Dedikasi dalam pendidikan, pembelajaran, persekolahan, teknologi, dan ilmu pengetahuan untuk kemajuan peradaban ummat manusia. Segala sesuatu yang besar, dimulai dari hal-hal yang kecil.
(Versi lain artikel ini dimuat Lampung Post, Sabtu, 29 Januari 2011)
Berita tentang eksistensi perpustakaan di sekolah tampaknya jarang muncul ke ruang publik. Ketika muncul berita Lampung Post (Rabu, 26 Januari 2011) yang memuat data tentang 75 % SD/MI di Lampung tak memiliki perpustakaan, tentu saja mengejutkan bagi sebagian pihak yang memiliki perhatian terhadap pendidikan dan perpustakaan. Bagi sebagian masyarakat yang lain mungkin dianggap biasa saja.
Diberitakan, untuk tingkat SMP dan SMA jumlah sekolah yang memiliki perpustakaan relatif lebih baik.
Secara umum dapat dikatakan bahwa dari sisi kuantitatif jumlah perpustakaan itu sangat minim. Lalu bagaimana kategori kualitas perpustakaan dari SD/MI yang sudah memilikinya? Pertanyaan lain yang pantas diajukan adalah bagaimana perpustakaan itu dikelola, seberapa banyak sumber daya yang dimiliki, bagaimana pengembangan dan pembinaannya, dan bagaimana warga sekolah memanfaatkannya? Apa saja kontribusi yang diberikan atas eksistensi perpustakaan itu?
Dari yang sedikit SD/MI yang telah memiliki perpustakaan itu, tentu menghadapi berbagai problematika teknis.
ARTIKEL INI DIMUAT HARIAN RADAR LAMPUNG,KAMIS, 13 JANUARI 2011
Tak dapat
dipungkiri bahwa sebagian besar kegiatan pembelajaran di perguruan tinggi
dilakukan melalui penugasan membuat karya tulis bagi mahasiswa. Bagi mahasiswa
program sarjana, diwajibkan membuat suatu tugas akhir dalam bentuk skripsi. Tugas
menyusun skripsi bagi mahasiswa pada hakikatnya adalah proses pematangan
seluruh hasil belajar selama di perguruan tinggi. Skripsi mencakup kemampuan mengidentifikasi,
menemukan masalah prioritas, memilih metode pemecahan masalah, melakukan
analisis dan menarik kesimpulan. Semuanya dalam bentuk tertulis!
Sudah lumrah
mahasiswa mengalami kesulitan dalam mengerjakan tugas yang jenisnya menulis. Kita
terbiasa dengan tradisi lisan, mengobrol, bergosip dan sejenisnya. Karena itu untuk
dapat menulis perlu proses belajar. Belajar membutuhkan proses panjang, tidak
instan. Belajar membutuhkan ketekunan, keuletan, dan kesabaran. Belajar bukan
hanya membuat siswa atau mahasiswa dari tidak tahu menjadi tahu, tetapi belajar
adalah membentuk suatu perubahan yang bersifat relatif tetap (permanen) dalam
diri si belajar. Perubahan yang dimaksud bisa berupa pengetahuan, sikap,
keterampilan, atau kemampuan melakukan aktivitas tertentu.
Perlu Kesabaran
Jadi
membelajarkan mahasiswa untuk menyusun skripsi pun harus dengan sikap
kesabaran, ketekunan, dan keuletan. Mahasiswa pun harus menyiapkan diri untuk
belajar, dan tidak mudah tergoda jalan pintas selesai tugas dan menyusun skripsi
asal-asalan.
Biasanya
perguruan tinggi memiliki aturan main terkait dengan tugas mahasiswa menyusun
skripsi. Masing-masing pihak, mahasiswa dan dosen, memiliki hak-hak dan
kewajiban-kewajiban. Ada
juga norma-norma yang harus dipenuhi, termasuk sanksi apabila ada yang
melanggar norma. Segala aturan
yang berhubungan dengan proses penyusunan skripsi bagi mahasiswa adalah
instrumen atau alat untuk menjadi rambu-rambu agar mahasiswa dapat
menyelesaikan studinya.
Stereotipe yang
berkembang adalah bahwa menulis skripsi itu sulit, lama, dan berbelit-belit.
Ini memang agak merisaukan. Jika pandangan bahwa menulis skripsi itu sulit,
akibatnya adalah munculnya “broker” atau pihak-pihak yang menawarkan jasa. Yang
terjadi selanjutnya adalah mekanisme pasar; ada permintaan, ada penawaran. Kalau
sudah demikian, agak sulit menemukan pihak yang dapat dianggap salah. Fenomena skripsi
yang dibuatkan oleh orang lain, sebenarnya sudah sering mencuat ke permukaan.
Di masa lalu, sekitar 1990-an, mereka yang terlibat dalam pembuatan skripsi
mungkin masih sedikit dan kegiatannya sembunyi-sembunyi. Sekarang, seiring
dengan pertambahan jumlah mahasiswa dan arus informasi yang sedemikian deras, praktik
percaloan skripsi mudah sekali diidentifikasi.
Bagi mereka yang
berpengalaman melakukan kegiatan penelitian, mengenali skripsi asli tapi palsu
yang disodorkan mahasiswa adalah sangat mudah. Banyak indikator yang dapat
dijadikan dasar dalam menilai karya tulis seseorang itu asli atau setengah
asli, atau palsu.(lanjut*****)
Artikel ini dimuat di RADAR LAMPUNG, Jumat, 7 Januari 2010
- Sikap hipokrit rupanya masih melekat pada sebagian warga masyarakat. Indikasi yang terasa kental di antaranya adalah sikap terhadap status sosial berupa gelar/sebutan. Pada mereka yang memiliki sikap seperti itu, maka memiliki gelar merupakan kebanggaan dan dianggap sebagai sesuatu hak milik yang paling berharga.
Hipokrit, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 2007), diartikan sebagai “munafik” dan “orang yang suka berpura-pura”. Jadi, hipokrit gelar maksudnya adalah mengaitkan orang yang suka berpura-pura dengan gelarnya.
Tak dapat dipungkiri bahwa di sebagian masyarakat gelar atau status sosial yang simbolik menjadi tujuan dalam sebagian hidupnya. Gelar atau sebutan itu bisa bermacam-macam, baik gelar atau sebutan sebagai tanda keberhasilan menyelesaikan jenjang pendidikan tinggi, gelar adat, atau gelar sebagai tanda telah mencapai suatu derajat tertentu dalam memenuhi kaidah kepercayaan.
Mereka yang katakanlah ”gila gelar”, segala daya dan upaya dikerahkan untuk dapat meraihnya. Terkadang, sebagian orang bahkan sampai melupakan makna dan hakikat gelar itu sendiri. Dalam praktek memburu gelar itu, banyak cara ditempuh. Selain mengabaikan makna dan hakikat pemberian gelar, mereka juga melupakan cara yang baik dan benar dalam meraih gelar tersebut.
Munculnya kasus sarjana palsu, di Lampung tampaknya bukan yang pertama. Ada banyak modus dilakukan. Sebut saja ijazah palsu, kuliah belum selesai tapi diwisuda, atau sekadar menyebutkan gelar pada media publik. Semacam mendeklarasikan dirinya, bahwa “inilah aku”.
Dengan memampangkan sederet gelar, mungkin dapat memberikan kepuasan bathin bagi dirinya. Bisa jadi memiliki anggapan dengan gelar yang mentereng, seolah-olah dirinyalah yang paling hebat atau paling layak menyandang gelar itu.
Secara sosiologis, pada sebagian besar kelompok-kelompok masyarakat, memang memiliki sebutan atau gelar yang diberikan kepada seseorang sebagai tanda telah memenuhi kriteria dan kelayakan menyandangnya. Gelar itu mungkin diberikan sebagai wujud penghormatan kelompok, terhadap diri orang yang menerima gelar, atau sebagai bentuk penghargaan atas jasa dan pengabdiannya dalam membangun masyarakatnya. Dan itu sah-sah saja. Bahkan dapat menjadi motivasi bagi setiap anggota kelompok yang lain untuk meneladani dan meniru jejak pencapaiannya. Jika demikian adanya, tentu ini bernilai positif. Kebiasaan, sikap, tindakan, dan perilaku orang yang memiliki gelar dapat menjadi penyemangat hidup guna meraih prestasi dan kemajuan diri dan komunitasnya.
(lanjut*****)