*****ARTIKEL INI DIMUAT LAMPUNG POST, SABTU, 9 APRIL 2011*****
Beberapa pekan terakhir sempat mencuat ke media tentang Pusat
Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin. Intinya adalah problema yang
dihadapi pengelola, terkait dengan pembiayaan operasional. Padahal,
pemanfaatan PDS sangat luas. Mahasiswa, peneliti, sastrawan dan
sebagainya.
PDS HB Jassin, yang terancam tutup karena kekurangan biaya
operasional. Berita itu mencuat. Polemik itu kemudian membuka mata pada
peristiwa serupa di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Itu semua
hanyalah bagian kecil dari permukaan yang luka. Masih banyak masalah
yang dihadapi terkait dengan minat baca. Akhirnya, perhatian banyak
pihak tertuju padanya. Lantas, setelah itu apa?
Terkuaknya problematika yang dihadapi PDS HB Jassin harus menjadi
momentum untuk menggairahkan kembali budaya baca masyarakat. Kita harus
menjadikan buku, naskah sejarah, dokumen, arsip dan sejenisnya sebagai
aset bangsa yang tidak ada bandingan harganya.
Di sisi lain, pandangan bahwa koleksi yang ada di PDS HB Jassin
jangan dipandang semata-mata dari nilai fisiknya. Sama dengan koleksi
pustaka, koleksi pusat dokumentasi harus dilihat dari makna yang
terkandung di dalamnya, makna imajinasi dan daya cipta, nilai historis
dan kekayaan budaya yang tak ternilai. Berita tentang PDS HB Jassin kian
membuka tabir dunia buku dan perpustakaan. Dua benda ini juga selama
ini tampak kurang memperoleh perhatian yang memadai.
Sejatinya perpustakaan adalah pusat segala sumber pengetahuan. Ia
bisa saja diberi nama pusat dokumentasi. Apa pun namanya, intinya sama,
yaitu bahwa perpustakaan adalah suatu tempat membangun peradaban umat
manusia.
Melestarikan nilai-nilai budaya merupakan tanggung jawab semua pihak.
Pemerintah harus berada di depan dalam menjaga, melestarikan,
menyebarluaskan khasanah budaya bangsa. Adanya partisipasi dan peran
aktif dari masyarakat adalah modal yang dikontribusikan oleh elemen
masyarakat kepada bangsa.
Partisipasi dan kontribusi dari elemen masyarakat membuktikan
kemandirian dan kedewasaannya. Itu harus dihargai dan patut diteladani.
Dari kasus PDS HB Jassin ini, institusi pemerintah harusnya becermin
dari keswadayaan masyarakat.
Dokumentasi sejarah, koleksi karya seni, dan kreativitas yang
tersimpan dalam pusat dokumentasi dan perpustakaan harus dijaga dan
diberdayakan. Sesungguhnya, tak dapat disangkal, disadari atau tidak, bahwa setiap
orang memerlukan buku. Peran buku dalam komunikasi ilmu pengetahuan
sangat vital. Tak dapat dipungkiri, buku turut berperan, baik secara
langsung maupun tidak langsung, terhadap perkembangan diri seseorang. Buku adalah samudera ilmu pengetahuan. Dalam buku terkandung
cakrawala pandangan dari beragam latar belakang ras bangsa, terekam
catatan sejarah para tokoh, tersaji beragam peristiwa. Buku juga berisi
konsep-konsep dan metodologi yang bisa diterapkan dalam berbagai
konteks. Untuk dapat memanfaatkan buku dan perpustakaan secara optimal, harus
didahului oleh sikap atau kebiasaan gemar membaca. Minat baca harus
ditanamkan kepada anak-anak didik, baik di sekolah maupun di lingkungan
masyarakat. Dalam diri anak-anak perlu ditanamkan cinta buku dan senang
berkunjung ke perpustakaan. Salah satu caranya adalah dengan memberikan
bahan bacaan yang sesuai dengan tingkat usia dan minatnya. Terbentuknya minat baca pada individu akan mendorong suatu sikap
gemar membaca dan mewujudkan budaya baca suatu masyarakat. Masyarakat
yang gemar membaca, cinta buku, dapat diartikan sebagai suatu masyarakat
yang mencintai ilmu pengetahuan. Keragaman sumber informasi yang
diperoleh dari membaca buku akan membangun kesadaran tentang keragaman
dan penghargaan terhadap perbedaan. Sebenarnya manfaat utama dari
kegiatan membaca dan cinta buku adalah terwariskannya khazanah budaya
bangsa. Dalam arti yang luas, pada akhirnya minat baca dan cinta buku
dapat menopang posisi daya saing bangsa.(lanjut*****)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar