Pendidikan dan Industri
Oleh Dwi Rohmadi Mustofa
Mahasiswa Pascasarjana Magister Teknologi Pendidikan
Universitas Lampung
(Artikel ini dimuat Radar Lampung, Jumat, 19 Maret 2010)
Membicarakan dunia pendidikan, kalau mau jujur, sebenarnya membicarakan suatu industri terbesar sepanjang sejarah. Tampaknya, kawasan ini, dalam beberapa tahun-tahun mendatang masih akan terus merajai kejayaan. Ketika bicara industri, maka tak pelak itu berarti bicara bisnis. Hipotesis agak ekstrem memang, kalau mengatakan bahwa pendidikan telah menjadi lahan bisnis. Oleh karena itu patut dibuka forum polemik terhadap pernyataan ini.
PERNYATAAN yang bersifat hipotesis tersebut bukan tanpa alasan. Secara substantif, pembicaraan subyek (pelaku) pendidikan, tak terlepas dari esensi bisnis. Mari kita tengok beberapa poin berikut: Ujian Nasional (UN), BHP, sertifikasi guru, pembangunan sarana dan prasarana pendidikan, sekolah berstandar internasional, dan sebagainya. Logika bisnis semuanya dikemas dalam bentuk program dan kegiatan terkait “pendidikan”. Semua poin tersebut berdiri di atas landasan prinsip “meningkatkan kesejahteraan”. Di bawah payung “pendidikan”, putaran roda bisnis terus bergerak.
Industri, dapat dipahami sebagai sekumpulan sektor usaha. Oleh karena itu, dapatlah disepadankan sekumpulan usaha di bidang pendidikan disebut industri. Secara implisit adalah industri jasa pelayanan pendidikan.
Fakta bahwa suatu program membutuhkan biaya memang tidak bisa dipungkiri. Permasalahannya adalah, bagaimana mewujudkan tujuan itu dengan efektif dan efisien, dengan berlandaskan teori, memiliki justifikasi, legitimasi, dan akuntabel. Akuntabel di sini dalam segala hal, bukan hanya dari segi pengelolaan biaya.
Ujian Nasional dalam beberapa tahun terakhir telah menyedot energi masyarakat. Kontroversi terutama menyangkut intervensi kewenangan menyatakan “lulus” dan bagaimana membuat peta serta standarisasi mutu pendidikan secara nasional. Akhirnya, aroma “proyek” pun tak terhindarkan. Sederet panjang “problem” pendidikan masih bisa ditambahkan, seperti pengadaan buku, pengangkatan guru honor menjadi CPNS, dan sebagainya.
Di tingkat mikro, penyelenggaraan proses pembelajaran di sekolah (dan dalam kelas) juga masih banyak membutuhkan perhatian pemerintah dan pemangku kepentingan (stakeholders). Bagaimana kesiapan siswa belajar, bagaimana guru memahami secara komprehensif kurikulum dan mengimplementasikannya dalam ruang kelas, serta bagaimana dukungan masyarakat terhadap pembelajaran siswa di luar jam sekolah.
Sekolah bertaraf internasional (SBI), atau apapun varian namanya, seperti, Rintisan SBI, SNBI, sekolah berwawasan internasional, nasional plus, dan sebagainya, tak juga jauh dari hitung-hitungan bisnis. Di sekolah negeri, di setiap daerah, selalu ada sekolah-sekolah yang berlomba untuk menjadi penyelenggara. Ketika dana dari pemerintah belum cair, atau belum mencukupi untuk mengkover seluruh biaya penyelenggaraan, maka “memungut” tambahan biaya dari siswa menjadi boleh.
Lembaga pendidikan yang diselenggarakan swasta, malah ada yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Apa makna yang dapat dipetik dari sebuah PT, selain mencari keuntungan sebesar-besarnya? Sedangkan lembaga pendidikan yang dikelola oleh yayasan pun sering mengalami kerancuan, antara yayasan sebagai lembaga sosial dengan lembaga pendidikan yang dinaunginya, yang mengejar keuntungan.
Memang bukan hal yang salah, dan tidak tabu membicarakan bisnis. Apalagi jika dilakukan oleh masyarakat (swasta) dan memiliki landasan yuridis formal. Tidak ada yang tidak mungkin.
Daftar Masalah
Salah satu daftar masalah adalah sekitar sekolah bertaraf internasional. Bagi sekolah negeri, pengembangan SBI didasari oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 50 Ayat 3. Dalam ketentuan ini, pemerintah didorong untuk mengembangkan satuan pendidikan yang bertaraf internasional. (SBI) merupakan sekolah nasional dengan standar mutu internasional. Proses belajar mengajar di sekolah ini menekankan pengembangan daya kreasi, inovasi, dan eksperimentasi untuk memacu ide-ide baru yang belum pernah ada. (www.id.wikipedia.org). Masih banyak lagi pertanyaan seputar SBI ini, terkait arah dan tujuan, pola implemetasi, dan sebagainya. Dalam bahasa kritik SBI diplesetkan menjadi “sekolah bertarif internasional”.
Permasalahan lain dalam pendidikan yang jarang terungkap adalah keterkaitan antara politik dan pendidikan. Pendidikan selama ini dianggap sebagai entitas suatu sektor yang menyerap anggaran terbesar, tetapi di sisi lain, keputusan-keputusan politik yang menjadi dasar pelaksanaan program pendidikan sering kali memicu kontroversi. Contohnya adalah UN tadi dan sertifikasi guru. Diakui memang tidak akan ada program yang sempurna, tetapi paling tidak meminimalisasi dampak buruk dan memaksimalkan pencapaian tujuan yang harus dikedepankan. Penetapan bola UN “bolak-balik” berpindah gawang antara pemerintah dan DPR. Demikian juga anggaran pendidikan minimum 20 %.
Gencarnya pendidikan membangun karakter bangsa, di satu sisi, tidak sebanding dengan program hiburan yang ditayangkan media televisi. Masyarakat menilai content yang tidak bermuatan pendidikan. Sudah banyak keluhan yang diungkapkan warga masyarakat, tetapi respons dunia hiburan tampaknya kurang memadai. Hal ini karena menyangkut wilayah otoritas yang berbeda antara pengelola pendidikan dengan pengelola media televisi.
Selain beberapa hal tersebut, dunia pendidikan menghadapi tantangan dan permasalahan di seputaran; kualitas guru dan tenaga kependidikan, pemerataan terhadap akses pendidikan, keterkaitan dunia pendidikan dengan praktek dunia kerja, membangun sikap mental wirausaha.
Penyediaan sarana dan prasarana pendidikan yang merata pun masih mengundang kritik. Faktanya, persentase bangunan sekolah yang dalam kondisi rusak parah, masih sangat besar. Belum lagi dari sisi pemerataan lokasi sarana pendidikan, di mana warga di beberapa daerah terpencil masih kesulitan untuk mengakses pendidikan yang layak.
Perguruan Tinggi
Permasalahan pendidikan di perguruan tinggi sebenarnya paralel sekaligus “kelanjutan” permasalahan pendidikan di tingkat sekolah menengah. Pembangunan karakter ataupun pendidikan berbasis karakter di perguruan tinggi yang hangat dibicarakan dewasa ini sejujurnya adalah dampak lanjutan dari penyelenggaraan pendidikan jenjang sebelumnya. Perguruan tinggi pun dewasa ini berkutat dengan masalah penjaminan mutu, pengendalian proses, pemerataan akses, dan aspek moral masyarakat. Aspek moral yang dimnaksud di sini antara lain, gejala yang berkembang dalam masyarakat di mana mengikuti pendidikan di perguruan tinggi dengan motivasi “berburu gelar”, status sosial, atau hanya memenuhi persyaratan formal. Di sisi sebaliknya, para petualang penyedia jasa “gelar” juga berkeliaran mencari peminat. Fenomena itu terjadi dan menjadi pembicaraan di kalangan pendidikan.
Kasus plagiarisme di perguruan tinggi yang mencuat beberapa waktu lalu dapat dianggap sebagai salah satu fenomena puncak gunung es, di antara sekian banyak masalah lainnya.
Artikel ini tidak bermaksud mencari kambing hitam atau saling menyalahkan. Wacana dan hipotesis seekstrem apapun kiranya menjadi modal untuk mencari jawaban dan jalan keluar dari suatu permasalahan. Statemen sepedas apapun semoga membuka ruang dan upaya tukar pengalaman dan sumbang saran maupun penyegaran dan menjadi inspirasi. Niat baik dan kesempatan mengabdi kepada pendidikan dari banyak pihak harus memperoleh tempat yang selayaknya.
Sangat menarik pilihan tema yang disajikan Redaksi Radar Lampung dalam rubrik opini beberapa hari belakangan ini. Dominasi pembahasan tentang pendidikan, memberikan “daya beda” terhadap media harian lainnya. Polemik tentang menyejahterakan guru, pemerataan pendidikan, mutu pendidikan, prasarana, dampak teknologi, imbas perubahan sosial, dan sebagainya, memang sudah sepantasnya mendapat perhatian media. Peran media sebagai fungsi kontrol sosial diimplementasikan dengan melakukan pemberitaan secara proporsional terhadap berbagai aspek dan dinamika sosial masyarakat. Dan ini telah dilakukan oleh Radar Lampung. (dwi_rohmadi@yahoo.com)