetap menjaga kebenaran di atas kebebasan.
Media sebagai entitas bisnis menghadapi tantangan iklim kompetisi dan keterbatasan sumberdaya. Media harus menjaga keseimbangan antara idealisme dan fungsi bisnis.
Pemandu
Media harus menjadi guideline bagi pembacanya dalam memandu untuk mengambil keputusan. Bagi pengusaha, media berperan membantu dalam mengambil keputusan bisnis yang tepat. Bagi politisi media menjadi pemandu arah karir politiknya dan dukungan massa kepadanya. Bagi masyarakat kota, media menjadi rambu-rambu dan petunjuk akan bahaya kriminal, trend gaya hidup, informasi tentang arus lalu-lintas, layanan publik, potensi penyakit, dan gangguan keamanan. Bagi petani menjadi media informasi dan pengetahuan untuk meningkatkan budidaya dan produksi serta saluran pemasaran.
Media hendaknya mengungkap kebenaran dan memberitakan sesuatu di balik peristiwa. Media perlu memperbarui semangat dan khitahnya sebagai penyebar pencerahan. Memberitakan korupsi, misalnya, agar yang lain tidak melakukan korupsi. Menampilkan tokoh dan kisah sukses agar menjadi teladan bagi masyarakat umum. Memuat laporan tentang kerusakan sarana umum agar segera mendapat respon dari yang berwenang. Singkatnya, informasi yang disampaikan media dibutuhkan dan bermanfaat bagi setiap orang.  
Dengan demikian kehadiran media mampu menjaga layanan publik tetap baik dan menjamin terlaksananya kewajiban institusi publik. Bagi masyarakat, media membantu memenuhi hak-haknya akan informasi. (Bandar Lampung, 09 Agustus 2012)

Senin, 26 Maret 2012

KOMPETENSI WARTAWAN, SUATU UJIAN

(ARTIKEL INI DIMUAT HARIAN RADAR LAMPUNG, KAMIS, 22 MARET 2012)

Masalah profesionalisme wartawan masih sering dikeluhkan. Pemberitaan adanya oknum wartawan yang melakukan perbuatan tercela, bertentangan dengan kode etik jurnalistik, masih mewarnai media. Yang paling sering adalah tindakan ’’pemerasan’’, suatu perbuatan yang menciderai profesi mulia.


PRAKTIK jurnalistik menghadapi tantangan yang semakin kompleks. Dinamika perubahan lingkungan, baik internal maupun eksternal, sedemikian pesat. Kemajuan teknologi informasi, sistem dan model komunikasi massa, alat atau media, serta perkembangan aturan di bidang keterbukaan informasi menjadi tantangan praktik jurnalistik.
Jurnalistik atau kewartawanan adalah pekerjaan yang menuntut sikap profesional. Profesional yang penulis maksud dalam hal ini adalah seperangkat atribut untuk keberhasilan kerja. Profesional bukan hanya perdebatan istilah atau ego sektoral. Sehingga bidang pekerjaan apa layak disebut profesional atau bukan profesional. Memang, secara formal istilah profesional mensyaratkan adanya basis jenjang pendidikan formal tertentu. Pertanyaannya, apa itu profesional? Siapa yang disebut wartawan profesional?
Situs Wikipedia menjelaskan, seorang profesional adalah seseorang yang menawarkan jasa atau layanan sesuai dengan protokol dan peraturan dalam bidang yang dijalaninya serta menerima gaji sebagai upah atas jasanya.
Orang tersebut juga merupakan anggota suatu entitas atau organisasi yang didirikan seusai dengan hukum di sebuah negara atau wilayah. Seringkali seseorang yang merupakan ahli dalam suatu bidang juga disebut ’’profesional’’ dalam bidangnya, meski bukan merupakan anggota sebuah entitas yang didirikan dengan sah.
Sebagai contoh, dalam dunia olahraga terdapat olahragawan profesional yang merupakan kebalikan dari olahragawan amatir yang bukan berpartisipasi dalam sebuah turnamen/kompetisi demi uang.
Walau kutipan dari situs tersebut masih merupakan pernyataan rintisan, setidaknya menjadi panduan untuk mencermati suatu profesi, termasuk profesi wartawan.
Kini, Persatuan Wartawan Indonesia Cabang Lampung sedang mengadakan ujian kompetensi wartawan. Semoga ini menjadi langkah maju mewujudkan profesionalisme wartawan.
Keahlian dan Integritas
Memang istilah profesional sering menjadi perdebatan. Tapi, saya ingin memberikan pendapat pribadi. Profesional adalah pekerjaan yang menuntut keterampilan dan keahlian, integritas dan loyalitas, serta pengembangan profesi berkelanjutan. Wartawan adalah pewarta yang bekerja secara tetap pada media massa.
Suatu profesi dikatakan profesional jika dilandaskan pada adanya kompetensi. Dengan kompetensinya itu, ia menjadi bagian dari pemecahan masalah, bukan pembuat masalah baru. Kompleksitas pekerjaan akan diatasi berdasarkan keahlian. Aneka tantangan dan tuntutan pekerjaan sebagai dampak perkembangan profesi dapat diantisipasi dengan integritas.
Di antara ciri profesi adalah adanya keahlian para pelakunya. Keahlian itu diperoleh melalui suatu proses pendidikan yang berkelanjutan, pemerolehan pengalaman dari para senior, atau dari mereka yang telah banyak menggeluti pekerjaan itu. Pendampingan dan penempaan dari kolega yang lebih berpengalaman, lebih senior, menjadi salah satu pintu masuk peningkatan kompetensi sekaligus indikator bagi suatu bidang yang disebut profesional.
Ciri yang lain adalah adanya jenjang keahlian. Untuk jenjang keahlian itu, bisa saja merupakan kesepakatan organisasi profesi maupun kelompok bidang keilmuan. Pengakuan profesional dari organisasi profesi melalui suatu tahapan proses ujian. Jadi, klaim profesional melalui banyak tahapan dan pengakuan dari banyak pihak. Bukan klaim sepihak atau hanya selembar sertifikat.
Dewasa ini dirasakan adanya ketimpangan antara kebutuhan profesi wartawan dengan penyedia jasa pendidikan kewartawanan. Di perguruan tinggi, bidang jurnalistik sebagian besar masih menjadi bagian peminatan atau konsentrasi pada program studi komunikasi.
Basis pendidikan formal dapat menjadi salah satu tolok ukur kompetensi. Sedangkan penempaan pengalaman dan pendampingan dari para pihak yang lebih dulu menggeluti profesi tersebut, dapat menjadi medium pembangun integritas.
Loyalitas dan Kerja Keras
Harus diakui bahwa profesi apa pun adalah profesi mulia jika diabdikan untuk kemaslahatan umat manusia dan membangun peradaban yang lebih baik. Wartawan adalah profesi yang mengemban amanah publik sekaligus merupakan ikhtiar meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaan.
Kewenangan wartawan dalam mengumpulkan, mengolah, dan menyebarluaskan informasi merupakan amanah undang-undang. Amanah itu harus diemban dengan kesetiaan pada bidang kerjanya, dilakukan dengan penuh tanggung jawab, dan kerja keras.
Bagi penulis, profesi wartawan adalah pengabar kebenaran. Hasil kerja wartawan bagi audiensi memang tidak dapat diraba atau dilihat, tetapi dirasakan. Secara implisit dampak atas hasil kerja  wartawan itu melalui serangkaian proses yang panjang. Makna suatu karya jurnalistik tidak bisa dinilai secara serta-merta.
Wartawan menyampaikan informasi dengan harapan audiensinya memiliki pengetahuan. Berbekal pengetahuan itu, akan meningkat pemahaman dan kesadarannya terhadap sesuatu. Selanjutnya, bertindak sesuai dengan norma, aturan hukum, dan mengambil keputusan yang benar. Masyarakat berpengetahuan adalah masyarakat yang sejahtera. Sebab,  pada dasarnya manusia adalah makhluk yang senantiasa ingin tahu dan berusaha memenuhi rasa ingin tahunya itu.
Dampak akhir hasil kerja wartawan bagi masyarakat adalah kesejahteraan. Untuk sampai pada dampak akhir itu, kerja wartawan dituntut penuh loyalitas dan sekaligus kerja keras. Loyalitas berarti dengan mengerjakan sesuatu dengan sepenuh jiwa, disiplin dan taat asas, kejujuran dan keberanian.
Kerja keras mengisyaratkan adanya ketelitian dan kecermatan serta daya tahan untuk menghasilkan karya jurnalistik yang baik. Motivasi yang tinggi dan senantiasa terjaga dalam rangka memberikan yang terbaik kepada audiensinya.
Seorang wartawan kini dituntut menguasai banyak bidang yang semuanya penting. Setidaknya yang esensial adalah pengetahuan sosial budaya, teknologi komunikasi, wawasan hukum, ekonomi, dan politik. Itu pun harus dibarengi dengan kemampuan bahasa dan keterampilan komunikasi interpersonal.
Seorang teman mengatakan, profesi guru dan pendidik ’’dekat’’ dengan surga, karena ilmu yang bermanfaat. Kiranya pernyataan teman tersebut paralel pula dengan profesi wartawan sebagi pengabar kebenaran.
Penulis meyakini, UKW atau uji kompetensi wartawan adalah salah satu cara strategis mewujudkan kompetensi wartawan. Tulisan ini semoga memberi wacana yang bermanfaat, setidaknya dari the outsider. (*)

Jumat, 24 Februari 2012

PERS & KEBEBASAN BERPENDAPAT


Pers bekerja untuk kepentingan publik dan bertanggung jawab terhadap publik. Pers mengumpulkan, mengelola, dan menyampaikan informasi dengan satu visi untuk kesejahteraan masyarakat. Masyarakat yang terinformasi akan lebih mudah mengakses pengetahuan dan layanan publik. Penyelenggara negara juga akan lebih akuntabel berkat eksistensi dan fungsionalisasi pers.
Ada hubungan timbal balik antara pers, masyarakat, dan penyelenggara negara. Pers adalah institusi sosial yang menjadi bagian vital bangunan bangsa dan negara. Peran pers sudah diakui secara “de facto” dalam mempercepat laju pembangunan. Ini dapat ditelusuri sejak era sebelum kemerdekaan hingga era reformasi sekarang. Kerja insan pers juga dilindungi oleh undang-undang.
Dalam beberapa pekan belakangan ini, pers menjadi pembicaraan hangat. Hari Pers Nasional (HPN) yang diperingati setiap 9 Februari telah menjadi momentum untuk konsolidasi, refleksi, dan menyusun rencana aksi perbaikan di semua lini secara strategis. Hari Pers merupakan upaya menjadikan pers sebagai milik semua komponen masyarakat.
Pers berperan dalam mengawal proses layanan publik dari institusi pelayanan publik. Tanpa kontrol pers, hak-hak dasar warga negara dapat terabaikan. Pers adalah salah satu institusi dalam kehidupan masyarakat modern. Sejarah panjang pers bermula dari tuntutan kebutuhan akan media komunikasi massa dan temuan alat pencetak. Pers masa kini identik dengan saluran komunikasi, baik dari individu ke massa, maupun sebaliknya, dan dari massa ke massa.
Dari sudut pandang lain, pers dapat dilihat sebagai salah satu pilar penopang demokrasi hakiki bukan cuma demokrasi prosedural. Demokrasi sendiri diasumsikan sebagai model tata kehidupan bersama untuk mencapai tujuan bersama. Meskipun demokrasi seperti utopia, tapi melalui dialektika, demokrasi itu dapat membantu memudahkan mencapai tujuan, setidaknya dengan cara-cara damai dan elegan.
Kongkretnya, pers adalah media komunikasi massa sebagai perwujudan prinsip kebebasan mengemukakan pendapat, alat kontrol sosial, dan berperan dalam menyampaikan informasi kepada khalayak.
Kemerdekaan pers sebagai institusionalisasi dari kebebasan mengemukakan pendapat, bukan berarti kebebasan yang anarkhi. Kebebasan itu bertumpu pada tanggung jawab publik (kepentingan yang lebih besar), penghargaan terhadap martabat kemanusiaan, dan etika baik dalam mengumpulkan, mengolah, dan menyampaikan informasi.
Masyarakat modern menjadikan pers sebagai sarana mengembangkan segenap potensi yang dimiliki. Pers berperan dalam mendorong laju pembangunan, pergerakan perekonomian, dan pendidikan dalam arti yang luas.     
Dalam perjalanannya, pers tentu tak pernah berhenti dari berbagai tantangan dan hambatan. HPN adalah salah satu momentum tepat untuk terus melakukan revitalisasi spirit perjuangan pers. Apalagi kini telah ada Undang-undang tentang Keterbukaan Informasi Publik. Udang-undang ini mengamanahkan kewajiban bagi pemegang informasi publik untuk menyampaikannya kepada publik melalui mekanisme yang sistematis, kecuali informasi yang dikecualikan.
Tantangan dan hambatan pers bisa dari luar dan bisa dari dalam pers itu sendiri. Tantangan dari luar berupa adanya perbedaan kepentingan dengan pihak-pihak yang tidak ingin adanya kebebasan mengemukakan pendapat. Meruncingnya perbedaan kepentingan itu bisa berujung pada ancaman, pelecehan, teror, intimidasi, atau bahkan aksi kekerasan terhadap pers. Pihak-pihak yang tidak ingin terwujudnya keterbukaan informasi, jelas akan melakukan berbagai upaya terhadap pers, baik membujuk, merayu, mengiming-imingi, maupun membentuk kelompok media sendiri. Upaya “menjinakkan” pers akan dilakukan oleh mereka yang berkepentingan menghindari pertanggungjawaban kepada publik.

Jumat, 17 Februari 2012

KEMERDEKAAN PERS DAN TANGGUNG JAWAB PUBLIK


Apa makna hakiki dari Hari Pers Nasional (HPN) yang diperingati setiap 9 Februari?Mengapa harus ada Hari Pers? Bagi insan pers, Hari Pers adalah momentum untuk konsolidasi, refleksi, dan menyusun rencana aksi perbaikan di semua lini secara strategis. Hari Pers merupakan upaya menjadikan pers sebagai milik semua komponen masyarakat.

PERS adalah salah satu institusi dalam kehidupan masyarakat modern. Sejarah panjang pers bermula dari tuntutan kebutuhan akan media komunikasi massa dan temuan alat pencetak. Pers masa kini identik dengan saluran komunikasi, baik dari individu ke massa, maupun sebaliknya, dan dari massa ke massa.
Dari sudut pandang lain, pers dapat dilihat sebagai salah satu pilar penopang demokrasi. Demokrasi sendiri diasumsikan sebagai tata kehidupan bersama untuk mencapai tujuan bersama. Secara lebih kongkret, pers adalah media komunikasi massa sebagai perwujudan prinsip kebebasan mengemukakan pendapat, alat kontrol sosial, dan berperan dalam menyampaikan informasi kepada khalayak.
Kemerdekaan pers sebagai institusionalisasi dari kebebasan mengemukakan pendapat dalam bukan kebebasan yang anarkhi. Kebebasan itu bertumpu pada tanggung jawab publik (kepentingan yang lebih besar), penghargaan terhadap martabat kemanusiaan, dan etika baik dalam mengumpulkan, mengolah, dan menyampaikan informasi.
Masyarakat modern menjadikan pers sebagai sarana mengembangkan segenap potensi yang dimiliki. Pers berperan dalam mendorong laju pembangunan, pergerakan perekonomian, dan pendidikan dalam arti yang luas.     
Dalam perjalanannya, pers tentu tak pernah berhenti dari berbagai tantangan dan hambatan. Oleh karena itu, HPN adalah momentum tepat untuk terus melakukan revitalisasi spirit perjuangan pers. Apalagi kini telah ada Undang-undang tentang Keterbukaan Informasi Publik. Udang-undang ini mengamanahkan kewajiban bagi pemegang informasi publik untuk menyampaikannya kepada publik melalui mekanisme yang sistematis, kecuali informasi yang dikecualikan.

ANCAMAN LATEN TERHADAP JURNALIS


Setiap tahun selalu ada kasus pelecehan dan kekerasan terhadap insan pers (jurnalis). Ancaman terhadap jurnalis tidak hanya di Indonesia, tetapi di seluruh dunia. Di Lampung, terakhir aksi pelecehan terhadap jurnalis Radar Lampung, Segan Petrus Simanjuntak, oleh Penjabat Bupati Mesuji. Tindakan pelecehan itu menuai protes banyak pihak. Pelecehan terhadap jurnalis dalam kaitan tugas-tugas jurnalistik, sejatinya bukan penghinaan terhadap pribadi jurnalis itu sendiri, tetapi merupakan pelecehan terhadap profesi yang mulia dan dilindungi undang-undang.
Ada aksi, ada reaksi, dapat konteks interaksi manusia, adalah hal yang wajar. Seberapa besar aksi, biasanya sebanding dengan reaksi yang muncul. Peristiwa pelecehan pejabat terhadap jurnalis dengan mengucapkan kata-kata kotor dan sangat tidak etis, bukan hanya mengundang keprihatinan yang mendalam, tetapi lebih dari itu harus menjadi tonggak bagi kemajuan pers yang profesional dan proporsional.
Pelecehan terhadap jurnalis ibarat menepuk air di dulang, terpercik wajah sendiri. Apalagi ini dilakukan oleh seorang pejabat. Sungguh naïf dan konyol. Seorang kepala daerah adalah pucuk pimpinan dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan umum dan pembangunan di daerah. Esensi kepala daerah sebagai pemimpin harusnya merupakan nilai-nilai keteladanan bagi setiap anggota masyarakatnya. Kekuasaan tidak selamanya dapat digenggam, dan wilayah Mesuji bukan hak pribadi.
Mencermati kronologis pelecehan terhadap rekan Segan Petrus saya setuju kasus ini dilanjutkan ke proses hukum. Sebab, ruang dan fasilitasi untuk menarik ucapan telah diberikan. Jika pun khilaf, ruang dialog telah dibuka, tetapi tidak dimanfaatkan.
Aksi pelecehan terhadap jurnalis seperti ini menunjukkan adanya sikap arogansi kekuasaan. Hal ini juga menunjukkan perangai kekuasaan yang cenderung korup karena alergi terhadap kontrol yang dijalankan oleh pers. Kalau bersih, kenapa risih.
Ancaman, teror, intimidasi, dan pelecehan terhadap kebebasan pers adalah bahaya laten (tersembunyi) yang setiap saat bisa muncul. Kekerasan verbal harus dipahami sebagai potensi yang akan menjadi kekerasan fisik. Upaya-upaya membungkam pers diprediksi akan selalu ada. Mengapa? Karena sampai kapan pun akan selalu ada perbedaan kepentingan antara tugas-tugas jurnalistik dengan tugas-tugas pihak-pihak yang dikontrol oleh pers melalui pemberitaan.
Aksi atau upaya memungkam satu jurnalis, justru akan melahirkan ribuan jiwa-jiwa yang penuh semangat membawa misi kebebasan pers. Runtuhnya Orde Baru merupakan dampak dari pemberitaan yang massif terhadap aksi-aksi penolakan terhadap Orde Baru di berbagai kampus dan daerah-daerah.  
Mengapa tidak belajar dari peristiwa sebelumnya? Apakah tidak mengetahui hak-hak dan kewajiban pekerjaan jurnalis? Rasanya pejabat selevel bupati adalah orang pilihan, yang kecerdasan dan pengetahuannya tidak diragukan lagi untuk mengemban amanah jabatan itu. Penunjukan untuk menduduki posisi penjabat bupati, jelas atas pertimbangan kemampuan, pengalaman, dan keahliannya.

Jumat, 27 Januari 2012

MASA DEPAN MEDIA CETAK


(ARTIKEL INI DIMUAT RADAR LAMPUNG, SABTU, 04 FEBRUARI 2012)
Sekitar dua dekade lalu, ada futurolog yang memprediksi bahwa dalam beberapa tahun mendatang impian dunia tanpa kertas (paperless) akan terwujud. Maksudnya, penggunaan kertas untuk bahan bacaan akan sangat sedikit. Tetapi, banyak juga yang tak sepakat dengan prediksi itu. Dan kini, ternyata, kebutuhan akan kertas tetap tinggi dan cenderung bertambah.

PREDIKSI terhadap dunia tanpa kertas didasarkan pada perkembangan teknologi komunikasi dan informasi. Memang sekarang terwujud media baca elektronik (e-reader) dan pengalihan materi bacaan ke bentuk digital. Tapi faktanya, kebutuhan akan kertas tetap saja tinggi.
Setiap hari jutaan eksemplar koran beredar di seluruh penjuru dunia. Itu belum termasuk terbitan berupa majalah, buku, brosur, barang cetakan untuk perkantoran, pendidikan, hiburan, dan sebagainya.
Prediksi tentang dunia tanpa kertas bukanlah ramalan yang meleset. Dunia tanpa kertas adaIah paralel dengan dunia yang memanfaatkan kertas. Makin banyaknya orang yang menggunakan perangkat baca elektronik, sesungguhnya, secara manfaat telah mengurangi kebutuhan kertas.
Paling tidak ada dua faktor mengapa kertas masih dibutuhkan dalam jumlah besar sebagai sarana komunikasi, yaitu faktor budaya dan faktor teknis. Faktor budaya merupakan salah satu alasan mengapa kita masih senang membaca media yang tercetak. Membaca koran, buku, atau majalah, secara fisik sudah menjadi kebiasaan.
Sedangkan faktor teknis adalah bahwa barang cetakan, dokumen, formulir-formulir, dimanfaatkan dengan alasan dapat dilihat secara fisik, disimpan dan dilihat kembali di kemudian hari jika diperlukan, dan sebagai media komunikasi. (*****lanjut)

Jumat, 13 Januari 2012

PERS DAN PEMBENTUKAN OPINI PUBLIK

(Artikel ini dimuat RADAR LAMPUNG, Jumat, 13 Januari 2012)
Belakangan ini, mencuat polemik tentang peran pers dalam derap nadi kehidupan. Ada yang mempersoalkan eksistensi pers dalam relasi dengan hak-hak pribadi, ada yang menggugat interaksi pers dengan narasumbernya, pemilik modalnya, dan pemerintah.

SULIT diingkari bahwa hari-hari masyarakat modern senantiasa dihiasi dengan hilir-mudiknya aneka informasi. Segala informasi menerpa setiap orang, setiap waktu. Inilah yang disebut banjir informasi.
Peran pers dipertanyakan, terkait dengan apakah menjadi penggiring opini publik sebagai wahana penyampaian informasi bagi kepentingan publik, dijadikan alat kepentingan kelompok, atau sekadar alat pemuas bagi pemilik modal.
Dari sisi fungsi, pers idealnya adalah media komunikasi massa yang menjadi penyalur suara rakyat, penyampai pesan dari dan ke publik, dan menyampaikan informasi yang berguna bagi publik. Bukan hanya menjadi corong penyuara kelompok kepentingan maupun menyampaikan informasi pemerintah secara sepihak. Pers pun tidak boleh kehilangan daya kritis di hadapan kekuasaan maupun pemodal.
Jiwa pers adalah mencari kebenaran, memihak yang lemah, serta mengupayakan penghapusan penzaliman suatu kelompok terhadap kelompok lain. Semua itu dilandasi dengan sikap tanggung jawab, taat asas, menjunjung tinggi etika, dan jiwa besar. (*****lanjut)

Kamis, 29 Desember 2011

MEMAHAMI PROFESI JURNALIS (Refleksi Akhir Tahun)

(ARTIKEL INI DIMUAT RADAR LAMPUNG, KAMIS, 29 DESEMBER 2011)

Momentum akhir tahun pantas dijadikan ajang refleksi oleh siapapun, tak terkecuali kalangan jurnalis. Sebutan jurnalis di sini dapat dipersamakan dengan wartawan maupun reporter. Profesi jurnalis merupakan profesi yang mulia. Seperti juga profesi lain, jurnalis sejatinya adalah penerang masyarakat. Fungsinya adalah mencerdaskan masyarakat melalui pesan-pesan jurnalistik.

TAPI, profesi apapun, senantiasa memiliki tantangan dan hambatan. Mewujudkan cita-cita ideal pasti membutuhkan perjuangan dan proses panjang. Mungkin menuai pujian, apresiasi, dan mungkin menerima kritikan, bahkan juga kecaman. Apapun itu, harus menjadi “vitamin” yang menyehatkan dan menjadi pembuka jalan mencapai kemajuan yang lebih baik lagi.
Refleksi perlu untuk menyegarkan kembali cara pandang kita terhadap apa yang sudah kita capai. Dalam suatu lembaga, refleksi dari “orang luar” kiranya perlu, agar tidak terjebak dalam “comfort zone” dan inspirasi untuk berpikir “out of the box”. Atau minimal menjadi umpan balik. Evaluasi penting untuk menjadi landasan bagi perbaikan.
Sudut pandang “orang luar” dapat dipahami sebagai pandangan awam, mewakili mainstream pendapat masyarakat. Penyajian wacana akan memberikan posisi yang sebenarnya, meluruskan persepsi yang keliru, atau melengkapi penilaian agar lebih obyektif.
--Kerja Disiplin
Sadar atau tidak, senang atau tidak, dalam beberapa waktu terakhir, ada nada gugatan terhadap praktik jurnalistik. Yang masih hangat adalah mencuatnya kasus kekerasan di Mesuji. Rangkaian peristiwanya panjang. Permasalahannya komplek. Pihat terkait cukup banyak. Meledaknya di Jakarta.
Nada gugatan itu berbunyi: Di mana rekan-rekan jurnalis saat itu? Di mana peran kontrol media terhadap kebijakan yang melibatkan kepentingan rakyat? Apakah rekan-rekan media (terutama media lokal) tidak tahu? Dan sederet pertanyaan, yang mengarah pada kerja jurnalis.
Banyak peristiwa sejenis, yang menurut awam luput dari perhatian media dan jurnalisnya. Sebut saja kasus plesiran Gayus Tambunan. Atau kasus-kasus yang lingkup daerah terkecil, gizi buruk, gedung sekolah rusak, dan sebagainya.
Tapi gugatan, pertanyaan, atau penilaian itu boleh dibilang telah terjawab dan tidak sepenuhnya diarahkan untuk jurnalis. Media telah memberitakan, bahkan melakukan investigasi. Ini bisa ditelusuri kembali pada pemberitaan periode tersebut.(*****lanjut)

Jumat, 16 Desember 2011

Belajar dari Jurnalistik

elajar dapat dipahami sebagai suatu proses pengalaman atau pemberian pengalaman. Proses pengalaman itu dapat langsung maupun tidak langsung. Sebagian besar pembelajaran adalah pemberian pengalaman secara tidak langsung. Jadi pembelajaran itu menggunakan media belajar, melalui fasilitator belajar dalam lingkungan belajar dan dibarengi dengan motivasi yang tinggi dari si belajar.

KITA sering tanpa sadar mengalami proses belajar. Ketika membaca, baik buku, koran, majalah, brosur, leaflet, pengumuman, spanduk, internet, dan sebagainya, sesungguhnya, kita telah mengalami suatu proses belajar. Proses belajar, dalam konsep teori belajar kognitif, adalah terjadinya pengelolaan informasi dalam otak, dikaitkan dengan informasi yang telah dimiliki. Belajar adalah proses mental. Ini proses belajar yang paling umum, mudah, murah, dan bisa dilakukan di mana saja.
Aktivitas membaca adalah proses untuk memperoleh pengetahuan baru. Membaca disebut metode untuk mengetahui apa yang terjadi di luar diri, memahami pengalaman dan pendapat orang lain, mengetahui suatu peristiwa, laporan kegiatan, dan sebagainya. Membaca adalah membuka cakrawala dunia. Maka tak berlebihan jika disebut membaca adalah cara memberantas kebodohan.
Media massa, sebagai produk jurnalistik, dapat dipandang sebagai salah satu media belajar. Sifatnya yang massal, memungkinkan setiap orang mengakses media seluas-luasnya. Dalam sajian media massa, banyak materi pengetahuan, pembelajaran, dan hiburan.
Era informasi di mana kebebasan pers menemukan momentumnya, ditunjang dengan kemajuan teknologi, keberadaan media massa merupakan perwujudan demokrasi yang esensial. Nilai-nilai kebebasan, kesetaraan, keberimbangan, keterbukaan, menjadi prioritas utama.
Proses kerja mengumpulkan, mengelola, menyimpan, dan menyiarkan berita itulah yang secara sederhana disebut jurnalistik. Dalam praktik, pengertian jurnalistik itu berkembang yaitu sebagai proses mewujudkan karya dan penyampaian informasi baik berupa tulisan, suara, gambar, maupun video. Ada juga yang menyebut jurnalisme, atau istilah lain, seperti kewartawanan, pers, atau press. Dalam mekanisme kerja sampai wujud akhir berupa media massa, ada banyak pembelajaran yang dapat diambil, baik oleh kalangan pelajar maupun masyarakat umum. Pembelajaran juga dapat dipetik dari substansi produk jurnalistik.
Maka wajar jika beberapa sekolah mengisi kegiatan studi wisata dengan mengunjungi penerbit media, melihat dari dekat proses kerja jurnalis dan pembuatan berita. Kompetensi jurnalis di antaranya adalah mengelola media secara utuh, dapat ditularkan, dipelajari oleh kalangan pelajar sehingga mereka dapat mengaktualisasikan dalam bentuk media di sekolah masing-masing.
Ketelitian
Suatu karya jurnalistik menuntut kerja yang teliti. Suatu berita, dilaporkan oleh jurnalis secara detail, terperinci, untuk memenuhi hasrat ingin tahu audiensnya. Jurnalistik berusaha mengungkapkan fakta-fakta yang tersembunyi, atau dengan kata lain, hal-hal yang tidak dilihat oleh umum. Jurnalis harus cermat, jeli, dan tajam melakukan pengamatan, pengumpulan data dan informasi, mengelola, dan mengemas informasi sehingga menjadi sajian yang menarik dan bernilai guna bagi audiens. (****lanjut)

Jumat, 04 November 2011

JURNALISTIK DAN PENDIDIKAN KARAKTER

 (Artikel ini dimuat RADAR LAMPUNG, Rabu, 2 November 2011)
Sebagian perilaku pelajar yang tampak, dinilai sudah semakin menjauh dari nilai-nilai dan budaya bangsa. Degradasi moral terwujud dalam aksi kekerasan, tawuran, pornografi, dan merosotnya etika. Kasus-kasus semacam ini masih saja terjadi, dan bukan monopoli pelajar di perkotaan. Beberapa waktu terakhir, kasus video mesum dan tindakan asusila bahkan terjadi di sekolah yang tergolong di daerah pinggiran.
ADA keprihatinan, kegelisahan, dan gugatan. Ada anggapan pendidikan cenderung hanya menekankan pada aspek kecerdasan, dan mengabaikan aspek lainnya. Institusi sekolah menjadi ujung tombak untuk menangkal perilaku negatif, dan bahkan hakikatnya untuk membentuk sifat-sifat positif dalam diri siswa.
Kini muncul tuntutan yang menekankan pentingnya pendidikan budaya dan karakter bangsa. Istilah yang dikenal sekarang adalah Pendidikan Karakter Bangsa. Implementasinya melalui pendidikan di persekolahan. Ia tidak merupakan materi pelajaran tersendiri, karena merupakan pendidikan nilai yang bersifat pengembangan. Jadi memerlukan waktu yang cukup panjang untuk melihat hasilnya.
Pendidikan karakter melekat pada semua pelajaran dan tindakan pendidikan. Model pendidikan karakter berbeda dengan mata pelajaran. Ia menjadi bagian dari seluruh proses pembelajaran.
Salah satu persyaratan untuk keberhasilan pelaksanaan pendidikan karakter adalah keterampilan guru dan pendidik serta adanya minat dan kemauan dari peserta didik.(*****lanjut)

Rabu, 26 Oktober 2011

MENILAI DAMPAK TEKNOLOGI INFORMASI


Secara filosofis, kemajuan di bidang teknologi harusnya menjadi berkah bagi kemanusiaan. Ia memberi kemudahan bagi aktivitas manusia. Ia semakin membawa umat manusia pada martabat yang lebih tinggi. Tapi kenyataannya, masih saja dijumpai adanya penyimpangan penggunaan teknologi, khususnya informasi.

BETUL pernyataan bahwa teknologi ibarat pedang bermata dua. Ia bisa menjadi senjata tetapi sekaligus juga membahayakan diri sendiri. Ia bisa dijadikan sarana memajukan masyarakat, tetapi juga bisa menjadi alat kejahatan.
Kasus beredarnya video kekerasan dan aksi porno yang melibatkan pelajar masih saja terjadi. Bahkan terjadi di daerah yang tergolong pinggiran. Artinya, dampak negatif itu sudah tidak mengenal tempat lagi.
Kasus yang sempat mencuat tentu menjadi keprihatinan tersendiri. Jangan sampai kejadian serupa terulang. Di kalangan pelajar, penggunaan teknologi informasi rentan disalahgunakan jika tanpa pengawasan yang memadai.
Dampak negatif lain yang juga perlu diwaspadai adalah hilangnya waktu dan kesempatan, gangguan kesehatan, dan merosotnya nilai moral. Bagi anak-anak, durasi yang berlebihan dalam penggunaan perangkat teknologi tersebut juga dapat mengganggu kemampuannya berinteraksi sosial secara wajar.
Sekarang, tumbuh kesadaran pentingnya pengawasan penggunaan teknologi informasi bagi anak-anak. Sikap bijaksana menjadi tumpuan dalam penggunaan teknologi. Penggunaan teknologi harus mempertimbangkan nilai manfaat yang diperoleh.
Memang, harus diakui, teknologi informasi dan komunikasi (TIK) memuat nilai manfaat yang luar biasa. Ia telah menjadi magnet dalam kehidupan masyarakat modern. Melalui teknologi, informasi apa saja menerpa setiap orang, setiap saat, sepanjang hari. Informasi itu datang baik diminta maupun tidak diminta. Informasi menyebar melalui televisi, radio, internet, sms, koran, majalah, buku, lembaga pendidikan, maupun orang.
Idealnya kemajuan di bidang TIK memberi dampak bagi peningkatan pengetahuan, efektivitas dan efisiensi pembelajaran di lembaga pendidikan, dan memudahkan pekerjaan setiap orang. Dengan informasi, dapat terbangun suatu tatanan masyarakat yang memiliki kesadaran hidup bersama dan mampu beradaptasi terhadap perubahan.

Informasi harus menjadi basis sumber kekuatan (power) dan spirit perubahan, melalui perolehan pengetahuan, dan kecepatan mengambil keputusan yang tepat untuk suatu masalah.
Persoalannya adalah bagaimana informasi itu dapat digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan. Di lembaga pendidikan misalnya, kemajuan penggunaan komputer dan internet menjadikan dunia pendidikan juga mengalami akselerasi kemajuan yang semakin baik.
Penggunaan komputer dan internet di sekolah seharusnya membantu memudahkan siswa untuk mempelajari berbagai hal. Ia menjadi sarana penunjang pembelajaran yang mampu menembus batas ruang dan waktu. Siswa kemudian juga dapat melakukan pembelajaran di mana pun dan kapan pun. Ini berarti terciptanya kesempatan yang sama bagi setiap orang.
Teknologi informasi semestinya mengefektifkan guru dalam memfasilitasi pembelajaran siswanya dan memudahkan guru dalam merancang pembelajaran. Berbagai perangkat teknologi informasi hendaknya termanfaatkan untuk menggairahkan semangat belajar dan melejitkan kreativitas siswa di berbagai bidang peminatan mereka.
Selain itu teknologi informasi harus menjadi perekat persatuan bangsa melalui penyebarluasan nilai-nilai luhur dan budaya bangsa. Menumbuhsuburkan kemampuan analisis obyektif dan membiasakan “tradisi kualitas”. Untuk itu guru dan pendidik dituntut memiliki kemampuan dan keterampilan serta bijaksana dalam memanfaatkan teknologi informasi.
Para pendidik memiliki tugas tambahan membimbing dan mengarahkan kepada anak didik tentang bagaimana bijaksana menggunakan teknologi informasi. Penggunaan internet, situs jejaring sosial, handphone, etika bertelepon, etika ber-sms, dan sebagainya. Para orang tua pun perlu lebih bijaksana dan memberikan pendampingan putra-putrinya dalam menonton acara televisi. Orang tua juga harus selektif memilih jenis tayangan dan membimbing penggunaan perangkat handphone, internet, dan komputer.
Setiap orang sekarang dituntut untuk mampu memfilter dan menggunakan informasi yang diperolehnya untuk pengembangan potensi diri. Pengetahuan dan informasi harus menambah daya saing individu, sehingga pada akhirnya membangun daya saing bangsa. Membangkitkan semangat kerja produktif dan etos kerja.
Kemajuan teknologi informasi yang membuka cakrawala dunia juga berarti masuknya nilai-nilai dan budaya dari luar, yang bahkan ada nilai-nilai dan budaya dari luar itu bertentangan dengan nilai-nilai dan budaya bangsa. Bahkan bertentangan dengan ajaran agama.
Sebagai dampak teknologi, informasi kini merangseng ke ruang-ruang pribadi dan mencuri perhatian dan waktu setiap orang. Sekali lagi, di sinilah pentingnya kemampuan memfilter nilai informasi dan melakukan pilihan terhadap manfaat informasi.
Melalui media televisi, kini kita seakan-akan dipaksa mengikuti selera pasar. Televisi setiap saat menyuguhkan informasi yang bersifat konsumtif dan hiburan yang bisa jadi pemicu sikap destruktif bagi penontonnya. Arus informasi verbal dan contoh-contoh tindakan maupun perilaku dalam acara televisi tidak semuanya sesuai dengan usia penontonnya dan taraf perkembangan jiwanya.
Banyak sinetron menampilkan gaya hidup glamour, hedonis, dan teramat mudah dalam meraih kekayaan material. Reality show menyajikan adegan kekerasan, meskipun itu hanya hiburan. Materialisme lebih menonjol daripada nilai-nilai perjuangan dan semangat bersaing secara sehat. Kenikmatan hidup sesaat dalam tayangan, bertolak belakang dengan realitas keseharian penontonnya. Gaya hidup instan dan serba mudah mencekoki benak dan otak penontonnya. Selain itu juga sajian kekerasan, baik kekerasan fisik maupun kekerasan yang sifatnya verbal, juga memiliki daya pengaruh terhadap penontonnya.
Menonton acara televisi tidak masalah, yang jadi masalah adalah isi tayangan itu yang tidak sesuai dengan masa perkembangan jiwa anak. Apalagi waktu anak di rumah lebih banyak dibanding keberadaan mereka di sekolah. Jangan sampai, perangkat teknologi itu disalahgunakan justru lebih banyak untuk game, atau akses situs dewasa.
Generasi muda harus terhindar dari dampak negatif informasi. Anak-anak usia sekolah adalah masa emas (golden age) untuk menumbuhkan karakter kebangsaan dan nilai-nilai luhur budaya bangsa.
Untuk memerangi dampak negatif penggunaan teknologi informasi, perlu peran dari banyak pihak, guru, pendidik, orang tua, penyedia jasa hiburan, pengembang teknologi, pengelola media massa, figur publik, tokoh masyarakat, tokoh agama. Semua pihak memberikan kontribusi strategis terhadap perang melawan penyalahgunaan penggunaan teknologi informasi melalui keteladanan sikapnya. Keteladanan yang baik harus lebih menjadi referensi bagi anak-anak, dibandingkan terpaan arus informasi konsumtif dan destruktif. (26 September 2011)