(ARTIKEL INI DIMUAT HARIAN RADAR LAMPUNG, KAMIS, 22 MARET 2012)
Masalah profesionalisme wartawan masih sering dikeluhkan. Pemberitaan
adanya oknum wartawan yang melakukan perbuatan tercela, bertentangan
dengan kode etik jurnalistik, masih mewarnai media. Yang paling sering
adalah tindakan ’’pemerasan’’, suatu perbuatan yang menciderai profesi
mulia.
PRAKTIK jurnalistik menghadapi tantangan yang semakin kompleks.
Dinamika perubahan lingkungan, baik internal maupun eksternal,
sedemikian pesat. Kemajuan teknologi informasi, sistem dan model
komunikasi massa, alat atau media, serta perkembangan aturan di bidang
keterbukaan informasi menjadi tantangan praktik jurnalistik.
Jurnalistik
atau kewartawanan adalah pekerjaan yang menuntut sikap profesional.
Profesional yang penulis maksud dalam hal ini adalah seperangkat atribut
untuk keberhasilan kerja. Profesional bukan hanya perdebatan istilah
atau ego sektoral. Sehingga bidang pekerjaan apa layak disebut
profesional atau bukan profesional. Memang, secara formal istilah
profesional mensyaratkan adanya basis jenjang pendidikan formal
tertentu. Pertanyaannya, apa itu profesional? Siapa yang disebut
wartawan profesional?
Situs Wikipedia menjelaskan, seorang
profesional adalah seseorang yang menawarkan jasa atau layanan sesuai
dengan protokol dan peraturan dalam bidang yang dijalaninya serta
menerima gaji sebagai upah atas jasanya.
Orang tersebut juga
merupakan anggota suatu entitas atau organisasi yang didirikan seusai
dengan hukum di sebuah negara atau wilayah. Seringkali seseorang yang
merupakan ahli dalam suatu bidang juga disebut ’’profesional’’ dalam
bidangnya, meski bukan merupakan anggota sebuah entitas yang didirikan
dengan sah.
Sebagai contoh, dalam dunia olahraga terdapat
olahragawan profesional yang merupakan kebalikan dari olahragawan amatir
yang bukan berpartisipasi dalam sebuah turnamen/kompetisi demi uang.
Walau
kutipan dari situs tersebut masih merupakan pernyataan rintisan,
setidaknya menjadi panduan untuk mencermati suatu profesi, termasuk
profesi wartawan.
Kini, Persatuan Wartawan Indonesia Cabang
Lampung sedang mengadakan ujian kompetensi wartawan. Semoga ini menjadi
langkah maju mewujudkan profesionalisme wartawan.
Keahlian dan Integritas
Memang
istilah profesional sering menjadi perdebatan. Tapi, saya ingin
memberikan pendapat pribadi. Profesional adalah pekerjaan yang menuntut
keterampilan dan keahlian, integritas dan loyalitas, serta pengembangan
profesi berkelanjutan. Wartawan adalah pewarta yang bekerja secara tetap
pada media massa.
Suatu profesi dikatakan profesional jika
dilandaskan pada adanya kompetensi. Dengan kompetensinya itu, ia menjadi
bagian dari pemecahan masalah, bukan pembuat masalah baru. Kompleksitas
pekerjaan akan diatasi berdasarkan keahlian. Aneka tantangan dan
tuntutan pekerjaan sebagai dampak perkembangan profesi dapat
diantisipasi dengan integritas.
Di antara ciri profesi adalah
adanya keahlian para pelakunya. Keahlian itu diperoleh melalui suatu
proses pendidikan yang berkelanjutan, pemerolehan pengalaman dari para
senior, atau dari mereka yang telah banyak menggeluti pekerjaan itu.
Pendampingan dan penempaan dari kolega yang lebih berpengalaman, lebih
senior, menjadi salah satu pintu masuk peningkatan kompetensi sekaligus
indikator bagi suatu bidang yang disebut profesional.
Ciri yang
lain adalah adanya jenjang keahlian. Untuk jenjang keahlian itu, bisa
saja merupakan kesepakatan organisasi profesi maupun kelompok bidang
keilmuan. Pengakuan profesional dari organisasi profesi melalui suatu
tahapan proses ujian. Jadi, klaim profesional melalui banyak tahapan dan
pengakuan dari banyak pihak. Bukan klaim sepihak atau hanya selembar
sertifikat.
Dewasa ini dirasakan adanya ketimpangan antara
kebutuhan profesi wartawan dengan penyedia jasa pendidikan kewartawanan.
Di perguruan tinggi, bidang jurnalistik sebagian besar masih menjadi
bagian peminatan atau konsentrasi pada program studi komunikasi.
Basis
pendidikan formal dapat menjadi salah satu tolok ukur kompetensi.
Sedangkan penempaan pengalaman dan pendampingan dari para pihak yang
lebih dulu menggeluti profesi tersebut, dapat menjadi medium pembangun
integritas.
Loyalitas dan Kerja Keras
Harus
diakui bahwa profesi apa pun adalah profesi mulia jika diabdikan untuk
kemaslahatan umat manusia dan membangun peradaban yang lebih baik.
Wartawan adalah profesi yang mengemban amanah publik sekaligus merupakan
ikhtiar meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaan.
Kewenangan
wartawan dalam mengumpulkan, mengolah, dan menyebarluaskan informasi
merupakan amanah undang-undang. Amanah itu harus diemban dengan
kesetiaan pada bidang kerjanya, dilakukan dengan penuh tanggung jawab,
dan kerja keras.
Bagi penulis, profesi wartawan adalah pengabar
kebenaran. Hasil kerja wartawan bagi audiensi memang tidak dapat diraba
atau dilihat, tetapi dirasakan. Secara implisit dampak atas hasil kerja
wartawan itu melalui serangkaian proses yang panjang. Makna suatu karya
jurnalistik tidak bisa dinilai secara serta-merta.
Wartawan
menyampaikan informasi dengan harapan audiensinya memiliki pengetahuan.
Berbekal pengetahuan itu, akan meningkat pemahaman dan kesadarannya
terhadap sesuatu. Selanjutnya, bertindak sesuai dengan norma, aturan
hukum, dan mengambil keputusan yang benar. Masyarakat berpengetahuan
adalah masyarakat yang sejahtera. Sebab, pada dasarnya manusia adalah
makhluk yang senantiasa ingin tahu dan berusaha memenuhi rasa ingin
tahunya itu.
Dampak akhir hasil kerja wartawan bagi masyarakat
adalah kesejahteraan. Untuk sampai pada dampak akhir itu, kerja wartawan
dituntut penuh loyalitas dan sekaligus kerja keras. Loyalitas berarti
dengan mengerjakan sesuatu dengan sepenuh jiwa, disiplin dan taat asas,
kejujuran dan keberanian.
Kerja keras mengisyaratkan adanya
ketelitian dan kecermatan serta daya tahan untuk menghasilkan karya
jurnalistik yang baik. Motivasi yang tinggi dan senantiasa terjaga dalam
rangka memberikan yang terbaik kepada audiensinya.
Seorang
wartawan kini dituntut menguasai banyak bidang yang semuanya penting.
Setidaknya yang esensial adalah pengetahuan sosial budaya, teknologi
komunikasi, wawasan hukum, ekonomi, dan politik. Itu pun harus dibarengi
dengan kemampuan bahasa dan keterampilan komunikasi interpersonal.
Seorang
teman mengatakan, profesi guru dan pendidik ’’dekat’’ dengan surga,
karena ilmu yang bermanfaat. Kiranya pernyataan teman tersebut paralel
pula dengan profesi wartawan sebagi pengabar kebenaran.
Penulis
meyakini, UKW atau uji kompetensi wartawan adalah salah satu cara
strategis mewujudkan kompetensi wartawan. Tulisan ini semoga memberi
wacana yang bermanfaat, setidaknya dari the outsider. (*)