Jumat, 20 November 2009

HIPOTESIS MONOPOLI KEBENARAN

MONOPOLI KEBENARAN

Seorang teman yang telah agak senior, dengan bangga mengatakan bahwa jika Anda menjadi pegawai, maka harus menerapkan prinsip:
Anda boleh pintar, tapi jangan minteri
Anda boleh bergerak cepat, tapi jangan mendahului (atasannya)
Anda boleh tajam (kritis), tapi jangan melukai.
Apa yang dikatakan teman tadi, bisa sangat benar pada saat dan kondisi yang tepat. Tapi menurut saya, bisa salah besar jika dikaitkan dengan tendensi orang yang mengatakan, apalagi jika ia dalam posisi “atasan”.
Diam-diam saya menaruh curiga. Jangan-jangan maksud teman tadi adalah ingin mengatakan: “Saya bos, jadi kalian jangan sekali-kali melawan”.
Secara panjang lebar kemudian teman saya tersebut mengungkapkan segala pengalamannya tentang gerakan “catut sana – catut sini”. Wah, luar biasa. Selain curiga, saya juga mencoba menganalisis: apa sebenarnya yang dia maksud? Mengapa dia mengatakan begitu? Bagaimana dia bisa mengatakannya?
Ada beberapa hiptesis yang kemudian saya ajukan.
Pertama, dia bermaksud mengatakan, “saya ini hebat khan?”.
Kedua, “dia mengatakan begitu karena selama ini kurang mendapat perhatian dari orang-orang di sekitarnya. Jadi, dia mencari perhatian alias ‘caper’.
Ketiga, “dia bisa mengatakan begitu karena ambisi yang tak terkendali tanpa dibarengi dengan kompetensi dan integritas”.
Secara makro jika kemudian saya generalisasikan pada sektor pegawai negeri, maka saya berkesimpulan bahwa di lingkungan birokrasi memang telah berkembang sikap (untuk tidak mengatakan budaya) minta dilayani bukan melayani.
Sampai tahap ini saya bermenung, betapa gawatnya bila “virus” ini menghinggapi orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Yang paling merisaukan apabila kemudian terjadi monopoli kebenaran atau penjajahan gaya baru.
Bagi saya, pernyataan seperti tersebut tepat pada situasi tertentu. Tapi secara umum, bila tidak melakukan analisis dan menelan mentah-mentah, bisa menyesatkan. Terkadang ada orang yang dikaruniai kelebihan dibanding orang lain, sehingga karunia itu hendaknya dimanfaatkan untuk kebaikan dan kemaslahatan ummat. Tentu saja tidak boleh dibatasi oleh sikap seperti apa yang tersurat dalam pernyataan itu.
Barangkali ada argumentasi lain yang ingin diajukan terkait statemen tersebut(?).

Tidak ada komentar: