Plagiarisme dan Pemalsuan Ijazah
Oleh Dwi Rohmadi Mustofa
Mahasiswa Pascasarjana Magister Teknologi Pendidikan
Universitas Lampung
(artikel ini dimuat dalam Radar Lampung, Rabu, 28 April 2010)
Mencuatnya kasus plagiarisme dari Bandung, telah memercik wajah dunia pendidikan tinggi. Kasus seperti ini ditambah lagi dengan adanya perilaku pemalsuan ijazah oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan kampus. Semua ini mencerminkan, bahwa ijazah telah menjadi tujuan, mengabaikan proses yang seharusnya lebih dihargai dalam membangun karakter.
Seperti diberitakan media, dari dua kampus besar dan ternama di Bandung, terkuak dugaan plagiarisme karya ilmiah. Dari Lampung dugaan pemalsuan ijazah sedang bergulir kencang dalam ranah penyidikan. Hebatnya lagi, semuanya melibatkan “orang kuat” dan “orang hebat”. “Orang kuat” karena merupakan anak mantan pejabat. “Orang hebat” karena terjadi pada mereka yang sudah mencapai jenjan pendidikan tertinggi, strata 3. Apa maknanya?
Hemat saya, plagiarisme dan pemalsuan ijazah memproyeksikan perilaku jalan pintas oleh orang-orang yang “tidak tahan banting” dan bentuk pengingkaran terhadap kesempatan yang sama memperoleh pendidikan. Ijazah palsu telah digunakan untuk melamar pekerjaan sebagai PNS. Karya ilmiah hasil plagiarisme dimanfaatkan untuk mengumpulkan poin sebagai angka kredit bagi status kepangkatan. Singkatnya, status sosial gelar telah menutup mata dan mata hati pemburu gelar.
Plagiarisme dan pemalsuan ijazah seperti saudara kembar. Karakteristiknya sama, “jalan pintas dan status sosial belaka”. Untuk menyelesaikan suatu jenjang pada program pendidikan tinggi, lazimnya dipersyaratkan membuat suatu karya tulis ilmiah. Hal ini dijadikan wahana untuk mengukur keberhasilan tugas-tugas belajar mahasiswa. Selain itu, juga menjadi instrumen atau alat (tool) analisis ilmiah bagi mahasiswa kelak ketika terjun dalam dunia praktis.
Para pemburu gelar yang mengabaikan kaidah akademik, akan berusaha dengan berbagai macam cara, termasuk yang ilegal dan melanggar hukum. Rambu-rambu dan ancaman sanksi tampaknya tidak menyurutkan upaya mewujudkan niat.
Terjadinya praktek plagiarisme dan/atau pemalsuan ijazah menunjukkan rusaknya tatanan etika pribadi para pelakunya. Dalam fase selanjutnya, bisa menjadi ancaman terhadap sistem pendidikan.
Secara analitik atas pengalaman empirik, dapat dikatakan kasus seperti ini merupakan fenomena sosial yang digambarkan sebagai “fenomena gunung es”. Yang tampak hanya permukaan saja. Kasus-kasus serupa, seperti mencontek, perjokian dalam ujian, dan sebagainya, dalam kadar yang berbeda pantas ditelisik lebih jauh.
Sejak lama dalam dunia kampus ada satu musuh bersama tapi terkadang terlupakan. Mungkin lebih tepat, enggan dibicarakan. Musuh bersama itu bernama plagiarisme. Kalaupun diketahui, disadari, tetapi enggan dibicarakan. Tampaknya topik ini akan selalu hangat dibicarakan, karena senantiasa adanya bahaya laten (suatu bahaya yang setiap saat bisa muncul).
Secara definisi, plagiarisme dijelaskan sebagai suatu perbuatan penjiplakan yang melanggar hak cipta, mengakui karya tulis, karangan, pendapat, orang lain sebagai karyanya sendiri. Yang ekstrem, plagiarisme disamakan dengan tindakan pidana pencurian karya orang lain. Plagiarisme juga memiliki beragam bentuk.
Penulisan skripsi maupun karya tulis sebagai tugas akhir dipandang sebagian mahasiswa sebagai sesuatu yang menakutkan. Dorongan untuk menempuh jalan pintas sering menggoda. Kemampuan finansial sering menggoyahkan tatanan etika. Penawaran dari pihak-pihak yang mencoba meraup keuntungan dari suasana “ketakutan” terhadap skripsi atau tugas akhir sebagai karya akademik, terkadang memperoleh tanggapan. Angin surga yang dihembuskan para petualang karya ilmiah sering menghampiri mahasiswa yang tidak memiliki kesiapan mental dan motivasi berprestasi yang kurang.
Permasalahan skrispi bodong, sebenarnya sudah mengemuka sejak puluhan tahun lalu. Jadi boleh dibilang sudah “karatan”. Munculnya istilah-istilah calo, makelar, joki dsb hanyalah dampak dari kualitas proses penyusunan skripsi atau tugas-tugas akhir pendidikan di perguruan tinggi. Mereka yang beroperasi sebagai “perantara” dalam menyusun tugas-akhir mahasiswa ini membungkusnya dengan bermacam istilah mentereng: konsultan, olah data, jasa pengetikan, bantuan belajar, dan sebagainya. Modusnya tentu saja banyak sekali. Banyak kalangan internal kampus yang terasa enggan membahas topik ini. Kemungkinan besar karena ini menyangkut dirinya sendiri.
Lemahnya sistem pengendalian dan sekaligus kurangnya kemauan dalam mengeleminir perilaku menyimpang dari pihak-pihak yang semestinya melakukannya semakin menumbuhsuburkan gejala plagiarisme.
Memang sangat tipis batasan antara mencontek, meniru, mengadobsi, mengembangkan, maupun menginovasi karya tulis. Masih banyak dimensi-dimensi lain yang patut didiskusikan di sini, seperti etika pengutipan, pembimbingan, survey minat dan motivasi, keterampilan menulis, dan pengendalian yang sistematis.
Sebenarnya, jika ada komitmen dan konsistensi, untuk mengendus atau membendung gejala plagiarisme tidak terlalu sulit. Melalui mekanisme internal yang sistematis dalam institusi perguruan tinggi sendiri dapat dilakukan. Yang lebih penting sebenarnya, bukan pada masalah pencegahan plagiarisme dari luar diri pelaku. Secanggih apapun mekanisme dan aturan maupun software dibuat untuk mengeleminir kecurangan akademik ini, tetapi apabila sikap mental kejujuran tidak dibangun, maka upaya membuka celah kecurangan akan selalu ada. Jadi substansinya terletak pada kejujuran individual dan integritas pribadi. Contoh skripsi bodong di sini juga semata-mata dimaksudkan sebagai representasi terhadap tugas-tugas penulisan karya ilmiah pada berbagai jenjang pendidikan.
Kasus yang mencuat beberapa waktu lalu, di mana seorang guru besar yang tersandung kasus plagiarisme mencoreng dunia perguruan tinggi. Belum hilang dari ingatan, kasus serupa muncul lagi. Mirisnya, terjadi pada perguruan tinggi ternama. Memprihatinkan memang. Berangkat dari keprihatinan yang mendalam itu saya ingin berbagi pengalaman. Semoga paling tidak kembali menyegarkan kesadaran kita tentang apa yang di kalangan akademik dianggap sebagai perbuatan sangat tercela (untuk tidak mengatakan menjijikkan). Bahkan jika sangat berat, sanksinya pun sangat berat. Semua pihak perlu melakukan kajian, pengamatan, perenungan, dan menyusun mekanisme untuk mengantisipasi terjadinya plagiarisme.
Kasus plagiarisme tampaknya memang seperti benalu. Ia tumbuh pada batang dan menghisap saripati makanan pohon yang ditumpanginya. Ungkapan yang lebih keras, plagiarisme sulit diberantas karena tercipta iklim saling menguntungkan di pusaran para pihak yang terlibat.
Meskipun demikian, optimisme harus ditumbuhkan. Skripsi bukan akhir segalanya. Ada beberapa tawaran solusi, seperti peningkatan intensi pembelajaran metodologi penelitian dan penulisan, simplifikasi format, “desakralisasi” skripsi atau tesis, menghargai proses (skripsi/tesis bukan tujuan, tapi hanyalah sarana), obyektivitas dan profesionalisme pembimbing.
Menghargai proses penulisan pada tugas-tugas mahasiswa harus dilakukan oleh para pihak. Mahasiswa harus memiliki kesadaran dan kebanggaan terhadap kemampuannya menghasilkan karya sendiri. Dosen wajib melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan rambu-rambu akademik. Integritas pribadi dan martabat profesional dipertaruhkan. Sebab, mahasiswa akan selalu “melihat” dosen sebagai sosok yang ditiru. Institusi memiliki aturan baku yang memuat mekanisme dan berbagai ketentuan yang harus dipenuhi.
Kasus pelanggaran etika akademik, secara lebih jauh dapat ditelusuri pada jenjang pendidikan sebelumnya. Berbagai pertanyaan dapat diajukan di sekitaran, apakah sudah terpenuhi standar kompetensi kemampuan berbahasa para siswa SMA atau SMP? Sudahkah dilaksanakan pendidikan yang menghargai kreativitas, originalitas, dan perbedaan pendapat di kalangan siswa?
Pertanyaan-pertanyaan itu menjadi penting, karena di usia sekolah menengah dapat dipandang sebagai masa yang berharga untuk membentuk sikap ilmiah, kejujuran, dan kreativitas. Jika pembentukan sikap positif dan menghargai perbedaan pendapat, menghargai hasil karya sendiri telah dilakukankan dan menjadi “gizi” bagi anak didik kita, maka kelak ketika mereka mengemban predikat sebagai siswa yang “maha” akan membantu untuk tumbuhnya sikap kejujuran ilmiah.
Diskursus dan polemik tentang plagiarisme memang seharusnya dituntaskan. Media harus terus mengawal publikasi guna membantu menumbuhkan kesadaran dan sikap ilmiah. Kritik melalui dan oleh media juga selayaknya dikembangkan seiring dinamika yang terjadi dalam “lembaga” pendidikan. Sulit membayangkan suatu dunia pendidikan atau organisasi pendidikan, tanpa ada masukan, saran, pendapat, dan kontrol publik. Membiarkan kendurnya kontrol terhadap lembaga pendidikan sama saja membangun suatu menara gading.
Pembahasan dan penanggulangan plagiarisme membutuhkan komitmen banyak pihak. Adanya aturan bukan untuk dilanggar, tapi justru untuk meminimalisir atau menghindari pelanggaran. Semoga tidak ada lagi, apa yang oleh Agoes Soegianto (Radar Lampung 18 Februari 2010) disebut “profesor masturbasi”. Predikat guru besar menjadi “buruan”. Sayangnya, dalam konteks yang kurang pro terhadap etika ilmiah. Persyaratan jabatan fungsional dosen yang diakui penulis terlalu longgar.
Memang banyak variabel yang terkait dengan terjadinya plagiarisme. Egoisme kebidangan, atau aliran dalam melakukan penelitian atau penulisan oleh pembimbing, menjadi momok bagi mahasiswa. Biasanya mahasiswa akan “mati-langkah” ketika pembimbing atau advisor mengharuskan melakukan sesuatu sesuai dengan “seleranya”. Nah, ketika posisi seperti itulah pintu kecurangan mulai terbuka. Variabel lain yang patut dicurigai sebagai penyebab terjadinya plagiarisme adalah daya tahan. Seberapa jauh mahasiswa atau dosen memiliki kesabaran, ketekunan, dan kemampuan untuk menghasilkan karya ilmiah yang bermutu. Tren manusiawi adalah bagi mahasiswa kuliah cepat lulus, bagi dosen, pangkat cepat naik. Tulisan ini semoga menjadi penggugah kesadaran dan optimisme para pihak dalam menghargai karya sendiri, menghagai kejujuran, mendorong kreativitas. Semoga. (****)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar