Berbicara tentang kapitalisme pendidikan, maka pasti akan banyak pihak yang menangkap kesan hiperbolik atau melebih-lebihkan. Tetapi, jika melihat fakta-fakta di lapangan, kapitalisme pendidikan itu nyata. Kapitalisme, anehnya, sering diartikan secara sempit, dan celakanya lagi dikonotasikan dengan duniawi semata-mata seakan-akan tidak bertuhan.
Hari Rabu, 1 September 2010 Harian Radar Lampung, tampil dengan headline "10 Guru Terlibat Ijazah Palsu". Mengapa ini bisa terjadi? Menurut hemat saya, selain faktor eksternal, seperti peluang mengikuti program sertifikasi bagi guru, iming-iming dari penyedia ijazah yang mungkin "mamer" alias mahal meriah itu, tetapi faktor internal individu juga berperan penting. Andai saja mereka menyadari betapa jalan pintas yang mereka tempuh sangat kontras dengan statusnya sebagai guru, tentu ini tidak akan terjadi.
Kasus ini jelas memprihatinkan, karena bisa merosotnya citra guru. Kita tahu tidak semua guru melakukan pemalsuan. Masih amat banyak guru yang berdedikasi, meskipun terkadang tidak mendapat kesempatan untuk melejitkan potensi dirinya guna lebih mengoptimalkan pengabdiannya pada dunia pendidikan.
Kasus ijazah palsu, yang diduga dilakukan oleh guru, mencerminkan adanya kapitalisme di dunia pendidikan. Sertiikasi dipandang sebagai medium memperoleh tunjangan. Implikasinya adalah kesejahteraan. Jika dilihat dalam kacamata ideal, memang tujangan profesional yang diberikan pemerintah, dimaksudkan untuk memperbaiki kesejahteraan guru, sehingga diharapkan kinerjanya meningkat. Tetapi, kalau mengikuti program sertifikasi itu dengan cara-cara yang ilegal, maka apa yang diharapkan dari peningkatan kinerja dapat dipastikan omong kosong. (lanjut*****)
1 komentar:
Kasus pemalsuan ijazah, kapitalisme pendidikan, pemberitahuan jawaban saat UAN/UASBN, plagiator, dan kasus-kasus serupa yang telah mencoreng idealisme pendidikan memang memprihatinkan seperti penulis "Ijazah Palsu dan Kapitalisme Pendidikan" ini rasakan. Tetapi, berapa banyak orang atau lembaga yang peduli pada kasusu ini? Bahkan, orang atau lembaga pendidikan itu sendiri yang peduli hingga ada kemauan untuk mencegah kasus serupa terulang? Mereka pasti punya banyak alasan melakukan atau membiarkan kasus-kasus serupa ini terulang.
Lantas siapa yang bisa mencegahnya? Harapan penulis kepada pihak berwajib semoga berhasil. Tetapi, tanpa kepedulian masyarakat, lembaga pendidikan dengan civitas akademikanya, dan kemauan politik dari pemerintah, aku menyangsikan kasus serupa akan tuntas. Selama budaya 'pembiaran' semua pihak ini terjadi, kasus demi kasus akan bermunculan, dan pada akhirnya mustahil tujuan pendidikan (pembangunan) kita tercapai.
Posting Komentar