Jumat, 27 November 2009

RUTINITAS DAN CITRA GURU

Rutinitas dan Citra Guru
Kado untuk Guru di Hari Guru (25 November)

(Artikel ini pernah dimuat di Harian Radar Lampung edisi Rabu, 25 November 2009)

Oleh Dwi Rohmadi Mustofa
Mahasiswa Pascasarjana Teknologi Pendidikan Universitas Lampung

Tanggal 25 November, setiap tahun diperingati sebagai Hari Guru. Artinya, setiap tanggal itu sangat patut dijadikan momentum untuk merefleksikan apa yang telah dilakukan sekaligus merancang apa yang akan dikerjakan di tahun depan. Merefleksikan kerja-kerja di masa lalu, bagi sebagian guru, bukanlah pekerjaan mudah. Apalagi bila mereka telah terjebak pada rutinitas, dan terpasung pada model pengajaran (pembelajaran) yang kaku, sebagaimana diyakini oleh sebagian guru. Paradigma, kebijakan, dan tatanan tentang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), yang memberikan otonomi kepada guru tentang pembelajaran, sering menemui jalan buntu. Padahal kegiatan sosialisasi, pelatihan, penerbitan dan sebagainya tentang KTSP tak kurang banyaknya. Itulah repotnya mengubah kebiasaan cara kerja yang telah menjadi rutinitas. Doni Koesoema (2009:39) mengupas tentang jebakan rutinitas yang dialami guru. Keteraturan, irama, dan jadwal merupakan istilah yang menyertai dinamika kehidupan guru. Tanpa ada keteraturan dan rutinitas guru tidak dapat bekerja dan malahan akan kehilangan orientasi. Situasi ini membuat guru terjebak pada rutinitas yang memandulkan kreativitas dan inovasi dalam kinerja mereka.
Buku Doni Koesoema yang berjudul Pendidik Karakter di Zaman Keblinger (Jakarta: Grasindo) ini dalam suatu resensi yang dimuat Kompas, diberi judul yang provokatif: Radikalisasi Peran Guru. Mudah dipahami bahwa peresensi berharap membumikan gagasan buku agar benar-benar lebih dapat memperoleh tempat di hati seluruh masyarakat. Buku ini sangat inspiratif dan menggugah kesadaran kembali akan esensi guru dan pendidikan pada umumnya.
Momentum Hari Guru sangat pantas bila kita mengungkap kronik kehidupan profesi pendidikan ini. Maksudnya adalah untuk membangkitkan atensi dan apresiasi terhadap profesi yang sangat strategis bagi kehidupan masa depan bangsa ini.
Salah satu point of view yang pantas kita angkat ke permukaan adalah kebutuhan-kebutuhan pendidikan. Tuntutan terhadap guru sedemikian besarnya. Tuntutan profesi semakin besar. Kebutuhan siswa juga berkembang. Istilah lainnya, standar kompetensi semakin hari juga semakin meningkat. Pada setiap situasi, guru hendaknya memberikan perhatian kepada siswa yang lambat, menemui kesulitan, menghargai pendapat dan perasaan orang lain (empati).
Guru dan atau lembaga pendidikan jarang menyediakan wadah bagi aktualisasi diri warganya. Guru berkutat dengan rutinitasnya. Bahkan tak jarang tak ada waktu untuk sekadar meningkatkan pengetahuannya. Tapi memang tidak bisa serta merta kita katakan sepenuhnya waktu guru dihabiskan untuk pekerjaan. Guru juga harus mawas diri, apakah benar-benar memanfaatkan waktunya untuk kegiatan yang positif, mendukung profesinya, memberikan sumbangan berharga terhadap proses transformasi diri ke arah yang lebih baik.
Mereka harus mampu memberikan sumbangan, yang berharga bagi siswanya. Ini berarti akan membantu bangsa ini di masa depan menciptakan kondisi yang lebih baik.
Di tengah situasi penyediaan sarana pendidikan yang mengalami ketimpangan, guru tetap harus menunjukkan kinerjanya yang paling optimal. Sebenarnya ini juga berlaku bagi profesi lainnya. Beberapa hari menjelang hari guru, potret penyediaan sarana pembelajaran berupa gedung sekolah seperti mendapat tamparan keras. Seperti ditulis media, di Tulangbawang dan Lampung Barat dilaporkan gedung sekolah ambruk, dan di Waykanan, selesai dibangun SMA rusak. Pada saat yang hampir bersamaan di beberapa daerah lainnya demikian pula, di beberapa kabupaten di Jawa Timur dan Jawa Tengah seperti diberitakan di televisi. Memang pada setiap kejadian ada pemicunya, seperti angin puting beliung, atau hujan deras yang tidak biasa. Tapi setelah ditelisik lebih jauh, ternyata umur bangunan belum begitu lama, dan ditegaskan bahwa robohnya bangunan sekolah sebagai akibat kualitas bangunan yang rendah.
Sebenarnya, untuk sekadar mengatakan kualitas bangunan jelek karena dibangun asal-asalan, tidak ada yang berani, kecuali hasil investigasi wartawan dan kemudian diberitakan. Hal ini hanyalah salah satu contoh kecil, di antara sekian banyak dimensi-dimensi pendidikan yang memerlukan perhatian khusus, selain dimensi profesi guru. Aspek mutu sarana pendidikan, seperti contoh kasus tersebut, jika diyakini sebagai fenomena gunung es, maka sebenarnya itu hanyalah merupakan permukaannya saja yang kebetulan mencuat. Masih banyak potensi laten yang tersimpan.
Diskursus dan polemik tentang program sertifikasi guru hingga kini juga tak ada berhentinya. Suatu hasil survei terhadap guru yang telah bersertifikasi profesional, menyebutkan hanya 34 % kinerjanya meningkat. Selebihnya bagaimana? Menyikapi hasil survei ini tak perlu pula kita kebakaran jenggot. Pejabat birokrasi hendaknya menjadikan setiap hasil survei sebagai bagian upaya-upaya perbaikan. Terlebih lagi survei dilakukan oleh institusi resmi dan dilaksanakan dengan metodologi yang ketat. Guru pun yang telah memperoleh sertikat profesional hendaknya mampu menunjukkan kinerja yang meningkatkat, mengungkapkan orientasi dan motif mengikuti sertifikasi sebagai bagian dari upaya perbaikan diri, selain pengakuan semata-mata, apalagi orientasi finansial. Mari kita tengok kembali mekanisme dan prosedur yang telah dijalani dalam rangka program sertifikasi itu. Harian Kompas edisi 13 November 2009 melaporkan di bawah judul besar: Sertifikasi Guru Tidak Tepat Sasaran; Motivasi Guru Lebih pada Aspek Finansial. Intinya adalah program pemerintah untuk meningkatkan kualitas guru dan sekaligus kesejahteraannya, tidak tercapai sesuai targetnya. Padahal, kompetensi merupakan bagian yang melekat pada profesi. Pertanyaannya, bagaiman dikatakan berkualitas apabila kompetensinya masih diragukan? Persoalannya bukan menyangkut satu dua orang, tetapi ini mencakup sekitar 2,7 juta guru. Sedangkan mereka yang telah mengikuti sertifikasi sekitar 500 ribu guru.
Dalam melakoni profesinya, guru tidak sendirian mewujudkan pendidikan yang berkualitas. Peran, tugas, fungsi, dan tanggung jawab guru berkaitan dengan fungsi-fungsi lainnya seperti birokrasi di bidang pendidikan. Oleh karena itu tidak fair rasanya apabila sorotan miring terhadap pendidikan, porsi terbesar dipikulkan ke pundak guru. Sebuah pembahasan panjang dilakukan oleh ST Kartono (Sekolah Bukan Pasar; Catatan Otokritik Seorang Guru, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009). Buku ini menyajikan fakta-fakta betapa sulitnya posisi guru berhadapan dengan birokrasi, dilema-dilema yang dihadapi guru, dikotomi perlakuan terhadap sekolah negeri dan swasta, ketimpangan sarana dan prasarana, keterjebakan guru pada kebijakan, dan sebagainya.
Apabila merujuk pernyataan Prof. HAR Tilaar, kunci dari permasalahan pendidikan di Indonesia adalah dalam manajemen. Sekolah rusak, karena manajemen buruk. Ketimpangan dalam kualitas pendidikan antar-wilayah, karena manajemen distribusi guru yang tidak akurat, dan sebagainya. Substansinya, buruknya perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi atas penyelenggaraan pendidikan, berakibat pada wajah dunia pendidikan dewasa ini. Dalam hal ini, salahkah guru?
Ungkapan-ungkapan di sini sama sekali bukan dimaksudkan untuk mencari kambing hitam, tetapi semata-mata untuk menjadi bahan renungan dan referensi guna perbaikan ke depan. Ini juga sekaligus memaknai Hari Guru agar tidak lagi menjadi rutinitas. Sebab, bila menjadi rutinitas, nantinya tidak akan ada artinya lagi, dan dianggap angin lalu. Oleh karena itu sepantasnya apabila semua pihak memberikan perhatian kepada profesi guru, dengan caranya masing-masing, dalam rangka mengangkat harkat dan martabat guru. Memberikan pengakuan, penghargaan, dan sumbang saran terhadap pendidikan merupakan salah satu bentuk apresiasi kepada profesi guru.
Membangkitkan optimisme terhadap usaha-usaha perbaikan yang tengah dilakukan di dunia pendidikan, juga merupakan bagian dari pengakuan terhadap profesi guru.
Media massa harus kita akui memiliki peran penting dalam rangka membangun citra guru yang semestinya. Fungsi media sebagai wahana kritisisme tidak juga mengurangi ruang bagi penyampaian informasi tentang sosok guru yang mencapai kemajuan. Profil guru yang maju, berprestasi, berperan tulus mendidik siswa sepantasnya senantiasa diangkat ke panggung publik agar menjadi teladan bagi lebih banyak orang sekaligus meluruskan persepsi yang melenceng tentang profesi guru.
Mengubah persepsi yang telah melekat di benak orang memang bukan pekerjaan mudah. Tetapi apabila diberikan ruang yang cukup untuk menyampaikan informasi yang lebih komprehensif diharapkan citra positif profesi guru kian tersebar luas. Selamat Hari Guru. (dwi_rohmadi@yahoo.com)

Tidak ada komentar: