***Artikel ini dimuat Lampung Post, Selasa, 12 Juli 2011***
BELAKANGAN ini bergulir wacana
agar pengelolaan guru dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Di era otonomi daerah,
memang manajemen guru diserahkan ke Daerah. Wacana ini melahirkan pro-kontra di
kalangan guru dan pendidik itu sendiri. Kelompok yang setuju, terutama
beralasan agar guru terbebas dari “politisasi” dan demi pemerataan. Sedangkan
yang kontra, beranggapan akan kembali seperti era Orde Baru.
Manajemen guru memang bukan
pekerjaan mudah. Sekitar 2,4 juta orang berprofesi sebagai guru dan tenaga
pendidikan. Itu pun tersebar di seluruh wilayah negeri dan pada berbagai
jenjang pendidikan. Status guru juga beragam dalam arti ada yang pegawai negeri
dan ada yang swasta. Ada yang telah berstatus guru bersertifikasi, banyak juga
yang belum. Jumlah guru yang memasuki masa pensiun dan rekrutmen guru baru juga
besar.
Dengan keragaman seperti itu,
tentu memerlukan berbagai perangkat pengaturan yang benar-benar terencana,
sistematis, konsisten, dan berkelanjutan. Apalagi jika dikaitkan dengan upaya
peningkatan kualitas pendidikan dan masalah hak terhadap akses pendidikan bagi
warga negara.
Secara umum, problema besar
pendidikan di Tanah Air adalah masalah kualitas pendidikan dan kesempatan
mengikuti pendidikan bagi warga. Dua hal ini harus diwujudkan dan tidak saling
dipertentangkan.
Substansi atas wacana agar
manajemen guru dikembalikan ke Pusat sebenarnya menyangkut otonomi guru sebagai
suatu profesi. Menjadi guru mensyaratkan adanya basis pendidikan keguruan,
pengalaman dalam jabatan, pengembangan profesi berkelanjutan. Dalam mengelola
kelas, membimbing proses pembelajaran, ia mendasarkan pada konsep dan teori
pendidikan (didaktif). Ia menguasai dan mampu menerapkan metode pembelajaran
yang dirasakan terbaik. (lanjut*****)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar