Artikel ini dimuat pada Radar Lampung, Kamis, 25 November 2010
-
Tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru. Momen ini perlu dimaknai tidak sekadar seremonial dan hanya menjadi panggung pejabat (terutama pejabat di bidang pendidikan). Guru dan semua pihak terkait perlu merefleksikan terhadap apa yang sudah dikontribusikan bagi pendidikan. Kita semua seyogyanya memberikan apresiasi, atensi, partisipasi, dukungan, kontribusi, dan motivasi bagi guru.
Sepantasnya kita memberikan kado bagi segenap guru di manapun berada. Guru yang telah mendedikasikan hidupnya untuk mendidik generasi muda. Guru yang sepenuh hati dan ketulusan menyemai benih-benih ajaran dan pembelajaran dengan kasih sayang. Meski aral melintang, dan segala tantangan menghadang.
Salah satu tantangan yang nyata adalah keterbatasan imbalan material. Meskipun harus pula diakui tidak semua guru menghadapi tantangan dan keterbatasan seperti ini. Dan tuntutan yang terberat adalah menjaga setiap tindak lakunya agar senantiasa sejalan dengan norma dan etika. Sebab status guru tetap melakat ketika dia sudah pulang ke rumah. Salah sedikit saja, risikonya terlalu besar. Kecaman pertama-tama akan diarahkan pada predikatnya sebagai guru, bukan sebagai pribadi manusia, yang mungkin saja khilaf, lupa, dan alpa.
Apa hendak dikata, bila profesi guru sudah menjadi pilihan dan pengabdian bagi pendidikan telah menjadi ketetapan hati. (lanjut*****)