(ARTIKEL INI DIMUAT RADAR LAMPUNG, SELASA, 10 APRIL 2012)
Dewasa ini dapat diamati munculnya gejala disorientasi pendidikan.
Pragmatisme menyelimuti hampir setiap aspek pendidikan. Idealisme masih
ada, tetapi terkalahkan oleh sikap pragmatis. Terhadap pendidikan,
sebagian besar masyarakat berorientasi pada hasil, bukan proses.
GEJALA disorientasi pendidikan itu secara nyata dapat dilihat cara
pandang pendidikan pada hasil semata-mata yang dicerminkan nilai angka.
Sampai-sampai, mengabaikan bahwa hakikat pendidikan adalah proses
panjang. Kelulusan bukan dilihat sebagai momentum untuk memacu prestasi
lebih baik lagi.
Diperlukan banyak persiapan dan waktu yang lama
untuk meyakini dan menghayati bahwa pendidikan adalah suatu proses
panjang. Mengubah cara pikir dan pandang terhadap pendidikan sebagai
pembelajaran sepanjang hayat itu perlu keterlibatan banyak pihak. Budaya
instan, semuanya asal cepat. Seperti makanan atau minuman instan, yang
mementingkan cepat saji. Karena pemahaman, sikap, tindakan, kebiasaan,
dan perilaku instan itu telah merasuk ke sendi-sendi kehidupan terkait
dengan pendidikan, tak berlebihan jika lahir istilah budaya instan.
Kini,
pelajar kelas VI SD, IX SMP, dan XII SMA sedang serta akan mengikuti
ujian nasional (UN). Seperti tahun-tahun sebelumnya, para orang tua juga
turut sibuk. Kekhawatiran menyeruak terhadap kemungkinan hasil UN
anak-anak mereka. Tidak lulus adalah momok yang amat menakutkan. Tidak
lulus UN berarti menguras sumber daya setahun lagi. Belum lagi beban
mental dan moral secara sosial, serta harapan bahwa jika anaknya lulus
UN akan melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya atau memasuki dunia
kerja.
Persoalan lulus atau tidak dalam suatu ujian, harusnya
menjadi hal yang biasa. Karena memang, hanya ada dua kemungkinan hasil
suatu ujian. Yaitu lulus dan tidak. Tidak ada hasil ujian yang
menyebutkan, misalnya, setengah lulus, agak lulus, dan hampir lulus.
Masalahnya, apakah ujian itu dilaksanakan secara profesional dan
berkeadilan? Apakah ujian itu mencakup banyak aspek penilaian? Apakah
setiap siswa mendapat layanan dan fasilitas belajar yang memadai?
Jika
semua pertanyaan itu terjawab ’’sudah’’, menghadapi suatu ujian
sebenarnya tidak terlampau menjadi masalah. Mengapa? Karena dalam diri
siswa sudah tumbuh semangat kompetisi secara fair, kesadaran akan batas
kemampuannya. Sebab, iklim yang ada sekarang tidak merangsang orang
untuk menerima kenyataan suatu ujian. Proses penyelenggaraan ujian itu
sendiri juga masih carut-marut.
Hiruk-pikuk seputar UN bagi siswa
di sekolah seakan-akan menjadi ritual tahunan. Perdebatan yang menguras
energi, dan biaya yang tidak sedikit. Tapi belum ada satu formula ujian
yang disepakati semua pihak. Untuk menentukan kelulusan siswa dari suatu
jenjang sekolah tahun ini sudah lebih maju, karena melibatkan penilaian
sejak semester awal. Dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sudah
mematok slogan UN berlangsung jujur dan berprestasi.
Evaluasi
Fungsi
sekolah adalah mendidik, membelajarkan siswa, dan mencapai tujuan
pendidikan yang universal yaitu terwujudnya manusia yang bertakwa kepada
Tuhan, cerdas, berbudi pekerti luhur, memiliki keterampilan, dan
ketanggapan terhadap peluang masa depan.
Fungsi sekolah bukan
hanya meluluskan siswa. Kelulusan adalah suatu tahapan penanda
selesainya siswa mengikuti jenjang pendidikan dan memenuhi segala
kewajiban dan kriteria yang ditetapkan. Jadi, kelulusan itu bukan
tujuan.
Menghadapi UN, perilaku jalan pintas mewujud dalam belajar
secepat-cepatnya dalam rangka lulus UN. Tak pelak, penyedia jasa
bimbingan belajar, les privat, dan sejenisnya laris manis. Semuanya
terfokus pada bagaimana lulus, bukan bagaimana berprestasi.
UN
adalah sarana evaluasi. Evaluasi adalah upaya untuk mengetahui
pencapaian suatu program atau kegiatan dibandingkan dengan kriteria yang
ditetapkan. Kriteria itu dapat berupa target, tujuan, kemampuan, dan
kondisi yang diharapkan.
Sudah semestinya, UN difungsikan sebagai
alat ukur untuk menilai sejauh mana pencapaian standar kompetensi
lulusan peserta didik secara nasional. Mengukur hasil proses belajar
siswa-siswi di selama bersekolah pada masing-masing tingkatannya.
Tantangan
dunia pendidikan dewasa ini adalah dalam hal pelaksanaan model
pembelajaran instan, keengganan sebagian pendidik memperbarui materi dan
kecemasan mengakses aneka sumber belajar, dan lainnya. Karakter siswa
yang lemah, melahirkan disiplin rendah.
Mata rantai budaya instan
telah merajalela pada semua sendi kehidupan, tidak hanya di dunia
pendidikan. Di lembaga pendidikan meski ada sebagian siswa yang
menunjukkan prestasi gemilang, perilaku sebagian siswa menampar wajah
sosial kita. Kecenderungan mau menang sendiri di jalan raya, tidak sabar
dalam antrean, dan yang lain adalah sebagian contohnya.
Harus
diakui anak usia sekolah, terutama sekolah dasar, adalah masa emas
(golden age) untuk membentuk sikap positif, menanamkan nilai-nilai,
menghargai keragaman, mendorong motivasi berprestasi, dan disiplin
belajar.
Pendidikan harus
dipandang secara multidimensi dan multidampak. Dampak pendidikan itu
akan terlihat dalam jangka panjang. Mendidik harus dilakukan dengan cara
yang paling sesuai dengan situasi dan kondisi siswa, dukungan
lingkungan, dan penciptaan iklim yang kondusif untuk belajar. Selalu
dicari model-model pembelajaran yang efektif dan menyenangkan.
Pembelajaran di sekolah hendaknya menjadi pemicu mengeksplorasi segenap
potensi diri siswa. (****lanjut)