Setiap tahun,
gelaran Ujian Nasional (UN) selalu menyita perhatian publik. Banyak faktor yang
mendasari mengapa Ujian Nasional menyedot energi masyarakat. UN bukan event
yang berdiri sendiri, sebagai bagian integral proses pembelajaran siswa di
sekolah. UN sudah seperti menjadi hajatan tahunan secara nasional.
Dalam beberapa tahun
belakangan ini, ada yang berubah dalam nuansa UN. Jika dulu UN menjadi pemacu
belajar siswa secara lebih intensif, dan meraih keberhasilan dengan kebahagiaan
dan kebanggaan yang hakiki.
Ketika lulus ujian,
siswa mengungkapkannya dengan rasa syukur yang dalam. Keluarga pun menyambut
dengan wajar. Sekolah menanggapi secara elegan. Tidak ada acara yang bersifat
hura-hura, seperti pawai kendaraan bermotor, mencoret-coret baju seragam, atau
pesta-pesta sekelompok pelajar.
Citra dan Harga Diri
Dewasa ini, UN menyangkut
citra dan harga diri sebagian pihak. Sekolah yang tidak lulus 100 persen menanggung
malu, seakan-akan tamat sudah kelangsungan sekolah. Pejabat daerah, khususnya
yang terkait dengan pendidikan, juga akan kehilangan muka, apabila tingkat
persentase kelulusan siswa di daerahnya lebih rendah dari daerah lain.
Angka 100 persen
kelulusan siswa dalam UN menjadi prestise. Ia akan menjadi ikon promosi yang
menggiurkan. Citra sekolah pun naik daun. Sekolah menjadi favorit dituju calon
siswa baru. Bagi sekolah swasta, kelulusan 100 persen dan citra favorit merupakan
poin yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sulit dibayangkan bagaimana nasib
sekolah yang tingkat kelulusannya paling rendah, karena tahun-tahun berikutnya
tidak ada calon siswa yang mendaftarkan di sekolah tersebut.
Oleh karena itu, menjelang
UN, banyak pihak yang supersibuk. Berbagai
cara dilakukan untuk mendongkrak persentase kelulusan siswa. Upaya itu bukan
murni didasari motivasi meraih prestasi bagi siswa sekolah, melainkan didorong
semangat menjaga harga diri yang bersifat semu.
Akibat lanjutannya,
cara-cara illegal pun ditempuh. Ada tim tersembunyi yang bekerja secara
sistematis untuk mendongkrak nilai dan tingkat kelulusan. Sebagai “gerakan
bawah tanah”, jelas tidak ada “surat keputusan” pengangkatan anggota tim. Tapi
gerakannya jelas sistematis dan terkoordinasi. Kalau terbongkar, operator
lapangan dijadikan martir. Dan kalau gagal, maka berbagai konsekuensi sudah
siap menunggu; mutasi, nonjob, atau sanksi sejenis.
Fenomena “tim
sukses” yang berlangsung beberapa tahun belakangan ini berdampak psikologis
pada diri siswa yang saat ini sedang belajar atau akan menghadapi UN 2013. Survei
kecil menunjukkan kurangnya motivasi belajar menghadapi UN. Dalam diri mereka
tertanam sikap, bahwa UN pasti lulus 100 persen atau seloroh, kalau ada yang
tidak lulus, yang malu adalah sekolah. Siswa tampak kurang gairah mempersiapkan
diri menghadapi ujian. Yang terlihat justru sikap menunggu bocoran, atau
menanti SMS jawaban.
Jelas amat sulit
mengembalikan kondisi semangat belajar, apabila sudah tertanam sikap seperti
tersebut. Padahal membangun motivasi belajar itu semestinya dilakukan sejak
dini dengan cara-cara ilmiah. Motivasi belajar yang sudah terbangun juga harus
terus ditingkatkan dan dipelihara.
Fenomena kecurangan
dalam UN setiap tahun berulang. Modusnya saja yang berbeda dan penyelesaiannya
juga kabur. Akhirnya, untuk memperkecil kecurangan, dalam UN 2013
diselenggarakan dengan paket soal bervariasi, kode soal menggunakan barcode, pengawasan berjenjang dan
berlapis, serta prosedur-prosedur lain yang lebih ketat.
Menyikapi
kecenderungan praktik menyimpang dalam ujian, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Moh. Nuh menyatakan, "Saya minta kepala daerah wajib membuat suasana UN
berjalan dengan kondusif. Dilarang menekan kepala dinas, kepala sekolah, juga
guru agar sekolah luluskan UN 100 persen ,pelaksanaan UN harus jujur, dan
bertanggung jawab," ujar Moh. Nuh di Tangerang Selatan,Banten, Rabu (13/3)
(metrotvnews.com).
Dari pernyataan
menteri tersebut tersirat fakta bahwa selama ini telah terjadi pelanggaran yang
tersistematisasi. Permainan kotor yang merasuki dunia pendidikan. Sementara
para guru dan staf sekolah tidak berdaya menghadapi kekuatan elit birokrasi.
Kecemasan Orang tua
Suasana bathin dalam
masyarakat pun serupa dalam menghadapi UN. Tetapi kecemasan orang tua itu lebih
didasari “rasa malu” atau gengsi. Maka
ramai-ramailah memasukkan anak-anaknya ke dalam program bimbingan belajar yang
memang menjamur. Lembaga bimbel kebanjiran siswa, bahkan jam belajar sampai
malam hari atau malam minggu. Padahal siswa sudah menghabiskan waktunya di
sekolah. Jika demikian, siswa kehilangan kesempatan berinteraksi secara
berkualitas dengan keluarganya.
Disadari, menambah
jam belajar siswa di lingkungan keluarga merupakan tindakan bijaksana dan penting.
Sekolah pun mengharapkan partisipasi orang tua atau wali untuk mengarahkan dan
membimbing putra-putrinya belajar di rumah. Yang tidak bijaksana adalah memasukkan
anak-anak ke dalam program bimbingan belajar di luar sekolah didasari motivasi “supaya
lulus” atau “agar tidak kalah dengan temannya.
Situasi dan kondisi
demikian, lagi-lagi melahirkan persaingan tidak sehat. Siswa ditanamkan meraih
sesuatu dengan cara instan, bahkan sejak dini. Egoisme anak-anak yang
semestinya diarahkan ke hal-hal positif, seperti kerjasama dan keuletan justru
dipupuk untuk “menang sendiri”. Dalam “usia
emas”, anak-anak penting mendapat pengalaman yang menunjang kepercayaan diri, menumbuhkan
motivasi belajar, dan motivasi berprestasi secara benar.
Bimbingan belajar
idealnya diberikan di sekolah. Kalaupun siswa sangat memerlukan pembelajran
tambahan dilakukan secara private. Bimbingan
belajar diberikan secara situasional, seperti dalam rangka mempersiapkan diri
untuk ujian masuk perguruan tinggi, atau untuk seleksi memasuki dunia kerja. Atau
dalam rangka kebutuhan khusus minat dan bakat, seperti bahasa Inggris, bahasa
asing lainnya, atau bidang seni dan peminatan khusus.
Bimbingan belajar dalam
lembaga bimbingan belajar yang bersifat menetap cenderung kehilangan esensi
sebagai salah satu cara memperkaya wawasan dan pendampingan siswa. Ia akan
mudah tergelincir menjadi lahan bisnis yang bersifat sangat komersial.
Histeria massa
menghadapi UN juga kerap tercermin dari gejala kesurupan, baik kesurupan
beberapa siswa sekolah maupun kesurupan missal. Menjelang UN ada sekolah yang
menyelenggarakan kegiatan kerohanian dan doa bersama, acara-cara yang
dimaksudkan untuk motivasi, dan sejenisnya. Sekali lagi, ini upaya manusiawi,
tetapi jika diselenggarakan secara mendadak mengesankan ketiadaan persiapan
sejak awal.
Harapan Perbaikan
Bagaimanapun, ujian
dalam suatu jenjang pendidikan adalah tahapan penting untuk meraih prestasi di
berbagai bidang di kemudian hari. Ujian di sekolah termasuk UN, bukan saja
untuk mengukur pencapaian proses pembelajaran secara individual dan pemetaan
mutu pendidikan,
Kelulusan dalam
suatu ujian merupakan harapan setiap orang dan bagi siswa yang sedang menempuh
UN juga merupakan harapan dan kebanggaan para orang tua. Kelulusan dalam ujian
membuka berbagai kemungkinan dan harapan di masa depan yang lebih baik.
Semoga UN 2013 dilaksanakan
secara lebih baik, bermartabat, dan bertanggung jawab. Perbaikan secara teknis
dan procedural hendaknya dibarengi dengan perbaikan sikap mental menghadapi UN
baik bagi siswa, orang tua, guru, dan pejabat birokrasi pendidikan. (*)