Dunia perpustakaan saat ini menghadapi berbagai tantangan. Dua tantangan dapat dikemukakan, yaitu ketersediaan perpustakaan dan segala sarananya serta keterampilan dan keahlian para pengelola perpustakaan.
SALAH satu tugas utama perpustakaan adalah menumbuhkembangkan minat baca masyarakat. Setelah terbangun budaya baca, penyebaran dan penyerapan pengetahuan akan lebih mudah dilakukan.
Ada dugaan rendahnya minat baca masyarakat karena ketersediaan perpustakaan dan koleksi yang dimiliki terbatas. Saat ini secara nasional terdapat lebih dari 76 ribu sekolah dari jenjang SD hingga SMA/SMK belum memiliki perpustakaan. Rinciannya sekolah yang belum memiliki perpustakaan itu adalah 55 ribu lebih SD, 12 ribu lebih SMP, dan hampir 9 ribu SMA/SMK.
Sekolah yang telah memiliki perpustakaan pun diyakini masih banyak yang belum sepenuhnya menyelenggarakan perpustakaan secara ideal. Padahal, perpustakaan adalah sarana baku yang harus ada di sekolah guna meningkatkan mutu pendidikan. Perpustakaan juga menjadi tonggak dan wahana membangun peradaban kemanusiaan yang lebih baik.
Di Lampung sekitar 60 persen sekolah belum memiliki perpustakaan (Radar Lampung, 14/9). Terungkap pula masalah minimnya koleksi dan makin berkurangnya anggaran sektor pendidikan. Hal ini menjadi sorotan anggota DPRD Lampung dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Lampung.
Problem lebih rumit ketika kebutuhan gedung sekolah saja masih kurang, dan beberapa gedung sekolah yang rusak belum diperbaiki. Artinya, masih ada masalah pemenuhan kecukupan ruang kelas untuk aktivitas pembelajaran.
Kondisi perpustakaan sekolah serupa juga dialami perpustakaan daerah. Beberapa media memberitakan kondisi perpustakaan daerah yang sepi pengunjung. Pengelola perpustakaan mengungkapkan kurangnya keragaman dan jumlah koleksi yang dimiliki perpustakaan.
Keterbatasan perpustakaan dan kurangnya koleksi perpustakaan jelas berpengaruh terhadap minat kunjungan ke perpustakaan. Berbagai kajian menunjukkan bahwa para pemustaka (pengguna perpustakaan) kurang tertarik berkunjung ke perpustakaan selain karena bahan pustaka yang diperlukan tidak tersedia di perpustakaan, juga beralasan karena suasana perpustakaan dan layanan yang diberikan dinilai tidak sesuai dengan kebutuhannya.
Faktor keterampilan dan keahlian pengelola perpustakaan juga berpengaruh terhadap minat pengguna perpustakaan. Perpustakaan yang ideal adalah yang dikelola secara profesional, berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan pengguna, dan selalu berupaya melakukan perbaikan dan peningkatan terus menerus.
Koleksi perpustakaan perlu dipelihara, ditambah, dan dimanfaatkan atau dilayankan kepada pengguna. Suasana perpustakaan juga harus diciptakan senyaman mungkin dan mendorong masyarakat untuk datang dan melakukan aktivitas membaca di perpustakaan.
Penyelenggaraan perpustakaan saat ini mensyaratkan penggunaan teknologi informasi. Perpustakaan harus mampu memenuhi kebutuhan pengguna yang semakin beragam dan fleksibel. Pengguna perpustakaan sekarang menghendaki kecepatan dan ketepatan atas informasi yang dibutuhkan. Artinya, pengelolaan perpustakaan harus mengikuti perkembangan teknologi informasi. Koleksi, data, dan informasi yang dimiliki perpustakaan dilayankan kepada pengguna dengan memanfaatkan berbagai media baik online, offline, maupun layanan baca di tempat dan peminjaman.
Jadi jelas, tantangan perpustakaan tidak sekadar gedung dan koleksi perpustakaan berupa buku, majalah, dan sejenisnya. Tetapi lebih dari itu adalah penyediaan ragam koleksi dan mekanisme layanan yang prima, dengan memanfaatkan teknologi.
Sebenarnya sudah ada regulasi yang dapat menjadi landasan pengembangan perpustakaan, terutama UU No. 43/2007 tentang Perpustakaan. Selain itu, untuk perpustakaan sekolah diatur dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa sekolah harus mengalokasikan minimal lima persen dari rencana anggaran sekolah untuk perpustakaan. Hal yang sama juga berlaku untuk perguruan tinggi.
Ketika perangkat aturan sudah ada, persoalan pada komitmen dalam implementasi. Sampai kini masih ada sebagian orang yang berpandangan bahwa perpustakaan sekadar pelengkap. Pengangkatan pegawai atau petugas perpustakaan sering didasarkan pada pertimbangan miring, seperti pegawai yang ’’bermasalah’’ dimutasi ke perpustakaan atau siapa saja bisa jadi petugas perpustakaan. Ada juga penempatan perpustakaan di lokasi yang tidak strategis, di sudut ruang yang tidak terpakai. Kalau sudah demikian, selanjutnya koleksi usang, orang malas berkunjung ke perpustakaan, dan tidak ada penambahan koleksi yang berarti.
Ketersediaan tenaga kerja dengan basis pendidikan ilmu perpustakaan dan informasi juga masih terbatas. Bisa jadi ini problem yang membentuk mata rantai melingkar. Lulusan SMA/SMK kurang berminat masuk program studi ilmu perpustakaan dan informasi karena paradigma usang bahwa perpustakaan bukan tempat yang menjanjikan untuk berkarir. Perguruan tinggi juga tidak menyelenggarakan program studi ilmu perpustakaan secara mandiri dimungkinkan karena rendahnya minat dan jumlah calon mahasiswa. Kalaupun ada masih dicangkokkan di program
studi lain.
Mereka yang telah menyelesaikan pendidikan di ilmu perpustakaan dan informasi tidak juga terserap di berbagai perpustakaan. Penyelenggara perpustakaan, tidak juga merekrut tenaga dengan basis pendidikan ilmu perpustakaan dan informasi karena tidak ada program rekrutmen, keterbatasan anggaran, atau karena berpandangan bahwa tugas-tugas di perpustakaan bisa dilakukan oleh siapa saja, tidak harus berpendidikan ilmu perpustakaan dan informasi.
Sampai saat ini memang belum ada definisi yang disepakati terhadap apa yang disebut perpustakaan. Tetapi ada beberapa patokan yang dapat dijadikan pegangan. Suatu perpustakaan adalah memiliki ruang tersendiri, memiliki koleksi minimal 1000 judul, ada petugas khusus yang melayankan, dan memiliki mekanisme pengelolaan dan pelayanan.
Untuk perpustakaan sekolah atau perguruan tinggi ada pegangan rasio koleksi dengan peserta didik yaitu sekitar 1:15. Jadi, suatu sekolah yang memiliki 700 siswa, maka koleksi perpustakaan idealnya minimal 10.000 judul. Itu pun koleksi harus terus ditambah dan diperbarui sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Sementara perpustakaan ideal dikelola oleh minimal tiga orang; yaitu bidang layanan, bidang pengelolaan, dan seorang kepala atau koordinator perpustakaan.
Jika pun terpaksa, perpustakaan minimal dikelola oleh dua orang, kepala atau koordinator bisa dirangkap oleh salah satu di antaranya. Jika dilihat dari jumlah sekolah, terutama yang belum memiliki perpustakaan yang berjumlah lebih dari 76 ribu sekolah, maka sebenarnya peluang karir di perpustakaan cukup terbuka. Belum lagi perpustakaan umum milik daerah, perguruan tinggi, maupun perpustakaan institusi tertentu.
Adanya UU tentang Perpustakaan dan aturan-aturan pelaksanaan merupakan pengakuan bahwa pustakawan merupakan profesi yang diakui dan perpustakaan merupakan lembaga resmi. Tinggal bagaimana kita mengubah cara pandang dan komitmen terhadap pendidikan melalui perpustakaan.
Guru, kepala sekolah, dan pimpinan instansi dapat bersinergi mendorong budaya baca, menyelenggarakan pembelajaran yang menyenangkan dan kreatif melalui perpustakaan. Pengelola perpustakaan juga dituntut memberikan layanan secara tepat sesuai kebutuhan pengguna, cepat tanggap, kepastian layanan sesuai yang dijanjikan, dan mengedepankan sifat humanis. Dengan demikian perpustakaan akan mampu mencapai misinya menjadi sumber belajar dan wahana penerusan nilai-nilai budaya bangsa. (*)