---Versi lain artikel ini dimuat Lampung Post, Kamis, 21 Juli 2011---
Tak dapat dipungkiri bahwa profesi guru dipandang oleh banyak
orang merupakan profesi yang sangat mulia. Citra guru nicaya positif di benak
masyarakat. Maka wajar jika kemudian banyak ibarat disematkan kepada guru:
“Pahlawan tanpa tanda jasa”, “lilin yang menerangi”, “pelita dalam kegelapan”
“embun penyejuk dalam kehausan”, “patriot pahlawan bangsa“, “pemandu berlayar
mengarungi samudera kehidupan” dan sebagainya.
Kesemua ibarat merujuk pada satu hal; kemuliaan. Citra
positif yang melekat pada profesi guru, pada kasus tertentu, terkadang terasa
berlebihan. Jika guru melakukan kekhilafan, atau pelanggaran, maka runtuhlah
citra kemuliaan itu. Ia akan menerima berbagai konsekuensi yang sangat tidak
mengenakkan.
Menjaga martabat guru sangat berat. Dalam
lingkungan masyarakat tertentu, seorang guru dianggap tahu dan bisa melakukan
berbagai hal. Terutama dalam lingkup aktivitas kemasyarakatan. Tak heran,
seorang guru di suatu daerah, misalnya, harus bisa memberi ceramah agama,
memimpin doa, menyampaikan khutbah Jumat, dan sebagainya.
Di banyak kampung atau desa, peran ganda sering
ditemui melekat pada guru; guru di sekolah, di lingkungan tempat tinggalnya ia
juga merangkap sebagai ketua Rukun Tetangga, ketua Masjid, ketua Badan
Perwakilan Desa, atau bahkan menjadi kepala desa. Untuk guru yang kira-kira
usianya masih muda, banyak yang menjadi ketua perhimpunan pemuda desa, penggerak
aktivitas olah-raga, maupun menjadi pelatih kegiatan generasi muda. (lanjut******)