(Artikel dimuat Lampung Post, Selasa, 19 Juni 2012)
KECENDERUNGAN
maraknya perilaku menyimpang pada sebagian generasi muda menimbulkan
keprihatinan insan pendidikan dan masyarakat umum. Dari sinilah muncul
gagasan pendidikan karakter.
Pendidikan
moral, etika, maupun pendidikan agama yang ada sekarang, ternyata belum
mampu melahirkan generasi muda yang beriman dan berkepribadian bangsa.
Budaya hidup konsumtif dan gemar menyerobot, kecenderungan kolusi,
senang menempuh jalan pintas, dan sebagainya masih mewarnai sebagian
besar siswa. Perayaan kelulusan dengan aksi coret-coret baju dan pawai
di jalan adalah contoh gaya hidup anak muda sekarang. Contoh lain yang
sudah menjadi rahasia umum adalah mengikuti ujian nasional tanpa
persiapan karena mengharap bocoran.
Sejatinya,
masalah karakter bukan masalah baru. Perbedaan generasi memunculkan
tantangan yang berbeda pula. Di era kemajuan teknologi informasi
tantangan pendidikan kian dinamis dan kompleks. Pendidikan di sekolah
berpacu dengan aneka tawaran dari media hiburan. Hiburan yang berlebihan
jelas membuat generasi muda kurang tanggap terhadap lingkungan.
Pendidikan
karakter merupakan respons atas maraknya penyimpangan dan pelanggaran
hukum dewasa ini. Secara kuantitas jumlah perbuatan melawan hukum makin
tinggi. Secara kualitas, modus perilaku penyimpangan kejahatan juga
semakin canggih. Ada pemikiran, perilaku menyimpang generasi muda, salah
satunya karena kehilangan sosok teladan.
Tokoh
terpandang dalam masyarakat yang semestinya menjadi teladan malah
melakukan memberi contoh perbuatan yang tidak baik. Pengusutan kasus
korupsi, misalnya, terkesan lamban dan akrobatik. Jika pun terungkap dan
tersangka ditetapkan, masih mendapat fasilitas dan status sosial yang
tinggi di sebagian masyarakat.
Fondasi Kejujuran
Lagi-lagi,
untuk mengembalikan atau paling tidak meluruskan kondisi itu ditumpukan
pada pendidikan karakter. Pendidikan karakter sejatinya menanamkan
kejujuran, tanggung-jawab, kemandirian, jiwa dan semangat kerjasama, dan
ketahanan daya juang menghadapi berbagai tantangan.
Tugas
dan fungsi sekolah bukan cuma meluluskan, tetapi mendidik anak bangsa
menuju perubahan sikap dan tingkah laku positif sejalan dengan budaya
bangsa. Kecerdasan dan prestasi akademik akan mengiringi apabila
tercipta iklim belajar yang kondusif.
Kejujuran
berada di depan kepandaian. Kejujuran bisa ditanamkan sejak dini dan
secara konsisten dalam lingkungan yang mendukung. Kepandaian dapat
diasah dan dikembangkan setelah fondasi kejujuran terbentuk. Sekolah
sebagai tempat persemaian generasi muda dicirikan dengan produksi dan
reproduksi pengetahuan dan praktek yang mengarah ke arah manfaat dan
kebaikan. Siswa belajar menghargai proses yang bermakna dalam belajar,
dan bukan hanya simbol semata.
Proses
pembelajaran di lembaga pendidikan harus merupakan proses eksplorasi
potensi siswa dan meneguhkan kreativitas. Kondisi ideal proses
pembelajaran dan pendidikan tersebut mensyaratkan banyak hal.
Setidaknya, diperlukan pendidik yang menjiwai profesinya. Guru dan
tenaga pendidikan yang profesional akan mampu mengelola pembelajaran
secara efektif dan efisien serta menumbuhkan motivasi belajar siswanya.
Baik
guru maupun siswa, sesungguhnya semua pembelajar. Siswa perlu belajar
tentang bagaimana belajar yang efektif dan efisien. Demikian pula guru
terus belajar cara membelajarkan. Jika guru tidak belajar, sesungguhnya
yang dia kerjakan hanyalah pengulangan tindakan usang, bahkan
ketinggalan zaman. Hakikat pendidikan adalah menyiapkan generasi muda
menghadapi situasi, kondisi, dan kehidupan masa depan.
Di
tengah tuntutan pendidikan karakter, tugas guru juga bertambah. Setiap
tindakan pembelajaran dan pendidikan harus bermuatan pendidikan karakter
dan mencerminkan adanya perubahan sikap ke arah positif.
Proses
pembelajaran dan pendidikan yang membekali siswa berbagai keterampilan,
baik keterampilan keras maupun keterampilan lunak untuk menghadapi
situasi masa depan yang semakin dinamis. Kemampuan siswa membangun visi
masa depan mereka akan menjadi pembuka jalan bagi kehidupan mereka di
masa datang yang lebih baik.
Kepemimpinan
lembaga pendidikan atau sekolah bukan pola hubungan kekuasaan.
Kepemimpinan sekolah mengembangkan mengedepankan kerja sama fungsional
dan kesejawatan. Setiap tindakan dilandasi logika ilmiah dan
pertimbangan kebijaksanaan. Kepemimpinan sekolah yang integratif adalah
yang terbebas dari tekanan dari pihak mana pun.
Kewirausahaan
Persoalan
lain yang juga menonjol adalah kesenjangan dunia pendidikan dan dunia
kerja. Kesenjangan antara kompetensi lulusan dan kebutuhan pasar kerja
merupakan salah satu tantangan lembaga pendidikan yang krusial. Topik
ini kemudian menjadi tagline bagi lembaga pendidikan untuk mendapat dukungan dari masyarakat.
Pendidikan
karakter, terkait erat dengan kebutuhan akan jumlah wirausahawan di
Indonesia. Model pendidikan karakter akan melahirkan jiwa-jiwa yang
kreatif dan dengan tetap menghargai nilai-nilai budaya bangsa.
Pendidikan
kewirausahaan bukan berarti menjadikan sekolah seperti pasar. Tidak
pula segala sesuatu diukur dengan uang. Kewirausahaan dalam pendidikan
bukan menjadikan siswa sebagai pekerja, melainkan melatih kemampuan
membangun jaringan dan mengelola berbagai kegiatan. Pendidikan
kewirausahaan merupakan penanaman sikap mental dan membangun
keterampilan serta memanfaatkan keterampilan lunak untuk mewujudkan
kreativitas dan inovasi. Kata kunci untuk ini adalah memberi nilai
tambah atas aktivitas, karya, dan jasa.
Wirausaha
pada hakikatnya bertumpu pada kreativitas dan inovasi. Kreativitas
manusia sesungguhnya tanpa batas sehingga pendidikan merupakan pemicu
dan pemacu kreativitas siswa. Dengan kreativitas itulah melahirkan aneka
inovasi.
Mewujudkan
pendidikan karakter dan jati diri bangsa merupakan upaya melahirkan
generasi muda dan wirausaha yang unggul dan berkualitas. Pendidikan
karakter dan kewirausahaan adalah jawaban atas berbagai tantangan masa
depan yang sudah diperkirakan sekarang. (n)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar