Sabtu, 01 Desember 2012

MENJADI GURU DI ERA PERUBAHAN


(RADAR LAMPUNG, KAMIS, 22 NOVEMBER 2012)

Dalam beberapa waktu terakhir, ada beberapa poin penting terkait dengan profesi guru. Setelah hiruk-pikuk digelarnya Uji Kompetensi Guru (UKG), kini muncul kebijakan baru perubahan kurikulum pendidikan yang mulai diberlakukan 2013. Di sisi lain, praktik profesi guru ditingkahi beberapa peristiwa, perkelahian pelajar, laporan kekerasan yang diduga dilakukan oleh guru, tuntutan guru honorer agar diangkat menjadi pegawai negeri, nominal honorer yang dinilai sangat tidak manusiawi, tuntutan transparansi tunjangan sertifikasi, dan sebagainya.

MESKIPUN begitu, ada pula beberapa prestasi siswa yang mencuat, seperti mobil esemka dan bidang permesinan, kemampuan (merakit) komputer dan berbagai perangkat teknologi, serta bidang seni dan budaya lainnya.
Menjadi guru di era kini memang menuntut banyak kompetensi. Perubahan yang serba cepat yang terjadi di masyarakat mengharuskan guru berpacu untuk dapat menjalankan profesinya sesuai ketentuan. Jadi diperlukan kesiapan diri untuk mengantisipasi perubahan.
Perubahan kurikulum, terutama di tingkat Sekolah Dasar, jelas berdampak luas terhadap guru. Meskipun istilahnya pengembangan kurikulum, ada beberapa hal mendasar yang perlu dipersiapkan oleh guru. Perubahan itu bukan sekadar pengurangan jumlah mata pelajaran, tetapi pengintegrasian beberapa substansi mata pelajaran ke dalam semua pelajaran.  Model dan pendekatan pembelajaran juga harus diubah. Singkatnya paradigma guru terhadap pembelajaran yang dikelolanya harus berubah.
Salah satu contoh yang paling nyata dan krusial adalah penerapan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). TIK bukan lagi merupakan mata pelajaran tersendiri, tetapi harus mewujud dalam praktik pembelajaran. Demikian halnya dengan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), dan Pramuka.  
Secara kuantitif jumlah guru yang akrab dengan perangkat teknologi tidak lebih banyak dibandingkan yang sudah menggunakan perangkat teknologi dalam pembelajarannya. Penguasaan guru dalam pemanfaatan teknologi untuk pembelajaran merupakan problem terpendam. Bagaimana mungkin guru dapat melaksanakan pembelajaran yang memenuhi standar minimal, sedangkan ia “belum selesai dengan dirinya sendiri”.
Ada problem psikologis yang dihadapi guru. Merasa usia sudah tua, sehinga menganggap tak perlu lagi belajar komputer, berasumsi komputer itu rumit, dan berada di “zona nyaman”.
Dilema lain yang dihadapi guru adalah tindakan dalam pendisiplinan siswa. Terlalu longgar dalam aturan disiplin membuat siswa tidak fokus dalam belajar dan mengganggu iklim belajar di sekolah. Menegakkan aturan disiplin di sekolah, membuat guru berurusan dengan polisi. Terkadang siswa dan orang tua siswa emosional membuat laporan ke polisi.
Guru yang menghadapi permasalahan terkadang tidak berdaya dalam berbagai situasi. Menyuarakan aspirasi sering dianggap sebagai tindakan tak pantas, dengan dalih guru banyak tuntutan. Mempertanyakan transparansi pengelolaan anggaran sekolah atau gaji dan tunjangan yang tersendat, dikatakan guru tak layak mengurusi soal uang. Tugas guru itu mengajar, bukan soal uang.
Di bagian lain guru tugas-tugas guru juga syarat beban administratif . Hal ini terjadi karena tidak berjalannya sistem dan fungsi-fungsi institusional. Guru yang bersertifikasi disibukkan oleh pendataan (pemberkasan) yang berulang-ulang, pencairan tunjangan yang terhambat, simpang-siur informasi kebijakan baru yang akan diberlakukan, dan sebagainya.
Guru yang sedang dalam proses sertifikasi juga menghadapi tantangan yang sama. Karena ketidaksiapan, dan karena  dorongan untuk dapat lulus dalam program sertifikasi tak jarang ada yang menempuh jalan pintas.
Padahal dengan sistem yang terkomputerisasi, beberapa beban tugas yang bersifat rutin dan administratif dapat terkurangi secara  signifikan. Pendataan (pemberkasan) cukup dilakukan sekali dalam periode waktu tertentu, misalnya satu tahun atau dua tahun, karena perubahan-perubahan data dalam kurun waktu itu dalam secara otomatis diprogram.
Pemberkasan yang bersifat fisik dan berulang-ulang selain pemborosan juga mencerminkan sikap tidak profesional. Pernah ditemukan berkas-berkas guru sertifikasi di suatu kabupaten di Lampung, menjadi bungkus kacang di Ciamis, Jawa Barat. Ini mengindikasikan bahwa pemberkasan fisik sebagiannya adalah memproduksi limbah kantor. Padahal guru dibuat pontang-panting memenuhi berkas yang diminta.
Masih banyak guru yang enggan melakukan perubahan dan tidak siap terhadap perubahan. Sebagian beranggapan perubahan sebagai “ancaman” terhadap statusnya. Penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang kemudian menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menghendaki guru kreatif dan aktif merencanakan pembelajaran dan leluasan memanfaatkan sumber belajar yang sesuai dengan kondisi setempat.  Tetapi setelah berjalan beberapa tahun, ternyata masih banyak guru yang mengelola kelas secara konvensional dan membelajarkan siswanya sebagaimana dia dulu diajar oleh guru-gurunya terdahulu.
Adanya seminar, pelatihan, dan workshop mampu mengubah cara pandang guru terhadap keberlakuan kebijakan  dan program baru. Tetapi biasanya setelah kembali ke tempat tugas hasil dari kegiatan pelatihan, workshop, dan sejenisnya itu, sulit terimplementasi di tempat tugasnya. Persoalannya adalah seminar, pelatihan, atau workshop itu tidak mampu menjangkau sebagian besar guru, dilaksanakan dalam kerangka proyek (biasanya akhir tahun anggaran), dan ketidaksiapan perangkat-perangkat lain yang ada di sekolah.
Pengamatan penulis di suatu sekolah dengan jumlah guru sekitar 60 orang, diberangkatkan dua orang untuk mengikuti pelatihan TIK selama tiga hari. Karena bekal kemampuan dasar yang minimal, dalam pelatihan yang semestinya dengan target untuk implementasi pembelajaran multimedia, akhirnya pelatihan berisi kegiatan “belajar mengetik dengan komputer”.  Sekembalinya ke tempat tugas mengajar, di sekolah tidak tersedia komputer, LCD projector, bahkan aliran listrik pun terbatas.
Paradigma baru pendidikan menghendaki pembelajaran dilaksanakan secara aktif, inovatif, kreatif, dan menyenangkan. Merencanakan, mengelola, merefleksikan, dan mengevaluasi pembelajaran, dengan cara konvensional dan manual saja belum sepenuhnya mampu dilaksanakan, kini sudah disusul dengan kebijakan baru perubahan kurikulum dengan pendekatan sains dan pemanfaatan komputer.
Yang juga menjadi tantangan pemerintah adalah penyediaan perangkat komputer dan jaringan internet di sekolah. Menyediakan sarana komputer dan jaringan internet di tengah infrastruktur fisik yang belum beres, jelas bukan pekerjaan mudah.
Dari seluruh paparan di atas penulis meyakini masih ada idealisme, spirit, dan dedikasi guru untuk mendidik generasi muda. Dengan bermodal semangat dan panggilan jiwa untuk mengabdi kepada kemanusiaan, diyakini guru mampu terus berkiprah dan berkontribusi dalam membangun fondasi pembangunan.
Birokrasi pemerintahan yang mengelola guru juga harus melakukan perubahan substansial, yaitu responsif terhadap perubahan. Perubahan bukan hanya simbolik atau kamuflase dan lip service. Birokrasi harus menjadi sarana tertib administrasi dan pemandu agar program tetap berada di arah yang benar dan agar dapat dilaksanakan secara lancar.
Kepemimpinan di organisasi sekolah juga memiliki ciri khas yang berbeda dengan perusahaan. Kepala sekolah yang berhasil adalah yang mampu menumbuhkan prakarsa dan motivasi guru untuk melakukan tugas dengan penuh tanggung jawab, mendorong guru untuk terus belajar, dan membangun iklim sekolah yang kondusif untuk belajar siswa. Keberhasilan kepala sekolah juga dapat diindikasikan dari kesantunan sikap orang-orang yang ada di sekolah itu, suasana belajar yang penuh semangat, pengelolaan anggaran sekolah yang transparan, dan keterlibatan berbagai stakeholder di sekolah yang dipimpinnya.
Kepala sekolah yang berhasil bukan mereka yang ke sekolah dengan bermobil mewah, atau tidak ada di tempat ketika guru hendak bertanya. Bukan pula yang selalu sibuk tugas luar, dan tugas dalam ketika akan ada tamu pejabat yang lebih tinggi.
Pembinaan terhadap profesi guru merupakan bagian tak terpisahkan dari fungsi-fungsi institusi pemerintahan bidang pendidikan. Paradigma pembinaan bukan “mengawasi”, atau menekan dan menebar informasi tak jelas. Pembinaan profesi guru dilakukan melalui pendampingan dan konsultasi, pengarahan, diskusi, dan pelatihan-pelatihan. Semoga tidak ada lagi instansi yang saling melempar tanggung-jawab. Dan semoga terwujud profil dan figur guru yang selalu dirindu siswanya, diteladani sikap-tindaknya, dan menebar kreativitas terhadap siswa sehingga terwujud siswa yang berprestasi. Selamat Hari Guru 25 November 2012. (*)

Tidak ada komentar: