Muhadjir dianggap membuat kegaduhan
dengan kebijakan diterapkannya lima hari sekolah yaitu Senin sampai Jumat mulai
tahun pelajaran 2017-2018. Kebijakan itu berlaku di semua jenjang Pendidikan
Dasar dan menengah.
Kepastian akan kebijakan diterapkannya
lima hari sekolah dalam satu minggu ditegaskan oleh Mendikbud di Istana
Kepresidenan (11/6/2017). Mendikbud memberi keterangan bahwa sekolah lima hari
dengan dasar hukum Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan.
Inti dari peraturan tersebut adalah
bahwa PP itu mengatur waktu kerja guru dan kepala sekolah mencapai 40 jam per
pekan dengan waktu istirahat sekitar 30 menit per hari, atau waktu kerja aktif
37,5 jam per pekan. Dengan demikian, Sabtu libur atau lima hari sekolah adalah
berdasarkan peraturan yang sah.
Berbagai gelombang penolakan terus
mengalir dari banyak elemen masyarakat, terutama para pelaku pendidikan.
Meskipun demikian, ada juga kelompok masyarakat yang mendukung diterapkannya
lima hari sekolah. Bahkan sebagian akademisi pun menyatakan bahwa konsep lima
hari sekolah akan lebih bermanfaat baik bagi siswa, keluarga, maupun lembaga
pendidikan lain seperti madrasah diniyah maupun pondok pesantren.
Sebelumnya, pada Agustus 2016, Mendikbud
Prof. Muhadjir Effendy merilis akan diterapkannya model pendidikan Full Day
School (FDS) yang secara konseptual mengacu pada prinsip penguatan pendidikan
karakter (PPK). Konsep ini mendasarkan pada argumentasi bahwa jumlah jam proses
pembelajaran di sekolah 40 jam per pekan. Ini berarti apabila sekolah
menerapkan delapan jam per hari, maka kriteria 40 jam pembelajaran di sekolah sudah terpenuhi.
Konsep lima hari sekolah ini tampaknya
menjadi agenda bagi sang menteri. Setidaknya itu bisa dilihat dari ambisi
menerapkan lima hari sekolah, dan mengkampanyekan bahwa lima hari sekolah
berbeda dengan konsep FDS.
Derasnya arus penolakan guru berada di
sekolah 8 jam per hari umumnya menilai karena akan mendegradasi nilai-nilai
keluarga, menggerus eksistensi madrasah diniyah yang sebagian besar aktivitas
belajarnya sore hari. Selain itu juga ketidaksiapan sarana dan prasarana
sekolah, serta kesiapan guru.
Yang juga penting dicatat bahwa
kebijakan ini, jika benar-benar akan diterapkan tahun ini, dianggap tidak
melalui proses uji publik, tidak dilakukan sosialisasi secara memadai, tidak
melalui percontohan terlebih dahulu. Dengan demikian benar penilaian bahwa
Mendikbud Muhadjir Effendy memiliki agenda tersendiri. Namun bagi para penyokongnya,
Muhadjir Effendy dipromosikan sebagai figure yang demokratis, menghargai
pendapat pihak lain, dan mau menerima berbagai masukan. Dasarnya, saat tahun
2016 silam ketika gagasan FDS dia lontarkan dan kemudian mendapat penolakan
yang kencang dari para stakeholder, dia berketetapan bahwa penerapan FDS
ditunda, sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
Nah, barangkali jika di pertengahan Juni
2017 dia mengeluarkan Permendikbud Nomor 23 Tahun 217 tentang yang mengatur jumlah
jam sekolah. Tersiar kabar Presiden meminta Mendikbud untuk membatalkan aturan
tersebut.
Kebijakan Mendikbud ini membuat publik gerah.
Masyarakat dibuat seolah-olah tidak paham. Dibuat rancu dengan istilah-istilah.
Jika dulu istilah yang digunakan adalah FDS, yang esensinya adalah sekolah hanya
lima hari, kini dikenalkan konsep sekolah lima hari dengan kata-kata berbeda,
yaitu Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). PPK mengutamakan
lima nilai utama, yaitu religius, nasionalis, gotong royong, mandiri, dan
integritas.
Kedua konsep tersebut sama-sama
mempraktekkan dan mempromosikan sekolah lima hari. Pak Menteri tetap menyatakan
bahwa dengan PPK model lima hari sekolah ini maka penerapan pendidikan karakter
dengan porsi 70 persen dan pendidikan pengetahuan 30 persen. Prosesnya juga
memanfaatkan berbagai sumber belajar,
termasuk lapangan olahraga, masjid atau mushola, perpustakaan, museum, dan
sebagainya.
Penerapan kebijakan lima hari sekolah ini
juga menimbulkan berbagai spekulasi dan dugaan-dugaan yang menjurus pada
anggapan bahwa Mendikbud sengaja menguji kekuatan ormas tertentu, sekaligus
menunjukkan “power” sebagai menteri.
Jabatan menteri adalah jabatan
politik. Sudah menjadi rahasia umum
bahwa Mendikbud Muhadjir Effendy berafiliasi dengan salah satu ormas. Sementara
ormas lain mengklaim memiliki puluhan ribu satuan pendidikan, dan ratusan
perguruan tinggi. Sementara jumlah lembaga pendidikan yang berada di bawah
naungan ormas sang menteri kalah jumah jumlahnya.
Saat ini juga di berbagai platform media
sosial, beredar penolakan diterapkannya lima hari sekolah. Bahkan ada situs
yang menyelenggarakan petisi untuk menolak program lima hari sekolah. Salah
satu akun di facebook membuat surat terbuka kepada menteri pendidikan dan
kebudayaan, dan menilai kebijakan lima hari sekolah berpotensi membenturkan dua
ormas tertentu.
Adanya pro dan kontra atas suatu
kebijakan baru sebenarnya hal yang lumrah. Namun arus pro dan kontra itu harus
dikelola dan diadaptasi dengan mengedepankan obyektivitas dan rasionalitas.
Dahulu penerapan Kurikulum Tahun 2013 pun menuai banyak protes dan keluhan.
Menyikapi polemik ini, sebaiknya jauhkan
sikap curiga dan mau menang sendiri. Bagi pemegang otoritas juga sebaiknya
meninjau kembali pada aspek-aspek tertentu dalam penerapan lima hari sekolah,
yang berpotensi mengganggu proses pembelajaran, merusak mental siswa, atau
sistem pendidikan.
Dalam hemat penulis, sebaiknya penerapan
lima hari sekolah ditunda (lagi). Kalaupun terpaksa harus diterapkan tahun ini
juga, maka sebaiknya diterapkan sebagai proyek proyek percontohan atau bertahap
sesuai kesiapan sekolah.
Tantangan utama konsep lima hari sekolah
yaitu kesiapan sarana dan prasarana sekolah serta sumber daya pendidik dan
tenaga kependidikan. Secara adinistratif juga perlu sosialisasi dan pilot
proyek, membangun partisipasi dan koordinasi dari semua elemen masyarakat.
Secara pedagogik perlu dilakukan kajian
lebih mendalam mengenai dampak dan manfaat lima hari sekolah. Sebab, sekolah
adalah institusi yang kita percaya untuk mendidik anak-anak generasi muda
penerus bangsa.
Proses pembelajaran harus dalam suasana
yang mampu memicu dan memacu kreativitas peserta didik, dalam suasana yang
menyenangkan dan menumbuhkembangkan sikap demokratis. Artinya, guru sebagai
sosok penting dalam aktivitas belajar
juga harus memiliki kemampuan menstimulus kreativitas peserta didik, berusaha
keras menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan bagi peserta didik,
dan tetap meperlakukan peserta didik sebagai subyek yang setara dalam harkat
dan martabatnya. (*)