ADA satu pertanyaan reflektif yang layak
diajukan kepada generasi muda masa kini; apakah mereka punya cita-cita menjadi
guru? Pertanyaan ini dimaksudkan untuk menggugah kembali penilaian dan
penghargaan terhadap profesi guru, sekaligus mengelaborasi minat dan hasrat
anak-anak muda untuk menjadi pendidik.
Citra guru dibentuk oleh sikap dan
tindakan guru sehari-hari. Persepsi terhadap guru mengalami perkembangan dari
waktu ke waktu.
Guru yang menjalani tugas dan
kewajibannya didasari panggilan jiwa akan lebih menunjukkan sikap yang memang
layak “digugu dan ditiru” (Jawa: dipercaya dan diteladani). Sosok guru yang
sabar dalam mendidik, hangat dalam hubungan sosial, dan selalu mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan. Ia akan mampu mengangkat harkat dan martabat
guru, mampu bertahan di tengah perubahan paradigma materialisme, dan menjaga
marwah serta integritas sebagai sosok pengabdi kepada kemanusiaan.
Menjadi guru di era teknologi informasi
berbeda jauh dengan guru era 1970-an. Kemajuaan yang demikiaan cepat seringkali
menimbulkan guncangan integritas dan krisis eksistensi. Fase inilah yang
disebut fase ujian terbesar dalam melakoni profesi mulia. Oleh karena itu, kita
mungkin sepakat bahwa prasyarat untuk menjadi guru memang agak berbeda
dibanding profesi lain. Artinya, menjadi guru harus didasari semangat
pengabdian untuk kemanusiaan, tak mudah silau dengan kemilau materi, santun
dalam tutur kata, sikap, dan tingkah
laku yang mencerminkan penjaga nilai-nilai luhur bangsa. Suatu perwujudan
kepribadian yang benar-benar nyata yang keluar dari hati nurani dan dilandasi
basis pendidikan yang memadai.
Pembentukan guru juga harus melalui proses
khusus yang memang membangun jiwa dan semangat keguruan dalam suatu kancah
“kawah candradimuka”. Ia dibekali dengan beragam kemampuan baik keterampilan
lunak (soft skill) maupun keterampilan keras (hard skill). Membangun jiwa dan
semangat guru seperti itu tentu tak bisa cukup hanya dalam hitungan bulan atau
hanya satu tahun. Proses itu membutuhkan waktu yang cukup lama, intens, dan
kontinu dalam suatu iklim pendidikan tenaga keguruan yang kondusif.
Tak cukup hanya memiliki kecerdasan
intelektual maupun kecerdasan sosial yang istimewa. Ia tak hanya mumpuni di
satu bidang ilmu pengetahuan.
Figur guru hendaknya mencakup semua
aspek kecerdasan, termasuk kecerdasan emosional maupun kecerdasan spiritual.
Dengan begitu ia akan mengelola belajar dan pembelajaran dengan cara yang
kreatif dan membangun generasi yang inovatif serta kreatif pula. Ia senantiasa
mengisi ruang kosong tekanan kebutuhan hidup di era modern kini, sekaligus melihat
masa depan dengan preskripsi yang terarah dan terukur.
Namun demikian bukan berarti sosok guru
adalah sosok manusia sempurna, tanpa cela dan cacat. Ia adalah manusia biasa
yang memiliki kemauan untuk menjadi manusia pembelajar dan membelajarkan dengan
sepenuh hati. Ia adalah manusia yang menanam dan menabur kebaikan, tanpa pamrih,
dan tetap manusia yang setia di jalannya.
Sekali lagi kita mungkin sepakat bahwa
generasi produktif saat ini dibentuk oleh para guru di era 1960-an atau 1970-an,
dan wajah bangsa ini 20 atau 40 tahun ke depan akan diwarnai oleh para pendidik
saat ini. (*)