Minggu, 11 Oktober 2009

PROFESI GURU

Memahami Profesi Guru

Oleh Dwi Rohmadi Mustofa

Mahasiswa Pascasarjana Teknologi Pendidikan

Diskusi dalam ruang kuliah tampaknya bermanfaat bagi kalangan yang lebih luas. Meskipun untuk itu harus benar-benar diperhatikan aspek kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik agar tidak terjadi benturan ketika tema-tema diskusi akademika dibawa ke ruang publik. Inilah sebenarnya esensi pendidikan tinggi sebagai mercusuar yang “menerangi dan memandu”, dan bukan sebagai “menara gading”.

Pada kuliah tentang belajar dan pembelajaran maupun dalam kuliah ilmu pendidikan, diskursus mengenai profesi guru tampak berlangsung hangat. Salah satu topik yang selalu berkait dengan profesi pendidik ini adalah masalah mutu pendidikan. Keinginan untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu bagi anak bangsa selalu dibebankan pada guru. Sehingga kemudian muncul anggapan jika pendidikan dinilai gagal, maka pastilah sumber masalahnya ada pada guru. Krisis multidimensi yang melanda negeri ini pada akhir dekade 1990-an juga dikaitkan dengan kegagalan pendidikan nasional.

Tidak mengherankan jika kemudian muncul statemen bahwa masalah utama pendidikan kita adalah guru. Ini karena profesi guru dianggap sebagai “kunci” untuk meningkatkan mutu pendidikan. Padahal banyak faktor yang berhubungan dengan mutu pendidikan. Kompleksitas masalah pendidikan yang terasa akut dewasa ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang pendidikan persekolahan di Tanah air. Selanjutnya terkait dan berkelindan dengan masalah kebijakan, birokrasi, dan perilaku aparatur yang terkait dengan pendidikan itu sendiri.

Profesi guru dewasa ini memiliki magnet tersendiri bagi kalangan muda. FKIP kini menjadi pilihan utama calon mahasiswa yang memang berniat menjadi guru. Keketatan memasuki fakultas ini kian tinggi. Bangku kuliah di fakultas ini semakin diperebutkan oleh banyak orang. Jika dulu jurusan-jurusan di FKIP terasa “kering” mahasiswa, maka sekarang banyak lulusan SLTA yang berhasrat menimba ilmu di sini. Singkatnya, FKIP sedang menapaki menjadi fakultas favorit. Ini tentu saja berbeda dengan masa sebelumnya, di mana lazimnya FKIP menjadi pilihan ketiga atau pilihan kedua. Bahkan yang ekstrem, kalau sudah tidak diterima di jurusan-jurusan lain, maka barulah memilih jurusan di FKIP. Juga yang lebih ekstrem dari contoh tadi adalah anggapan kuliah di FKIP lebih baik “daripada tidak kuliah”.

Maraknya minat anak-anak muda memasuki FKIP tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang mencoba membangkitkan harkat dan martabat profesi keguruan. Perlindungan akan profesi guru kini tengah menjadi mainstream dalam ranah pemerintahan, di mana telah dikeluarkan UU tentang Guru dan Dosen.

Profesi keguruan idealnya merupakan panggilan jiwa, tanpa diembel-embeli kehendak hidup mewah bergelimang harta. Menjalani profesi guru merupakan aktualisasi panggilan hati untuk memberikan pelayanan kepada orang lain untuk terus belajar, dan untuk itu dirinya akan memperoleh kepuasan dan kebahagiaan bathin.

Meskipun di sisi lain, seharusnya menjadi guru tidak berarti menutup pintu untuk hidup kaya, makmur, dan sejahtera. Singkatnya menjadi guru tidak berarti harus hidup “nrimo” apa adanya. Sebab jika demikian maka dapat dipertanyakan bagaimana ia harus memberikan motivasi kepada anak didiknya agar mencapai prestasi yang setinggi-tingginya, sementara dirinya sendiri menjalani tugas-tugas kehidupan tanpa “fighting spirit” terhadap problema-problema kehidupan kekinian.

Deskripsi tentang guru seperti lagu “Omar Bakri”, kalau mau jujur, masih terasa di sekolah-sekolah yang ada di perdesaan. Masih mending “Omar Bakri” yang pegawai negeri, di mana itu berarti memiliki gaji tetap dalam jumlah yang standar atau tergolong cukup, dan status sosialnya lebih baik. Lalu bagaimana dengan guru honor yang mengabdikan diri di daerah-daerah pinggiran, atau bahkan di daerah terpencil? Atau guru honor pada yayasan-yayasan swasta yang memang sudah diketahuinya memiliki keterbatasan finansial?

Mereka yang mengabdikan diri pada profesi guru selayaknya tidak dikerdilkan dengan jargon-jargon yang meninabobokan atau bahkan berpotensi menelantarkan. Gelar “pahlawan tanpa tanda jasa” bukan berarti keharusan bagi guru untuk selalu mentaati perintah tanpa berwenang memikirkan hakikat perintah, tanpa boleh menuntut imbalan atas jerih payahnya, atau malah guru yang harusnya menjadi teladan bagi anak didik tidak pantas untuk “protes”. Jargon yang demikian itu justru membunuh kreativitas, keberanian, rasa percaya diri dan kehendak untuk maju bagi guru.

Persepsi masyarakat yang terinternalisasi dalam diri guru, dalam bingkai “pahlawan tanpa tanda jasa” dalam prakteknya menyodorkan fakta bahwa guru tak pantas meminta fasilitas yang memadai untuk melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik. Seorang guru tidak sepantasnya menuntut ini itu, karena guru harus bisa menerima keadaan apa adanya.

Pesan yang pantas dijadikan bekal bagi para calon guru, atau mahasiswa yang sedang mendalami ilmu di jurusan pendidikan atau FKIP adalah bahwa menjadi guru harus merupakan aktualisasi dari panggilan jiwa untuk memberikan pelayanan kepada orang lain dalam pembelajaran. Implikasi selanjutnya adalah menjadi guru harus memiliki sikap profesional sebagaimana tersurat dan tersirat dalam UU Guru dan Dosen. Dalam mewujudkan sikap profesional tersebut bukan semata-mata mengejar sertifikat, mengharap tunjangan profesi dengan menghalalkan segala cara.

Figur profesional tampak dalam bentuk keteladanan, percaya diri, antusiasme, memotivasi orang lain, dan selalu tegar menghadapi persoalan. Keteladanan diperlukan untuk memberikan pendidikan kepada peserta didik. Percaya diri penting untuk berani mengatakan dan bertindak yang benar. Antusiasme berguna untuk dapat meraih sesuatu yang lebih baik dengan bahagia. Keterampilan memotivasi orang lain penting untuk memberikan kemudahan kepada peserta didik dalam mengikuti pembelajaran. Ketegaran diperlukan dalam menghadapi problema kehidupan, baik yang menyangkut profesinya sendiri, maupun dalam kaitannya dengan kehidupan sosialnya. Sebab, tidak semua persoalan dapat selesai atau diselesaikan dengan seketika.

Tulisan ini ingin merefleksikan betapa masih terjadi jurang pemisah antara pelaksanaan idealisme dengan realitas lingkungan, baik fisik maupun sosial. Semoga pembaca memperoleh kalangan pendidikan atau siapapun yang konsen dengan dunia pendidikan dapat memetik hikmah dari setiap persoalan yang dihadapi guru pada khususnya, dan dunia pendidikan pada umumnya.

Diskusi dan curah pendapat atau berbagi pengalaman dari para guru kiranya pantas dibawa ke ruang publik, sebagaimana aktivitas warga kampus mengkancah ilmu pengetahuan. Dengan demikian masyarakat yang lebih luas dapat lebih memahami profesi guru. Juga dapat menyambung terputusnya tanggung jawab pendidikan bagi semua pihak, bukan hanya guru. (dwi_rohmadi@yahoo.com)

1 komentar:

Unknown mengatakan...

selmana ini par guru angat dibingungkan oleh kebijakan pemerintah,yang selalu merubah kebijakan dan kurikulum setiap ganti menteri dalam kabinet,sehingga tujuan yang akan dicapai tidak sampai,saat ini orang banyak berlomba ingin menjadi guru dikarenakan adanya program sertifikasi,tapi menurut saya program itu tidak ada dampak kemajuan bagi dunia pendidikan,guru sertifikasi hanya mengejar uangnya saja tetapi profesional dan ilmu tidak ditingkatkan oleh mereka.