Senin, 11 Juli 2011

OTONOMI GURU DAN PENDIDIKAN

***Artikel ini dimuat Lampung Post, Selasa, 12 Juli 2011***
BELAKANGAN ini bergulir wacana agar pengelolaan guru dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Di era otonomi daerah, memang manajemen guru diserahkan ke Daerah. Wacana ini melahirkan pro-kontra di kalangan guru dan pendidik itu sendiri. Kelompok yang setuju, terutama beralasan agar guru terbebas dari “politisasi” dan demi pemerataan. Sedangkan yang kontra, beranggapan akan kembali seperti era Orde Baru.
Manajemen guru memang bukan pekerjaan mudah. Sekitar 2,4 juta orang berprofesi sebagai guru dan tenaga pendidikan. Itu pun tersebar di seluruh wilayah negeri dan pada berbagai jenjang pendidikan. Status guru juga beragam dalam arti ada yang pegawai negeri dan ada yang swasta. Ada yang telah berstatus guru bersertifikasi, banyak juga yang belum. Jumlah guru yang memasuki masa pensiun dan rekrutmen guru baru juga besar.
Dengan keragaman seperti itu, tentu memerlukan berbagai perangkat pengaturan yang benar-benar terencana, sistematis, konsisten, dan berkelanjutan. Apalagi jika dikaitkan dengan upaya peningkatan kualitas pendidikan dan masalah hak terhadap akses pendidikan bagi warga negara.
Secara umum, problema besar pendidikan di Tanah Air adalah masalah kualitas pendidikan dan kesempatan mengikuti pendidikan bagi warga. Dua hal ini harus diwujudkan dan tidak saling dipertentangkan.
Substansi atas wacana agar manajemen guru dikembalikan ke Pusat sebenarnya menyangkut otonomi guru sebagai suatu profesi. Menjadi guru mensyaratkan adanya basis pendidikan keguruan, pengalaman dalam jabatan, pengembangan profesi berkelanjutan. Dalam mengelola kelas, membimbing proses pembelajaran, ia mendasarkan pada konsep dan teori pendidikan (didaktif). Ia menguasai dan mampu menerapkan metode pembelajaran yang dirasakan terbaik. (lanjut*****)

Tidak ada komentar: