Sabtu, 03 Agustus 2013

SAHABAT SAYA, ZABIDI YAKUB, BERKISAH

 


 
Oleh Zabidi Yakub *)

Membaca tulisan Jaja Suharja SIP (LE, Senin, 17/9), yang mengecap LAMPUNG EKSPRES plus sebagai koran kelas tiga, menggelitik hati saya untuk ikutan menorehkan guratan-guratan “peta” yang menilaskan jejak berdarah sejarah LE hingga tetap ada dan eksis hingga hari ini. Tapi, bilik hati yang lain seperti menghalangi. “Nggak usah ikutan, nanti kamu riya’ dan berlebihan,” begitu bisiknya.

Ketika muncul tulisan Khamamik (LE, Rabu, 19/9), kembali hati saya tergelitik, tetapi masih saya tahan. Dan, muncul tulisan Hi Ismetri Radjab (LE, Jumat, 21/9) yang memancing agar Buya HMI sebagai tangan pertama berkisah langsung tentang asal muasal hingga tetap adanya LE hingga hari ini. Ini membuat adrenalin saya untuk menulis benar-benar terpacu, sebab tak afdol rasanya bila hanya membaca cerita dari tangan pertama. Perlu pula menyimak kisah dari ‘tangan kedua, ketiga, keempat,’ dan seterusnya atau ‘kaki tangan’ Buya yang dulu dalam keadaan lapar tetap “nyanggong” di kantor TAMTAMA Jl Pattimura nomor 7 Telukbetung.

Akhirnya saya benar-benar mulai mengetik cerita ini, setelah ada permintaan langsung dari Adolf Ayatullah Indrajaya, SH (Pimred LE) pada Jumat malam (21/9).  Saya iyakan meski agak ragu karena takut riya’ dan berlebihan tadi, dan bingung dari mana tulisan harus saya mulai sebab alangkah panjang dan berlikunya jalan yang telah kami tapaki, alangkah banyak nama yang menghiasi kisah ‘jejak berdarah’ sejarah LE.

Sampai hari ini, tinggal saya dan Naim Emel Prahana orang paling lama yang ‘menggelorakan’ TAMTAMA dari jalan Pattimura tahun 1994, yang namanya masih tertera di masted, yang lainnya telah lama ‘pergi’ di antara yang saya ingat dan bisa saya tulis adalah H. Mattjik Yatim, Heriansyah Ak, Ahmad Novriwan, A. Azis Amrullah, Syahrir Hakim (kini di Pare Pos, Sulawesi Selatan), Andrian Sangaji Takelairatu, Joni Walker, Ahmad RS, Abdullah, Anwar, Nurjanah, M. Yusuf Puspitajaya (almarhum), Syahruddin Saropi (almarhum), dan Iwan (entah siapa lengkapnya warga Kampung Sawah ini).

Tahun ’94 itu Buya HMI mulai merintis jalinan kerja sama dengan Jawa Pos setelah bersedia menerima pinangan mereka. Terjalinnya kerja sama ini ditandai dikirimnya Ahmad Novriwan ke Surabaya untuk menyambungkan tali silaturahmi, sebagai tanda bahwa telah ‘terikat janji’ Novriwan membawa buah tangan berupa satu unit Macintosh yang ukuran monitornya sebesar notebook jaman saiki hibah dari Jawa Pos.

Sungguh lama Mac itu teronggok karena kami tak bisa bagaimana mengoperasikannya. Maklum barang ‘buangan’ Jawa Pos itu bagi kami adalah barang ‘baru’ setidak-tidaknya baru kami lihat dan pegang. Oleh Bang Andrian diotak-atiklah sehingga bisa mengoperasikan Adobe Pagemaker dan mulailah debut Mingguan TAMTAMA di-layout dengan piranti canggih itu, dan perwajahannya pun didesain ulang. Melihat tabloid tamTAMA, ya… beginilah bentuk tulisan kop baru hasil desain ulang itu, bukan main senang hati kami.

Dan seperti anak kecil yang baru dibelikan mainan, kami berebut untuk mengoperasikan Mac itu. Seandainya Steve Jobb melihat kelakuan kami berebut hasil karyanya itu, mungkin dia akan tertawa terbahak-bahak karena betapa jadulnya barang itu, sementara dia sudah berhasil membuat yang lebih keren.

Tampilan tamTAMA benar-benar memikat. Sebelumnya, dibantu Iwan berita koran ditik di mesin tik manual selebar kolom koran lalu digunting dan disambung-sambungkan sehingga menyerupai kolom-kolom koran. Sedangkan judulnya dibuat dengan Rugos.

Di era itu betapa sulitnya mempertahankan surat kabar agar tetap hidup, sebab pengaruh kekuasaan rezim Orde Baru dengan Departemen Penerangan-nya yang begitu mudah membreidel sebuah koran yang beritanya mengusik ‘ketenangan’ pemerintah.

Rintisan kerja sama itu tak mudah mewujudkannya. Ibarat pinangan calon pengantin dalam dunia nyata, mempelai pria harus menyiapkan seserahan. Begitulah yang terjadi pada tamTAMA, harus menyiapkan bundel yang berisi surat-surat rekomendasi dari berbagai pihak, seperti Walikota Bandar Lampung, Danrem 043/Garuda Hitam, Gubernur Lampung, SPS Provinsi Lampung, Departemen Penerangan Provinsi Lampung, dan entah apa lagi (agak lupa), untuk diajukan ke serikat penerbit suratkabar (SPS) pusat terkait registrasi keanggotaan, dan Departemen Penerangan Pusat terkait surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) bagi koran yang akan terbit harian.

Semua surat rekomendasi itu oleh Buya HMI diamanahkan kepada saya untuk mengetiknya. Tidak sekali jadi, berkali-kali direvisi hingga menghabiskan berlembar-lembar kertas untuk ngeprint agar kelihatan hasilnya yang memenuhi kaidah sempurna dan bisa di-acc oleh parapihak yang dimintai restu membubuhkan tanda tangannya.

Semua saya lakukan dengan komputer yang masih menggantungkan operasinya dengan sistem DOS (Direct Operating System) dan Word-Start (WS) level 4. Harus ada disket DOS dan disket untuk menyimpan file. Orang yang melihat LE hari ini tidak akan pernah tahu kalau hal ini tetap saya endapkan dalam kepala saya untuk menjadi prasasti bagi jejak sejarah keberadaan Harian TAMTAMA dan kemudian jadi Harian LAMPUNG EKSPRES plus, namun bila saya ungkap jadi cerita mudah-mudahan tidak dikatakan riya’ dan berlebihan seperti yang saya khawatirkan.

Setelah merampungkan tugas mempersiapkan bundel surat rekomendasi tersebut, saya sempat meninggalkan TAMTAMA, sampai akhirnya di luar dugaan saya kerja sama tersebut benar terwujud. Saya kembali dipanggil oleh Buya untuk ikut ‘menikmati’ hasil jerih payah masa lalu. Bergabung lagilah saya tahun 1998. Bertemu lagi dengan orang-orang TAMTAMA lama jaman ‘lapar’ di Pattimura. Mereka baru saja pulang dari Surabaya setelah magang ngangsu kawruh (menimba ilmu) di kantor Jawa Pos.

Diam-diam  oleh Buya saya diplot untuk ditempatkan di bagian keuangan entah apa alasan beliau, tapi saya lebih pilih di bagian pracetak, karena passion saya di situ. Sewaktu SMA di Jogja saya rajin memburu koran-koran yang terbit untuk mengumpulkan artikel dan opini lalu saya kliping. Hobi ini lambat laun mengasah kecintaan saya pada dunia tulis menulis dan penerbitan pers. Begitu mencecap bangku kuliah saya menceburkan diri untuk mengelola bulletin kampus. Kegilaan saya pada ranah tulisan membuat saya tak sungkan menurunkan tulisan yang mengkritik kebijakan petinggi kampus, yang berbuntut dipanggil oleh dosen. Katakanlah Bulletin kampus diibaratkan akademi, maka “program sarjana” saya tempuh di LE.

Dengan digandeng Jawa Pos yang digawangi Priyo Susilo sebagai General Manager, di samping orang-orang lama muncul muka-muka baru baik yang sudah pernah malang melintang di penerbitan pers maupun yang baru mau mulai belajar jadi wartawan. Mereka (yang baru) di jajajaran redaksi adalah H. Ismetri Radjab dan Supriyadi Alfian (Redaktur Pelaksana), Fajrun Najah Ahmad (Biro Jakarta) keduanya alumnus Lampung Post, M. Syafe’i Mat Arif (belakangan memilih mundur dan menerbitkan Mingguan HANDAL sejak 15 Desember 1998), Yulizar Kundo, Herri Ch. Burmelli, Ferry Indrawan, Zahdi Basran, Jamhari Ismanto, Yanto Sastro Utomo, Abdul Malik, M. Widodo, Suparman Maryumi, Aan S. Labuan, Syamsul Arifin, Dwi Rohmadi Mustofa, M. Naviandri, Sutarman Sutar.

Alhasil nama-nama yang menghiasi masted TAMTAMA dan LE datang dan pergi silih berganti. Kalau mau menyebut juga mereka yang di jajaran reporter, ada M. Yusuf, Syahidan MH, Suprapto, Santi Hastarini, Suryani, Azwir Amir Siaru (almarhum), AK Yohanson (pernah gabung ke Handal, kini ‘pulang’ kembali ke Harian Ekspres grup LE), Marlan Azis (pernah menduduki jabatan Pimred di Khatulistiwa Post, kini kembali ke Harian Ekspres), Tohiri Alam (kini di Radar Tanggamus), Trufie Murdiani (kini di Radar Lampung), Desi Wahyuni (kini di Rakyat Lampung), Sri Hartuti (kini di Lampung Tv), Yohanda (pernah ke Bandarlampung News, kini di Harian Ekspres), Nurjanah (kini  di Bandarlampung News), Meily Haryani (kini jadi PNS di Bengkulu), dan Kusmawati (kini di Pos Kota).

Karena merasa ayem setelah TAMTAMA ‘dinikahkan’ dengan JPNN, Buya HMI merintis koran Banten Ekspres dengan mengutus Herri Ch. Burmelli dan Ferry Indrawan, tapi sayang karena tak terurus akhirnya diambil alih oleh Jawa Pos menjadi Harian Banten. Buya juga membina Bumi Post yang dikelola A. Bastian Rajamuda di Kotabumi, tapi lagi-lagi karena dililit persoalan akhirnya dibekukan.

Krisis ekonomi yang memicu kerusuhan massal hingga melahirkan tragedi Mei dan Semanggi di Jakarta, dan tragedi UBL di Bandarlampung, tidak membawa pengaruh bagi pasangan ‘pengantin baru’ Harian TAMTAMA-JPNN. Malahan membawa berkah, sebagai satu-satunya koran terbit berwarna di lampung, TAMTAMA diuntungkan suplai berita dari JPNN (Jawa Pos News Network) berikut foto-foto yang mendukung. Jadilah berita-berita TAMTAMA saat itu disenangi banyak orang didukung harga jual yang hanya seribu perak.

Saya sempat mengalami ngasong koran TAMTAMA di terminal Rajabasa. Dengan harga 1000, wajah bergincu (foto berwarna), dan berita tentang rezim Orde Baru dan kroni-kroninya, tak membuat saya kesulitan menghabiskan 25 eksemplar koran hanya dengan dua atau tiga kali muter di terminal. Hal ini seringkali membuat Heru Chandra (staf pracetak yang disuplai Jawa Pos) ngedumel sambil bilang juancuk manakala melihat koran di tangan saya habis terjual, sementara di tangannya masih ada beberapa eksemplar.

Tak ada perilaku egoistis di antara kami, manakala satu sudah habis terjual dengan riang membantu yang lainnya ngejual koran sampai habis, lalu bareng-bareng santapan nasi uduk sembari guyonan atau langsung pulang ke mess karyawan di pirel (pinggir rel) jalan Sultan Agung gang Murai naik Damri sambil menjajakan koran sisa (kalau ada) kepada penumpang lain.

Keadaan ini sempat membuat loper koran Lampung Post di terminal marah besar, dan dari bagian marketing Lampost turun langsung ke terminal memantau kejadian staf TAMTA
MA yang menyerbu jadi loper dadakan itu. Kami harus bermain cantik, keliling dengan dua orang berdekatan, jangan seorang diri demi menghindari insiden main pukul oleh loper yang telah lama ‘menguasai’ terminal.

Sungguh membawa berkah, 25 eksemplar koran bisa menghasilkan 10.000 sehari, kalau sebulan bisa melebihi gaji kami sebagai pracetak. Sampai-sampai Heru nyeletuk wah nek ngene enak dodol koran ae, leren ae ngelayout (wah kalau begini enak jualan koran saja, berhenti saja jadi pracetak). Uang hasil ngasong koran itu lumayan untuk beli susu dan oleh-oleh buat anak saya yang kala itu ikut ibunya tugas mengajar di Pesisir Utara, Lampung barat. Berkah lainnya, saya ikut-ikutan memublikasikan puisi-puisi yang saya buat sewaktu di Jogja dan bertahun-tahun hanya saya simpan di hard-disc komputer.

Lampung sebagai negeri penyair seyogianya perlu wadah agar para penyair muda bisa tumbuh dan berkembang. TAMTAMA mengapresiasi dengan menyediakan rubrik “Seni Budaya” yang digawangi Aan S. Labuan (kini di Lampung Tv). Ada beberapa kali TAMTAMA edisi Minggu memuat puisi saya.

Seiring ‘perceraian’ yang terjadi antara TAMTAMA dan JPNN, kami memboyong TAMTAMA pindah kantor ke jalan Diponegoro 108 Telukbetung, masih diantar oleh GM TAMTAMA, Priyo Susilo dan beberapa redaktur sebelum akhirnya mereka memutuskan ‘ikut bercerai’ dan hijrah. Priyo Susilo, Yanto Sastro Utomo dan Suparman Maryumi (ke Radar Cirebon), M. Widodo dan A. Malik (ke Radar Banten).

Hijrah ke Diponegoro, masih ada sisa-sisa kebersmaan yang bisa kami nikmati, Fajrun Najah Ahmad sebagai Redaktur Pelaksana memperhatikan betul ‘daya tahan’ kinerja kami, sehingga mensuplai nasi uduk saban malam. Tapi, akhir tahun 2000 Fajrun ikut hijrah ke koran Sinar Glodok, Jakarta. Masa-masa sulit kembali membuat kami sering mengalami ‘badan panas dingin dan menggigil tiba-tiba’ lantaran telat gajian sebagai imbas dari setoran uang langganan koran dan iklan dari biro-biro di daerah tak kunjung diantar ke kantor, persis seperti apa yang diungkap H. Ismetri Rajab dalam tulisannya.

Memasuki tahun 2001, satu persatu staf pracetak ‘pergi’ meninggalkan ruang kerjanya, seperti Syahril RR alias Pak Do (kembali ke Jambi), Elwin Fadil (kini di Harian Banten), Feri Setiawan (ke Radar Tegal), Nico Nopiansyah (sempat ke Radar Cirebon, kini di Rakyat Lampung), termasuk saya akhirnya ‘menyerah’ dan membidani Tabloid Wahana Pelajar yang dikelola oleh Dinas Pendidikan dan Perpustakaan Kota Bandar Lampung.

Terbit tertatih-tatih dari jalan Diponegoro sambil menyiapkan kantor permanen di jalan Urip Sumoharjo, LE membekukan rubrik yang mewadahi hasil kreatif penyair muda lampung seiring tidak ada yang ‘bersedia’ mengasuhnya. Penyair Naim Emel Prahana yang memiliki kapasitas dalam urusan ini lebih pilih jadi reporter daerah yang ngepos di Metro, seiring dengan aktivitas beliau di banyak organisasi massa seperti BNN, KONI, dan sempat juga di Partai Golkar.

Padahal, di era 1998 saat berkantor di jalan Sultan Agung, kami berdua sering sekali menginap di kantor dan baru pulang pagi harinya, sebelum berangkat tidur kami berdua memberesi sisa-sisa kerja yang acak-adut, menyapu dan mengepel lantai serta mengumpulkan sampah. Ini kisah nyata, tak diungkap jadi ‘kerak’ di kepala, diungkap takut dikatakan riya’ dan lebay. Ini sebelum saya ‘menyerah’ pada rayuan Edi Suwignyo Hasyim (staf pracetak teman Heru dari Jawa Pos) yang memaksa saya ikut tidur di mess yang memang telah disediakan.

Tahun 2004, ketika kantor di jalan Urip Sumoharjo siap ditempati berikut mesin cetaknya, kembali Buya memanggil saya lewat putranya H. Doni Hardana Indrajaya yang menelepon langsung meminta bantuan menghidupkan kembali LE yang sudah lama tidak terbit. Sejak itu staf pracetak silih berganti datang dan pergi. M. Yusuf Ramadhan (setia sejak di jalan Diponegoro, kini di Tribun Lampung), Yan Zikri (pracetak di jalan Diponegoro yang sempat juga gabung ke Bandarlampung News) kembali lagi memperkuat jajaran pracetak di jalan Urip sampai akhirnya hijrah ke Radar Tanggamus dan kini berkarir di ASDP Bakauheni.

Saya bertahan di ‘sandaran nasib’ demi kecintaan saya di ranah tulis menulis. Kembali puisi-puisi saya secara berkala menghiasi halaman LE mengisi rubrik “Karya Budaya” setiap hari Sabtu.  Kadang beberapa judul, sesekali satu halaman utuh saya borong. “Onani”. Ya, begitu sindiran yang kerap dilontarkan kepada orang yang menerbitkan puisi di koran sendiri. Saya memahami sepenuhnya. Yang saya lakukan dilandasi keprihatinan, kok kunjung tidak ada penyair di lampung ini mengirimkan puisi, cerpen atau esai budaya ke LE. Sebuah ironi yang melengkapi perjalanan “korannya masyarakat lampung” ini.

Nah, bisa jadi berawal dari sering munculnya puisi saya ini membuat penyair Dahta Gautama (CEO Dinamika News) ‘berani’ memasukkan nama saya dalam jajaran penyair lampung dalam tulisannya berjudul “Melacak Penyair Lampung” pada rubrik PUSTAKA, Lampung Post, Minggu, 15 Januari 2006. Yang saya publikasikan sebenarnya adalah stok lama puisi sewaktu di Jogja, yang tahun ’80-an sering dibacakan di Radio Retjo Buntung dan Radio Angkatan Muda.

Rubrik “Karya Budaya” meski nyempil di halaman 11 memanfaatkan kolom sisa sambungan halaman 1, sempat mencatatkan nama Agusta Hidayatullah yang sohor dengan panggilan Aji Aditya Jr kala jadi announcer di Andalas FM sebagai punggawanya, melahirkan resensi film dan musik. Group band legendaris Koes Plus salah satu yang dia bedah menjadikan LE bernilai lebih.

Sayang, kiprahnya menjaga desk yang sering tergusur kalau penuh sambungan atau banyak iklan itu tak sampai setahun. Nama Y. Wibowo juga sempat menghias masted sebagai Redaktur Opini dan Budaya (Sastra). Salah seorang penyair lampung ini sering terlihat di larut malam masih terpaku di depan laptopnya mencari bahan suguhan untuk mengisi halaman yang diasuhnya tersebut. Tapi, lagi-lagi tak bertahan lama.   

Di awal tahun 2006, dengan digawangi H. Fajrun Najah Ahmad sebagai Redaktur Eksekutif, dan dibantu beberapa nama yang memperkuat redaksi seperti Bung Dolop, Yon Bayu Wahyono, Herman Afrigal, Budimansyah, Rifki Marfuzi, Rizki Fahrijan Syah, Sudipto Sanan, Nurkholis Sajadi (pindah ke Harian Lampung), Edi Purwanto alias Don Pecci (kini di Tegar Tv), Jamhari Ismanto (kini mendirikan Fajar Sumatera), Susi Daryani (kini jadi PNS di Kotabumi). LE menggebrak dengan berita yang selalu ‘panas’ dan jadi momok yang begitu menakutkan para pejabat.

Suatu ketika berita LE membuat tokoh gerot di lampung ‘panas kuping’ atau ‘kebakaran jenggot’ sehingga ‘menyalak’ dan mengeluarkan  ancaman. Sama sekali tidak membuat Fajar –sapaan akrab Fajrun– keder, malah di terbitan LE edisi esoknya, muncul judul berita “Si Pulan Teriakkan Ancaman,” tak pelak membuat “Si Pulan” hanya memilih bungkam, hendak mensomasi mikir seribu kali sebab sepertinya dia yang justru keder dengan nama besar Buya HMI.

Akan tetapi, ada anggota dewan di Lampura tampil heroik menerbitkan Maklumat di dua surat kabar yang terbit di lampung, karena keberatan dengan berita yang dilansir LE. Isi Maklumat itu menyatakan keberatan dan tidak memperkenankan Fajar melakukan konfirmasi dan kegiatan jurnalistik. Tindakan anggota dewan ini menerbitkan Maklumat tersebut, mendorong Fajar melaporkannya ke Polda Lampung dengan tuduhan pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan, dan menghalang-halangi tugas jurnalistik sebagaimana diatur UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pokok Pers.

Di sinilah letak ruh judul tulisan ini. LE terjepit di antara piil. Piil Buya HMI sebagai satu-satunya orang lampung yang punya koran, dengan cara apa pun akan mempertahankan keberadaan LE sampai kapan pun. Dan piil orang lampung kebanyakan yang mudah tersinggung. Pejabat di lampung ini bila ada berita di koran yang mengritik kebijakannya, akan marah bahkan memerintahkan agar seluruh satuan kerja di bawahnya berhenti berlangganan koran yang mengritik kebijakannya tersebut.

Bagi LE, perangai pejabat macam begini jelas sangat merugikan. Telah jadi rahasia umum, yang namanya pers dipercaya sebagai salah satu dari empat pilar demokrasi. Kalau koran mengkritisi kebijakan pejabat yang dinilai tidak pro rakyat misalnya, tentu suatu tindakan yang bisa dibenarkan karena memang tugas pers sebagai kontrol sosial, maka berkewajiban mengawal kebijakan pemerintah dalam rangka menegakkan demokrasi dan memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.

Jadi, sangat tidak demokratis bila pejabat yang tersinggung memutuskan secara sepihak kontrak langganan koran dan pemasangan iklan hanya karena piilnya terusik. Dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pokok Pers, telah ada pasal-pasal yang mengatur perihal klarifikasi (hak koreksi), hak jawab, dan hak tolak yang bisa dilakukan pejabat dalam hal membantah atau meluruskan berita yang telah terbit di koran. (Baca: Pasal 4 ayat (1) samapai (4) UU Pokok Pers No 40 Tahun 1999).   

Melakukan klarifikasi (hak koreksi), hak jawab, dan hak tolak inilah yang seyogianya ditempuh pejabat, bukan singut lalu memutus langganan dan pemasangan iklan, melarang wartawan hunting berita di lingkup perkantoran di mana pejabat bersangkutan berdinas, serta tak memperkenankan wartawan meliput segala kegiatannya di luar kantor. Kalau hal ini yang dilakukan, berarti pejabat ini berniat mengebiri kebebasan pers. Padahal kebebasan pers mendapat jaminan yang kokoh di tingkat konstitusi. (Baca: Pasal 28 F amandemen kedua UUD 1945).

Di tahun 2010, di bawah komando Dolop dibantu Yon Bayu Wahyono, LE menghelat acara “Selingkuh Kata” saat diadakan di kantor LE penyair lampung yang diundang adalah Edy Samudra Kertagama, Isbedy Stiawan ZS, Naim Emel Prahana, Andrian Sangaji, Y. Wibowo, Budi P. Hatees. Dan saat diadakan di rumah dinas Walikota Bandarlampung Eddy Sutrisno (saat itu) bersamaan dengan acara buka puasa bersama, penyair yang diundang adalah Udo Z. Karzi membacakan puisi-puisi basa lampung yang ada di bukunya Mak Dawah Mak Dibingi.

Sampai hari ini LE masih menyediakan rubrik Budaya dan Gaya Hidup. Ini dipertahankan demi mewadahi publikasi hasil kerja kreatif para seniman, seiring dengan adanya Kementerian Pariwisata dan Industri Kreatif. Meskipun barangkali tak ada penyair-penyair muda di lampung tergerak mengirimkan hasil karyanya ke LE.

Toh, rubrik ini tak akan ‘kering’ sebab banyak bahan untuk mengisinya yang bisa diunduh dari berbagai sumber berita berkat fasilitas internet. Inilah berkah yang bisa dinikmati dari kecanggihan teknologi. Dan kita sebagai anak bangsa berkewajiban untuk memublikasikan ragam kebudayaan agar jangan ada klaim dari negara lain.

Ada banyak berkah tercurah dari TAMTAMA dan LE. Eddy Sutrisno (mantan Walikota Bandarlampung periode 2005-2010) dulunya adalah wartawan Mingguan TAMTAMA. Khamamik (mantan anggota DPRD provinsi lampung yang kini jadi Bupati Mesuji periode 2012-22017) juga pernah jadi kepala biro di Tulangbawang, Syahidan MH (mantan anggota DPRD Lampung Selatan periode 1999-2004 dan 2004-2009) juga pernah jadi wartawan Harian TAMTAMA.

Kalau dikatakan LE ibarat perguruan jurnalistik mungkin tidak berlebihan, yang sukses berkarir di birokrat faktanya ada, yang masih menekuni dunia kewartawanan juga ada. Tidak bisa dipungkiri sebelum sukses dan namanya besar di media lain, LE lah asal-muasal mereka memperoleh ilmu tentang 5W+1H, cara berinteraksi dengan narasumber, dan cara menyajikan hasil liputan. Bahkan seluk beluk managerial pun mereka dapat dari sana. Mungkin keteduhan yang Buya HMI punya itulah sehingga membuat wartawan dan karyawan LE terpacu dan termotivasi untuk sukses meskipun mereka sudah meninggalkan LE. Karena selama di LE mereka merasa terayomi sebagai “anak-anak” Buya juga. 

Tahun lalu (2011), saat puncak peringatan HPN (hari pers nasional) yang dipusatkan di Kupang, Nusa Tenggara Timur, tepatnya tanggal 9 Februari, Buya HMI dianugerahi Kartu Pers Nomor Satu (Press Card Number One) oleh PWI Pusat yang tertuang dalam surat keputusan Nomor 1131/PWI-P/LXIV/2010 yang ditandatangani ketua PWI Pusat Margiono dan Panitia HPN 2011 Priambodo RH tertanggal 15 Desember 2010.

Kartu ini diberikan karena penilaian pada senioritas dan prestasi beliau yang patut menjadi teladan serta menjadi aspirasi bagi wartawan lainnya. Ini meniscayakan betapa suatu profesi bila ditekuni secara istikomah, akan menghasilkan buah yang layak dipetik di kemudian hari.

Saat memperingati HUT LE ke-43, hadir kembali ke tengah-tengah kami Udo Nuril Hakim Yohansyah (salah satu pemegang saham TAMTAMA kala itu),  H. Mattjik Yatim, Hamdani AR., dan A. Kafrawi Passa yang pernah mengelola koran Suara Lampung bersama Kolam Pandia (almarhum). Di rubrik Numpang Liyu (5 Oktober), di bawah judul “Keluarga LE” Buya HMI menorehkan nama saya dan beberapa rekan, ini tentu hal yang membanggakan.

Ini madu manis yang bisa saya nikmati sebagai bagian dari berkah yang diberikan LE. Berkah lain, mungkin dinikmati oleh mereka yang ketemu jodoh di LE. Ya, ada beberapa nama karyawan LE menemukan tambatan hati mereka di LE. Mereka bertemu, setelah ada yang ‘nembak’ menjalin cinta dan merasa cocok lalu diselesaikan di hadapan penghulu. Kini buah hati mereka pun sudah sering menyertai mereka dalam berbagai kegiatan family gatering yang diadakan LE. Dirgahayu LE ke-44, teriring doa semoga tetap eksis selamanya.  (*)

*) Zabidi adalah Kabag Pracetak LE

Senin, 01 Juli 2013

HUBUNGAN MANUSIA DENGAN LINGKUNGAN


Suka atau tidak, kita sangat bergantung kepada alam. Dalam konsep ilmu, alam sering disepadankan dengan lingkungan. Harus diakui bahwa hubungan manusia dengan lingkungannya merupakan keniscayaan yang menjamin keberlangsungan hidup umat manusia. Hubungan manusia dengan alam harus dijaga keseimbangannya. Lingkungan adalah semua faktor, fisik dan biologis yang secara langsung berpengaruh terhadap ketahanan hidup, pertumbuhan, perkembangan dan reproduksi organisme.
Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Lingkungan fisik meliputi benda dan daya, lingkungan biologi meliputi manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan, lingkungan sosial meliputi manusia dan prilakunya dan lingkungan institusional meliputi lembaga-lembaga yang dibentuk masyarakat. Manusia hanya salah satu unsur dalam lingkungan hidup, tetapi perilakunya akan mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Makhluk hidup yang lain termasuk binatang tidaklah merusak, mencemari, atau menguras lingkungan.
Manusia hanya dapat hidup dan melanjutkan kehidupannya karena adanya tumbuhan, makhluk hidup yang lain, dan jasad perombak. Sebaliknya alam dengan tumbuhan, makhluk hidup lain, dan jasad perombak dapat hidup terus tanpa adanya manusia, bahkan mungkin akan lebih kekal, karena dapat diduga manusia yang melakukan perusakan lingkungan.
Dari paparan tersebut, manusia seharusnya berusaha dengan segala daya dan dana agar lingkungan yang sehat dan serasi tetap terpelihara bahkan meningkat menjadi lebih baik dan lebih indah. Kerusakan sudah terjadi, hendaknya segera diperbaiki sebelum keadaan bertambah parah. Salah satu upayanya adalah pemaksaan dan imbauan kepada masyarakat agar menjaga, memlihara lingkungan yang baik dan sehat, serta lestari. Untuk itu diperlukan penciptaan perangkat peraturan hukum yang baik dan lengkap, disertai penerapan dan penegakkan yang baik dengan aparat penegak yang cakap, jujur, dan mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan diri atau golongannya. Mengutamakan kenikmatan di masa depan daripada kenikmatan sesaat di masa kini.

CATATAN-CATATAN LEPAS

I.
Dahulu dikenal konsep ketenagakerjaan, kemudian personalia, dan belakangan ini dikenal dengan Manajemen Sumber Daya Manusia. Konsep-konsep tersebut jika ditelisik mendalam merujuk pada esensi pendidikan.
Perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini mengenal istilah "human capital", entah apa padanan kata tersebut dalam bahasa Indonesia. Apapun istilahnya, sebenarnya itu menjelaskan pentingnya "memanusiakan manusia". Manajemen dan pengembangan sumber daya manusia bukan semata-mata menyediakan tenaga kerja terampil dan ahli untuk memenuhi tuntutan-tuntutan pembangunan, tetapi lebih dari itu sebenarnya untuk meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaan.


II.
Kampus adalah tempat mengkancah kebudayaan dan peradaban yang lebih baik. Kampus bukan semata-mata tempat belajar anak-anak muda dan setelah lulus mencari kerja atau menciptakan lapangan kerja sendiri. Hakikatnya, kampus merupakan pusat pengembangan pengetahuan. Implementasi dari visi tersebut melalui kegiatan penelitian, pendidikan, dan pengabdian kepada masyarakat.

III.

Coba dilakukan survei kecil-kecilan terkait kendaraan yang dipasangi stiker militer, polisi, marinir, klub menembak, grup pemburu, pasukan khusus, lembaga hukum, dan sebagainya. Berapa persen yang benar-benar dimiliki oleh orang yang benar berafiliasi dengan kelompok yg tertera di stiker tersebut?
(galau dengan gaya pengendara yang zig-zag, ngebut, buang sampah sembarangan, dan tak menghargai penguna jalan yang lain)


IV.
Dan bahkan sejak lahir, manusia mempunyai rasa malu. Itulah fitrah manusia. Rasa malu itulah yang menjaga moral dan perbuatannya. Psikologi mengajarkan, rasa malu dapat menjadi salah satu alat untuk mengukur kadar gila seseorang. Orang gila yang sudah tidak malu lagi, misalnya tidak mau berpakaian, maka itu masuk kategori sangat parah, dan proses pemulihannya membutuhkan waktu yang lama dan proses terapi yang kompleks. Sebaliknya, jika masih mau berpakaian, menutup aurat, relatif mudah dipulihkan/diobati.

V.
Fitrah manusia itu dapat membedakan mana yang buruk dan mana yang baik, apa yang pantas (dilakukan) dan apa yang tidak pantas (dilakukan). Kata ustadz: Perhiasan (mutiara) manusia itu antara lain akal, agama, rasa malu, dan amal sholeh.

Rabu, 03 April 2013

Tantangan Implementasi Kurikulum 2013

Kurikulum baru akan diimplementasikan, mulai tahun pelajaran 2013.2014. Penerapannya pun secara bertahap untuk kelas-kelas awal. Dan khusus di tingkat SD, termasuk kelas IV. Ini untuk menyesuaikan dengan kondisi pembelajaran siswa.
Tapi, suara penolakan masih terus terdengar. Salah satunya datang dari Koalisi Tolak Kurikulum 2013. Koalisi yang dimotori Indonesian Corruption Watch mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi, (KPK) dan meminta lembaga itu turut mengawasi anggaran implementasi kurikulum baru. Koalisi juga mendatangi DPR dan meminta wakil rakyat memeriksa ulang rencana anggaran. Tujuannya, agar tidak ada penyelewengan anggaran, mengingat besarnya biaya untuk implementasi kurikulum (kompas.com. 26/03).  Jadi ini masalah efisiensi dan transparansi anggaran.Sedangkan pemerintah dan DPR belum sepakat bulat terhadap kurikulum 2013, meskipun sesungguhnya itu hanya bersifat artifisial dan prosedural.
Argumen lain dari pihak-pihak yang menolak implementasi kurikulum 2013 adalah karena tidak ada kajian mendalam, tidak ada evaluasi secara komprehensif atas kurikulum sebelumnya, uji publik dalam waktu yang singkat dan disinyalir hanya formalitas
Perdebatan yang bersifat dialektis dan filosofis, akan tetap ada, karena dalam penyusunan kurikulum tersedia banyak konsep dan teori. Terlebih, suatu kurikulum menyangkut berbagai aspek, termasuk sosial, ekonomi, budaya, teknologi.
Penolakan dan dukungan terhadap kurikulum 2013 lebih merujuk pada sudut pandang sektoral. Mereka yang berkecenderungan pada sikap politik tertentu akan menyoroti kurikulum sebagai komoditas politik. Sebagian lainnya menolak dengan alasan kurikulum 2013 tidak dipersiapkan secara matang.
Implementasi
Suka atau tidak, kurikulum 2013 akan menjadi pedoman pendidikan di tanah air. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah melakukan berbagai sosialisasi. Berbagai persiapan, seperti penyiapan pelatihan guru, buku pegangan guru, buku paket untuk siswa , dan sebagainya.
Disadari bahwa guru merupakan kunci utama keberhasilan proses pembelajaran di sekolah. Oleh karena itu, harapan keberhasilan pendidikan sering dibebankan pada guru. Salah satu hal mendasar yang penting disikapi oleh guru adalah kesiapan mental terhadap perubahan. Guru tidak boleh terjebak dalam rutinitas dan formalitas. Masih banyak guru yang enggan mengupdate informasi atau meningkatkan pengetahuan dan keterampilan terkait profesi.  Di lapangan masih banyak guru yang belum selesai dengan urusannya sendiri. Masih sibuk untuk hal-hal yang di luar konteks menciptakan pembelajaran yang efektif.   
Globalisasi telah menembus batas-batas ruang dan waktu. Dinamika yang demikian cepat di bidang teknologi dan informasi, menuntut tindakan antisipasi dan adaptasi yang cepat. Perkembangan sosial budaya, pengetahuan, teknologi,  telah membawa kehidupan siswa pada suatu tahapan kehidupan yang lebih cepat dari usianya.
Substansi  suatu kurikulum adalah program pendidikan yang bertujuan membentuk siswa berkarakter, bertanggung jawab, pantang menyerah, dan tertanam jiwa nasionalisme.
Penerapan kurikulum 2013 menjadi tantangan sekaligus peluang bagi guru untuk mewujudkan cita-cita pendidikan. Tenaga pendidikan dan kependidikan ditantang untuk menjembatani kondisi ideal dan kondisi nyata dunia pendidikan.
Evaluasi
Model dan pendekatan pembelajaran yang menekankan pada aktivitas siswa sebenarnya sudah dikenalkan sejak akhir 1980-an. Dulu dikenal istilah Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Dan sampai kini, model dan pendekatan CBSA sebenarnya juga masih menjadi perhatian utama. Tapi sampai di mana praktik itu mencapai tujuan hakikinya?. Siswa aktif itu seperti apa? Bagaimana mau aktif, kalau gurunya saja masih seperti dulu, seperti dulu dia diajar oleh gurunya.
Sekarang yang diperlukan adalah optimalisasi peran guru. Selain itu juga partisipasi dan keterlibatan semua komponen masyarakat. Dunia pendidikan harus fokus mengerahkan sumber daya kependidikan untuk implementasi kurikulum. Segala sumber daya harus dikelola sesuai kaidah-kaidah pedagogik dan ilmiah.
Guru harus mengikuti perubahan dengan mengubah pola pikir terbuka terhadap perubahan. Guru wajib mengikuti atau disertakan dalam program pelatihan dan pengembangan profesi yang bersifat periodik. Guru dan tenaga kependidikan hendaknya dapat mengikuti pelatihan-pelatihan, seminar-seminar, maupun  kunjungan studi. Guru secara pribadi, dan sekolah secara kelembagaan, harus mencari solusi  dan langkah-langkah strategis agar guru dapat mengikuti berbagai program peningatan pengetahuan dan keterampilan guna menunjang pembelajaran. Guru secara pribadi juga harus termotivasi dan tak segan mengeluarkan biaya untuk pengembangan potensi didi. Studi banding penting untuk memperoleh patokan atas apa  yang telah dilakukan dan apa-apa saja yang dilakukan oleh sekolah lain. Guru juga perlu menambah durasi membaca buku atau hasil-hasil penelitian tentang pembelajaran dan pendidikan. Sekolah hendaknya dapat memiliki majalah pendidikan dan media komunikasi bagi guru yang idealnya menjadi sarana penyebarluasan informasi dan berbagi pengalaman. 
Reorientasi forum guru seperti MGMP diari orientasi proyek ke orientasi proses dan kinerja. Di beberapa daerah, MGMP lebih bersifat formalistis dan berorientasi proyek. Secara konseptual forum sejawat semacam MGMP merupakan media yang efektif untuk penyebarluasan informasi dan pengetahuan tentang profesi. Dukungan pemerintah terhadap MGMP seharusnya berorientasi pada proses dan kinerja kegiatan.  Melalui forum seperti itu akan lahir inovasi dan pembaruan-pembaruan yang belum pernah ada. Forum sejawat juga menjadi pijakan bagi loncatan pengetahuan dan pengalaman para guru. (Bandar Lampung, Kamis, 28 Maret 2013)

Sabtu, 23 Maret 2013

HAJAT NASIONAL BERNAMA UN

(Versi Ringkas artikel ini dimuat Lampung Post, Jumat, 22 Maret 2013)
Setiap tahun, gelaran Ujian Nasional (UN) selalu menyita perhatian publik. Banyak faktor yang mendasari mengapa Ujian Nasional menyedot energi masyarakat. UN bukan event yang berdiri sendiri, sebagai bagian integral proses pembelajaran siswa di sekolah. UN sudah seperti menjadi hajatan tahunan secara nasional.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, ada yang berubah dalam nuansa UN. Jika dulu UN menjadi pemacu belajar siswa secara lebih intensif, dan meraih keberhasilan dengan kebahagiaan dan kebanggaan yang hakiki.
Ketika lulus ujian, siswa mengungkapkannya dengan rasa syukur yang dalam. Keluarga pun menyambut dengan wajar. Sekolah menanggapi secara elegan. Tidak ada acara yang bersifat hura-hura, seperti pawai kendaraan bermotor, mencoret-coret baju seragam, atau pesta-pesta sekelompok pelajar.

Citra dan Harga Diri
Dewasa ini, UN menyangkut citra dan harga diri sebagian pihak. Sekolah yang tidak lulus 100 persen menanggung malu, seakan-akan tamat sudah kelangsungan sekolah. Pejabat daerah, khususnya yang terkait dengan pendidikan, juga akan kehilangan muka, apabila tingkat persentase kelulusan siswa di daerahnya lebih rendah dari daerah lain.
Angka 100 persen kelulusan siswa dalam UN menjadi prestise. Ia akan menjadi ikon promosi yang menggiurkan. Citra sekolah pun naik daun. Sekolah menjadi favorit dituju calon siswa baru. Bagi sekolah swasta, kelulusan 100 persen dan citra favorit merupakan poin yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sulit dibayangkan bagaimana nasib sekolah yang tingkat kelulusannya paling rendah, karena tahun-tahun berikutnya tidak ada calon siswa yang mendaftarkan di sekolah tersebut.
Oleh karena itu, menjelang UN, banyak pihak yang supersibuk. Berbagai cara dilakukan untuk mendongkrak persentase kelulusan siswa. Upaya itu bukan murni didasari motivasi meraih prestasi bagi siswa sekolah, melainkan didorong semangat menjaga harga diri yang bersifat semu.
Akibat lanjutannya, cara-cara illegal pun ditempuh. Ada tim tersembunyi yang bekerja secara sistematis untuk mendongkrak nilai dan tingkat kelulusan. Sebagai “gerakan bawah tanah”, jelas tidak ada “surat keputusan” pengangkatan anggota tim. Tapi gerakannya jelas sistematis dan terkoordinasi. Kalau terbongkar, operator lapangan dijadikan martir. Dan kalau gagal, maka berbagai konsekuensi sudah siap menunggu; mutasi, nonjob, atau sanksi sejenis.
Fenomena “tim sukses” yang berlangsung beberapa tahun belakangan ini berdampak psikologis pada diri siswa yang saat ini sedang belajar atau akan menghadapi UN 2013. Survei kecil menunjukkan kurangnya motivasi belajar menghadapi UN. Dalam diri mereka tertanam sikap, bahwa UN pasti lulus 100 persen atau seloroh, kalau ada yang tidak lulus, yang malu adalah sekolah. Siswa tampak kurang gairah mempersiapkan diri menghadapi ujian. Yang terlihat justru sikap menunggu bocoran, atau menanti SMS jawaban.
Jelas amat sulit mengembalikan kondisi semangat belajar, apabila sudah tertanam sikap seperti tersebut. Padahal membangun motivasi belajar itu semestinya dilakukan sejak dini dengan cara-cara ilmiah. Motivasi belajar yang sudah terbangun juga harus terus ditingkatkan dan dipelihara.
Fenomena kecurangan dalam UN setiap tahun berulang. Modusnya saja yang berbeda dan penyelesaiannya juga kabur. Akhirnya, untuk memperkecil kecurangan, dalam UN 2013 diselenggarakan dengan paket soal bervariasi, kode soal menggunakan barcode, pengawasan berjenjang dan berlapis, serta prosedur-prosedur lain yang lebih ketat.
Menyikapi kecenderungan praktik menyimpang dalam ujian, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Moh. Nuh menyatakan, "Saya minta kepala daerah wajib membuat suasana UN berjalan dengan kondusif. Dilarang menekan kepala dinas, kepala sekolah, juga guru agar sekolah luluskan UN 100 persen ,pelaksanaan UN harus jujur, dan bertanggung jawab," ujar Moh. Nuh di Tangerang Selatan,Banten, Rabu (13/3) (metrotvnews.com).
Dari pernyataan menteri tersebut tersirat fakta bahwa selama ini telah terjadi pelanggaran yang tersistematisasi. Permainan kotor yang merasuki dunia pendidikan. Sementara para guru dan staf sekolah tidak berdaya menghadapi kekuatan elit birokrasi.

Kecemasan Orang tua
Suasana bathin dalam masyarakat pun serupa dalam menghadapi UN. Tetapi kecemasan orang tua itu lebih didasari  “rasa malu” atau gengsi. Maka ramai-ramailah memasukkan anak-anaknya ke dalam program bimbingan belajar yang memang menjamur. Lembaga bimbel kebanjiran siswa, bahkan jam belajar sampai malam hari atau malam minggu. Padahal siswa sudah menghabiskan waktunya di sekolah. Jika demikian, siswa kehilangan kesempatan berinteraksi secara berkualitas dengan keluarganya.
Disadari, menambah jam belajar siswa di lingkungan keluarga merupakan tindakan bijaksana dan penting. Sekolah pun mengharapkan partisipasi orang tua atau wali untuk mengarahkan dan membimbing putra-putrinya belajar di rumah. Yang tidak bijaksana adalah memasukkan anak-anak ke dalam program bimbingan belajar di luar sekolah didasari motivasi “supaya lulus” atau “agar tidak kalah dengan temannya.
Situasi dan kondisi demikian, lagi-lagi melahirkan persaingan tidak sehat. Siswa ditanamkan meraih sesuatu dengan cara instan, bahkan sejak dini. Egoisme anak-anak yang semestinya diarahkan ke hal-hal positif, seperti kerjasama dan keuletan justru dipupuk untuk “menang sendiri”.  Dalam “usia emas”, anak-anak penting mendapat pengalaman yang menunjang kepercayaan diri, menumbuhkan motivasi belajar, dan motivasi berprestasi secara benar.
Bimbingan belajar idealnya diberikan di sekolah. Kalaupun siswa sangat memerlukan pembelajran tambahan dilakukan secara private. Bimbingan belajar diberikan secara situasional, seperti dalam rangka mempersiapkan diri untuk ujian masuk perguruan tinggi, atau untuk seleksi memasuki dunia kerja. Atau dalam rangka kebutuhan khusus minat dan bakat, seperti bahasa Inggris, bahasa asing lainnya, atau bidang seni dan peminatan khusus.
Bimbingan belajar dalam lembaga bimbingan belajar yang bersifat menetap cenderung kehilangan esensi sebagai salah satu cara memperkaya wawasan dan pendampingan siswa. Ia akan mudah tergelincir menjadi lahan bisnis yang bersifat sangat komersial.
Histeria massa menghadapi UN juga kerap tercermin dari gejala kesurupan, baik kesurupan beberapa siswa sekolah maupun kesurupan missal. Menjelang UN ada sekolah yang menyelenggarakan kegiatan kerohanian dan doa bersama, acara-cara yang dimaksudkan untuk motivasi, dan sejenisnya. Sekali lagi, ini upaya manusiawi, tetapi jika diselenggarakan secara mendadak mengesankan ketiadaan persiapan sejak awal.
Harapan Perbaikan
Bagaimanapun, ujian dalam suatu jenjang pendidikan adalah tahapan penting untuk meraih prestasi di berbagai bidang di kemudian hari. Ujian di sekolah termasuk UN, bukan saja untuk mengukur pencapaian proses pembelajaran secara individual dan pemetaan mutu pendidikan,
Kelulusan dalam suatu ujian merupakan harapan setiap orang dan bagi siswa yang sedang menempuh UN juga merupakan harapan dan kebanggaan para orang tua. Kelulusan dalam ujian membuka berbagai kemungkinan dan harapan di masa depan yang lebih baik.
Semoga UN 2013 dilaksanakan secara lebih baik, bermartabat, dan bertanggung jawab. Perbaikan secara teknis dan procedural hendaknya dibarengi dengan perbaikan sikap mental menghadapi UN baik bagi siswa, orang tua, guru, dan pejabat birokrasi pendidikan. (*)